Dengan langkah tertatih akhirnya aku sampai di balik pagar tembok depan rumah. Iya, aku memutuskan untuk keluar dari neraka ini meski rasa di dalam sini bercampur aduk. Jantung dari tadi tidak berhenti berdentum dan berasa hampir lompat dari tempatnya.
Aku segera menghubungi Ani setelah memastikan kondisi di rumah ini benar-benar aman dan seluruh penghuninya sudah tertidur lelap.Tidak mudah. Bahkan hampir berkali-kali aku mencoba menghubungi nomer teman sekaligus tetangga dekat rumah. Aku tahu karena aku menghubungi Ani pada saat orang-orang sedang tertidur lelap. Hampir pukul 1 dini hari. Hingga akhirnya pada panggilan yang kesekian itu, akhirnya Ani segera membalas pesan dariku.Aku sengaja meninggalkan pesan agar ia mengirim pesan saja agar tidak terdengar suara yang tentunya akan berakibat menimbulkan kecurigaan mas Jimmy dan keluarganya."Ada apa, Kar? Tumben malam-malam gini kamu menghubungi?""Ani tolong, Aku.""Bantu aku keluar dari sini.""Kar, kamu baik-baik saja kan?""Oke, aku segera datang ke sana.""Aku tunggu di balik dinding pagar."Selesai berkirim pesan. Aku segera mencari cara bagaimana agar aku bisa keluar dari rumah ini secara pagar rumah pun sengaja dikunci oleh mas Jimmy.Tapi tunggu. Bukannya tadi ia buru-buru menarik ku masuk ke dalam rumah dan memang sepertinya ia belum sempat untuk mengunci pintu pagar depan.Semoga pertolongan segera datang.Aku berjalan mengendap-endap sebisa mungkin jangan sampai mengeluarkan suara yang membuat curiga. Semoga mereka sudah tertidur lelap.Setelah bersusah payah. Akhirnya aku sampai di depan pagar. Dengan berhati-hati aku mengecek kunci pada pintunya. Dsn syukurlah pintu pagar memang tidak dikunci karena suamiku yang lupa.Aku bisa bernapas lega.Segera aku keluar dari pintu pagar yang untungnya bertepatan dengan Nia dan juga suaminya baru saja sampai di depan rumahku."Ya ampun Sekar ...." Aku segera membekap mulut Ani. Aku takut suaranya itu bisa menimbulkan kecurigaan. Ani masih belum percaya dengan kondisiku saat ini."Ma, cepat ayo kita bawa Sekar dulu!" Dari dalam mobil. Mas Ali suami Ani menyeru pada istrinya agar segera membawa aku untuk cepat masuk ke dalam mobil milik mereka.Tidak menunggu lama, akhirnya aku sampai di rumah mereka.Setelah mobil benar masuk ke dalam. Pagar rumah ini segera di kunci dari dalam oleh suami Ani."Kamu istirahat dulu di sini." Aku mengangguk. Aku dibawa oleh Ani ke dalam satu ruangan kamar."Mas, minta tolong ambilkan kotak obat!" seru kawanku ini pada suaminya.Ani sebenarnya memiliki seorang anak. Sayangnya anak satu-satunya itu harus tinggal terpisah dan ikut kakek neneknya dari pihak suami Ani karena kebetulan juga suami Ani juga Ani tunggal."Kamu kok bisa sampai seperti ini si Sekar? Ke**at banget suamimu itu. Aku yakin ini pasti ulah dia, kan?" Aku mengangguk. Karena memang itulah kenyataannya."Kamu kok sampai bisa kepikiran untuk kabur. Kenapa gak dari dulu saja? Nunggu kesakitan seperti ini dulu baru sadar?" Aku merintih kesakitan karena kompres-an air es yang dilakukan Ani untuk mengobati lukaku.Tidak berselang lama mas Ali datang dengan membawa satu kotak berwarna putih dan minuman di tangannya."Minum dulu mbak Sekar.""Terimakasih, Mas." Aku segera meneguk susu hangat yang disuguhkan hingga tidak bersisa."Kar, kamu lapar?" tanya Ani mungkin karena keheranan melihat tingkah ku.Aku cengar-cengir. "Iya, An. Apa boleh aku numpang makan di rumah kalian?" tanyaku sungkan. Sungguh kejadian