Beranda / Thriller / SANG PEWARIS PERKASA / Chapter 6 - Warisan Keluarga Fortman

Share

Chapter 6 - Warisan Keluarga Fortman

Suara baling-baling helikoter masih terdengar di telinga Aaron. Juga situasinya saat itu. Kilas balik masa lalu membuatnya mengantuk.

Salju putih berjatuhan di langit memenuhi atap kaca. Hawa dingin menusuk ke tulang di sela pakaian basah yang berbau busuk. Dari ujung lorong yang remang terlihat langkah seorang laki-laki.

"Dasar gila! Dia bahkan masih bisa tidur pulas di dalam penjara busuk ini," desis Marquez sambil menutupi hidungnya menggunakan sapu tangan.

Cuaca yang lembab membuat aroma busuk yang tercium dari dalam penjara itu semakin menyengat. Sementara laki-laki yang dikurung di dalam sana malah sedang enak tidur. Jelas saja dia jadi kesal.

Dua orang penjaga segera menghampiri laki-laki dengan mantel bulu tebal yang sedang berdiri memandangi si tahanan.

"Selamat malam, Tuan Marquez." Mereka menyapa dengan sopan.

Marquez cuma melirik sesaat ke arah dua orang penjaga itu, lantas matanya kembali menatap pada laki-laki lusuh yang terikat rantai berkarat di dalam penjara.

"Apa kalian sudah kasih dia makan?"

"Nyonya melarang kami, Tuan."

Marquez menoleh. "Lantas kenapa dia bisa tertidur pulas begitu?"

Para penjaga menunduk takut-takut saat Marquez melotot pada mereka.

"Bukankhan sudah dua hari dia tidak diberi makan?" Marquez bertanya lagi.

Dua orang penjaga mengangguk serempak. Salah satu dari mereka lantas menjawab, "Kemarin kami memberinya sayuran busuk dan kotoran anjing."

Marques tersenyum puas. Lantas ia berkata, "Maka jika dia terjaga nanti berikan saja kotoran kalian sebagai menu sarapannya."

"Hahaha! Itu ide bagus, Tuan!"

Tawa itu belum dipadamkan saat mereka berjalan meninggalkan penjara. Aaron segera membuka matanya. Tangannya mengepal kuat dan darahnya berdesir panas.

"Tuan Muda harus makan makanan yang sehat dan diawasi oleh ahli gizi juga para dokter. Jangan sampai ada bahan makanan yang tidak berkualitas yang masuk ke perutnya. Semuanya harus dipastikan dengan sangat teliti."

Aaron tersenyum mendengar ibunya bicara pada para juru masak dan semua pekerja di mansion mereka. Sang ibu amat peduli terhadap kesehatannya. Juga semua hal yang berkaitan dengannya.

"Mom!"

Perempuan tinggi langsing dengan gaun musim panas warna biru muda itu memutar tubuhnya setelah mendengar suara anak laki-laki yang memanggilnya.

Wajah cerah Aaron menyambut senyum manis sang ibu.

"Hei, sejak kapan kau di sini? Ayo, anak laki-laki tak boleh sering datang ke dapur!" Ibunya segera mengajak Aaron pergi.

Sambil berjalan menuju ruang makan, ibunya menceritakan suatu dongeng.

Kisah seorang duke yang malang. Duke muda harus tinggal jauh dari kastilnya setelah dicelakai oleh ibu tiri yang kejam. Itu kisah yang paling menyedihkan sekaligus mengerikan bagi Aaron kecil.

"Aku tak mau ibu tiri kejam! Aku cuma mau Mommy saja!" rengek Aaron.

Sang ibu tersenyum gemas. "Hei, ibu tiri kejam hanya ada dalam sebuah dongeng saja. Jangan takut, Mommy akan selalu ada di sisimu sampai kau menjadi seorang Duke!"

Aaron tersenyum puas dalam pelukan sang ibu. Kemudian dia makan disuapi oleh ibunya.

Saat itu usianya baru tujuh tahun. Sang ibu selalu memanjakannya dengan cinta dan kasih. Juga makanan yang lezat.

Aaron merindukan semua itu. Dia merindukan ibunya. Dan ternyata kisah duke malang yang ibunya ceritakan itu kini telah terjadi padanya. Tak terasa bulir bening terjun di pipinya.

"Mom, aku ingin makan. Aku lapar," lirihnya.

Matanya melirik ke arah mangkuk kotor berisikan sayuran busuk dan kotoran anjing. Para bedebah gila itu mengatakan, jika itu adalah menu makan malamnya.

Meski sangat kelaparan, Aaron tidak akan sudi menyentuh benda menjijikan itu!

~•~

Pagi itu di kantor pusat Mecco Company Group.

"Tanda tangan Tuan Besar tetap diperlukan untuk mengesahkan dokumen pengalihan semua aset dan warisan keluarga Fortman."

Marquez berdecak jengah setelah mendengar ucapan seorang pengacara yang dibawa oleh ibunya. Kemudian dia menoleh ke arah punggung wanita yang sedang berdiri di tepi garis jendela.

Marisa terlihat tenang-tenang saja. Bahkan sang ibu tampak sibuk dengan batang rokoknya.

Apa dia tuli?

