"Jim, sudah kamu siapkan uang maharnya untuk Ki Ageng?" Saat ini aku dan keluargaku berada di perjalanan menuju tempat Ki Ageng. Untuk anakku, sengaja tidak kami bawa. Yusuf aku titipkan di tempat yang aman."Iya, nanti kita cari mesin ATM yang terdekat saja, Bu.""Mas jangan lupa, Aku juga." Jihan, adikku juga ingin mengikuti jejakku. Adikku satu-satunya ini juga telah memiliki pria incaran yang katanya seorang pengusaha tambang. Meskipun pria incarannya itu sudah memiliki keluarga. Jihan tetap bersikukuh ingin mendapatkan pria tersebut. Karena sudah jelas rintangan yang akan ia hadapi. Maka dengan cara halus seperti yang aku lakukan pada Sekar yang akan menjadi jalan keluarnya.Aku dan ibuku tidak keberatan dengan keinginan dan juga keputusan adikku. Toh itu juga demi kebahagiaannya. Siapapun pasti ingin anak dan juga saudaranya bisa hidup enak dan juga mapan."Iya." Tanpa pikir panjang aku mengiyakan permintaan adikku itu. Toh, kalau dia hidup enak pasti aku dan juga ibu bakalan ke
"Kita mau kemana ini, Jim?" tanya ibuku.Iya, kami baru saja sampai dan kembali dari kota asal kami tinggal dulu. Aku sengaja tidak langsung mengarahkan mobil ini menuju jalan pulang. Aku mau menjemput Yusuf yang sudah tiga harian ini aku titipkan pada orang."Kan, masih siang?" "Sekalian saja, Bu. Kasihan juga sudah tiga hari dia ikut sama orang.""Iya, biarin saja, lah Mas. Nanti duitnya dipotong loh." Ibu dan adikku sepertinya keberatan dengan niatku yang ingin menjemput putraku sendiri itu."Pokoknya kalian ikut saja, lah. Tiga hari juga sudah lumayan hasilnya. Besok-besok kan masih ada hari lagi." Aku tidak memedulikan keduanya. Kasihan juga anak itu terlalu lama ikut orang asing terlebih harus bersahabat dengan debu dan asap kendaraan, belum juga sengatan sinar matahari yang panasnya bisa sampai menusuk ke dalam kulit."Tersebut kamu saja, lah. Pokoknya nanti kalau sudah sampai di rumah. kamu urus sendiri itu anakmu. Ibu capek. Pokoknya hari ini ibu mau tidur jangan ada yang me
Di rumah orang tua Sekar."Bi, Sekar beberapa hari ini terlihat aneh. Sekar sering mengeluh pusing dan mual pada jam-jam tertentu. Perasaan Umi kok jadi tidak enak. Apa mungkin si Jimmy ini masih menganggu Sekar." Bu Siti, ibunya Sekar mengadukan apa yang terjadi dan dialami oleh putrinya itu pada suaminya."Sekarang Sekar di mana?" "Sekar ada di kamarnya. Kamarnya dikunci dari dalam. Umi panggil beberapa kali gak ada jawaban dari dalam."Mendengar penjelasan dari istrinya sontak Abi Sekar berubah panik. "Mi, lebih baik kita segera bawa Sekar ke pesantren. Biar di sana Sekar bisa mendapatkan pengobatan. Biar pengaruh buruk itu lekas musnah dari diri putri kita.""Kalau itu yang terbaik untuk putri kita. Lebih baik kita cepat-cepat bawa Sekar sekarang juga, Bi. Umi panggil Adam dulu buat bantuin buka pintu kamarnya Sekar. Kita dobrak saja karena tidak ada sahutan dari dalam kamar Sekar."Bu Siti lekas mencari putra sulungnya karena hari masih pagi kemungkinan sang putra masih merasa
"Bu, ayo cepat. Sudah mendukung hampir turun hujan ini!" Jimmy bersiap untuk menjemput putranya."Mas, aku juga mau ikut." Jihan yang baru saja pulang juga ingin ikut serta ibu dan juga kakaknya"Ngapain kamu mau ikut? Kamu saja baru pulang.""Aku bosan sekalian kita keluar cari makan. Sekarang giliran aku yang akan terakhir kamu dan ibu.""Banyak uang kamu, Ji?" celetuk Bu Wati yang baru saja muncul dari dalam rumahnya."Pasti dong, Bu. Ternyata usaha kita ke Ki Ageng kemarin dan juga pengorbanan ku tidak sia-sia.""Siapa pria itu? Kaya gak? Pengusaha atau pekerja kantoran?" tanya Bu Wati semangat. "Pengusaha, Bu. Dia juga punya toko emas. Tapi sayang suami orang.""Halah, itu gak usah kamu pikirkan. Yang terpenting kamu bisa dapatin dia dan uangnya. Kalau masalah istri atau keluarga nya itu bisa dipikirkan belakangan.Lihat mas mu itu. Buktinya dia bisa membuat Sekar menjauh dari keluarganya sendiri." Seorang ibu yang seharusnya mengarahkan anak-anaknya untuk melangkah di jalan yan
