"Sebelumnya saya minta maaf kalau sedikit mengganggu waktu bapak dan ibu semuanya. Saya ucapkan terima kasih karena bapak dan ibu sudah mau ikut menyaksikan acara spesial saya ini. Langsung saja, saya di sini hanya ingin berbagi kabar bahagia karena malam ini saya berniat melamar Hanin. Benar jika Hanin adalah mantan istri saudara kembar saya. Namun, saya bukanlah orang ketiga dari retaknya hubungan mereka. Tentu mereka punya alasan tersendiri kenapa memilih berpisah," ucap Mas Eros lalu kembali mengulas senyuman, sementara para tamu mulai bisik-bisik. Ada pula yang manggut-manggut mengerti. "Meskipun mereka sudah berpisah, tapi hubungan kami semua InsyaAllah masih baik-baik saja. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan atau menjadi bahan perbincangan lebih. Lagipula Eris juga sudah bahagia dengan keluarga barunya. Jadi, tak ada salahnya jika Hanin membuka hati untuk lelaki lain sekalipun itu mantan iparnya sendiri kan?" Mas Eros menatap beberapa tamu yang ikut memberikan komentar.
Persiapan pernikahan sudah diurus oleh Mas Eros dan keluarganya. Mereka tak ingin melihatku kerepotan mengurus berkas, catering, tenda dan lain sebagainya. Fokus menjaga hati untuk mempersiapkan diri sebagai seorang istri lagi. "Nduk, ada Nak Eris datang." Ibu melangkah tergesa ke halaman belakang saat aku masih mencabuti rumput di sela-sela kebun sayuran mini milik ibu. "Mas Eris atau Mas Eros, Bu?" ulangku. Ibu memang belum bisa membedakan wajah keduanya, tapi dari segi suara harusnya jelas berbeda. "Nak Eris. Penampilan dan suaranya berbeda kok. Masa iya ibu nggak hafal mantan menantu sendiri. Meski jarang ke sini, ibu masih bisa bedain mana Eros dan mana Eris." Ibu kembali meyakinkan, sementara aku menghela napas panjang. "Mau ngapain lagi sih dia? Apa jangan-jangan mau marah-marah karena aku akan menikah dengan saudara kembarnya dalam waktu dekat? Dia hanya sekadar mantan, jadi tak punya hak untuk mengatur hidupku bukan?" "Ayo, Nin. Nanti dia ngamuk kalau kelamaan nunggu kam
Hari ini suasana rumah sudah cukup ramai. Beberapa kerabat dan tetangga mulai berdatangan untuk membantu ibu menyiapkan jamuan. Acara pernikahanku yang kedua ini memang digelar di depan rumah saja. Sederhana, karena aku nggak mau membuang banyak uang untuk mengadakan pesta. Lagipula, ini bukan pernikahanku yang pertama dan aku masih khawatir menjadi bahan gosip banyak orang karena menikah dengan mantan ipar. Untungnya Mas Eros setuju. Dia mengikuti semua permintaanku yang penting mau menikah dengannya, katanya. Tak ada kekecewaan yang kulihat dari sorot matanya saat aku bilang ingin menikah dengan sederhana dan mengundang beberapa tetangga saja. "Aku manut, Nin. Yang penting kamu siap menjadi istriku dan mau menua bersamaku." Kalimatnya beberapa hari lalu membuat wajahku menghangat. Laki-laki itu benar-benar membuat hari-hariku penuh warna. Berbunga dan terasa indah. Detik ini aku masih mematut di depan cermin bersama perias yang sudah disiapkan Mas Eros untuk membantuku tampil be
Apa kedatangan Mas Eris kemarin ke sini setelah dia marah-marah di rumah ibu? Aku kembali mengernyit. Kembali kutatap ibu yang masih tersenyum menatap anak lelakinya. "Dia datang ke rumah jam berapa, Bu?" "Pagi-pagi betul sudah datang. Ibu saja masih sibuk bikin sarapan di dapur. Sepertinya dia juga ribut sama Fika. Entahlah. Ibu suruh mereka berdua pulang. Sakit kepala ibu mendengar pertengkaran mereka." Ibu kembali memijit-mijit kening saat membayangkan keributan kemarin pagi. Berarti benar dugaanku jika Mas Eris ke rumah ibu lebih dulu sebelum menemuiku. Pantas saja wajahnya merah padam saat datang ke rumah. Ternyata dia sudah marah-marah lebih dulu pada ibu dan bapak. "Memangnya ibu bicara apa sama Mas Eris?" "Ibu ungkapkan saja semua rasa yang ibu pendam selama ini. Ibu bilang nggak suka jika dia terus iri sama Eros. Ibu meminta dia untuk menerima takdir masing-masing. Kaya atau miskin, sukses atau nggak, ibu tak pernah mempersoalkannya. Semua sama di mata ibu. Ibu nggak aka
