Suara baling-baling helikoter masih terdengar di telinga Aaron. Juga situasinya saat itu. Kilas balik masa lalu membuatnya mengantuk.
Salju putih berjatuhan di langit memenuhi atap kaca. Hawa dingin menusuk ke tulang di sela pakaian basah yang berbau busuk. Dari ujung lorong yang remang terlihat langkah seorang laki-laki. "Dasar gila! Dia bahkan masih bisa tidur pulas di dalam penjara busuk ini," desis Marquez sambil menutupi hidungnya menggunakan sapu tangan. Cuaca yang lembab membuat aroma busuk yang tercium dari dalam penjara itu semakin menyengat. Sementara laki-laki yang dikurung di dalam sana malah sedang enak tidur. Jelas saja dia jadi kesal. Dua orang penjaga segera menghampiri laki-laki dengan mantel bulu tebal yang sedang berdiri memandangi si tahanan. "Selamat malam, Tuan Marquez." Mereka menyapa dengan sopan. Marquez cuma melirik sesaat ke arah dua orang penjaga itu, lantas matanya kembali menatap pada laki-laki lusuh yang terikat rantai berkarat di dalam penjara. "Apa kalian sudah kasih dia makan?" "Nyonya melarang kami, Tuan." Marquez menoleh. "Lantas kenapa dia bisa tertidur pulas begitu?" Para penjaga menunduk takut-takut saat Marquez melotot pada mereka. "Bukankhan sudah dua hari dia tidak diberi makan?" Marquez bertanya lagi. Dua orang penjaga mengangguk serempak. Salah satu dari mereka lantas menjawab, "Kemarin kami memberinya sayuran busuk dan kotoran anjing." Marques tersenyum puas. Lantas ia berkata, "Maka jika dia terjaga nanti berikan saja kotoran kalian sebagai menu sarapannya." "Hahaha! Itu ide bagus, Tuan!" Tawa itu belum dipadamkan saat mereka berjalan meninggalkan penjara. Aaron segera membuka matanya. Tangannya mengepal kuat dan darahnya berdesir panas. "Tuan Muda harus makan makanan yang sehat dan diawasi oleh ahli gizi juga para dokter. Jangan sampai ada bahan makanan yang tidak berkualitas yang masuk ke perutnya. Semuanya harus dipastikan dengan sangat teliti." Aaron tersenyum mendengar ibunya bicara pada para juru masak dan semua pekerja di mansion mereka. Sang ibu amat peduli terhadap kesehatannya. Juga semua hal yang berkaitan dengannya. "Mom!" Perempuan tinggi langsing dengan gaun musim panas warna biru muda itu memutar tubuhnya setelah mendengar suara anak laki-laki yang memanggilnya. Wajah cerah Aaron menyambut senyum manis sang ibu. "Hei, sejak kapan kau di sini? Ayo, anak laki-laki tak boleh sering datang ke dapur!" Ibunya segera mengajak Aaron pergi. Sambil berjalan menuju ruang makan, ibunya menceritakan suatu dongeng. Kisah seorang duke yang malang. Duke muda harus tinggal jauh dari kastilnya setelah dicelakai oleh ibu tiri yang kejam. Itu kisah yang paling menyedihkan sekaligus mengerikan bagi Aaron kecil. "Aku tak mau ibu tiri kejam! Aku cuma mau Mommy saja!" rengek Aaron. Sang ibu tersenyum gemas. "Hei, ibu tiri kejam hanya ada dalam sebuah dongeng saja. Jangan takut, Mommy akan selalu ada di sisimu sampai kau menjadi seorang Duke!" Aaron tersenyum puas dalam pelukan sang ibu. Kemudian dia makan disuapi oleh ibunya. Saat itu usianya baru tujuh tahun. Sang ibu selalu memanjakannya dengan cinta dan kasih. Juga makanan yang lezat. Aaron merindukan semua itu. Dia merindukan ibunya. Dan ternyata kisah duke malang yang ibunya ceritakan itu kini telah terjadi padanya. Tak terasa bulir bening terjun di pipinya. "Mom, aku ingin makan. Aku lapar," lirihnya. Matanya melirik ke arah mangkuk kotor berisikan sayuran busuk dan kotoran anjing. Para bedebah gila itu mengatakan, jika itu adalah menu makan malamnya. Meski sangat kelaparan, Aaron tidak akan sudi menyentuh benda menjijikan itu! ~•~ Pagi itu di kantor pusat Mecco Company Group. "Tanda tangan Tuan Besar tetap diperlukan untuk mengesahkan