Hari ini suasana rumah sudah cukup ramai. Beberapa kerabat dan tetangga mulai berdatangan untuk membantu ibu menyiapkan jamuan. Acara pernikahanku yang kedua ini memang digelar di depan rumah saja. Sederhana, karena aku nggak mau membuang banyak uang untuk mengadakan pesta. Lagipula, ini bukan pernikahanku yang pertama dan aku masih khawatir menjadi bahan gosip banyak orang karena menikah dengan mantan ipar. Untungnya Mas Eros setuju. Dia mengikuti semua permintaanku yang penting mau menikah dengannya, katanya. Tak ada kekecewaan yang kulihat dari sorot matanya saat aku bilang ingin menikah dengan sederhana dan mengundang beberapa tetangga saja. "Aku manut, Nin. Yang penting kamu siap menjadi istriku dan mau menua bersamaku." Kalimatnya beberapa hari lalu membuat wajahku menghangat. Laki-laki itu benar-benar membuat hari-hariku penuh warna. Berbunga dan terasa indah. Detik ini aku masih mematut di depan cermin bersama perias yang sudah disiapkan Mas Eros untuk membantuku tampil be
Apa kedatangan Mas Eris kemarin ke sini setelah dia marah-marah di rumah ibu? Aku kembali mengernyit. Kembali kutatap ibu yang masih tersenyum menatap anak lelakinya. "Dia datang ke rumah jam berapa, Bu?" "Pagi-pagi betul sudah datang. Ibu saja masih sibuk bikin sarapan di dapur. Sepertinya dia juga ribut sama Fika. Entahlah. Ibu suruh mereka berdua pulang. Sakit kepala ibu mendengar pertengkaran mereka." Ibu kembali memijit-mijit kening saat membayangkan keributan kemarin pagi. Berarti benar dugaanku jika Mas Eris ke rumah ibu lebih dulu sebelum menemuiku. Pantas saja wajahnya merah padam saat datang ke rumah. Ternyata dia sudah marah-marah lebih dulu pada ibu dan bapak. "Memangnya ibu bicara apa sama Mas Eris?" "Ibu ungkapkan saja semua rasa yang ibu pendam selama ini. Ibu bilang nggak suka jika dia terus iri sama Eros. Ibu meminta dia untuk menerima takdir masing-masing. Kaya atau miskin, sukses atau nggak, ibu tak pernah mempersoalkannya. Semua sama di mata ibu. Ibu nggak aka
"Alhamdulillah. Ijab qabul sudah dilaksanakan. Gimana para saksi, sah?" Penghulu melirik saksi yang sudah kami siapkan. Keduanya pun saling pandang lalu mengucapkan satu kata yang membuatku tersenyum lega. "Sah." "Alhamdulillah ...." Kedua ibuku mengucap Hamdallah bersama-sama lalu memelukku hangat. "Akhirnya kamu jadi menantu ibu lagi, Nin." Ibu mertua terharu. Kuusap kedua sudut matanya dengan tissu yang kubawa. "Jangan menangis, Bu. Nanti make up ibu luntur." Aku mengopi kalimat ibuku saat di kamar tadi. "Kamu ini, masih saja bercanda di tengah ketegangan begini." Ibu memukul lenganku pelan sembari tersenyum lebar. "Akad nikah kali ini sudah sah ya, Mas Eros, Mbak Hanin. Alhamdulillah kalian berdua sudah sah sebagai suami istri. Jadi, harus sama-sama tahu kodrat suami seperti apa dan kodrat istri bagaimana. Saling menjaga aib satu sama lain dan harus bisa selalu bergandeng tangan di saat suka maupun duka." Mas Eros mengangguk yakin, aku pun melakukan hal yang sama. Tak akan
