Suara baling-baling helikoter masih terdengar di telinga Aaron. Juga situasinya saat itu. Kilas balik masa lalu membuatnya mengantuk.
Salju putih berjatuhan di langit memenuhi atap kaca. Hawa dingin menusuk ke tulang di sela pakaian basah yang berbau busuk. Dari ujung lorong yang remang terlihat langkah seorang laki-laki. "Dasar gila! Dia bahkan masih bisa tidur pulas di dalam penjara busuk ini," desis Marquez sambil menutupi hidungnya menggunakan sapu tangan. Cuaca yang lembab membuat aroma busuk yang tercium dari dalam penjara itu semakin menyengat. Sementara laki-laki yang dikurung di dalam sana malah sedang enak tidur. Jelas saja dia jadi kesal. Dua orang penjaga segera menghampiri laki-laki dengan mantel bulu tebal yang sedang berdiri memandangi si tahanan. "Selamat malam, Tuan Marquez." Mereka menyapa dengan sopan. Marquez cuma melirik sesaat ke arah dua orang penjaga itu, lantas matanya kembali menatap pada laki-laki lusuh yang terikat rantai berkarat di dalam penjara. "Apa kalian sudah kasih dia makan?" "Nyonya melarang kami, Tuan." Marquez menoleh. "Lantas kenapa dia bisa tertidur pulas begitu?" Para penjaga menunduk takut-takut saat Marquez melotot pada mereka. "Bukankhan sudah dua hari dia tidak diberi makan?" Marquez bertanya lagi. Dua orang penjaga mengangguk serempak. Salah satu dari mereka lantas menjawab, "Kemarin kami memberinya sayuran busuk dan kotoran anjing." Marques tersenyum puas. Lantas ia berkata, "Maka jika dia terjaga nanti berikan saja kotoran kalian sebagai menu sarapannya." "Hahaha! Itu ide bagus, Tuan!" Tawa itu belum dipadamkan saat mereka berjalan meninggalkan penjara. Aaron segera membuka matanya. Tangannya mengepal kuat dan darahnya berdesir panas. "Tuan Muda harus makan makanan yang sehat dan diawasi oleh ahli gizi juga para dokter. Jangan sampai ada bahan makanan yang tidak berkualitas yang masuk ke perutnya. Semuanya harus dipastikan dengan sangat teliti." Aaron tersenyum mendengar ibunya bicara pada para juru masak dan semua pekerja di mansion mereka. Sang ibu amat peduli terhadap kesehatannya. Juga semua hal yang berkaitan dengannya. "Mom!" Perempuan tinggi langsing dengan gaun musim panas warna biru muda itu memutar tubuhnya setelah mendengar suara anak laki-laki yang memanggilnya. Wajah cerah Aaron menyambut senyum manis sang ibu. "Hei, sejak kapan kau di sini? Ayo, anak laki-laki tak boleh sering datang ke dapur!" Ibunya segera mengajak Aaron pergi. Sambil berjalan menuju ruang makan, ibunya menceritakan suatu dongeng. Kisah seorang duke yang malang. Duke muda harus tinggal jauh dari kastilnya setelah dicelakai oleh ibu tiri yang kejam. Itu kisah yang paling menyedihkan sekaligus mengerikan bagi Aaron kecil. "Aku tak mau ibu tiri kejam! Aku cuma mau Mommy saja!" rengek Aaron. Sang ibu tersenyum gemas. "Hei, ibu tiri kejam hanya ada dalam sebuah dongeng saja. Jangan takut, Mommy akan selalu ada di sisimu sampai kau menjadi seorang Duke!" Aaron tersenyum puas dalam pelukan sang ibu. Kemudian dia makan disuapi oleh ibunya. Saat itu usianya baru tujuh tahun. Sang ibu selalu memanjakannya dengan cinta dan kasih. Juga makanan yang lezat. Aaron merindukan semua itu. Dia merindukan ibunya. Dan ternyata kisah duke malang yang ibunya