"Bu, ayo cepat. Sudah mendukung hampir turun hujan ini!" Jimmy bersiap untuk menjemput putranya."Mas, aku juga mau ikut." Jihan yang baru saja pulang juga ingin ikut serta ibu dan juga kakaknya"Ngapain kamu mau ikut? Kamu saja baru pulang.""Aku bosan sekalian kita keluar cari makan. Sekarang giliran aku yang akan terakhir kamu dan ibu.""Banyak uang kamu, Ji?" celetuk Bu Wati yang baru saja muncul dari dalam rumahnya."Pasti dong, Bu. Ternyata usaha kita ke Ki Ageng kemarin dan juga pengorbanan ku tidak sia-sia.""Siapa pria itu? Kaya gak? Pengusaha atau pekerja kantoran?" tanya Bu Wati semangat. "Pengusaha, Bu. Dia juga punya toko emas. Tapi sayang suami orang.""Halah, itu gak usah kamu pikirkan. Yang terpenting kamu bisa dapatin dia dan uangnya. Kalau masalah istri atau keluarga nya itu bisa dipikirkan belakangan.Lihat mas mu itu. Buktinya dia bisa membuat Sekar menjauh dari keluarganya sendiri." Seorang ibu yang seharusnya mengarahkan anak-anaknya untuk melangkah di jalan yan
"Ji, kamu ini dari mana saja? Pergi pagi pulang malam," sambut Bu Wati pada putri semata wayangnya. Semenjak ia pulang dari tempat Ki Ageng. Kelakuan Jihan semakin menjadi. Iya, tanpa sepengetahuan ibu dan juga kakaknya. Jihan berhubungan dengan beberapa orang pria hanya untuk mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Hanya untuk kesenangan dan bersenang-senang saja."Biasa lah, Bu. Namanya juga anak muda. Kaya ibu dulu gak pernah muda saja," celetuk Jihan membantah ucapan dari ibunya.Jihan menyelonong masuk begitu saja meninggalkan ibunya."Kamu itu anak gadis. Gak pantas tiap hari keluar rumah dan pulang kalau hari sudah gelap," sahut Jimmy yang baru saja muncul dari arah dapurnya. Keduanya berpapasan di depan kamar yang ditempati oleh Jihan."Kalian itu sama saja. Kalau aku gak kaya gini mana bisa kita semua bisa makan enak setiap hari. Kamu, Mas mana bisa diandalkan. Kamu saja bisanya mengandalkan mbak Sekar. Sekarang, mbak Sekar sudah pergi. Mana ada keuangan yang bisa kita hara
"Loh, Bu? Mas Jimmy kenapa itu mukanya babak belur?" Jihan baru saja pulang. Gadis itu menemui ibu dan juga kakaknya yang ternyata keduanya berada di ruang tengah. "Aku kira tadi di rumah tidak ada orang. Terus ... kalau kalian di rumah. Mobil mas Jimmy siapa yang pakai."Sunyi tidak ada balasan baik dari Bu Wati maupun dari mulut Jimmy.Sepeninggal dua preman yang datang pagi-pagi menyatroni rumah Jimmy. Selang beberapa menit kemudian datang lagi preman lain yang tanpa permisi dan begitu saja membawa mobil milik Sekar yang sudah diatas namakan suaminya."Dibawa pencuri," celetuk Bu Wati begitu saja dengan menampilkan mimik masam yang bercampur dengan emosi. Perempuan paruh baya tersebut masih belum bisa terima. Ia masih belum bisa percaya dengan kejadian nahas yang baru saja menimpa keluarganya.Dengan raut yang tidak kalah kagetnya. "Kok bisa siang hari gini ada pencuri sih, Bu. Memangnya ibu gak ada minta tolong?" "Gak perlu kamu suruh dan menggurui ibu. Ibumu ini juga sudah berin
"Kamu jangan khawatirkan Yusuf, Kar. Anak kamu pasti aman sama Umi sama Abi. Kamu yang fokus sama pengobatan kamu saja biar bisa berjalan cepat. Kamu bisa cepat pulih dan bisa kumpul lagi sama anak kamu," pesan Bu Siti pada Sekar yang kini sudah berada di sebuah pesantren yang letaknya cukup jauh dari hirup pikuk perkotaan."Iya, Umi terimakasih atas nasihatnya. Sekar titip Yusuf sama Umi sama Abi dan juga bang Adam. Seumpama nanti ayahnya mencari Yusuf jangan pernah Umi kasih izin untuk bertemu. Takutnya mas Jimmy dan ibunya nekat dan pakai cara licik lagi.""Kamu tenang saja. Kita gak akan pernah kasih izin laki-laki itu untuk ketemu sama Yusuf."Sekar merasa lega hatinya karena ucapan sang Umi yang bisa menyakinkan hati dan pikirannya.***"Jim, sampai kapan hidup kita akan seperti ini? Kenapa kamu ngotot gak mau cari Sekar di rumah orang tuanya. Ibu yakin perempuan itu pasti pulang ke kampung halamannya." Bu Wati nampak frustasi bagaimana tidak. Sudah berhari-hari bahkan kini tela
"Bu, ibu gak masak hari ini?" Jimmy baru saja menuju ke dapur dan dia membuka tudung saji di atas meja makan. Kosong tidak ada satu makan yang ada di sana. "Apa yang mau di masak? Emangnya kamu ngasih duit sama ibu buat belanja?" sahut Bu Wati ketus pada putranya itu."Kan biasanya ibu ngutang di tukang sayur yang biasa lewat depan rumah.""Iya, tapi sekarang ibu malu, Jim. Malu karena hutang ibu sudah menumpuk mana belum sepeserpun ibu cicil hutang itu. Malu ibu dikata-katain para tetangga. Orang kaya belanja di mang sayur tapi hutang. Mana mereka terus nanyain mobil kamu lagi. Mereka itu kepo. Ibu malas keluar rumah. Kalau kamu lapar kamu cari saja pinjaman dulu sana. Entah kemana, kek.""Malu aku, Bu. Lebih baik kita tunggu Jihan sampai pulang dulu. Siapa tahu anak itu nanti pulang bawa duit teman prianya itu atau paling enggak bawa makanan ke rumah." Jimmy memilih kembali lagi ke kamarnya. Semenjak kejadian para preman mendatangi rumah mereka dan mengambil paksa mobil miliknya.