Ibu menuding Om Danang dengan telunjuknya. Aku tahu, sata ini ibu benar-benar murka. Tak pernah kulihat wajah dan sikap ibu segarang ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar jika mereka memiliki masa lalu yang tak pernah kutahu sebelumnya? Mungkinkah Om Danang itu bapak kandungku? Apa ibu pernah menikah dengannya sebelum dinikahi bapak? Berbagai pertanyaan lalu lalang di benak. "Jangan pernah menyebutku egois! Seharusnya kamu ngaca. Siapa yang sebenarnya egois, aku atau kamu!" sentak ibu dengan mata berkaca, tapi suaranya terdengar penuh penekanan. "Jangan bahas masa lalu sekarang, Ni. Aku minta maaf karena sudah meninggalkanmu dalam keadaan hamil dua bulan, tapi-- "Nggak perlu tapi-tapi, Mas. Sebaiknya kamu pergi dari rumahku dan jangan pernah muncul di depan mataku lagi!" usir ibu sembari menunjuk pintu keluar. "Jawab dulu siapa ayah Hanin? Jika aku ayah kandungnya, dia harus mengulang akad nikah itu karena seharusnya aku yang jadi walinya. Pernikahannya-- "Stop! Jangan
Aku memeluk dan mengusap punggung ibu setelah kembali duduk di sampingku. Tak menyangka jika masa lalu ibu sepahit itu. Selama ini ibu memang tak pernah bercerita apapun soal kepahitan hidupnya padaku. Ibu hanya menceritakan soal bapak dengan segala cinta, kesetiaan dan perjuangannya untuk membahagiakan keluarga.Kini kutahu alasan ibu menutupi kenangan pahitnya. Jika memang ceritanya seperti itu, wajar ibu tak mau mengungkitnya atau mungkin sudah mengubur semuanya dalam-dalam. Lagipula buat apa terus diingat. Bukankah masa lalu yang terlalu menyakitkan hati cukup menjadi bagian kenangan usang yang tak harus diingat lagi? Teringat kembali nasehat ibu saat aku memikirkan pernikahan seumur jagungku dengan Mas Eris. "Kalau Allah memanjangkan umurmu, masa depanmu masih panjang ke depan, Hanin. Kamu nggak boleh terus terbelenggu pada masa lalu. Semua yang telah terlewat cukup dijadikan pembelajaran untuk memperbaiki diri dan melakukan sesuatu yang lebih baik lagi. Fokus menata masa kini d
POV : ERIS "Kamu kasih obat apa di makananku, Fik?!" Fika yang masih duduk santai sembari memberi kutek di kuku-kukunya hanya menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan aktivitas sebelumnya. "Kenapa sih, Mas? Obat apa coba? Main nuduh aja. Kamu lihat sendiri dong, aku juga makan sayur dan lauk yang sama. Bisa-bisanya nuduh aku mencelakaimu. Aneh kamu, Mas!" sentak Fika tak mau kalah. Fika melengos begitu saja. Dia benar-benar tak peduli dengan mimik wajahku yang mungkin merah padam menahan emosi. "Halah! Kamu selalu begitu. Aku nggak bakal lupa, gara-gara kamu kasih obat tidur di minumanku sampai sekalipun nggak bisa ikut sidang perceraianku dengan Hanin. Sekarang kamu pasti melakukan hal yang sama sampai perutku sakit begini. Kamu sengaja mencegahku datang ke sana kan? Kamu tambahkan bubuk pencahar perut ke makananku? Ngaku kamu, Fik!" sentakku lagi. Fika tak menoleh. Dia masih saja memandangi kuku-kukunya yang berwarna merah muda itu. "Fika!" Aku mengeraskan volume suara agar Fi
Bodohnya aku! Mungkin Fika memang benar. Bagaimana mungkin aku menyamakan dia dengan Hanin. Mereka berdua jelas sangat berbeda. Bahkan mungkin bagai langit dengan bumi. Hanin yang setia, lembut dan patuh pada suami, sementara Fika sebaliknya. Bodoh! Aku benar-benar bodoh yang masih saja tak menyadari semuanya. Kupejamkan mata perlahan. Eros dan Hanin seolah menertawakanku detik ini. Obrolan dengan Eros waktu itu pun terngiang kembali membuat dadaku kembali terasa sesak. "Apa, Ros? Istri idamanmu seperti Hanin? Aku nggak salah dengar? Jangan gi la kamu!" ucapku kala itu yang pura-pura tak tahu isi hatinya. Padahal aku paham sekali apa yang dia rasa, makanya aku mau menikah dengan Hanin demi membuatnya patah hati dan nelangsa. Sayangnya, kini justru aku yang sakit hati tiap kali memikirkan ini semua. Mungkinkah benar kata pepatah jika jodoh adalah cerminan diri sendiri? Argh! "Memangnya kenapa kalau Hanin type istri idamanku? Ada yang keliru? Tiap orang memiliki selera yang berbeda
