Angin pagi bertiup dengan kencang. Daun-daun maple berjatuhan di tepi sungai beku.
Tiga tahun yang lalu, itu waktu yang begitu singkat baginya. Juga memiliki banyak kenangan. Aaron membuka mata. Sepasang iris hijau terang memancar dengan sempurna. Dipandanginya dari balik langit-langit kaca yang buram. Hujan salju kembali turun. "Aku sangat mencintaimu! Aku sudah tidak sabar menunggu hari pernikahan kita." Hawa dingin yang ditimbulkan, juga salju putih yang lembut membuatnya teringat pada gadisnya. "Aku pun sangat mencintaimu. Sama seperti mu, aku tidak sabaran menunggu hari pernikahan kita." Jesica tersenyum membalas tatapannya kala itu. Senyuman yang begitu manis. Siapa sangka di sela indahnya harapan dan mimpi mereka itu, hal yang mengerikan harus terjadi. "Aaron, aku bukan milikmu lagi! Aku kehilangan segalanya! Aku tak mau hidup lagi!" Jesica bicara dengan suaranya yang serak. Juga matanya yang sembab. Selama tiga tahun ia mengenal gadis itu, ini untuk pertama kalinya Aaron melihat Jesica yang begitu hancur. Namun, dia tidak sempat memahami situasinya. "Jesica!" Hanya teriakan yang terdengar paraw. Juga manik hijau yang basah dan hampa. Jesica, gadis itu mengakhiri hidupnya tepat di depan mata kepalanya sendiri. Dan sayangnya Aaron tidak dapat berbuat banyak. Di hadapannya, cinta dan tujuan hidupnya telah hancur. "Jesica!" Kewarasannya mulai pulih. Aaron berteriak kencang. Napasnya tersengal-sengal. Peluh dingin bercucuran dari milyaran pori-pori. "Hei, jangan berisik!" "Dasar tidak waras!" Dua orang laki-laki yang sedang tertidur turut terjaga karena suara teriakan Aaron. Mereka jadi kesal, lantas melempar seember air ke tubuh pria di dalam penjara. Aaron basah kuyup. Dia menggigil kedinginan. Dua orang laki-laki itu cuma tertawa lantas pergi. Aaron hanya bisa mendengus kesal sambil mengangkat sepasang matanya. Api dendam terlihat berkobar di dalam sana. Orang-orang itu sudah memperlakukan dia lebih dari seekor binatang! Begitulah hidup yang ia jalani saat ini. Tertindas dan disiksa secara fisik dan psikis. Mungkin dia akan benar-benar menjadi gila jika terus berada di tempat ini. Manik-manik hijau Aaron melirik ke arah pergelangan tangan kirinya. Gambar tato kepala serigala itu masih terlihat nyata. Maka memorinya kembali berkelana ke masa tiga tahun silam. "Tuan Muda Fortman akan tiba di kota pukul sembilan pagi. Ayo siap-siap semuanya!" "Baik, Pak!" Mecco Company Group, perusahaan teknologi terbesar di San Alexandria Baru. Dan satu-satunya perusahaan yang masih bersinar di tengah krisis moneter yang sedang melanda kota tersebut. Para staf tampak sibuk pagi itu. Kabar kedatangan ahli waris kerajaan bisnis membuat mereka tergesa-gesa. Anthony Robbins Fortman, pendiri perusahaan tersebut memiliki seorang putra. Dan hari ini ia akan kembali setelah meraih gelar dan lulus dari studi bisnisnya. "Letakkan semua buah apel merah di tepi meja. Tuan Muda Fortman sangat menyukai apel!" Tidak hanya di kantor pusat Mecco Company Group, tetapi di mansion kediaman Tuan Fortman pun sama sibuknya. Semua asisten sedang bekerja keras untuk menyambut kepulangan Tuan Muda Fortman. "Aku dengar, Tuan Muda sangat tampan dan seorang yang punya selera tinggi. Kurasa, dia pria yang bersinar di San Alexandria sepanjang musim panas!" "Ya, ya! Tuan Muda Aaron memang tampan! Dia juga cerdas