ceritakan itu kini telah terjadi padanya. Tak terasa bulir bening terjun di pipinya. "Mom, aku ingin makan. Aku lapar," lirihnya. Matanya melirik ke arah mangkuk kotor berisikan sayuran busuk dan kotoran anjing. Para bedebah gila itu mengatakan, jika itu adalah menu makan malamnya. Meski sangat kelaparan, Aaron tidak akan sudi menyentuh benda menjijikan itu! ~•~ Pagi itu di kantor pusat Mecco Company Group. "Tanda tangan Tuan Besar tetap diperlukan untuk mengesahkan dokumen pengalihan semua aset dan warisan keluarga Fortman." Marquez berdecak jengah setelah mendengar ucapan seorang pengacara yang dibawa oleh ibunya. Kemudian dia menoleh ke arah punggung wanita yang sedang berdiri di tepi garis jendela. Marisa terlihat tenang-tenang saja. Bahkan sang ibu tampak sibuk dengan batang rokoknya. Apa dia tuli? Tanda tangan si tua bangka dibutuhkan untuk pengesahan dokumen! Lantas kenapa Marisa terlihat tenang-tenang saja? Marquez yang kesal hendak bangkit dari kursinya. Namun, suara Marisa membuatnya terdiam di posisi. "Anthony sedang koma, lantas bagaimana dia bisa mencetak tanda tangan? Apakah jika laki-laki tua itu mati, semuanya akan lebih mudah?" Marquez menoleh ke arah laki-laki yang duduk pada sofa di ruangan itu. Ia tidak sabar menunggu tanggapan si pengacara. Orang itu menggeleng. "Tetap sulit, Nyonya. Sebab sang pewaris Tuan Fortman masih hidup." "Lantas bagaimana jika Aaron juga tiada?" Marquez buru-buru menyela ucapan si pengacara. Marisa menoleh ke arah sang putra dengan mata menyipit. Apa yang mau Marquez lakukan. Mereka tidak bisa menghabisi Aaron saat ini. Dan jika si bodoh itu mau bertindak di luar rencana, maka dia akan menahan Marquez. Pengacara terdiam sejenak, lantas ia menoleh ke arah Marquez dan Marisa. Kemudian tangannya membuka koper yang ia bawa. Sebuah dokumen diambilnya dari dalam sana. Mata Marques mengincar si pengacara. Dia tak sabar ingin tahu apa yang akan laki-laki itu lakukan dengan dokumennya. Sementara Marisa masih menyimak sambil berdiri di tempatnya. "Ini dokumen bayangan yang saya curi dari ruangan Jeremy. Dokumen ini tidak berlaku, karena dokumen yang asli masih berada di tangan Jeremy." Pengacara itu bicara sambil menunjukkan isi dokumen ke depan Marquez. Laki-laki itu menggeleng tidak mengerti. Lantas ia melirik ke arah Marisa. Wanita itu bergegas maju menuju pada mereka. "Dalam dokumen ini tertulis suatu pasal yang berbunyi, jika terjadi hal buruk pada Tuan Fortman dan ahil warisnya, Aaron de Fortman. Maka, semua aset dan warisan keluarga Fortman akan disumbangkan untuk panti-panti sosial di San Alexandria Baru." Marisa melotot mendengar pengacara membacakan isi dokumen penting tersebut. "Oh, shit!" Marquez mendengus kesal. Dia tidak terima. Laki-laki itu menjambak rambutnya sendiri, lantas menendang meja. "Aku tidak mau tahu! Pokoknya semua aset dan warisan harus jatuh ke tanganku!" teriak Marquez. Marisa terdiam dalam keputusasaan. Kemudian dia kembali bertanya pada si pengacara. "Apa tidak ada jalan lain? Mustahil 70 triliun dolar harus disumbangkan ke panti-panti sosial begitu saja! Aku bisa gila jika itu terjadi!" Marquez menoleh ke arah ibunya. Dia menunjuk wanita itu. "Ini semua salahmu! Mestinya kau sudah mengurus semuanya sebelum