"Alhamdulillah. Ijab qabul sudah dilaksanakan. Gimana para saksi, sah?" Penghulu melirik saksi yang sudah kami siapkan. Keduanya pun saling pandang lalu mengucapkan satu kata yang membuatku tersenyum lega. "Sah." "Alhamdulillah ...." Kedua ibuku mengucap Hamdallah bersama-sama lalu memelukku hangat. "Akhirnya kamu jadi menantu ibu lagi, Nin." Ibu mertua terharu. Kuusap kedua sudut matanya dengan tissu yang kubawa. "Jangan menangis, Bu. Nanti make up ibu luntur." Aku mengopi kalimat ibuku saat di kamar tadi. "Kamu ini, masih saja bercanda di tengah ketegangan begini." Ibu memukul lenganku pelan sembari tersenyum lebar. "Akad nikah kali ini sudah sah ya, Mas Eros, Mbak Hanin. Alhamdulillah kalian berdua sudah sah sebagai suami istri. Jadi, harus sama-sama tahu kodrat suami seperti apa dan kodrat istri bagaimana. Saling menjaga aib satu sama lain dan harus bisa selalu bergandeng tangan di saat suka maupun duka." Mas Eros mengangguk yakin, aku pun melakukan hal yang sama. Tak akan
Ibu menuding Om Danang dengan telunjuknya. Aku tahu, sata ini ibu benar-benar murka. Tak pernah kulihat wajah dan sikap ibu segarang ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar jika mereka memiliki masa lalu yang tak pernah kutahu sebelumnya? Mungkinkah Om Danang itu bapak kandungku? Apa ibu pernah menikah dengannya sebelum dinikahi bapak? Berbagai pertanyaan lalu lalang di benak. "Jangan pernah menyebutku egois! Seharusnya kamu ngaca. Siapa yang sebenarnya egois, aku atau kamu!" sentak ibu dengan mata berkaca, tapi suaranya terdengar penuh penekanan. "Jangan bahas masa lalu sekarang, Ni. Aku minta maaf karena sudah meninggalkanmu dalam keadaan hamil dua bulan, tapi-- "Nggak perlu tapi-tapi, Mas. Sebaiknya kamu pergi dari rumahku dan jangan pernah muncul di depan mataku lagi!" usir ibu sembari menunjuk pintu keluar. "Jawab dulu siapa ayah Hanin? Jika aku ayah kandungnya, dia harus mengulang akad nikah itu karena seharusnya aku yang jadi walinya. Pernikahannya-- "Stop! Jangan
Aku memeluk dan mengusap punggung ibu setelah kembali duduk di sampingku. Tak menyangka jika masa lalu ibu sepahit itu. Selama ini ibu memang tak pernah bercerita apapun soal kepahitan hidupnya padaku. Ibu hanya menceritakan soal bapak dengan segala cinta, kesetiaan dan perjuangannya untuk membahagiakan keluarga.Kini kutahu alasan ibu menutupi kenangan pahitnya. Jika memang ceritanya seperti itu, wajar ibu tak mau mengungkitnya atau mungkin sudah mengubur semuanya dalam-dalam. Lagipula buat apa terus diingat. Bukankah masa lalu yang terlalu menyakitkan hati cukup menjadi bagian kenangan usang yang tak harus diingat lagi? Teringat kembali nasehat ibu saat aku memikirkan pernikahan seumur jagungku dengan Mas Eris. "Kalau Allah memanjangkan umurmu, masa depanmu masih panjang ke depan, Hanin. Kamu nggak boleh terus terbelenggu pada masa lalu. Semua yang telah terlewat cukup dijadikan pembelajaran untuk memperbaiki diri dan melakukan sesuatu yang lebih baik lagi. Fokus menata masa kini d
POV : ERIS "Kamu kasih obat apa di makananku, Fik?!" Fika yang masih duduk santai sembari memberi kutek di kuku-kukunya hanya menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan aktivitas sebelumnya. "Kenapa sih, Mas? Obat apa coba? Main nuduh aja. Kamu lihat sendiri dong, aku juga makan sayur dan lauk yang sama. Bisa-bisanya nuduh aku mencelakaimu. Aneh kamu, Mas!" sentak Fika tak mau kalah. Fika melengos begitu saja. Dia benar-benar tak peduli dengan mimik wajahku yang mungkin merah padam menahan emosi. "Halah! Kamu selalu begitu. Aku nggak bakal lupa, gara-gara kamu kasih obat tidur di minumanku sampai sekalipun nggak bisa ikut sidang perceraianku dengan Hanin. Sekarang kamu pasti melakukan hal yang sama sampai perutku sakit begini. Kamu sengaja mencegahku datang ke sana kan? Kamu tambahkan bubuk pencahar perut ke makananku? Ngaku kamu, Fik!" sentakku lagi. Fika tak menoleh. Dia masih saja memandangi kuku-kukunya yang berwarna merah muda itu. "Fika!" Aku mengeraskan volume suara agar Fi