dan memiliki selera yang bagus!" "Dia bintang tahun ini!" "Kau benar!" Suara perbincangan para asisten di meja makan menyambangi indera pendengaran seorang pria yang baru saja turun dari undakan anak tangga. Aaron de Fortman, si bodoh itu akan kembali ke kota setelah lulus kuliah bisnis dan dapat gelar. Ia berdecak jengah, lantas berjalan sambil melempar tatapan dingin saat para asisten menyapanya. "Ada apa ini? Pagi-pagi buta sudah heboh saja seolah Presiden San Alexandria akan datang ke rumah ini! Aku benar-benar muak!" Marquez, dia datang sambil marah-marah menemui seorang wanita yang sedang minum kopi di teras balkon. Wanita itu menyeringai tipis mendengar semua keluhan putra kesayangannya. "Kau tahu sendiri bukan? Kita cuma menumpang di rumah ini, dan pemilik aslinya akan pulang pagi ini. Kenapa kau sangat tersinggung?" Marquez menatap punggung wanita di depannya dengan menyipitkan mata. "Lantas, kenapa kau diam saja saat putramu ini sedang berada di ujung tanduk? Kenapa tidak kau ledakan jet yang akan membawanya ke kota?!" Marisa, wanita itu tersenyum tipis mendengarnya. Ia lantas memutar tubuhnya sampai berhadapan dengan laki-laki berjas hitam di belakangnya. Marquez menatapnya dengan ekspresi jengah. "Sudah banyak cara yang kita lakukan untuk menyingkirkan Aaron, bukan? Tapi apa? Dia masih hidup dan akan pulang hari ini." Marquez memicingkan matanya. "Dan kau suka melihatnya pulang ke rumah ini?" Marisa tersenyum miring menanggapi. Manik hitam Marquez mengikuti langkah kecil wanita itu yang sedang menuju pagar balkon. Dari sana Marisa bicara lagi. "Sepuluh tahun sudah kita tinggal dan menikmati uang Keluarga Fortman, tapi tentu saja itu belum cukup," katanya sambil mencengkeram cangkir kopi dalam genggaman. Marquez mengepalkan buku-buku jemarinya mendengar semua penuturan sang ibu. Dengan tatapan lurus ke depan, Marisa melanjutkan, "Pergilah ke bandara dan sambut kepulangan Aaron layaknya kerabat yang baik." Marquez tercengang. Marisa segera memutar tubuhnya menghadap laki-laki di belakangnya tadi. Tatapan Marquez membuatnya tersenyum tipis. ~•~ Bandara Internasional San Alexandria pukul 9:30 "Itu dia!" "Tuan Muda Fortman!" "Wah, dia ganteng sekali!" "Oh Tuhan!" Suara ricuh itu bukan hanya berasal dari lisan para reporter yang sedang berlarian sambil membawa kameranya, tetapi juga para gadis muda yang turut datang ke gedung tersebut hanya untuk melihat seorang pria yang sedang bersinar tahun ini. Kemunculan seorang laki-laki berkaki panjang di bandara menyita perhatian publik. Terutama para wanita. Aaron de Fortman, putra tunggal keluarga Fortman dan satu-satunya pewaris kerajaan bisnis Mecco Company Group. Dia berjalan dengan gagah diikuti sepuluh orang bodyguard. Gambar tato kepala serigala tercetak jelas di pergelangan tangan kirinya. Kilat lampu kamera membuat laki-laki berusia 22 tahun itu tampak sangat memukau bak seorang selebriti. Langkah panjang sepasang pantofel hitam mengkilat terayun begitu mantap. Stelan jas hitam dari brand ternama membalut tubuh yang atletis bak sebuah karya seni. Kacamata hitam bertengger menutupi sebagian wajah yang tingkat sempurnanya tidak dapat dilukiskan hanya dengan kuas dan kanvas. Sebagai seorang eksekutif muda, Aaron membuat para wanita di bandara terus menjerit-jerit saking kagumnya. "Tuan Muda Aaron!" "Aaaaa!" "Aku