dokumen pengalihan semua aset dan warisan keluarga Fortman." Marquez berdecak jengah setelah mendengar ucapan seorang pengacara yang dibawa oleh ibunya. Kemudian dia menoleh ke arah punggung wanita yang sedang berdiri di tepi garis jendela. Marisa terlihat tenang-tenang saja. Bahkan sang ibu tampak sibuk dengan batang rokoknya. Apa dia tuli? Tanda tangan si tua bangka dibutuhkan untuk pengesahan dokumen! Lantas kenapa Marisa terlihat tenang-tenang saja? Marquez yang kesal hendak bangkit dari kursinya. Namun, suara Marisa membuatnya terdiam di posisi. "Anthony sedang koma, lantas bagaimana dia bisa mencetak tanda tangan? Apakah jika laki-laki tua itu mati, semuanya akan lebih mudah?" Marquez menoleh ke arah laki-laki yang duduk pada sofa di ruangan itu. Ia tidak sabar menunggu tanggapan si pengacara. Orang itu menggeleng. "Tetap sulit, Nyonya. Sebab sang pewaris Tuan Fortman masih hidup." "Lantas bagaimana jika Aaron juga tiada?" Marquez buru-buru menyela ucapan si pengacara. Marisa menoleh ke arah sang putra dengan mata menyipit. Apa yang mau Marquez lakukan. Mereka tidak bisa menghabisi Aaron saat ini. Dan jika si bodoh itu mau bertindak di luar rencana, maka dia akan menahan Marquez. Pengacara terdiam sejenak, lantas ia menoleh ke arah Marquez dan Marisa. Kemudian tangannya membuka koper yang ia bawa. Sebuah dokumen diambilnya dari dalam sana. Mata Marques mengincar si pengacara. Dia tak sabar ingin tahu apa yang akan laki-laki itu lakukan dengan dokumennya. Sementara Marisa masih menyimak sambil berdiri di tempatnya. "Ini dokumen bayangan yang saya curi dari ruangan Jeremy. Dokumen ini tidak berlaku, karena dokumen yang asli masih berada di tangan Jeremy." Pengacara itu bicara sambil menunjukkan isi dokumen ke depan Marquez. Laki-laki itu menggeleng tidak mengerti. Lantas ia melirik ke arah Marisa. Wanita itu bergegas maju menuju pada mereka. "Dalam dokumen ini tertulis suatu pasal yang berbunyi, jika terjadi hal buruk pada Tuan Fortman dan ahil warisnya, Aaron de Fortman. Maka, semua aset dan warisan keluarga Fortman akan disumbangkan untuk panti-panti sosial di San Alexandria Baru." Marisa melotot mendengar pengacara membacakan isi dokumen penting tersebut. "Oh, shit!" Marquez mendengus kesal. Dia tidak terima. Laki-laki itu menjambak rambutnya sendiri, lantas menendang meja. "Aku tidak mau tahu! Pokoknya semua aset dan warisan harus jatuh ke tanganku!" teriak Marquez. Marisa terdiam dalam keputusasaan. Kemudian dia kembali bertanya pada si pengacara. "Apa tidak ada jalan lain? Mustahil 70 triliun dolar harus disumbangkan ke panti-panti sosial begitu saja! Aku bisa gila jika itu terjadi!" Marquez menoleh ke arah ibunya. Dia menunjuk wanita itu. "Ini semua salahmu! Mestinya kau sudah mengurus semuanya sebelum tua bangka itu koma!" "Apa? Kau menyalahkan ku?" Marisa yang kesal ingin mencakar wajah Marquez. "Tenang, Nyonya! Masih ada satu jalan lagi," ucap si pengacara di tengah situasi panas yang terjadi di ruangan itu. Marisa dan Marques menoleh serempak ke arah laki-laki berpakaian formal yang sedang berdiri sambil menatap mereka. "Apa itu? Cepat katakan!" gertak Marquez. Marisa menimpali, "Ya, Dunant. Ayo cepat katakan!" Si pengacara memasang wajah tenang-tenang saja. "Mintalah Tuan Muda Fortman untuk menandatangani dokumen pengalihan wewenang. Hanya itu jalan satu-satunya untuk mendapatkan aset dan warisan keluarga Fortman," ringkasnya. Marisa dan Marques tercengang. Apa? Meminta tanda tangan Aaron? Itu terdengar sangat mustahil! Dan bukankah mereka sudah pernah mencobanya? "Tenang, Mom. Biar aku yang paksa si bodoh itu tanda tangan! Bila perlu, aku akan memotong semua jarinya kalau dia menolak!" Marisa tersenyum miring