memalukan ini baru pertama kali dalam hidupku. Meminta makanan seperti orang kelaparan yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya seumur hidupku. Sebelum hidup bersama dengan mas Jimmy hidupku bagai seorang yang diratu kan. Tidak pernah olehku kekurangan suatu apapun."Ya ampun, Kar. Tentu saja boleh. Bentar aku ambilkan nasi dulu. Kamu tunggu ya, aku mau panasin dulu sayur dan lauknya." Aku mengangguk patuh seperti anak kecil.Selang beberapa menit, Ani datang lagi dengan sebuah nampan dibatas tangannya."Kamu makan yahh banyak biar tenagamu pulih kembali. Besok kamu harus cerita. Aku tinggal lanjut istirahat dulu ya. Kamu juga habis makan harus cepat istirahat. Kamu masih punya hutang cerita sama aku."Setelah membawakan makanan untuk aku. Ani lantas berpamitan untuk kembali melanjutkan istirahatnya yang sudah aku ganggu.Aku menatap makanan di atas nampan ini dengan berderai air mata. Seperti inilah nasibku saat ini. Bagaimana juga dengan kabar putraku Yusuf yang sudah aku tinggalkan itu. Meski selama ini aku tidak bisa dengan dengan darah dagingku sendiri. Nyatanya hubungan darah dan ikatan batin sangatlah kuat."Semoga kamu baik-baik di sana, Nak. Maafkan Mama karena sudah tega membiarkan kamu sendiri. Semoga Papamu dan nenekmu berlaku baik sama kamu, Sayang."**"Pagi, Kar? Bagaimana dengan istirahatnya? Apa kamu sudah baikan." Ani menyambut ku. Aku sengaja bangun lebih pagi dengan tujuan ingin membantu pekerjaan Ani juga karena sudah menjadi rutinitas ku setiap hari selama lima tahun tinggal bersama dengan keluarga mas Jimmy. Bagiku pekerjaan baru karena sebelumnya aku tidak pernah melakukannya di rumah orang tuaku."Pagi juga, An. Aku sudah lebih mendingan." Aku berniat membantu Ani membersihkan cucian yang ada di wastafel."Kamu istirahat saja, Kar. Biar aku kerjakan nanti." Ani masih melanjutkan menyeduh dan mengaduk minuman yang baru saja ia tuangkan air panas di dalamnya."Gak apa-apa, An. Malah sakit semua kalau gak bergerak." Aku melanjutkan menuangkan sabun cair pada wadah yang ada di samping wastafel."Kar, bagaimana ceritanya kamu sampai bisa seperti ini?" Ani menoleh ke arahku.Aku masih melanjutkan pekerjaanku. "Aku sendiri juga bingung mau mulai dari mana. Yang jelas kemarin itu aku pulang dari kantor langsung dihadang sama mas Jimmy. Dia bilang aku kelayapan, malam baru sampai rumah. Padahal aku di kantor nunggu dia sampai berjam-jam tapi dia juga tidak muncul-muncul. Aku hubungi juga tidak aktif nomernya. Tapi dia tetap tidak mau disalahkan karena alasannya dia baru saja makan malam bersama dengan keluarganya itu. Yang katanya untuk merayakan ulang tahun ibunya itu.Bukan hanya mas Jimmy tapi ibu mertua juga ikut menyerang karena aku yang tidak punya perasaan tidak memberikan kado juga tidak menyiapkan kejutan untuknya.""Dasar keluarga gi**. Memang mereka semua sudah gak waras. Dan bisa-bisanya seorang Sekar bisa hidup dan bertahan bertahun-tahun dengan manusia-manusia tidak punya otak seperti keluarga suamimu itu!" Ani nampak murka usai mendengar cerita dariku."Tapi aku bersyukur karena kamu sudah berhasil keluar dari neraka itu." Lanjutnya."Tapi aku belum bisa tenang, An. Karena anakku masih ada di sana.""Kamu tenang saja. Yang terpenting kamu sudah bisa keluar dari sana. Nanti kita bantu cari jalan keluar untuk putramu itu. Selanjutnya kamu mau bagaimana?""Aku juga belum kepikiran apa-apa, An," ucapku pasrah karena memang belum terbesit ide apapun untuk