ingin pingsan!" "Tuan Muda Fortman, tolong lihat kesini!" Langkah Aaron dihentikan saat ia nyaris tiba di samping Bugatti metalik yang menunggu di depan bandara. Pria itu menoleh ke arah sekumpulan wartawan dan para wanita yang terus mengejarnya. Dibuka kacamata hitam yang menutupi sebagian wajah. Seulas senyuman yang begitu manis membuat orang-orang itu menjerit histeris. Dan di saat mereka saling mendorong untuk mendekati Aaron, para bodyguard segera menahannya. Aaron hanya melempar senyum manis, lantas masuk mobil. "Kurasa, besok wajahmu akan muncul di sampul majalah dewasa. Para jurnalis akan menulis artikel tentang mu asal-asalan!" Aaron cuma tersenyum tipis mendengar celoteh laki-laki yang duduk di sampingnya. Marquez de Fortman, kakak tirinya itu bicara dengan sinis. Aaron tahu, jika dia tidak suka. Hubungan mereka pun tidak harmonis selama ini. "Jujur saja, aku sedikit merasa heran karena melihatmu di bandara. Apa kau datang dengan inisiatif sendiri, atau Daddy yang ..." "Daddy sedang ada rapat penting, makanya aku yang menjemput mu." Aaron manggut-manggut. Itu tidak begitu penting baginya. Hingga saat ponsel pintar di saku jasnya berdering, ia mulai sibuk sendiri. "Ya, ya, Honey! Aku pasti datang! Aku sungguh merindukanmu, Sayang!" Ekor mata Marques melirik ke arah pria di sampingnya. Aaron terlihat sibuk dengan panggilan ponsel. Dia tahu siapa orang yang menghubungi laki-laki itu. Jesica. Shit! Kenapa si brengsek Aaron memiliki segalanya? Uang, prestasi, koneksi, warisan dan juga Jesica! Ini sungguh tidak adil baginya yang cuma anak tiri di keluarga Fortman. Marquez tidak terima. Tangannya mengepal kuat, dadanya sesak mendengar perbincangan mesra antara Aaron dan pacarnya. "Aku mencintaimu, Jesica!" "Awas!" Ckiitttt!!! Brak! Aaron sangat terkejut. Ponsel pintar jatuh dari genggaman disebabkan guncangan yang teramat keras. Entah apa yang terjadi. Mobil sport yang ia tumpangi tiba-tiba menerobos pembatas jalan. Mobil itu mencapai mulut jurang dengan kecepatan yang tidak terkendali. 'Habislah kau, Young Master Fortman!'"Menyingkir kalian! Biarkan saya masuk!""Di mana Tuan Muda Fortman kalian sekap?!""Serahkan dia pada saya!"Suara ricuh di ujung lorong mengembalikan kewarasan Aaron. Ia tersadar dari semua bayangan masa lalunya.Iris biru terang itu mencari-cari ke sekitar. Sepertinya ia kenal dengan suara laki-laki yang berteriak pada para penjaga di ujung lorong. Bukankah dia Jeremy?Sementara itu di ujung lorong sedang terjadi perdebatan hebat antara seorang laki-laki dengan tiga orang penjaga. Laki-laki itu datang dengan membawa berkas-berkas penting dalam kopernya.Jeremy merupakan pria asal Selatan yang sudah bekerja puluhan tahun melayani keluarga Fortman sebagai sekretaris sekaligus pengacara Tuan Fortman. Setelah Tuan Besar Fortman meninggal, semua hak waris jatuh pada putra tunggalnya yaitu Aaron de Fortman. Sayangnya, di hari penyerahan hak waris di pengadilan pusat, Jeremy tidak melihat Aaron sama sekali.Dia curiga jika Marisa dan Marquez sudah melakukan sesuatu pada Tuan Muda Fortman