tua bangka itu koma!" "Apa? Kau menyalahkan ku?" Marisa yang kesal ingin mencakar wajah Marquez. "Tenang, Nyonya! Masih ada satu jalan lagi," ucap si pengacara di tengah situasi panas yang terjadi di ruangan itu. Marisa dan Marques menoleh serempak ke arah laki-laki berpakaian formal yang sedang berdiri sambil menatap mereka. "Apa itu? Cepat katakan!" gertak Marquez. Marisa menimpali, "Ya, Dunant. Ayo cepat katakan!" Si pengacara memasang wajah tenang-tenang saja. "Mintalah Tuan Muda Fortman untuk menandatangani dokumen pengalihan wewenang. Hanya itu jalan satu-satunya untuk mendapatkan aset dan warisan keluarga Fortman," ringkasnya. Marisa dan Marques tercengang. Apa? Meminta tanda tangan Aaron? Itu terdengar sangat mustahil! Dan bukankah mereka sudah pernah mencobanya? "Tenang, Mom. Biar aku yang paksa si bodoh itu tanda tangan! Bila perlu, aku akan memotong semua jarinya kalau dia menolak!" Marisa tersenyum miring mendengar ocehan Marquez. Sepuluh tahun mereka tinggal bersama di rumah besar Tuan Fortman. Marisa tahu persis seperti apa Aaron. "Aku akan menjilat telapak kakimu jika kau berhasil, Sayangku." Marquez cuma mengangguk menanggapi ucapan ibunya. Dia bergegas pergi. Sepeninggal Marquez, wanita itu menghubungi seseorang. "Aku ingin bicara dengan Dokter Federic," katanya lewat sambungan ponsel. "Dokter Federic, aku butuh bantuanmu." "Bantuan apa, Nyonya?" "Obat halusinasi, aku butuh itu untuk Aaron." "Saya akan segera menemui Anda." "Baiklah, aku tunggu." Marisa menurunkan ponsel pintar dalam genggaman. Bibirnya menyeringai tipis. Pil halusinasi atau terapi kejut dengan sengatan listrik ribuan volt. Sepertinya semua itu mampu merusak otak Aaron. Maka laki-laki itu akan mau mencetak tanda tangan di bawah kesadarannya yang kacau.Hari mulai siang saat mobil hitam menepi di pelataran kediaman keluarga Fortman. Marisa baru saja tiba usai bertemu pengacara di Pusat Group Mecco Company."Selamat siang, Nyonya!""Menyingkir kalian!"Para asiten keheranan melihat wajah Marisa yang tampak sangat kesal. Wanita itu marah-marah seperti iblis yang sedang kelaparan. Tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya."Ursula, apa Dokter Federic datang kesini?""Belum, Nyonya."Shit!Marisa mendengus kesal. Kapan dokter itu akan datang? Ia sudah tidak sabar ingin segera menjalankan rencananya. Dengan emosi yang sesak di dada, wanita itu menggeleng lalu membentak para pekerja tanpa alasan yang jelas."Sepertinya Nyonya lupa minum obat.""Ya, kau benar. Dia harus minum obat."Para pekerja segera pergi setelah Marisa memaki mereka habis-habisan. Wanita itu memang tidak waras. Mentalnya terganggu sejak Tuan Fortman koma. Sementara itu di ruang bawah tanah di mana Aaron disekap. Tiga bayangan panjang memnatul saat pintu sebuah