melakukan langkah selanjutnya yang harus aku tempuh."Apa tidak sebaiknya kamu kembali pulang ke rumah orang tuamu. Kamu jelaskan pada mereka siapa tahu mereka juga masih mau menerima kamu dan juga alasan kenapa kamu sampai tega meninggalkan mereka hanya demi seorang pria lak**t.""Mas, kenapa kamu kaya orang dikejar se**n gitu?" Aku dan Ani bersamaan menoleh ke arah pintu ruang tengah di mana mas Ali sepertinya baru pulang membeli nasi uduk untuk sarapan kami karena kata Ani sengaja tidak masak untuk sarapan hari ini.Mas Ali segera meletakkan kantong kresek pada meja dan menarik salah satu kursi meja makan ini."Kar, Aku tali lihat si Jimmy sepertinya sedang nyariin kamu." Aku dan juga Ani tentu saja terkejut dengan pernyataan yang baru saja disampaikan oleh suami kawanku ini."Yang benar, Mas?" "Kar, kamu harus hati-hati dulu pokoknya. Sepertinya mereka akan terus mencari kamu. Mencari mesin ATM mereka. Pasti sekarang ini mereka sedang kebakaran jenggot karena kamu tidak ada di rumah. Tidak ada yang mereka manfaatkan.""Iya, Kar. Untuk sementara kamu sembunyi di rumah ini dulu. Nanti kamu pikirkan mau cari tempat aman di mana. Pasti aku dan Ani bantu kamu sebisa kami.""Benar kata mas Ali, Kar. Tapi saranku lebih baik kamu pulang ke rumah orang tua kamu saj
S**l! Pergi kemana juga di Sekar ini. Sudah satu Minggu juga kita muter-muter nyariin gak juga ketemu. Awas saja kalau sampai ketemu. Akan aku pa***kan kaki dan tangannya biar tahu rasa."Kamu sih, gara-gara lupa kunci pintu pagar. Coba kalau kemarin itu kamu gak ceroboh pasti kita tidak akan kacau seperti ini.""Ibu jangan bisanya nyalahin saja. Namanya juga manusia pasti punya lupa. Kalau aku lupa harusnya ibu bantu ngecek juga."Sudah capek dan juga pusing gara-gara Sekar kabur dari rumah. Ini maksud ditambah punya ibu yang cuma bisa nyalahin anaknya."Mending kita jalan-jalan dulu, Jim. Ibu pusing kalau di rumah terus. Uang Sekar di ATM juga masih ada, kan? Ibu mau makan kepiting yang besar. Lama ini gak makan makanan mahal itu." Ibuku tiba-tiba saja memintaku untuk mengajaknya jalan-jalan. Setelah menikah dengan Sekar. Aku selalu memanjakan ibu dan juga adikku. Tentunya itu semua bisa aku lakukan karena adanya uang dari Sekar yang seluruhnya ada di tanganku. Tidak pernah aku izi
Akhirnya aku sampai juga di rumah orang tuaku. Rumah masa kecilku. Tempat di mana aku dilimpahi kasih sayang dan juga cinta dari keluargaku.Awalnya kedatanganku disambut dengan tatapan dingin oleh orang tuaku. Terlebih Abi yang melihat perubahan drastis dari putrinya ini. Iya, semenjak aku menjadi istri nas Jimmy, dia sangat melarang ku dekat dengan ajaran dan jug aturan agama termasuk beribadah dan juga cara berpakaian ku. Aku yang semula mengenakan baju gamis dan juga hijab dirubahnya menjadi wanita yang harus menonjolkan anugerah yang sudah diberikan tuhan kepadaku.Mendengar ceritaku juga cerita pendukung dari Ani dan suaminya. Sontak mimik wajah Abi ku berubah drastis. Yang semula dingin menjadi merah padam. "Dasar ba****an. Akan aku buat pelajaran dengan si ke****t itu. Dia sudah tega merubah putri kita. Abi juga yakin kalau Sekar memang sengaja sudah diguna-guna sama keluarga lak**t itu!" Abi ku memuntahkan emosinya. Meski belum sepenuhnya menerima kepulanganku setidaknya ada
