Setelah kegiatan panas mereka, Naura dan Davin membersihkan diri secara bergantian. Setelah penampilannya rapi, mereka kembali duduk di sofa yang ada di dalam kamar hotel itu secara berhadap-hadapan.
"Kamu tahu, kan, kalau aku adalah laki-laki yang mengidap penyakit hiperseksual, dan aku baru bisa tidur setelah melakukan pelampiasan dengan lawan jenis," ucap Davin sambil menatap ke arah sang sekretaris yang saat ini menunduk dan tidak berani menatap ke arahnya. "Aku ingin kamu menandatangani surat perjanjian ini, bahwa kamu siap menjadi pelampiasan hasrat saya sampai nanti menjelang hari pernikahanmu dengan Aldo," tambah Davin, yang berhasil membuat Naura melotot ke arahnya. "Tapi, Pak, bagaimana kalau saya dengan Aldo menikahnya masih lama?" tanya Naura polos. Davin kembali tersenyum. "Selama kamu belum menikah, maka selama itu juga kamu harus menjadi pelampiasan hasratku, kecuali aku pulang ke kota kelahiranku, baru saat itu kamu bisa bebas," tutur Davin tanpa memberi kelonggaran sedikit pun pada Naura. "Sekarang, kalau kamu tidak setuju, aku akan memberimu uang 200 juta dan hubungan kita selesai. Tapi, kalau kamu mengharapkan uang satu miliar, maka tanda tangani surat perjanjian ini," ucapnya lagi penuh penekanan. Air mata Naura menganak sungai. Dia bingung harus berbuat apa. Mungkin dia harus menjadi pelampiasan hasrat sang atasan selama bertahun-tahun? Lalu bagaimana dengan Aldo? Bagaimana kalau pria itu mengetahui tentang hubungan Naura dan Davin? Apa mungkin Aldo mau tetap menikahinya sementara kesuciannya telah terenggut oleh atasannya sendiri? Semua pertanyaan itu tak menemukan jawaban satu pun hingga membuat Naura menarik napas berat. "Tapi, Pak..." ucapan Naura menggantung karena Davin sudah memotongnya. "Tidak ada tawar-menawar. Silakan pilih. Kalau kamu memang tidak bersedia, maka aku akan memberikanmu imbalan sebesar 200 juta tunai hari ini juga. Tapi, kalau kamu membutuhkan uang satu miliar, cepat tanda tangani itu, karena aku tidak punya waktu lebih lama lagi di sini," jawab Davin tegas. Naura menarik napas berat. Mudah-mudahan Aldo mau menerima kondisinya yang sudah tidak perawan lagi, dan mudah-mudahan Aldo segera melamarnya agar perjanjiannya dengan sang atasan berakhir. Setelah menandatangani surat tersebut, Naura kembali menyerahkan map itu pada sang atasan. Davin tersenyum lalu berkata, "Demi apa pun, kamu sangat nikmat, Naura. Milikmu sangat sempit dan membuatku ketagihan. Aku benar-benar puas, tapi ingat, kamu harus banyak belajar lagi cara memuaskanku, agar aku tidak rugi mengeluarkan uang sebanyak ini. Kamu harus lebih agresif dari ini. Cari semua teorinya di internet agar besok kamu tidak mengecewakanku dengan hanya diam saja," ucapnya lagi. Naura hanya mengangguk, lalu Davin mengeluarkan sebuah cek yang sudah ia tanda tangani dengan jumlah uang sebesar satu miliar. "Ini uangnya, dan hari ini kamu bebas untuk tidak kembali ke kantor. Ingat, mulai besok, setiap malam kamu harus datang ke apartemenku untuk memberikan pelayanan terbaikmu," ucapnya sekali