Terik sang mentari petang itu cukup panas. Sinar jingganya menerobos dari sela-sela daun pinus yang tipis. Perlahan Aaron membuka matanya. Ia terkejut mendapati tubuhnya yang sedang tergolek di antara semak-semak jurang."Ah, di mana aku?"Berangsur-angsur laki-laki itu menyeret tubuh ringkihnya guna berusaha bangkit. Di sela rasa haus dan kepayahan, Aaron mengingat insiden yang baru saja terjadi padanya.Marquez, di mana laki-laki itu?Bukankah mereka menaiki mobil yang sama?Aaron tak mampu mengingat banyak hal. Termasuk ledakan dahsyat yang terjadi. Dia hanya ingat saat mobil itu terperosok lalu terjun ke jurang.Dalam hati, Aaron mencemaskan Marquez. Meski mereka hanya saudara tiri dan tidak pernah akur, tapi dia masih punya nurani terhadap laki-laki menyebalkan itu."Marquez, aku harus mencarinya!"Aaron berusaha bangkit sambil bertumpu ke pepohonan di sekitar. Ia berjalan dengan terpincang-pincang. Matanya memindai ke sekitar hutan."Marquez!"Dari balik sebuah pohon besar, Marq
Suara baling-baling helikoter masih terdengar di telinga Aaron. Juga situasinya saat itu. Kilas balik masa lalu membuatnya mengantuk.Salju putih berjatuhan di langit memenuhi atap kaca. Hawa dingin menusuk ke tulang di sela pakaian basah yang berbau busuk. Dari ujung lorong yang remang terlihat langkah seorang laki-laki."Dasar gila! Dia bahkan masih bisa tidur pulas di dalam penjara busuk ini," desis Marquez sambil menutupi hidungnya menggunakan sapu tangan.Cuaca yang lembab membuat aroma busuk yang tercium dari dalam penjara itu semakin menyengat. Sementara laki-laki yang dikurung di dalam sana malah sedang enak tidur. Jelas saja dia jadi kesal.Dua orang penjaga segera menghampiri laki-laki dengan mantel bulu tebal yang sedang berdiri memandangi si tahanan."Selamat malam, Tuan Marquez." Mereka menyapa dengan sopan.Marquez cuma melirik sesaat ke arah dua orang penjaga itu, lantas matanya kembali menatap pada laki-laki lusuh yang terikat rantai berkarat di dalam penjara."Apa kal
Hari mulai siang saat mobil hitam menepi di pelataran kediaman keluarga Fortman. Marisa baru saja tiba usai bertemu pengacara di Pusat Group Mecco Company."Selamat siang, Nyonya!""Menyingkir kalian!"Para asiten keheranan melihat wajah Marisa yang tampak sangat kesal. Wanita itu marah-marah seperti iblis yang sedang kelaparan. Tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya."Ursula, apa Dokter Federic datang kesini?""Belum, Nyonya."Shit!Marisa mendengus kesal. Kapan dokter itu akan datang? Ia sudah tidak sabar ingin segera menjalankan rencananya. Dengan emosi yang sesak di dada, wanita itu menggeleng lalu membentak para pekerja tanpa alasan yang jelas."Sepertinya Nyonya lupa minum obat.""Ya, kau benar. Dia harus minum obat."Para pekerja segera pergi setelah Marisa memaki mereka habis-habisan. Wanita itu memang tidak waras. Mentalnya terganggu sejak Tuan Fortman koma. Sementara itu di ruang bawah tanah di mana Aaron disekap. Tiga bayangan panjang memnatul saat pintu sebuah
"Jesica!""Tidak! Jesica!"Aaron histeris dan ingin mengamuk. Entah apa yang terjadi. Marisa segera menoleh ke arah Dokter Federic. Sang dokter cuma memasang wajah heran menanggapi."Apa yang terjadi? Kenapa dia tidak mau diam?" tanya Marisa.Marquez menimpali, "Jika dia terus mengamuk begitu, bagaimana kita bisa membuatnya menandatangani berkas-berkas itu?"Kedua orang itu tampak pusing dan bingung. Dokter Federic segera angkat bicara."Sepertinya obat halusinasi sudah tidak mempan padanya. Malam ini juga sebaiknya dia segera dibawa ke rumah sakit! Ada banyak alat di sana yang bisa merusak mentalnya."Marquez menoleh ke arah ibunya usai mendengar semua ucapan Dokter Federic.Marisa mengangguk. "Lakukan apa saja yang penting dia mau tanda tangan!" putusnya.Dokter Federic tersenyum tipis. Maka malam itu juga ia segera mengatur keberangkatan Aaron menuju rumah sakit jiwa."Lepaskan aku!""Jesica!"Aaron terus berontak dan berteriak saat beberapa petugas rumah sakit membawanya keluar d