"Bagaimana, Dam? Apa ba****an itu sudah kamu temukan?" Abi sedang menerima telepon dan sepertinya itu adalah panggilan dari putra sulungnya yakni Kakakku---mas Adam." ... ""Pokoknya kamu cari dia sampai ketemu. Tangan Abi sudah tidak sabar ingin mematahkan leher baji**an itu." Aku bisa melihat mimik wajah Abi yang berubah mungkin karena berita yang ia dapatkan dari mas Adam tidak memuaskan.Kami bertiga tengah duduk di teras samping rumah ini. Di mana tempat ini adalah tempat favorit untuk keluarga karena di tempat ini pula kami sering menghabiskan sore dengan menikmati aneka warna dan juga macam bunga yang ditanam oleh Umi dan juga sungai buatan yang sengaja dibangun untuk menambahkan kesan sejuk dan seperti nuansa di alam terbuka. Suara gemericik aliran sungai pun bisa menenangkan pikiran."Abi sudah putuskan akan membawa kamu untuk pergi ke pesantren. Kamu setuju atau tidak. Kamu harus mengikuti perintah Abi. Ini juga demi kesembuhan kamu. Abi juga tidak mau kamu masih dalam peng
"Jim, sudah kamu siapkan uang maharnya untuk Ki Ageng?" Saat ini aku dan keluargaku berada di perjalanan menuju tempat Ki Ageng. Untuk anakku, sengaja tidak kami bawa. Yusuf aku titipkan di tempat yang aman."Iya, nanti kita cari mesin ATM yang terdekat saja, Bu.""Mas jangan lupa, Aku juga." Jihan, adikku juga ingin mengikuti jejakku. Adikku satu-satunya ini juga telah memiliki pria incaran yang katanya seorang pengusaha tambang. Meskipun pria incarannya itu sudah memiliki keluarga. Jihan tetap bersikukuh ingin mendapatkan pria tersebut. Karena sudah jelas rintangan yang akan ia hadapi. Maka dengan cara halus seperti yang aku lakukan pada Sekar yang akan menjadi jalan keluarnya.Aku dan ibuku tidak keberatan dengan keinginan dan juga keputusan adikku. Toh itu juga demi kebahagiaannya. Siapapun pasti ingin anak dan juga saudaranya bisa hidup enak dan juga mapan."Iya." Tanpa pikir panjang aku mengiyakan permintaan adikku itu. Toh, kalau dia hidup enak pasti aku dan juga ibu bakalan ke
"Kita mau kemana ini, Jim?" tanya ibuku.Iya, kami baru saja sampai dan kembali dari kota asal kami tinggal dulu. Aku sengaja tidak langsung mengarahkan mobil ini menuju jalan pulang. Aku mau menjemput Yusuf yang sudah tiga harian ini aku titipkan pada orang."Kan, masih siang?" "Sekalian saja, Bu. Kasihan juga sudah tiga hari dia ikut sama orang.""Iya, biarin saja, lah Mas. Nanti duitnya dipotong loh." Ibu dan adikku sepertinya keberatan dengan niatku yang ingin menjemput putraku sendiri itu."Pokoknya kalian ikut saja, lah. Tiga hari juga sudah lumayan hasilnya. Besok-besok kan masih ada hari lagi." Aku tidak memedulikan keduanya. Kasihan juga anak itu terlalu lama ikut orang asing terlebih harus bersahabat dengan debu dan asap kendaraan, belum juga sengatan sinar matahari yang panasnya bisa sampai menusuk ke dalam kulit."Tersebut kamu saja, lah. Pokoknya nanti kalau sudah sampai di rumah. kamu urus sendiri itu anakmu. Ibu capek. Pokoknya hari ini ibu mau tidur jangan ada yang me
Di rumah orang tua Sekar."Bi, Sekar beberapa hari ini terlihat aneh. Sekar sering mengeluh pusing dan mual pada jam-jam tertentu. Perasaan Umi kok jadi tidak enak. Apa mungkin si Jimmy ini masih menganggu Sekar." Bu Siti, ibunya Sekar mengadukan apa yang terjadi dan dialami oleh putrinya itu pada suaminya."Sekarang Sekar di mana?" "Sekar ada di kamarnya. Kamarnya dikunci dari dalam. Umi panggil beberapa kali gak ada jawaban dari dalam."Mendengar penjelasan dari istrinya sontak Abi Sekar berubah panik. "Mi, lebih baik kita segera bawa Sekar ke pesantren. Biar di sana Sekar bisa mendapatkan pengobatan. Biar pengaruh buruk itu lekas musnah dari diri putri kita.""Kalau itu yang terbaik untuk putri kita. Lebih baik kita cepat-cepat bawa Sekar sekarang juga, Bi. Umi panggil Adam dulu buat bantuin buka pintu kamarnya Sekar. Kita dobrak saja karena tidak ada sahutan dari dalam kamar Sekar."Bu Siti lekas mencari putra sulungnya karena hari masih pagi kemungkinan sang putra masih merasa