lagi, dan Naura kali ini hanya bisa mengangguk menyetujui. "Terima kasih, Pak Davin. Kalau begitu, saya permisi dulu," pamitnya. Setelah mendapat persetujuan dari sang atasan, Naura segera keluar dari dalam kamar hotel menuju lobi. Sebelum ia menuju ke bank, Naura sempat menghubungi sang rentenir, menyampaikan bahwa ia akan mentransfer semua utangnya hari ini juga. Tapi sayangnya, rentenir itu meminta uang tunai. Tanpa menaruh curiga sedikit pun, Naura segera menuju ke bank untuk menarik uang secara tunai. Bahkan kali ini, ia tidak mencari pengawalan dari pihak berwajib untuk menemaninya menemui sang rentenir. Setelah uang itu cair, Naura segera naik ke atas motornya, melajukan motor matic itu dengan kecepatan sedang menuju ke lokasi yang sudah ditentukan oleh sang rentenir. Namun, belum sempat Naura tiba di titik lokasi, empat orang pria bertubuh tinggi besar menghadangnya. Naura panik dan ketakutan. Salah satu dari mereka menarik kasar tas yang tergantung di pundaknya. “Hei! Lepaskan!” Naura berteriak panik, namun suaranya hanya menggema di sekitar, tanpa ada seorang pun yang mendengar. Para preman itu tertawa mengejek, salah satu dari mereka merampas tasnya dengan paksa. Naura mencoba melawan, meraih tasnya kembali, tetapi tenaganya tak cukup kuat melawan pria-pria itu. Salah satu dari mereka mendorongnya hingga jatuh ke aspal. Tangannya bergetar saat mencoba bangkit, namun preman yang lain sudah membuka tasnya, mengeluarkan uang tunai yang baru saja ia tarik dari bank. Tumpukan uang itu dirampas tanpa ampun, mereka langsung memasukkannya ke dalam kantong jaket mereka. “Ayo cepat, sebelum ada yang datang!” seru salah satu dari mereka, memberi isyarat untuk segera pergi. Naura hanya bisa menyaksikan mereka melangkah pergi dengan senyum kemenangan di wajah mereka. Sekujur tubuhnya lemas. Tangisnya pecah, berderai tanpa henti. Uang satu miliar yang seharusnya menyelamatkannya dari rentenir kini lenyap begitu saja. “Ya Tuhan, kenapa semua ini bisa terjadi?” Naura bergumam dan dadanya terasa sangat sesak.Naura segera bangkit karena ia tidak mungkin berlama-lama di sana. Ia melajukan motornya yang sudah lecet akibat terjatuh, menuju ke kantor. Hari ini, Davin ada meeting, dan Naura harus menunggu pria itu sampai selesai rapat dengan Kepala Divisi di kantor Abimanyu Group. Saat Naura tiba di kantor, Aldo melihat kekasihnya mengalami luka lecet dan segera menghampiri. “Kamu kenapa, sayang?” tanya Aldo. Sebetulnya, Naura sedang marahan dengan kekasihnya. Ketika ia meminta tolong pada Aldo untuk memberinya pinjaman melunasi utangnya pada rentenir, bukannya uang yang didapatkan, Naura justru menerima caci maki dari kekasihnya. “Jatuh,” jawab Naura dengan suara serak. “Jatuh di mana? Kenapa bisa jatuh? Kamu ini setiap kali bawa motor selalu tidak pernah hati-hati,” kata Aldo dengan nada ketus. Ia melihat ke arah sepeda motor yang ia hadiahkan untuk Naura, kini lecet, dan kemarahannya pun memuncak. “Kamu ini memang tidak pernah telaten! Dikasih apa pun, tidak pernah dijaga dengan baik.
