Apa kedatangan Mas Eris kemarin ke sini setelah dia marah-marah di rumah ibu? Aku kembali mengernyit. Kembali kutatap ibu yang masih tersenyum menatap anak lelakinya. "Dia datang ke rumah jam berapa, Bu?" "Pagi-pagi betul sudah datang. Ibu saja masih sibuk bikin sarapan di dapur. Sepertinya dia juga ribut sama Fika. Entahlah. Ibu suruh mereka berdua pulang. Sakit kepala ibu mendengar pertengkaran mereka." Ibu kembali memijit-mijit kening saat membayangkan keributan kemarin pagi. Berarti benar dugaanku jika Mas Eris ke rumah ibu lebih dulu sebelum menemuiku. Pantas saja wajahnya merah padam saat datang ke rumah. Ternyata dia sudah marah-marah lebih dulu pada ibu dan bapak. "Memangnya ibu bicara apa sama Mas Eris?" "Ibu ungkapkan saja semua rasa yang ibu pendam selama ini. Ibu bilang nggak suka jika dia terus iri sama Eros. Ibu meminta dia untuk menerima takdir masing-masing. Kaya atau miskin, sukses atau nggak, ibu tak pernah mempersoalkannya. Semua sama di mata ibu. Ibu nggak aka
"Alhamdulillah. Ijab qabul sudah dilaksanakan. Gimana para saksi, sah?" Penghulu melirik saksi yang sudah kami siapkan. Keduanya pun saling pandang lalu mengucapkan satu kata yang membuatku tersenyum lega. "Sah." "Alhamdulillah ...." Kedua ibuku mengucap Hamdallah bersama-sama lalu memelukku hangat. "Akhirnya kamu jadi menantu ibu lagi, Nin." Ibu mertua terharu. Kuusap kedua sudut matanya dengan tissu yang kubawa. "Jangan menangis, Bu. Nanti make up ibu luntur." Aku mengopi kalimat ibuku saat di kamar tadi. "Kamu ini, masih saja bercanda di tengah ketegangan begini." Ibu memukul lenganku pelan sembari tersenyum lebar. "Akad nikah kali ini sudah sah ya, Mas Eros, Mbak Hanin. Alhamdulillah kalian berdua sudah sah sebagai suami istri. Jadi, harus sama-sama tahu kodrat suami seperti apa dan kodrat istri bagaimana. Saling menjaga aib satu sama lain dan harus bisa selalu bergandeng tangan di saat suka maupun duka." Mas Eros mengangguk yakin, aku pun melakukan hal yang sama. Tak akan
Ibu menuding Om Danang dengan telunjuknya. Aku tahu, sata ini ibu benar-benar murka. Tak pernah kulihat wajah dan sikap ibu segarang ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar jika mereka memiliki masa lalu yang tak pernah kutahu sebelumnya? Mungkinkah Om Danang itu bapak kandungku? Apa ibu pernah menikah dengannya sebelum dinikahi bapak? Berbagai pertanyaan lalu lalang di benak. "Jangan pernah menyebutku egois! Seharusnya kamu ngaca. Siapa yang sebenarnya egois, aku atau kamu!" sentak ibu dengan mata berkaca, tapi suaranya terdengar penuh penekanan. "Jangan bahas masa lalu sekarang, Ni. Aku minta maaf karena sudah meninggalkanmu dalam keadaan hamil dua bulan, tapi-- "Nggak perlu tapi-tapi, Mas. Sebaiknya kamu pergi dari rumahku dan jangan pernah muncul di depan mataku lagi!" usir ibu sembari menunjuk pintu keluar. "Jawab dulu siapa ayah Hanin? Jika aku ayah kandungnya, dia harus mengulang akad nikah itu karena seharusnya aku yang jadi walinya. Pernikahannya-- "Stop! Jangan
Aku memeluk dan mengusap punggung ibu setelah kembali duduk di sampingku. Tak menyangka jika masa lalu ibu sepahit itu. Selama ini ibu memang tak pernah bercerita apapun soal kepahitan hidupnya padaku. Ibu hanya menceritakan soal bapak dengan segala cinta, kesetiaan dan perjuangannya untuk membahagiakan keluarga.Kini kutahu alasan ibu menutupi kenangan pahitnya. Jika memang ceritanya seperti itu, wajar ibu tak mau mengungkitnya atau mungkin sudah mengubur semuanya dalam-dalam. Lagipula buat apa terus diingat. Bukankah masa lalu yang terlalu menyakitkan hati cukup menjadi bagian kenangan usang yang tak harus diingat lagi? Teringat kembali nasehat ibu saat aku memikirkan pernikahan seumur jagungku dengan Mas Eris. "Kalau Allah memanjangkan umurmu, masa depanmu masih panjang ke depan, Hanin. Kamu nggak boleh terus terbelenggu pada masa lalu. Semua yang telah terlewat cukup dijadikan pembelajaran untuk memperbaiki diri dan melakukan sesuatu yang lebih baik lagi. Fokus menata masa kini d