"Jesica!""Tidak! Jesica!"Aaron histeris dan ingin mengamuk. Entah apa yang terjadi. Marisa segera menoleh ke arah Dokter Federic. Sang dokter cuma memasang wajah heran menanggapi."Apa yang terjadi? Kenapa dia tidak mau diam?" tanya Marisa.Marquez menimpali, "Jika dia terus mengamuk begitu, bagaimana kita bisa membuatnya menandatangani berkas-berkas itu?"Kedua orang itu tampak pusing dan bingung. Dokter Federic segera angkat bicara."Sepertinya obat halusinasi sudah tidak mempan padanya. Malam ini juga sebaiknya dia segera dibawa ke rumah sakit! Ada banyak alat di sana yang bisa merusak mentalnya."Marquez menoleh ke arah ibunya usai mendengar semua ucapan Dokter Federic.Marisa mengangguk. "Lakukan apa saja yang penting dia mau tanda tangan!" putusnya.Dokter Federic tersenyum tipis. Maka malam itu juga ia segera mengatur keberangkatan Aaron menuju rumah sakit jiwa."Lepaskan aku!""Jesica!"Aaron terus berontak dan berteriak saat beberapa petugas rumah sakit membawanya keluar d
Marquez memejamkan mata seraya mencengkeram gelas wine dalam genggaman.Prang!Marisa yang terkejut segera menoleh ke arah sang putra yang sedang duduk di sofa. Ia menjerit melihat tangan Marquez mengucurkan darah segar. Gila! Dia mencengkeram gelas sampai pecah?"Cepat panggilkan dokter!" teriak Marisa pada para asisten.Semua orang dibuat ricuh. Sementara Marquez tetap diam meski pendarahan di tangannya tak juga berhenti.Darah ini adalah bukti jika api yang berkobar di matanya tidak akan pernah padam sebelum melihat mayat Aaron."Marquez Sayangku!"Marisa merangkul kepala Marquez hingga bersandar ke bahunya. Wanita itu menangis melihat tangan putranya terluka.Para dokter segera berdatangan. Marquez langsung mendapatkan penanganan medis. Marisa cemas melihat sang putra diam saja."Kau pasti kesal karena kita gagal lagi menghabisi Aaron."Marquez cuma menarik nafas panjang lalu membuang pandangan ke luar jendela. Salju mulai turun menjelang malam tiba.Butiran putih itu mengingatka
Kantor Pengacara Pusat Alexandria Baru pagi itu.Jeremy sangat terkejut dan marah setelah menerima telepon dari salah satu penjaga yang bekerja di kediaman Tuan Fortman.Para bajingan itu ternyata masih saja gemar menyiksa Aaron. Bahkan memperlakukan Tuan Muda sudah seperti binatang.["Anda harus lakukan sesuatu, Tuan! Mereka akan membawa Tuan Muda ke tahanan khusus siang ini!"]Dicengkeram gagang telepon dalam genggaman. Jeremy memejamkan matanya berat."Aku akan siapkan semuanya. Kau harus awasi di sana dan terus hubungi aku," kata Jeremy.["Baik, Tuan!"]Brak!Diletakkan gagang telepon itu kembali ke tempatnya. Jeremy memijat pertengahan di antara kedua alisnya yang tebal. Ia sedang berpikir.Sementara itu di kediaman Tuan Fortman. Tepatnya di lantai dua mansion.Langkah anggun sepasang tungkai jenjang yang dipasangi heels warna merah terayun menuju suatu kamar. Itu kamar khusus di mana mereka menyimpan Tuan Fortman yang sedang koma.Marisa berjalan sambil menikmati batang rokoknya
Jeremy menatap punggung seorang yang berdiri sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Kemudian dilihatnya laras panjang yang tergeletak di antara kedua tungkai orang tersebut. "Hei, siapa yang membayar mu?" Ekor mata sang sniper melirik. Dan saat Jeremy hendak maju, ia segera memutar dan langsung menendang revolver di tangan pria itu. Senjata api jatuh tak terelakan lagi. Jeremy dibuat terkejut saat satu pukulan menghantam wajahnya. Dia jatuh tersungkur. Dua orang yang melihatnya segera bersiap untuk menembak. Sementara sniper segera meraih senjata dengan kakinya. Duar! Duar! Baku tembak terjadi di antara mereka. Jeremy segera bangkit dan langsung menyambar pistolnya. Dia mengejar sniper yang bersembunyi di balik mobil. "Keluar kau atau kami akan menembak mu di sini!" Sniper sedang bersiaga dengan senjata di tangan. Ekor matanya mengintai dari balik mobil. Duar! Duar! Shit! Mereka terus menembak! Ia segera mengisi peluru dan mulai mengincar kepala musuh. Duar! Dua