"Bu, ayo cepat. Sudah mendukung hampir turun hujan ini!" Jimmy bersiap untuk menjemput putranya."Mas, aku juga mau ikut." Jihan yang baru saja pulang juga ingin ikut serta ibu dan juga kakaknya"Ngapain kamu mau ikut? Kamu saja baru pulang.""Aku bosan sekalian kita keluar cari makan. Sekarang giliran aku yang akan terakhir kamu dan ibu.""Banyak uang kamu, Ji?" celetuk Bu Wati yang baru saja muncul dari dalam rumahnya."Pasti dong, Bu. Ternyata usaha kita ke Ki Ageng kemarin dan juga pengorbanan ku tidak sia-sia.""Siapa pria itu? Kaya gak? Pengusaha atau pekerja kantoran?" tanya Bu Wati semangat. "Pengusaha, Bu. Dia juga punya toko emas. Tapi sayang suami orang.""Halah, itu gak usah kamu pikirkan. Yang terpenting kamu bisa dapatin dia dan uangnya. Kalau masalah istri atau keluarga nya itu bisa dipikirkan belakangan.Lihat mas mu itu. Buktinya dia bisa membuat Sekar menjauh dari keluarganya sendiri." Seorang ibu yang seharusnya mengarahkan anak-anaknya untuk melangkah di jalan yan
Beberapa tahun kemudian."Mas, kamu nggak narik hari ini?" Maya menghampiri Jimmy, pria yang sudah dua tahun ini menikahinya."Aku nariknya siangan saja, May," jawab Jimmy yang masih memeluk bantalnya. "Mas kamu jangan malas-malasan, Mas. Aku bentar lagi juga mau lahiran." Maya masih terus membujuk suaminya untuk bekerja. Seperti biasa, Jimmy terkadang menjadi pria yang bertanggung jawab tak jarang juga ia menjadi pria pemalas yang menyebalkan.Awal cerita pertemuan Jimmy dan Maya, keduanya di pertemukan di sebuah warung makan pinggir jalan yang mana warung tersebut adalah milik Maya.Maya merupakan seorang janda dengan dua orang anak yang ditinggal mati oleh suaminya.Semenjak kepergian Bu Wati sudah tidak ada lagi yang mengurusi urusan makanan Jimmy. Karena hanya tinggal seorang diri. Jimmy lebih memilih membeli makanan matang dan langsung menyantapnya."Iya bawel. Aku masih ngantuk. Sudah sana kamu urusi warung kamu jangan malah kamu tinggal-tinggal." Jimmy justru mengusir istriny
Bu Wati terus meratapi kepergian dari putrinya tersebut. Hingga waktu begitu cepat berlalu.Enam bulan sudah Bu Wati menjalani hari-harinya di lembaga pemasyarakatan dan bertepatan pula dengan empat puluh hari kepergian sang putri akhirnya ia dibebaskan dan bisa menghirup udara bebas.Bu Wati bingung harus kemana. Untuk menemui Jimmy pun ia hanya diberikan waktu yang terbatas. Bu Wati melihat kejanggalan pada putranya itu. Jimmy nampak seperti kehilangan semangat hidupnya. Tubuh putra sulungnya itu nampak lebih kurus dengan rambut yang dicukur plontos."Jihan, kenapa kamu ninggalin ibu," desis Bu Wati sambil mengelus baru nisan bertuliskan nama putrinya di atas sana. Jihan sengaja dimakan di pemakaman umum.Wanita paruh baya itu terus menghapus air matanya yang mengalir di atas pipinya.Bu Wati masih berpikir mencari tempat singgah untuk dirinya karena jika harus menunggu dan berharap pada Jimmy ia harus masih menunggu lama. Sedangkan dia juga harus berjuang untuk bertahan hidup.Ber