POV : ERIS "Kamu kasih obat apa di makananku, Fik?!" Fika yang masih duduk santai sembari memberi kutek di kuku-kukunya hanya menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan aktivitas sebelumnya. "Kenapa sih, Mas? Obat apa coba? Main nuduh aja. Kamu lihat sendiri dong, aku juga makan sayur dan lauk yang sama. Bisa-bisanya nuduh aku mencelakaimu. Aneh kamu, Mas!" sentak Fika tak mau kalah. Fika melengos begitu saja. Dia benar-benar tak peduli dengan mimik wajahku yang mungkin merah padam menahan emosi. "Halah! Kamu selalu begitu. Aku nggak bakal lupa, gara-gara kamu kasih obat tidur di minumanku sampai sekalipun nggak bisa ikut sidang perceraianku dengan Hanin. Sekarang kamu pasti melakukan hal yang sama sampai perutku sakit begini. Kamu sengaja mencegahku datang ke sana kan? Kamu tambahkan bubuk pencahar perut ke makananku? Ngaku kamu, Fik!" sentakku lagi. Fika tak menoleh. Dia masih saja memandangi kuku-kukunya yang berwarna merah muda itu. "Fika!" Aku mengeraskan volume suara agar Fi
Bodohnya aku! Mungkin Fika memang benar. Bagaimana mungkin aku menyamakan dia dengan Hanin. Mereka berdua jelas sangat berbeda. Bahkan mungkin bagai langit dengan bumi. Hanin yang setia, lembut dan patuh pada suami, sementara Fika sebaliknya. Bodoh! Aku benar-benar bodoh yang masih saja tak menyadari semuanya. Kupejamkan mata perlahan. Eros dan Hanin seolah menertawakanku detik ini. Obrolan dengan Eros waktu itu pun terngiang kembali membuat dadaku kembali terasa sesak. "Apa, Ros? Istri idamanmu seperti Hanin? Aku nggak salah dengar? Jangan gi la kamu!" ucapku kala itu yang pura-pura tak tahu isi hatinya. Padahal aku paham sekali apa yang dia rasa, makanya aku mau menikah dengan Hanin demi membuatnya patah hati dan nelangsa. Sayangnya, kini justru aku yang sakit hati tiap kali memikirkan ini semua. Mungkinkah benar kata pepatah jika jodoh adalah cerminan diri sendiri? Argh! "Memangnya kenapa kalau Hanin type istri idamanku? Ada yang keliru? Tiap orang memiliki selera yang berbeda
POV : ERIS [Di mana kamu?] Kukirimkan pesan singkat itu pada Fika setelah lima jam kepergiannya nggak ada kabar sama sekali. Dia memang benar-benar keterlaluan. Terlalu sibuk dengan dunianya sendiri sampai tak memikirkan Edo yang sedari tadi menanyakan keberadaannya. Apa selama aku kerja, dia juga sering keluar rumah tanpa anaknya? Apa dia selalu begini sejak dulu? Tak peduli bagaimana perkembangan Edo sehari-hari yang penting dia bisa ke sana-sini? Ya Allah. Aaku telat menyadari semua ini. Sepertinya aku juga tak terlalu jauh dengan Fika. Terlalu sibuk dengan urusanku sendiri."Pa, mama mana kok nggak pulang-pulang? Coba telepon." Entah sudah berapa kali Edo merengek, meraung dan trantum karena mamanya nggak pulang-pulang. Berulang kali pula aku hubungi, tapi nggak pernah diangkat. Kukirimkan pesan pun tak ada balasan. Tania juga sama saja. Dia tak mengangkat panggilanku pun tak membalas pesan yang kukirimkan. "Pa, sudah mau gelap. Kenapa mama belum datang?" Lagi, anak itu meren
"Papa, kita mau jemput mama?" Edo yang duduk di belakang bersama Bi Sri mulai berkomentar. Wajahnya semringah saat aku mengiyakan. Padahal aku sendiri tak tahu kemana perginya Fika. Dia belum kasih kabar juga sampai sekarang. Ingin sekali menanyakan keberadaannya pada anggota geng lainnya, tapi aku nggak punya nomornya. Dia bilang Tania ikut, tapi perempuan itu sama saja tak bisa dihubungi. Seolah kompak membuatku sakit kepala karena kehilangan jejak mereka. "Apa kita ke rumah nenek saja, Pak? Jika di sana, mungkin Mas Edo nggak tantrum lagi. Nanti bapak bisa lanjut mencari ibu." Usul Bi Sri boleh juga.Tapi ... malam ini adalah malam pertama Eros dan Hanin. Apa ibu dan bapak sudah pulang? Jangan-jangan mereka masih di rumah mantan mertuaku itu. Apa sebaiknya aku ke rumah ibu saja, sekalian bertemu Hanin. Kali ini aku ada alasan mau mengantar Edo karena mamanya belum pulang. Senyumku mengembang. Aku ingin tahu apakah Eros sebahagia itu menikah dengan Hanin atau dia merasa risih set