Setelah keluar dari ruangan Davin dengan hati yang hancur, Naura tak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa tak punya siapa-siapa yang bisa mendengarkan keluhannya. Tiba-tiba, terlintas bayangan ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit. Tubuhnya seolah bergerak tanpa arahan, langkahnya langsung menuju parkiran untuk segera pergi ke sana. Rasa takut dan cemas bercampur jadi satu, terutama mengingat ibunya masih di ruang ICU, tak sadarkan diri.Sesampainya di rumah sakit, Naura dengan cepat melangkah menuju ICU. Di depan pintu ruang ICU, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Pemandangan ibunya yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya membuat hati Naura semakin teriris. Matanya memanas, dan tanpa bisa dicegah, air mata pun mengalir deras. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan kaku.“Ibu...” bisiknya, suaranya serak. “Naura nggak tahu harus gimana lagi. Naura bener-bener nggak sanggup
“Ada apa ini, Pak? Saya tidak pernah melakukan kesalahan yang bertentangan dengan hukum. Kenapa Anda datang sambil menodongkan senjata api ke arah kami?” tanya Antonio kepada 10 orang polisi yang saat ini ada di dalam ruangan tersebut. Sementara itu, Naura memeluk Davin erat-erat, tak kuasa meluapkan kebahagiaannya karena Davin adalah superheronya. “Anak buah Anda sudah ditangkap dan sudah mengakui kalau Anda yang menyuruh mereka untuk merampok uang milik Nona Naura, yang akan digunakan untuk melunasi utangnya pada Anda,” sahut polisi itu. Mata Antonio melotot tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Itu tidak benar, Pak! Saya tidak mungkin melakukannya. Ini pasti fitnah!” teriak Antonio, berusaha mengelak dari tuduhan polisi. “Jangan banyak bicara! Silakan ikut ke kantor polisi dan jelaskan di sana. Kalau memang Anda tidak bersalah, maka Anda akan segera dibebaskan. Tapi kalau Anda dengan sengaja melakukan itu dan terbukti sebagai otak dari perampokan ini, siap-siap saja mende
"Kamu tahu kan kalau aku sudah memiliki tunangan dan sebentar lagi akan menikah?" tanya Davin lagi saat Naura belum memberikan jawaban. "Jujur, aku puas main dengan kamu. Naura, milikmu sangat sempit, dan belum pernah aku merasakan kenikmatan seperti saat menyentuhmu. Kamu sendiri juga tahu, sudah banyak sekali wanita malam yang aku ajak bercinta setiap malam. Jujur, kamu berbeda dari mereka. Kalau kamu mau menjadi simpananku dan merahasiakan hubungan kita dari siapapun, serta berusaha bersikap profesional di hadapan orang lain, aku janji akan membiayai pengobatan ibumu," ucap Davin lagi memberi tawaran. Naura hampir saja melupakan keadaan ibunya yang masih berjuang di ruang ICU. Lebih baik dia berkorban perasaan daripada membiarkan ibunya tanpa perawatan medis yang bagus. Naura menarik napas berat lalu menjawab, "Baiklah, Pak Davin. Saya mau menjadi simpanan Anda," sahutnya. Davin tersenyum bahagia. "Jadi mulai sekarang, bila hanya ada kita berdua saja, kamu harus memposisikan di
Tok tok.“Sayang, kenapa pintunya dikunci?” Suara Anna terdengar lembut namun memaksa dari balik pintu.Davin yang saat itu sedang bersama Naura di ruang kerjanya langsung panik. Ia menoleh cepat ke arah Naura dan berbisik, “Cepat, kamu sembunyi di bawah meja.” Naura, dengan wajah gugup, segera berjongkok dan menyelinap di bawah meja besar di hadapan Davin.Davin menarik napas dalam-dalam dan merapikan kerah bajunya yang sedikit berantakan. Tangannya bergerak cepat meraih remote untuk membuka kunci pintu secara otomatis. Tak ada suara yang terdengar dari luar, membuat Anna tak sadar bahwa pintu itu sudah terbuka.“Sayang...” panggil Anna sekali lagi, nada suaranya terdengar sedikit kesal.“Masuk,” jawab Davin, kali ini dengan suara tegas dan datar.Pintu pun terbuka, memperlihatkan sosok Anna Rosiana yang segera melangkah masuk. Wajah cantiknya tampak penuh dengan rasa penasaran, namun tersamar oleh raut marah yang kian jelas. Ia berjalan cepat mendekati Davin, tumit sepatu hak tin
