Ibu menuding Om Danang dengan telunjuknya. Aku tahu, sata ini ibu benar-benar murka. Tak pernah kulihat wajah dan sikap ibu segarang ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar jika mereka memiliki masa lalu yang tak pernah kutahu sebelumnya? Mungkinkah Om Danang itu bapak kandungku? Apa ibu pernah menikah dengannya sebelum dinikahi bapak? Berbagai pertanyaan lalu lalang di benak. "Jangan pernah menyebutku egois! Seharusnya kamu ngaca. Siapa yang sebenarnya egois, aku atau kamu!" sentak ibu dengan mata berkaca, tapi suaranya terdengar penuh penekanan. "Jangan bahas masa lalu sekarang, Ni. Aku minta maaf karena sudah meninggalkanmu dalam keadaan hamil dua bulan, tapi-- "Nggak perlu tapi-tapi, Mas. Sebaiknya kamu pergi dari rumahku dan jangan pernah muncul di depan mataku lagi!" usir ibu sembari menunjuk pintu keluar. "Jawab dulu siapa ayah Hanin? Jika aku ayah kandungnya, dia harus mengulang akad nikah itu karena seharusnya aku yang jadi walinya. Pernikahannya-- "Stop! Jangan
Aku memeluk dan mengusap punggung ibu setelah kembali duduk di sampingku. Tak menyangka jika masa lalu ibu sepahit itu. Selama ini ibu memang tak pernah bercerita apapun soal kepahitan hidupnya padaku. Ibu hanya menceritakan soal bapak dengan segala cinta, kesetiaan dan perjuangannya untuk membahagiakan keluarga.Kini kutahu alasan ibu menutupi kenangan pahitnya. Jika memang ceritanya seperti itu, wajar ibu tak mau mengungkitnya atau mungkin sudah mengubur semuanya dalam-dalam. Lagipula buat apa terus diingat. Bukankah masa lalu yang terlalu menyakitkan hati cukup menjadi bagian kenangan usang yang tak harus diingat lagi? Teringat kembali nasehat ibu saat aku memikirkan pernikahan seumur jagungku dengan Mas Eris. "Kalau Allah memanjangkan umurmu, masa depanmu masih panjang ke depan, Hanin. Kamu nggak boleh terus terbelenggu pada masa lalu. Semua yang telah terlewat cukup dijadikan pembelajaran untuk memperbaiki diri dan melakukan sesuatu yang lebih baik lagi. Fokus menata masa kini d
POV : ERIS "Kamu kasih obat apa di makananku, Fik?!" Fika yang masih duduk santai sembari memberi kutek di kuku-kukunya hanya menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan aktivitas sebelumnya. "Kenapa sih, Mas? Obat apa coba? Main nuduh aja. Kamu lihat sendiri dong, aku juga makan sayur dan lauk yang sama. Bisa-bisanya nuduh aku mencelakaimu. Aneh kamu, Mas!" sentak Fika tak mau kalah. Fika melengos begitu saja. Dia benar-benar tak peduli dengan mimik wajahku yang mungkin merah padam menahan emosi. "Halah! Kamu selalu begitu. Aku nggak bakal lupa, gara-gara kamu kasih obat tidur di minumanku sampai sekalipun nggak bisa ikut sidang perceraianku dengan Hanin. Sekarang kamu pasti melakukan hal yang sama sampai perutku sakit begini. Kamu sengaja mencegahku datang ke sana kan? Kamu tambahkan bubuk pencahar perut ke makananku? Ngaku kamu, Fik!" sentakku lagi. Fika tak menoleh. Dia masih saja memandangi kuku-kukunya yang berwarna merah muda itu. "Fika!" Aku mengeraskan volume suara agar Fi
Bodohnya aku! Mungkin Fika memang benar. Bagaimana mungkin aku menyamakan dia dengan Hanin. Mereka berdua jelas sangat berbeda. Bahkan mungkin bagai langit dengan bumi. Hanin yang setia, lembut dan patuh pada suami, sementara Fika sebaliknya. Bodoh! Aku benar-benar bodoh yang masih saja tak menyadari semuanya. Kupejamkan mata perlahan. Eros dan Hanin seolah menertawakanku detik ini. Obrolan dengan Eros waktu itu pun terngiang kembali membuat dadaku kembali terasa sesak. "Apa, Ros? Istri idamanmu seperti Hanin? Aku nggak salah dengar? Jangan gi la kamu!" ucapku kala itu yang pura-pura tak tahu isi hatinya. Padahal aku paham sekali apa yang dia rasa, makanya aku mau menikah dengan Hanin demi membuatnya patah hati dan nelangsa. Sayangnya, kini justru aku yang sakit hati tiap kali memikirkan ini semua. Mungkinkah benar kata pepatah jika jodoh adalah cerminan diri sendiri? Argh! "Memangnya kenapa kalau Hanin type istri idamanku? Ada yang keliru? Tiap orang memiliki selera yang berbeda