POV : ERIS [Di mana kamu?] Kukirimkan pesan singkat itu pada Fika setelah lima jam kepergiannya nggak ada kabar sama sekali. Dia memang benar-benar keterlaluan. Terlalu sibuk dengan dunianya sendiri sampai tak memikirkan Edo yang sedari tadi menanyakan keberadaannya. Apa selama aku kerja, dia juga sering keluar rumah tanpa anaknya? Apa dia selalu begini sejak dulu? Tak peduli bagaimana perkembangan Edo sehari-hari yang penting dia bisa ke sana-sini? Ya Allah. Aaku telat menyadari semua ini. Sepertinya aku juga tak terlalu jauh dengan Fika. Terlalu sibuk dengan urusanku sendiri."Pa, mama mana kok nggak pulang-pulang? Coba telepon." Entah sudah berapa kali Edo merengek, meraung dan trantum karena mamanya nggak pulang-pulang. Berulang kali pula aku hubungi, tapi nggak pernah diangkat. Kukirimkan pesan pun tak ada balasan. Tania juga sama saja. Dia tak mengangkat panggilanku pun tak membalas pesan yang kukirimkan. "Pa, sudah mau gelap. Kenapa mama belum datang?" Lagi, anak itu meren
"Mas, boleh minta sesuatu?" tanya Hanin setelah terdiam beberapa saat. Eros begitu setia dan bersabar menunggu Hanin bicara. "Minta apapun boleh, Sayang. Apaa yang nggak buat kamu. Asalkan tak menyalahi aturanNya, InsyaAllah aku berusaha mewujudkan." Eros membingkai wajah istrinya lalu tersenyum tipis."Kita kembali ke makam Tania sebentar saja, boleh? Mumpung masih di sini," tanya Hanin dengan mengedipkan mata seolah memohon agar permintaannya dikabulkan. "Boleh." Eros membalas singkat dengan seulas senyum di kedua sudut bibirnya. "Makasih, Mas." Eros mengangguk lagi. Setelahnya membuka sabuk pengaman Hanin dan mengajaknya turun dari mobil. Sepasang suami istri itu kembali ke tempat semula. Mereka berdiri di depan sebuah makam yang telah berwarna-warni dengan taburan bunga. Hanin dan Eros jongkok di depan makam itu seperti yang dilakukannya beberapa menit lalu. Bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya saat mengusap nisan putih itu. Tania Putri Salsabila binti Danang Saputro.
"Hanin, Eros, kalian di sini?" tanya Delima saat melihat Hanin dan Eros di depan makam Tania. Hanin yang masih memejamkan mata sembari merapalkan doa pun mendongak. Dia menatap Delima yang sudah berdiri di sampingnya."Tante Delima ...." Hanin beranjak dari tempatnya berjongkok lalu menyalami Delima, sementara Eros sedikit membungkuk sebagai pengganti jabat tangan. Eros belajar banyak dari Hanin yang tak mau bersentuhan dengan non mahram. "Maafkan saya yang baru datang ke pemakaman Tania, Tante," lirih Hanin setelah kedua perempuan itu mengurai pelukan. Delima mengusap lengan Hanin pelan lalu menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Nin. Tante tahu kamu baru saja melahirkan. Pamali kalau datang ke pemakaman sebelum masa nifas usai. Hanin mengangguk sembari tersenyum tipis menatap Delima yang berkaca. "Om Danang nggak ikut, Tante?" tanya Hanin setelah menyadari jika Delima datang sendirian ke pemakaman ini. "Papanya Tania ke kantor, ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kebetulan T
