"Kamu jangan khawatirkan Yusuf, Kar. Anak kamu pasti aman sama Umi sama Abi. Kamu yang fokus sama pengobatan kamu saja biar bisa berjalan cepat. Kamu bisa cepat pulih dan bisa kumpul lagi sama anak kamu," pesan Bu Siti pada Sekar yang kini sudah berada di sebuah pesantren yang letaknya cukup jauh dari hirup pikuk perkotaan."Iya, Umi terimakasih atas nasihatnya. Sekar titip Yusuf sama Umi sama Abi dan juga bang Adam. Seumpama nanti ayahnya mencari Yusuf jangan pernah Umi kasih izin untuk bertemu. Takutnya mas Jimmy dan ibunya nekat dan pakai cara licik lagi.""Kamu tenang saja. Kita gak akan pernah kasih izin laki-laki itu untuk ketemu sama Yusuf."Sekar merasa lega hatinya karena ucapan sang Umi yang bisa menyakinkan hati dan pikirannya.***"Jim, sampai kapan hidup kita akan seperti ini? Kenapa kamu ngotot gak mau cari Sekar di rumah orang tuanya. Ibu yakin perempuan itu pasti pulang ke kampung halamannya." Bu Wati nampak frustasi bagaimana tidak. Sudah berhari-hari bahkan kini tela
"Bu, ibu gak masak hari ini?" Jimmy baru saja menuju ke dapur dan dia membuka tudung saji di atas meja makan. Kosong tidak ada satu makan yang ada di sana. "Apa yang mau di masak? Emangnya kamu ngasih duit sama ibu buat belanja?" sahut Bu Wati ketus pada putranya itu."Kan biasanya ibu ngutang di tukang sayur yang biasa lewat depan rumah.""Iya, tapi sekarang ibu malu, Jim. Malu karena hutang ibu sudah menumpuk mana belum sepeserpun ibu cicil hutang itu. Malu ibu dikata-katain para tetangga. Orang kaya belanja di mang sayur tapi hutang. Mana mereka terus nanyain mobil kamu lagi. Mereka itu kepo. Ibu malas keluar rumah. Kalau kamu lapar kamu cari saja pinjaman dulu sana. Entah kemana, kek.""Malu aku, Bu. Lebih baik kita tunggu Jihan sampai pulang dulu. Siapa tahu anak itu nanti pulang bawa duit teman prianya itu atau paling enggak bawa makanan ke rumah." Jimmy memilih kembali lagi ke kamarnya. Semenjak kejadian para preman mendatangi rumah mereka dan mengambil paksa mobil miliknya.
"Anak kecil ini siapa, Dam? Wajahnya kok sepertinya familiar?" Fatir tamu Adam dan sekaligus sahabat Adam sedari mereka sekolah menengah pertama yang baru saja pulang dari pulau seberang.Yusuf ketika itu menempel dan ingin terus bersama dengan Om---nya, kakak dari Ibunya."Ini namanya Yusuf. Anaknya Sekar." Fatir menatap lekat ke arah balita dua tahun yang ada di atas pangkuan Adam. Bentuk mata, hidung hingga kulit hampir menyerupai ibunya yakni Sekar."Sekar sudah menikah? Kenapa kamu gak kasih kabar ke Aku?" Ada perasaan yang entah yang dirasakan oleh Fatir."Perlu? Memangnya kamu siapanya Sekar?" ejek Adam sengaja ingin melihat ekspresi dari kawan lamanya itu.Fatir dibuat salah tingkah atas celetukan yang keluar dari mulut Adam."Ya, aku kan teman lama kamu. Aku juga kenal dengan Sekar sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar."Iya, ketika Adam dan Fatir duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas 3, Sekar saat itu masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar."Tapi pernik
Tiga hari usai rumah mereka di datangi para penagih hutang. Jimmy memutuskan untuk bertolak ke rumah orang tua Sekar. Jimmy sudah tidak bisa berdiam diri seperti ini. Ia juga sudah tidak tahan dengan keadaan yang mulai menimpa dirinya juga keluarganya."Ibu lebih baik ikut kamu saja, Jim," rengek Bu Wati agar ia diperbolehkan untuk ikut bersama dengan putranya. "Tapi di sana kita sudah tidak punya tempat tinggal lagi, Bu," tolak Jimmy karena memang di tempat asal mereka sudah tidak ada lagi tempat untuk mereka singgah. Sementara rumah mereka sebelumnya sudah terjual untuk membayar hutang."Tapi ada rumah orang tua Sekar yang mana di rumah itu ada hak Sekar dan juga hak kamu. Mau seperti apa pun mereka tidak suka sama kamu. Kamu itu tetap menantu mereka. Sudah ada Yusuf cucu mereka yang mana itu adalah darah daging kamu." Jimmy sempat terdiam mencerna ucapan dari ibunya itu. "Jihan juga lebih baik ikut sama kita. Untuk biayanya kamu bisa jual dulu tv atau apa yang ada di rumah ini ya