"Anak kecil ini siapa, Dam? Wajahnya kok sepertinya familiar?" Fatir tamu Adam dan sekaligus sahabat Adam sedari mereka sekolah menengah pertama yang baru saja pulang dari pulau seberang.Yusuf ketika itu menempel dan ingin terus bersama dengan Om---nya, kakak dari Ibunya."Ini namanya Yusuf. Anaknya Sekar." Fatir menatap lekat ke arah balita dua tahun yang ada di atas pangkuan Adam. Bentuk mata, hidung hingga kulit hampir menyerupai ibunya yakni Sekar."Sekar sudah menikah? Kenapa kamu gak kasih kabar ke Aku?" Ada perasaan yang entah yang dirasakan oleh Fatir."Perlu? Memangnya kamu siapanya Sekar?" ejek Adam sengaja ingin melihat ekspresi dari kawan lamanya itu.Fatir dibuat salah tingkah atas celetukan yang keluar dari mulut Adam."Ya, aku kan teman lama kamu. Aku juga kenal dengan Sekar sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar."Iya, ketika Adam dan Fatir duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas 3, Sekar saat itu masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar."Tapi pernik
Tiga hari usai rumah mereka di datangi para penagih hutang. Jimmy memutuskan untuk bertolak ke rumah orang tua Sekar. Jimmy sudah tidak bisa berdiam diri seperti ini. Ia juga sudah tidak tahan dengan keadaan yang mulai menimpa dirinya juga keluarganya."Ibu lebih baik ikut kamu saja, Jim," rengek Bu Wati agar ia diperbolehkan untuk ikut bersama dengan putranya. "Tapi di sana kita sudah tidak punya tempat tinggal lagi, Bu," tolak Jimmy karena memang di tempat asal mereka sudah tidak ada lagi tempat untuk mereka singgah. Sementara rumah mereka sebelumnya sudah terjual untuk membayar hutang."Tapi ada rumah orang tua Sekar yang mana di rumah itu ada hak Sekar dan juga hak kamu. Mau seperti apa pun mereka tidak suka sama kamu. Kamu itu tetap menantu mereka. Sudah ada Yusuf cucu mereka yang mana itu adalah darah daging kamu." Jimmy sempat terdiam mencerna ucapan dari ibunya itu. "Jihan juga lebih baik ikut sama kita. Untuk biayanya kamu bisa jual dulu tv atau apa yang ada di rumah ini ya
"Bu, rumahnya bagus banget. Gede lagi. Pasti betah kalau tinggal di sini." Jihan berdecak kagum atas bangunan rumah milik keluarga Sekar."Jelas betah. Pasti lengkap juga fasilitasnya. Ada pembantu yang nyiapin makan, nyuciin pakaian. Kita tinggal tidur dan makan saja. Pasti bahagia banget jadi orang kaya." Bu Wati tidak menampik apa yang putrinya itu ucapkan.'Kalau saja dulu aku yang jadi nikah sama si Syakur, pasti aku yang sudah jadi nyonya besar di rumah ini. Ini semua gara-gara orang tua Syakur yang terlalu sombong dan pemilih. Kalau saja bang Karim tidak malas-malasan dan gak jadi pengangguran pasti aku gak akan jadi orang susah. Kenapa takdirku kejam. Kenapa harus orang lain yang merasakan hidup enak sedangkan aku yang mendapati penderitaan.' Bu Wati merutuki nasib hidupnya. Dari dulu ia memang menyimpan rasa pada ayah dari Sekar hanya karena keluarga Bu Wati yang hanya orang biasa dan merupakan salah satu pekerja kasar di tempat orang tua haji Syakur. Maka niatan orang tua Bu