POV : ERIS [Di mana kamu?] Kukirimkan pesan singkat itu pada Fika setelah lima jam kepergiannya nggak ada kabar sama sekali. Dia memang benar-benar keterlaluan. Terlalu sibuk dengan dunianya sendiri sampai tak memikirkan Edo yang sedari tadi menanyakan keberadaannya. Apa selama aku kerja, dia juga sering keluar rumah tanpa anaknya? Apa dia selalu begini sejak dulu? Tak peduli bagaimana perkembangan Edo sehari-hari yang penting dia bisa ke sana-sini? Ya Allah. Aaku telat menyadari semua ini. Sepertinya aku juga tak terlalu jauh dengan Fika. Terlalu sibuk dengan urusanku sendiri."Pa, mama mana kok nggak pulang-pulang? Coba telepon." Entah sudah berapa kali Edo merengek, meraung dan trantum karena mamanya nggak pulang-pulang. Berulang kali pula aku hubungi, tapi nggak pernah diangkat. Kukirimkan pesan pun tak ada balasan. Tania juga sama saja. Dia tak mengangkat panggilanku pun tak membalas pesan yang kukirimkan. "Pa, sudah mau gelap. Kenapa mama belum datang?" Lagi, anak itu meren
"Papa, kita mau jemput mama?" Edo yang duduk di belakang bersama Bi Sri mulai berkomentar. Wajahnya semringah saat aku mengiyakan. Padahal aku sendiri tak tahu kemana perginya Fika. Dia belum kasih kabar juga sampai sekarang. Ingin sekali menanyakan keberadaannya pada anggota geng lainnya, tapi aku nggak punya nomornya. Dia bilang Tania ikut, tapi perempuan itu sama saja tak bisa dihubungi. Seolah kompak membuatku sakit kepala karena kehilangan jejak mereka. "Apa kita ke rumah nenek saja, Pak? Jika di sana, mungkin Mas Edo nggak tantrum lagi. Nanti bapak bisa lanjut mencari ibu." Usul Bi Sri boleh juga.Tapi ... malam ini adalah malam pertama Eros dan Hanin. Apa ibu dan bapak sudah pulang? Jangan-jangan mereka masih di rumah mantan mertuaku itu. Apa sebaiknya aku ke rumah ibu saja, sekalian bertemu Hanin. Kali ini aku ada alasan mau mengantar Edo karena mamanya belum pulang. Senyumku mengembang. Aku ingin tahu apakah Eros sebahagia itu menikah dengan Hanin atau dia merasa risih set
"Sayang, sini dong," panggil Mas Eros sembari menepuk-nepuk sebelah tempat duduknya saat aku keluar dari kamar mandi. Aku masih memakai piyama panjang dengan hijab merah muda setelah selesai membersihkan badan. Rasanya masih aneh dan malu jika harus melepas jilbab di depannya. Entah. Aku belum biasa dan semoga saja nanti lekas terbiasa. Aku tahu sekarang statusku bukan lagi ipar dimana dia tak boleh melihat auratku, tapi kini sebagai istri dan dia berhak melihat aurat istrinya. Debar di dadaku kian terasa saat melihat Mas Eros tersenyum melihatku. Meski dengan sedikit gemetar, aku tetap melangkah mendekatinya. Mungkin Mas Eros juga tahu kegugupanku saat ini. Dia tersenyum lalu kembali menepuk sebelahnya agar aku duduk di sana. Kutata degub jantungku yang semakin tak beraturan. Berbagai pertanyaan dan kekhawatiran mulai menyesaki benak. Aku tahu apa yang diinginkan Mas Eros di malam pertama pernikahanku dengannya ini. Namun, aku masih takut dan memilih terdiam di sebelahnya. Aku ta
Adzan subuh berkumandang dengan perkasa. Kubuka mata perlahan. Mas Eros sudah tak ada di sampingku. Aku yakin dia sudah berangkat ke masjid seperti biasanya. Mas Eros memang rajin shalat berjamaah ke masjid. Gegas mandi lalu menjalankan kewajiban untuk shalat subuh. Setelahnya aku beranjak dari kamar untuk membantu ibu memasak seperti biasanya. Keluar dari kamar, ibu sudah duduk santai di kursi makan sembari memotong-motong kentang. "Ibu sudah bangun? Memangnya nggak capek kemarin sibuk seharian?" Aku ikut duduk di samping ibu. Wanita yang sudah melahirkanku 26 tahun lalu itu pun tersenyum tipis lalu menatap wajahku beberapa saat. "Kenapa sih, Bu? Ada yang aneh?" tanyaku sembari meneliti pakaian yang kupakai. "Kenapa rambutnya masih kering?" Ibu kembali tersenyum sedikit menggoda. "Ih ibu ...." Ibu tertawa geli melihat wajahku yang mungkin sudah memerah. "Ibu pengin cucu. Jangan ditunda ya, Nin. Sekarang kan suami pilihan sendiri. Jadi, nggak ada yang perlu khawatir atau takut