"Ji, kamu ini dari mana saja? Pergi pagi pulang malam," sambut Bu Wati pada putri semata wayangnya. Semenjak ia pulang dari tempat Ki Ageng. Kelakuan Jihan semakin menjadi. Iya, tanpa sepengetahuan ibu dan juga kakaknya. Jihan berhubungan dengan beberapa orang pria hanya untuk mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Hanya untuk kesenangan dan bersenang-senang saja."Biasa lah, Bu. Namanya juga anak muda. Kaya ibu dulu gak pernah muda saja," celetuk Jihan membantah ucapan dari ibunya.Jihan menyelonong masuk begitu saja meninggalkan ibunya."Kamu itu anak gadis. Gak pantas tiap hari keluar rumah dan pulang kalau hari sudah gelap," sahut Jimmy yang baru saja muncul dari arah dapurnya. Keduanya berpapasan di depan kamar yang ditempati oleh Jihan."Kalian itu sama saja. Kalau aku gak kaya gini mana bisa kita semua bisa makan enak setiap hari. Kamu, Mas mana bisa diandalkan. Kamu saja bisanya mengandalkan mbak Sekar. Sekarang, mbak Sekar sudah pergi. Mana ada keuangan yang bisa kita hara
"Loh, Bu? Mas Jimmy kenapa itu mukanya babak belur?" Jihan baru saja pulang. Gadis itu menemui ibu dan juga kakaknya yang ternyata keduanya berada di ruang tengah. "Aku kira tadi di rumah tidak ada orang. Terus ... kalau kalian di rumah. Mobil mas Jimmy siapa yang pakai."Sunyi tidak ada balasan baik dari Bu Wati maupun dari mulut Jimmy.Sepeninggal dua preman yang datang pagi-pagi menyatroni rumah Jimmy. Selang beberapa menit kemudian datang lagi preman lain yang tanpa permisi dan begitu saja membawa mobil milik Sekar yang sudah diatas namakan suaminya."Dibawa pencuri," celetuk Bu Wati begitu saja dengan menampilkan mimik masam yang bercampur dengan emosi. Perempuan paruh baya tersebut masih belum bisa terima. Ia masih belum bisa percaya dengan kejadian nahas yang baru saja menimpa keluarganya.Dengan raut yang tidak kalah kagetnya. "Kok bisa siang hari gini ada pencuri sih, Bu. Memangnya ibu gak ada minta tolong?" "Gak perlu kamu suruh dan menggurui ibu. Ibumu ini juga sudah berin
"Kamu jangan khawatirkan Yusuf, Kar. Anak kamu pasti aman sama Umi sama Abi. Kamu yang fokus sama pengobatan kamu saja biar bisa berjalan cepat. Kamu bisa cepat pulih dan bisa kumpul lagi sama anak kamu," pesan Bu Siti pada Sekar yang kini sudah berada di sebuah pesantren yang letaknya cukup jauh dari hirup pikuk perkotaan."Iya, Umi terimakasih atas nasihatnya. Sekar titip Yusuf sama Umi sama Abi dan juga bang Adam. Seumpama nanti ayahnya mencari Yusuf jangan pernah Umi kasih izin untuk bertemu. Takutnya mas Jimmy dan ibunya nekat dan pakai cara licik lagi.""Kamu tenang saja. Kita gak akan pernah kasih izin laki-laki itu untuk ketemu sama Yusuf."Sekar merasa lega hatinya karena ucapan sang Umi yang bisa menyakinkan hati dan pikirannya.***"Jim, sampai kapan hidup kita akan seperti ini? Kenapa kamu ngotot gak mau cari Sekar di rumah orang tuanya. Ibu yakin perempuan itu pasti pulang ke kampung halamannya." Bu Wati nampak frustasi bagaimana tidak. Sudah berhari-hari bahkan kini tela
"Bu, ibu gak masak hari ini?" Jimmy baru saja menuju ke dapur dan dia membuka tudung saji di atas meja makan. Kosong tidak ada satu makan yang ada di sana. "Apa yang mau di masak? Emangnya kamu ngasih duit sama ibu buat belanja?" sahut Bu Wati ketus pada putranya itu."Kan biasanya ibu ngutang di tukang sayur yang biasa lewat depan rumah.""Iya, tapi sekarang ibu malu, Jim. Malu karena hutang ibu sudah menumpuk mana belum sepeserpun ibu cicil hutang itu. Malu ibu dikata-katain para tetangga. Orang kaya belanja di mang sayur tapi hutang. Mana mereka terus nanyain mobil kamu lagi. Mereka itu kepo. Ibu malas keluar rumah. Kalau kamu lapar kamu cari saja pinjaman dulu sana. Entah kemana, kek.""Malu aku, Bu. Lebih baik kita tunggu Jihan sampai pulang dulu. Siapa tahu anak itu nanti pulang bawa duit teman prianya itu atau paling enggak bawa makanan ke rumah." Jimmy memilih kembali lagi ke kamarnya. Semenjak kejadian para preman mendatangi rumah mereka dan mengambil paksa mobil miliknya.