"Mata kamu gak lihat!" bentak Bu Wati sambil melotot ke arah piring yang sudah tergeletak di atas lantai dan kesal karena makanan jatah untuknya jatuh berserakan."Makanya jalan yang hati-hati. Sudah tua sih, jadi susah gerak cepat. Di sini di tuntut serba cekatan bukannya lemot, Nek!" cibir perempuan yang sudah sengaja menyenggol Bu Wati."Nek ... nek ... kamu kira aku nenek kamu!""Aku juga ogah punya nenek mirip Mak lampir.""Bu, ayo jangan cari ribut. Ini makannya sama aku saja. Nanti malah kita tambah susah kalau ibu terus melawan." Jihan berusaha memberikan pengertian pada ibunya agar mereka lebih untuk memilih mengalah dari pada memperpanjang urusan."Ibu kesal. Masa iya mereka itu yang sengaja nyenggol tangan ibu buat piring ibu itu jatuh." Bu Wati kesal dan belum bisa terima. Jihan masih terus berusaha membujuk ibunya agar memilih untuk menghindari para pembuat onar. Jihan menarik ibunya untuk menepi agar berjarak dengan mereka-mereka yang sengaja ingin membuat rusuh.**"He
Atas segala yang sudah dilakukan itu Jimmy dan keluarganya, kini mereka telah mendapatkan hukuman dari pengadilan. Hakim telah menjatuhi vonis kasus KDRT, tindakan kurang menyenangkan dalam hal melakukan guna-guna pada Sekar yang membuatnya berada di luar kesadaran, juga atas tuduhan tindaka penculikan anak. Jimmy mendapatkan hukuman kurang lebih lima belas tahun kurungan penjara. Sementara Bu Wati dan juga Jihan hanya mendapatkan hukuman ringan yakni kurungan penjara selama enam bulan."Tidak! Kami tidak bisa terima!" jerit histeris Bu Wati setelah mendengar putusan dari hakim. "Sekar! Ini semua karena kamu! Aku sumpahi hidupmu tidak akan bahagia! Keluarga mu akan hancur dan bangkrut agar kalian bisa merasakan hidup menderita!" sumpah serapah Bu Wati teriakkan sebelum dirinya dibawa oleh dua polisi perempuan yang bertugas."Kamu yang kejam dan kamu yang tidak punya perasaan. Sumpah ibu tidak akan pernah berlaku kecuali semua berbalik pada keluarga ibu sendiri." Sekar sama sekali ti
Polisi akhirnya berhasil masuk ke dalam rumah namun nihil, mereka tidak mendapati keberadaan Yusuf, bayi dua tahun tersebut berada di rumah itu."Kosong. Tidak ada bayi ataupun anak kecil yang dimaksud." Ucapan dari salah satu polisi yang baru saja selesai memeriksa ke dalam rumah tersebut membuat Bu Wati dan juga Jimmy saling menatap. "Bagaimana bisa? Sudah dicari ke seluruh ruangan?" "Sudah, Ndan. Tapi memang tidak ada. Kosong.""Pak pasti dibawa lari salah satu dari mereka," sahut Sekar yang tiba-tiba saja sudah datang bersama dengan kakak dan juga Abi-nya."Masih ada satu lagi anggota mereka. Perempuan usianya dua puluhan," lanjut Sekar memberikan keterangan."Baik. Kami akan segera melakukan pencarian dan pengejaran." Rona kekhawatiran nampak di wajah Bu Wati dan juga Jimmy."Sekar apa-apaan kamu?" sentak Jimmy yang masih dalam pengawasan polisi."Kamu yang apa-apaan. Kamu tega menculik darah daging kamu hanya untuk kamu tukar dengan uang! Dasar kalian mata duitan. Mau hidup se
"Sekar kamu mau kemana?" tanya Bu Siti, Uminya Sekar yang melihat putrinya terburu-buru untuk segera keluar rumah. "Umi, pak Totok baru saja ngabarin kalau si Ida pingsang di tengah jalan," terang Sekar dengan rona penuh kekhawatiran."Terus si Yusuf-nya bagaimana? Ida kan tadi keluar sambil ngasuh si Yusuf?" Bu Siti tidak kalah khawatirnya dengan sang putri."Pak Totok masih cari Yusuf di bantu beberapa warga, Mi. Mas Adam dan Abi juga sudah meluncur ke jalan setelah dikabari juga sama pak Totok.""Umi mau ikut kamu Sekar. Umi juga kepingin lihat kondisinya si Ida."***"Apa kamu gak ketahuan, Jim?" Bu Wati segera mengambil alih Yusuf yang tertidur dalam gendongan Jimmy."Gak ada, Bu. Pas tadi suasana lagi sepi. Gak sia-sia Jimmy pulang-pergi ke sana buat bisa baca situasi.""Untung saja, Jim. Ibu dari tadi sudah khawatir banget sama kamu. Mana sekarang kamu gak bisa dihubungi." Ponsel keluaran terbaru milik Jimmy sengaja ia jual untuk bisa menyambung hidup. Untuk kembali lagi ke ko