Marquez memejamkan mata seraya mencengkeram gelas wine dalam genggaman.Prang!Marisa yang terkejut segera menoleh ke arah sang putra yang sedang duduk di sofa. Ia menjerit melihat tangan Marquez mengucurkan darah segar. Gila! Dia mencengkeram gelas sampai pecah?"Cepat panggilkan dokter!" teriak Marisa pada para asisten.Semua orang dibuat ricuh. Sementara Marquez tetap diam meski pendarahan di tangannya tak juga berhenti.Darah ini adalah bukti jika api yang berkobar di matanya tidak akan pernah padam sebelum melihat mayat Aaron."Marquez Sayangku!"Marisa merangkul kepala Marquez hingga bersandar ke bahunya. Wanita itu menangis melihat tangan putranya terluka.Para dokter segera berdatangan. Marquez langsung mendapatkan penanganan medis. Marisa cemas melihat sang putra diam saja."Kau pasti kesal karena kita gagal lagi menghabisi Aaron."Marquez cuma menarik nafas panjang lalu membuang pandangan ke luar jendela. Salju mulai turun menjelang malam tiba.Butiran putih itu mengingatka
Kantor Pengacara Pusat Alexandria Baru pagi itu.Jeremy sangat terkejut dan marah setelah menerima telepon dari salah satu penjaga yang bekerja di kediaman Tuan Fortman.Para bajingan itu ternyata masih saja gemar menyiksa Aaron. Bahkan memperlakukan Tuan Muda sudah seperti binatang.["Anda harus lakukan sesuatu, Tuan! Mereka akan membawa Tuan Muda ke tahanan khusus siang ini!"]Dicengkeram gagang telepon dalam genggaman. Jeremy memejamkan matanya berat."Aku akan siapkan semuanya. Kau harus awasi di sana dan terus hubungi aku," kata Jeremy.["Baik, Tuan!"]Brak!Diletakkan gagang telepon itu kembali ke tempatnya. Jeremy memijat pertengahan di antara kedua alisnya yang tebal. Ia sedang berpikir.Sementara itu di kediaman Tuan Fortman. Tepatnya di lantai dua mansion.Langkah anggun sepasang tungkai jenjang yang dipasangi heels warna merah terayun menuju suatu kamar. Itu kamar khusus di mana mereka menyimpan Tuan Fortman yang sedang koma.Marisa berjalan sambil menikmati batang rokoknya
Jeremy menatap punggung seorang yang berdiri sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Kemudian dilihatnya laras panjang yang tergeletak di antara kedua tungkai orang tersebut. "Hei, siapa yang membayar mu?" Ekor mata sang sniper melirik. Dan saat Jeremy hendak maju, ia segera memutar dan langsung menendang revolver di tangan pria itu. Senjata api jatuh tak terelakan lagi. Jeremy dibuat terkejut saat satu pukulan menghantam wajahnya. Dia jatuh tersungkur. Dua orang yang melihatnya segera bersiap untuk menembak. Sementara sniper segera meraih senjata dengan kakinya. Duar! Duar! Baku tembak terjadi di antara mereka. Jeremy segera bangkit dan langsung menyambar pistolnya. Dia mengejar sniper yang bersembunyi di balik mobil. "Keluar kau atau kami akan menembak mu di sini!" Sniper sedang bersiaga dengan senjata di tangan. Ekor matanya mengintai dari balik mobil. Duar! Duar! Shit! Mereka terus menembak! Ia segera mengisi peluru dan mulai mengincar kepala musuh. Duar! Dua