"Bu, rumahnya bagus banget. Gede lagi. Pasti betah kalau tinggal di sini." Jihan berdecak kagum atas bangunan rumah milik keluarga Sekar."Jelas betah. Pasti lengkap juga fasilitasnya. Ada pembantu yang nyiapin makan, nyuciin pakaian. Kita tinggal tidur dan makan saja. Pasti bahagia banget jadi orang kaya." Bu Wati tidak menampik apa yang putrinya itu ucapkan.'Kalau saja dulu aku yang jadi nikah sama si Syakur, pasti aku yang sudah jadi nyonya besar di rumah ini. Ini semua gara-gara orang tua Syakur yang terlalu sombong dan pemilih. Kalau saja bang Karim tidak malas-malasan dan gak jadi pengangguran pasti aku gak akan jadi orang susah. Kenapa takdirku kejam. Kenapa harus orang lain yang merasakan hidup enak sedangkan aku yang mendapati penderitaan.' Bu Wati merutuki nasib hidupnya. Dari dulu ia memang menyimpan rasa pada ayah dari Sekar hanya karena keluarga Bu Wati yang hanya orang biasa dan merupakan salah satu pekerja kasar di tempat orang tua haji Syakur. Maka niatan orang tua Bu
"Yusuf," desis Jimmy saat melihat putranya baru saja turun dari tangga bersama dengan pengasuhnya. Jimmy masih tidak bisa percaya jika keberadaan sang putra sudah berada di dalam pengasuhan ibu kandungnya. Jimmy semakin khawatir akan posisinya. Di sisi lain ia juga tidak ingin kehilangan Sekar dan juga Yusuf. Lebih tepatnya tidak ingin kehilangan kenyamanan hidup yang selama ini ia jalani dan rasakan."Jadi, Kamu yang selama ini menculik Yusuf!" tuduh Bu Wati yang juga terkejut melihat keberadaan cucu yang ia cari ternyata sudah bersama dengan ibunya."Apa kalian tidak salah ucap? Mana ada yang namanya ibu menculik anak kandungnya sendiri. Darah dagingnya sendiri. Yang ada kalian nenek dan juga ayahnya yang tidak punya otak dan perasaan. Demi perut dan kesenangan kalian sendiri, kalian korbankan bayi yang belum mengerti apa-apa. Bayi dua tahun kalian paksa untuk dijadikan pengemis, panas-panasan di bawah terik matahari juga debu jalanan. Sementara kalian enak santai di rumah dan makan
"Sekar kamu mau kemana?" tanya Bu Siti, Uminya Sekar yang melihat putrinya terburu-buru untuk segera keluar rumah. "Umi, pak Totok baru saja ngabarin kalau si Ida pingsang di tengah jalan," terang Sekar dengan rona penuh kekhawatiran."Terus si Yusuf-nya bagaimana? Ida kan tadi keluar sambil ngasuh si Yusuf?" Bu Siti tidak kalah khawatirnya dengan sang putri."Pak Totok masih cari Yusuf di bantu beberapa warga, Mi. Mas Adam dan Abi juga sudah meluncur ke jalan setelah dikabari juga sama pak Totok.""Umi mau ikut kamu Sekar. Umi juga kepingin lihat kondisinya si Ida."***"Apa kamu gak ketahuan, Jim?" Bu Wati segera mengambil alih Yusuf yang tertidur dalam gendongan Jimmy."Gak ada, Bu. Pas tadi suasana lagi sepi. Gak sia-sia Jimmy pulang-pergi ke sana buat bisa baca situasi.""Untung saja, Jim. Ibu dari tadi sudah khawatir banget sama kamu. Mana sekarang kamu gak bisa dihubungi." Ponsel keluaran terbaru milik Jimmy sengaja ia jual untuk bisa menyambung hidup. Untuk kembali lagi ke ko
Polisi akhirnya berhasil masuk ke dalam rumah namun nihil, mereka tidak mendapati keberadaan Yusuf, bayi dua tahun tersebut berada di rumah itu."Kosong. Tidak ada bayi ataupun anak kecil yang dimaksud." Ucapan dari salah satu polisi yang baru saja selesai memeriksa ke dalam rumah tersebut membuat Bu Wati dan juga Jimmy saling menatap. "Bagaimana bisa? Sudah dicari ke seluruh ruangan?" "Sudah, Ndan. Tapi memang tidak ada. Kosong.""Pak pasti dibawa lari salah satu dari mereka," sahut Sekar yang tiba-tiba saja sudah datang bersama dengan kakak dan juga Abi-nya."Masih ada satu lagi anggota mereka. Perempuan usianya dua puluhan," lanjut Sekar memberikan keterangan."Baik. Kami akan segera melakukan pencarian dan pengejaran." Rona kekhawatiran nampak di wajah Bu Wati dan juga Jimmy."Sekar apa-apaan kamu?" sentak Jimmy yang masih dalam pengawasan polisi."Kamu yang apa-apaan. Kamu tega menculik darah daging kamu hanya untuk kamu tukar dengan uang! Dasar kalian mata duitan. Mau hidup se