[Assalamualaikum, Bu. Gimana keadaan Tania sekarang?]Sudah tiga kali Hanin mengirimkan pesan yang sama pada ibunya, tapi sampai saat ini belum ada balasan apapun. Eros juga sudah menelepon Eris, tapi tak diangkat bahkan pesannya pun belum dibaca. Hanin dan Eros tak tenang. Mereka curiga ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada Tania, tapi tak mungkin pergi sekarang karena Arkana baru saja aqiqah dan masih ada beberapa tamu di rumah. "Gimana, Mas?" tanya Hanin pada Eros yang baru masuk ke kamar mereka. Eros menggeleng pelan lalu mengusap lengan istrinya. "Nggak apa-apa, Sayang. Mungkin ibu sama Eris masih menjaga orang tua Tania. Jadi, mereka nggak sempat membuka handphone. Nanti kalau sudah longgar pasti menghubungi kita," ucap Eros dengan senyum tipisnya. Dia berusaha menenangkan Hanin yang terus gelisah. "Eros benar, Nin. Kamu tenang saja. Nanti ibu juga telepon," ucap Desy, kakak iparnya yang masuk kamar sembari menggendong Arkana. Desy tersenyum lalu menidurkan Arkan di
"Tania? Mana Tania, Del?" tanya Yuningsih mengikuti pandangan Delima ke area jalan raya. "Itu, Mbak. Dia tersenyum menatapku," balas Delima lagi. Salah satu jemarinya kembali menunjuk ke arah jalan. "Nggak ada, Del. Tania sudah pergi. Dia kembali ke pangkuanNya, Del. Ikhlaskan kepergiannya ya, supaya dia juga bisa tenang di sana." Yuningsih mengusap lengan Delima lalu kembali memeluknya. "Tania masih ada, Mbak. Dia bilang akan mengajakku dan Mas Danang jalan-jalan ke taman kota. Dia pasti sudah menunggu di rumah kan?" lirih Delima lagi. Air matanya masih bercucuran. Delima benar-benar belum bisa menerima kenyataan jika Tania telah tiada. Delima merasa jika anak angkatnya itu masih ada bersamanya bahkan kini menunggunya di rumah. Berulang kali Yuningsih menjelaskan, berulang kali pula Delima bersikukuh dengan ucapannya. "Tante, Tania sudah pergi. Om dan papa masih mengurus jenazahnya. Nanti kita makamkan bersama ya? Tak apa jika sekarang Tante belum bisa menerima ini semua, tapi k
Dokter Erwin keluar dari UGD. Dia mencari keluarga pasien yang ditanganinya saat ini. Danang dan Delima yang berada tak jauh dari ruangan itu pun saling tatap lalu buru-buru beranjak dari kursi. Mereka melangkah tergesa menghampiri sang dokter. Keduanya tak sabar ingin mendengar penjelasan dokter tentang keadaan Tania saat ini. "Keluarga pasien Tania?" tanya Dokter Erwin saat Danang dan Delima sampai di dekatnya. Sepasang suami istri itu mengangguk bersamaan. "Benar dokter. Kami orang tua Tania. Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" tanya Delima sedikit terbata. Dokter Erwin menghela napas panjang lalu menatap Danang dan Delima dengan sorot mata berbeda. Ada mendung di kedua matanya. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak, Bu, tapi Allah berkehendak lain," ucap dokter lirih, tapi cukup jelas terdengar. Delima shock. Dia tak sanggup mendengarkan ucapan dokter selanjutnya. Wanita itu menangis histeris. Tubuhnya lemas dan luruh di lantai begitu saja. Danang yang berada di samping
"Ya Allah Tania kenapa, Tante? Padahal tadi tampak bersemangat dan ceria. Kenapa mendadak seperti ini?" Hanin kembali gugup dan terkejut melihat perubahan drastis perempuan di sampingnya. Tania benar-benar tampak lemas dan tak berdaya. "Tania memang begitu, Nin. Dia selalu berusaha kuat dan baik-baik saja makanya selama ini Tante dan Om juga nggak tahu kalau sakitnya sudah separah ini. Dia pintar menyembunyikan semuanya dan tak ingin melihat orang lain kerepotan." Delima mengoles minyak angin di kening Tania, tapi tak ada efek apapun karena Tania tetap terdiam."Maafkan kami, Nin. Kami harus bawa Tania ke rumah sakit," ujar Danang kemudian.Hanin mengiyakan dan mendoakan yang terbaik untuk Tania. Eros dan Eris pun ikut membantu Danang membawa Tania ke mobilnya. Ahmad, Yuningsih dan Eris ikut mengantar Tania ke rumah sakit. Sementara Rukmini dan Eros tetap di rumah menemani Hanin. Bahkan Hana pun ingin menginap di rumah sahabatnya itu."Semoga Tania baik-baik saja," lirih Hanin saat m