"Yusuf," desis Jimmy saat melihat putranya baru saja turun dari tangga bersama dengan pengasuhnya. Jimmy masih tidak bisa percaya jika keberadaan sang putra sudah berada di dalam pengasuhan ibu kandungnya. Jimmy semakin khawatir akan posisinya. Di sisi lain ia juga tidak ingin kehilangan Sekar dan juga Yusuf. Lebih tepatnya tidak ingin kehilangan kenyamanan hidup yang selama ini ia jalani dan rasakan."Jadi, Kamu yang selama ini menculik Yusuf!" tuduh Bu Wati yang juga terkejut melihat keberadaan cucu yang ia cari ternyata sudah bersama dengan ibunya."Apa kalian tidak salah ucap? Mana ada yang namanya ibu menculik anak kandungnya sendiri. Darah dagingnya sendiri. Yang ada kalian nenek dan juga ayahnya yang tidak punya otak dan perasaan. Demi perut dan kesenangan kalian sendiri, kalian korbankan bayi yang belum mengerti apa-apa. Bayi dua tahun kalian paksa untuk dijadikan pengemis, panas-panasan di bawah terik matahari juga debu jalanan. Sementara kalian enak santai di rumah dan makan
"Bu, rumahnya bagus banget. Gede lagi. Pasti betah kalau tinggal di sini." Jihan berdecak kagum atas bangunan rumah milik keluarga Sekar."Jelas betah. Pasti lengkap juga fasilitasnya. Ada pembantu yang nyiapin makan, nyuciin pakaian. Kita tinggal tidur dan makan saja. Pasti bahagia banget jadi orang kaya." Bu Wati tidak menampik apa yang putrinya itu ucapkan.'Kalau saja dulu aku yang jadi nikah sama si Syakur, pasti aku yang sudah jadi nyonya besar di rumah ini. Ini semua gara-gara orang tua Syakur yang terlalu sombong dan pemilih. Kalau saja bang Karim tidak malas-malasan dan gak jadi pengangguran pasti aku gak akan jadi orang susah. Kenapa takdirku kejam. Kenapa harus orang lain yang merasakan hidup enak sedangkan aku yang mendapati penderitaan.' Bu Wati merutuki nasib hidupnya. Dari dulu ia memang menyimpan rasa pada ayah dari Sekar hanya karena keluarga Bu Wati yang hanya orang biasa dan merupakan salah satu pekerja kasar di tempat orang tua haji Syakur. Maka niatan orang tua Bu
Tiga hari usai rumah mereka di datangi para penagih hutang. Jimmy memutuskan untuk bertolak ke rumah orang tua Sekar. Jimmy sudah tidak bisa berdiam diri seperti ini. Ia juga sudah tidak tahan dengan keadaan yang mulai menimpa dirinya juga keluarganya."Ibu lebih baik ikut kamu saja, Jim," rengek Bu Wati agar ia diperbolehkan untuk ikut bersama dengan putranya. "Tapi di sana kita sudah tidak punya tempat tinggal lagi, Bu," tolak Jimmy karena memang di tempat asal mereka sudah tidak ada lagi tempat untuk mereka singgah. Sementara rumah mereka sebelumnya sudah terjual untuk membayar hutang."Tapi ada rumah orang tua Sekar yang mana di rumah itu ada hak Sekar dan juga hak kamu. Mau seperti apa pun mereka tidak suka sama kamu. Kamu itu tetap menantu mereka. Sudah ada Yusuf cucu mereka yang mana itu adalah darah daging kamu." Jimmy sempat terdiam mencerna ucapan dari ibunya itu. "Jihan juga lebih baik ikut sama kita. Untuk biayanya kamu bisa jual dulu tv atau apa yang ada di rumah ini ya