Pagi yang dingin di pertengahan bulan Juni. Sinar jingga menerobos dari sela-sela perbukitan yang diselimuti salju tebal.Seorang laki-laki terbaring di atas sebuah brangkar yang berada di ruang rawat khusus.Aaron de Fortman, ia membuka matanya perlahan-lahan. Samar-samar ia memindai ke sekitar ruangan tempat dirinya berada.Beragam alat medis terpampang di sekitar. Aroma obat-obatan membuat kepalanya pusing. Juga suara tetesan air infus yang terdengar lamban.Ini bukan penjara tempat ia disekap. Ruangan ini mengingatkan ia pada insiden tiga tahun yang lalu.'Cepat siapkan!''Lakukan!'"Tidak!"Aaron menjerit. Dan saat ia hendak bangkit, dia terkejut melihat kedua tangan dan kakinya sudah dipasangi borgol yang dikaitkan ke masing-masing tepi ranjang.Ini ruang terapi kejut. Dia trauma dengan situasi saat ini. Di mana para dokter akan melakukan tindakan padanya. Itu sebuah kejahatan."Dokter, pasien sudah sadar!"Perawat yang melihat Aaron segera berlari menuju ruang dokter untuk mela
Hari berikutnya di rumah sakit jiwa. Miranda sedang berjalan di lorong sambil memegang catatan para pasien. Matanya mencari-cari ke sekitar.Di mana mereka menyekap Tuan Muda Fortman?"Dokter Miranda!"Deg!Suara itu membuatnya terkejut. Langkah sepasang tungkai jenjang itu segera dihentikan. Indera pendengaran Miranda menangkap suara ketukan sepatu yang mendekat dari arah belakang."Dokter Miranda, apa yang sedang Anda lakukan di sini? Bukankah ini lorong menuju pusat rumah sakit?"Pusat rumah sakit?Miranda keheranan sesaat. Ia mengerjapkan mata beberapa kali guna menetralisir serangan panik yang mendera jiwanya.Dokter Toni menatapnya dengan kedua alis hitam tebal yang nyaris menyatu. Gelagat Dokter Miranda membuatnya curiga."Ah, ya! Aku sedang menuju bangsal pasien kelas berat. Sepertinya aku tersesat sampai ke sini," ucap Miranda disertai senyuman yang tampak canggung.Dokter Toni memicingkan matanya. "Anda orang baru di rumah sakit ini, sebaiknya Anda baca dulu protokol rumah s
Lorong menuju ruang operasi cukup sepi. Miranda tampak gusar sambil berjalan di belakang Dokter Toni. Sesekali ia menatap punggung laki-laki di depannya itu.Aneh sekali. Kenapa tiba-tiba Dokter Toni ingin dia membantunya di ruang operasi. Namun, apakah mereka akan melakukan operasi terhadap Tuan Muda Fortman?Tanda tanya besar muncul di benak Miranda. Dia harus waspada. Terutama pada Dokter Toni. Begitu yang dikatakan oleh Jeremy.Pintu ruang operasi sudah kelihatan. Miranda menelan ludah kasar saat Dokter Toni tiba-tiba menoleh padanya."Dokter Miranda, ada pasien kelas berat yang akan menjalani operasi syaraf otak malam ini. Kami ingin kau turut melihatnya."Miranda mengangguk. "Baik, Dokter."Dokter Toni tersenyum tipis. Laki-laki itu segera melanjutkan langkahnya menuju pintu ruang operasi. Dua orang dokter yang sudah menunggunya segera mempersilakan mereka untuk masuk.Miranda berjalan mengikuti langkah Dokter Toni. Matanya memindai ke sekitar ruangan di mana dirinya berada saat