Hari ini acara syukuran kelahiran Arkana Bima Atharrazka, anak pertama Hanin dan Eros. Bayi mungil itu tampan dan lucu. Dia begitu menggemaskan, membuat kedua orang tuanya semakin bahagia. Saat ini, dua keluarga berkumpul di rumah Eros, termasuk keluarga kakaknya Dani dari Semarang dan adiknya perempuannya, Ayu. Sejak pernikahan Eros dan Hanin, apalagi setelah Fika masuk penjara, Ayu tak kembali ikut campur masalah Hanin. Mungkin dia malu atau tak enak hati jika terus menghina kakak iparnya itu, apalagi setelah dia tahu jika ternyata kedua kakak kembarnya mencintai orang yang sama. Mereka sama-sama menyukai Hanin, perempuan yang selama ini dibenci dan selalu dihinanya. Bukan tanpa alasan Ayu selalu menyudutkan Hanin di setiap waktu dan kesempatan. Dia selalu berpikir jika Hanin tak pantas menjadi bagian dari keluarganya. "Selamat ya, Nin. Semoga jagoan kecil ini bisa menjadi anak yang shaleh dan sukses dunia akhirat. Mbak mendoakan yang terbaik buat kalian." Desy, istri Dani yang k
Waktu terus bergulir dan kini hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Hanin mulai kewalahan dengan perutnya yang membesar dan cukup susah untuk digerakkan. Dia sering begadang tiap malam karena susah tidur. Entah mengapa mata susah diajak kompromi. Rasanya nggak nyaman. Miring susah, terlentang nggak enak dan nggak mungkin tengkurap juga kan?Sudah tiga hari belakangan Eros tak memeriksa cafe maupun bisnis ekspedisinya. Dia ingin fokus mengurus dan menemani Hanin jika melahirkan sewaktu-waktu. Eros tak ingin kehilangan momen penting dalam hidupnya. Dia benar-benar berharap bisa menemani dan memberi dukungan pada Hanin saat persalinan nanti. "Istrimu lama sekali di kamar mandi, Ros. Cek sana. Ibu takut dia kepleset atau kenapa-kenapa. Perutnya sudah segede itu soalnya." Rukmini baru saja memerintah. Tak selang lama, suara Hanin dari kamar mandi membuat menantu dan mertua itu shock seketika. "Hanin!" teriak keduanya bersamaan lalu buru-buru lari ke kamar mandi. Benar kata Rukmi
"Hamil?" Hanin menggumam. "Mungkinkah aku hamil? Secepat itu?" lirihnya lagi seolah tak percaya jika dia bisa hamil secepat itu. Rasanya seperti tak mungkin, tapi jika iya, tentu dia sangat mensyukurinya. Hanin buru-buru mencuci muka lalu membuka pintu kamar mandi. Eros sudah menunggu di sana dengan ekspresi cemas. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" ucapnya sembari membingkai wajah Hanin dengan kedua telapak tangan. Hanin tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja ya? Mungkin karena kebanyakan minum air putih saja tadi makanya mual begini." Lagi-lagi Hanin mengusap punggung tangan Eros yang masih menempel di pipinya. "Syukurlah kalau begitu. Kita ke dokter saja ya? Bisa jadi mual-mualmu ini bukan mual sembarangan." "Maksudnya?" Hanin mengernyit. "Iya, mual karena hamil. Coba kamu ingat-ingat, telat nggak datang bulannya?" Eros merangkul sang istri lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah. Hanin pun berusaha mengingat tanggal haid bulan