Tanda tangan si tua bangka dibutuhkan untuk pengesahan dokumen! Lantas kenapa Marisa terlihat tenang-tenang saja?

Marquez yang kesal hendak bangkit dari kursinya. Namun, suara Marisa membuatnya terdiam di posisi.

"Anthony sedang koma, lantas bagaimana dia bisa mencetak tanda tangan? Apakah jika laki-laki tua itu mati, semuanya akan lebih mudah?"

Marquez menoleh ke arah laki-laki yang duduk pada sofa di ruangan itu. Ia tidak sabar menunggu tanggapan si pengacara.

Orang itu menggeleng. "Tetap sulit, Nyonya. Sebab sang pewaris Tuan Fortman masih hidup."

"Lantas bagaimana jika Aaron juga tiada?" Marquez buru-buru menyela ucapan si pengacara.

Marisa menoleh ke arah sang putra dengan mata menyipit. Apa yang mau Marquez lakukan. Mereka tidak bisa menghabisi Aaron saat ini. Dan jika si bodoh itu mau bertindak di luar rencana, maka dia akan menahan Marquez.

Pengacara terdiam sejenak, lantas ia menoleh ke arah Marquez dan Marisa. Kemudian tangannya membuka koper yang ia bawa. Sebuah dokumen diambilnya dari dalam sana.

Mata Marques mengincar si pengacara. Dia tak sabar ingin tahu apa yang akan laki-laki itu lakukan dengan dokumennya.

Sementara Marisa masih menyimak sambil berdiri di tempatnya.

"Ini dokumen bayangan yang saya curi dari ruangan Jeremy. Dokumen ini tidak berlaku, karena dokumen yang asli masih berada di tangan Jeremy." Pengacara itu bicara sambil menunjukkan isi dokumen ke depan Marquez.

Laki-laki itu menggeleng tidak mengerti. Lantas ia melirik ke arah Marisa. Wanita itu bergegas maju menuju pada mereka.

"Dalam dokumen ini tertulis suatu pasal yang berbunyi, jika terjadi hal buruk pada Tuan Fortman dan ahil warisnya, Aaron de Fortman. Maka, semua aset dan warisan keluarga Fortman akan disumbangkan untuk panti-panti sosial di San Alexandria Baru."

Marisa melotot mendengar pengacara membacakan isi dokumen penting tersebut.

"Oh, shit!"

Marquez mendengus kesal. Dia tidak terima. Laki-laki itu menjambak rambutnya sendiri, lantas menendang meja.

"Aku tidak mau tahu! Pokoknya semua aset dan warisan harus jatuh ke tanganku!" teriak Marquez.

Marisa terdiam dalam keputusasaan. Kemudian dia kembali bertanya pada si pengacara.

"Apa tidak ada jalan lain? Mustahil 70 triliun dolar harus disumbangkan ke panti-panti sosial begitu saja! Aku bisa gila jika itu terjadi!"

Marquez menoleh ke arah ibunya. Dia menunjuk wanita itu. "Ini semua salahmu! Mestinya kau sudah mengurus semuanya sebelum tua bangka itu koma!"

"Apa? Kau menyalahkan ku?" Marisa yang kesal ingin mencakar wajah Marquez.

"Tenang, Nyonya! Masih ada satu jalan lagi," ucap si pengacara di tengah situasi panas yang terjadi di ruangan itu.

Marisa dan Marques menoleh serempak ke arah laki-laki berpakaian formal yang sedang berdiri sambil menatap mereka.

"Apa itu? Cepat katakan!" gertak Marquez.

Marisa menimpali, "Ya, Dunant. Ayo cepat katakan!"

Si pengacara memasang wajah tenang-tenang saja. "Mintalah Tuan Muda Fortman untuk menandatangani dokumen pengalihan wewenang. Hanya itu jalan satu-satunya untuk mendapatkan aset dan warisan keluarga Fortman," ringkasnya.

Marisa dan Marques tercengang.

Apa? Meminta tanda tangan Aaron?

Itu terdengar sangat mustahil!

Dan bukankah mereka sudah pernah mencobanya?

"Tenang, Mom. Biar aku yang paksa si bodoh itu tanda tangan! Bila perlu, aku akan memotong semua jarinya kalau dia menolak!"

Marisa tersenyum miring mendengar ocehan Marquez. Sepuluh tahun mereka tinggal bersama di rumah besar Tuan Fortman. Marisa tahu persis seperti apa Aaron.

"Aku akan menjilat telapak kakimu jika kau berhasil, Sayangku."

Marquez cuma mengangguk menanggapi ucapan ibunya. Dia bergegas pergi.

Sepeninggal Marquez, wanita itu menghubungi seseorang. "Aku ingin bicara dengan Dokter Federic," katanya lewat sambungan ponsel.

"Dokter Federic, aku butuh bantuanmu."

"Bantuan apa, Nyonya?"

"Obat halusinasi, aku butuh itu untuk Aaron."

"Saya akan segera menemui Anda."

"Baiklah, aku tunggu."

Marisa menurunkan ponsel pintar dalam genggaman. Bibirnya menyeringai tipis.

Pil halusinasi atau terapi kejut dengan sengatan listrik ribuan volt. Sepertinya semua itu mampu merusak otak Aaron.

Maka laki-laki itu akan mau mencetak tanda tangan di bawah kesadarannya yang kacau.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status