“Panggil namaku sayang,” ucap Davin dengan suara parau.“Pak Davin.”“Aaaaahhhhh,” erangan panjang itu menandakan kalau keduanya sudah ada di puncak surga dunia.Dalam ruangan khusus yang tidak terlalu luas dan tersembunyi dari hiruk pikuk kantor, Davin menatap Naura yang masih terbaring di sampingnya, kulitnya yang berkeringat menempel di seprai, napasnya masih terengah-engah.Di ruangan itu, seolah waktu berhenti sejenak; mereka sama-sama terbuai dalam keintiman yang begitu dalam.Namun, di balik itu, ada kenyataan yang tak bisa mereka abaikan hubungan mereka hanya berlandaskan kebutuhan yang saling menguntungkan, bukan perasaan tulus.Davin mengusap lembut pipi Naura sebelum berkata dengan nada yang nyaris berbisik, "Terima kasih, Naura. Kamu sudah memberikan kenikmatan yang tidak pernah aku dapatkan dari wanita lain. Aku janji, mulai sekarang, aku tidak akan lagi mencari wanita malam."Mata Davin menatap Naura dalam, seperti sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri juga. "Tapi, a
Jantung Naura masih berdetak kencang seperti maling yang tertangkap basah. Namun dia segera memulihkan suasana hatinya agar tak terlihat gugup di depan Aldo."Kenapa kamu lama sekali di ruangan Pak Davin? Mana ponsel gak dibawa!" tanyanya dengan nada ketus, raut wajahnya jelas memperlihatkan kecemburuan yang mendidih.Naura berjalan menuju meja kerjanya lalu menatap Aldo dengan tatapan tajam. Ia sudah cukup lelah dengan sikap posesif Aldo yang selalu penuh kecurigaan. "Menurutmu, aku ngapain di dalam, Aldo?" jawabnya, suaranya sengaja dibuat ketus, berusaha menahan kekesalan yang sudah menumpuk.Aldo tidak menyerah. "Aku dari tadi di sini, kamu lama sekali di dalam. Jangan bilang kamu ada apa-apa dengan Pak Davin," tuduh Aldo sambil melipat kedua tangannya di depan dada.BRAAAK!Naura menggebrak meja kerjanya, membuat beberapa kertas berserakan. "Kalau kau datang hanya untuk membuat keributan, lebih baik kau pergi sekarang, Aldo!" serunya, suaranya bergetar penuh emosi. "Oh ya, motor
Saat Aldo hendak masuk ke ruang kerjanya, tatapannya langsung tertuju pada Naura, yang saat ini ada di ruang divisi pemasaran. Dengan nada yang tak bisa ditolak, ia menyembulkan kepala ke dalam dan langsung mengingatkannya tentang rencana makan malam mereka."Pokoknya nanti malam aku akan menjemputmu, Naura. Tolong jangan kecewakan keluargaku," katanya tegas.Para karyawan lain yang mendengar perkataan Aldo hanya bisa saling bertukar pandang dan menggelengkan kepala. Mereka tampak tak asing lagi dengan cara Aldo memperlakukan Naura seolah-olah ia sudah pasti akan mengikuti semua keinginannya. Sementara itu, Naura hanya diam, enggan menanggapi ocehan Aldo yang semakin sering mengatur kehidupannya.Di tengah suasana itu, manajer pemasaran mendekati Naura sambil membawa berkas yang sudah dipegangnya sejak tadi."Ini data yang kamu minta, Naura. Nanti tolong sampaikan ke Pak Davin kalau semuanya sudah lengkap. Tapi, dicek lagi ya, siapa tahu ada yang belum sesuai dengan total yang saya