mendengar ocehan Marquez. Sepuluh tahun mereka tinggal bersama di rumah besar Tuan Fortman. Marisa tahu persis seperti apa Aaron. "Aku akan menjilat telapak kakimu jika kau berhasil, Sayangku." Marquez cuma mengangguk menanggapi ucapan ibunya. Dia bergegas pergi. Sepeninggal Marquez, wanita itu menghubungi seseorang. "Aku ingin bicara dengan Dokter Federic," katanya lewat sambungan ponsel. "Dokter Federic, aku butuh bantuanmu." "Bantuan apa, Nyonya?" "Obat halusinasi, aku butuh itu untuk Aaron." "Saya akan segera menemui Anda." "Baiklah, aku tunggu." Marisa menurunkan ponsel pintar dalam genggaman. Bibirnya menyeringai tipis. Pil halusinasi atau terapi kejut dengan sengatan listrik ribuan volt. Sepertinya semua itu mampu merusak otak Aaron. Maka laki-laki itu akan mau mencetak tanda tangan di bawah kesadarannya yang kacau.Hari mulai siang saat mobil hitam menepi di pelataran kediaman keluarga Fortman. Marisa baru saja tiba usai bertemu pengacara di Pusat Group Mecco Company."Selamat siang, Nyonya!""Menyingkir kalian!"Para asiten keheranan melihat wajah Marisa yang tampak sangat kesal. Wanita itu marah-marah seperti iblis yang sedang kelaparan. Tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya."Ursula, apa Dokter Federic datang kesini?""Belum, Nyonya."Shit!Marisa mendengus kesal. Kapan dokter itu akan datang? Ia sudah tidak sabar ingin segera menjalankan rencananya. Dengan emosi yang sesak di dada, wanita itu menggeleng lalu membentak para pekerja tanpa alasan yang jelas."Sepertinya Nyonya lupa minum obat.""Ya, kau benar. Dia harus minum obat."Para pekerja segera pergi setelah Marisa memaki mereka habis-habisan. Wanita itu memang tidak waras. Mentalnya terganggu sejak Tuan Fortman koma. Sementara itu di ruang bawah tanah di mana Aaron disekap. Tiga bayangan panjang memnatul saat pintu sebuah
"Jesica!""Tidak! Jesica!"Aaron histeris dan ingin mengamuk. Entah apa yang terjadi. Marisa segera menoleh ke arah Dokter Federic. Sang dokter cuma memasang wajah heran menanggapi."Apa yang terjadi? Kenapa dia tidak mau diam?" tanya Marisa.Marquez menimpali, "Jika dia terus mengamuk begitu, bagaimana kita bisa membuatnya menandatangani berkas-berkas itu?"Kedua orang itu tampak pusing dan bingung. Dokter Federic segera angkat bicara."Sepertinya obat halusinasi sudah tidak mempan padanya. Malam ini juga sebaiknya dia segera dibawa ke rumah sakit! Ada banyak alat di sana yang bisa merusak mentalnya."Marquez menoleh ke arah ibunya usai mendengar semua ucapan Dokter Federic.Marisa mengangguk. "Lakukan apa saja yang penting dia mau tanda tangan!" putusnya.Dokter Federic tersenyum tipis. Maka malam itu juga ia segera mengatur keberangkatan Aaron menuju rumah sakit jiwa."Lepaskan aku!""Jesica!"Aaron terus berontak dan berteriak saat beberapa petugas rumah sakit membawanya keluar d
Marquez memejamkan mata seraya mencengkeram gelas wine dalam genggaman.Prang!Marisa yang terkejut segera menoleh ke arah sang putra yang sedang duduk di sofa. Ia menjerit melihat tangan Marquez mengucurkan darah segar. Gila! Dia mencengkeram gelas sampai pecah?"Cepat panggilkan dokter!" teriak Marisa pada para asisten.Semua orang dibuat ricuh. Sementara Marquez tetap diam meski pendarahan di tangannya tak juga berhenti.Darah ini adalah bukti jika api yang berkobar di matanya tidak akan pernah padam sebelum melihat mayat Aaron."Marquez Sayangku!"Marisa merangkul kepala Marquez hingga bersandar ke bahunya. Wanita itu menangis melihat tangan putranya terluka.Para dokter segera berdatangan. Marquez langsung mendapatkan penanganan medis. Marisa cemas melihat sang putra diam saja."Kau pasti kesal karena kita gagal lagi menghabisi Aaron."Marquez cuma menarik nafas panjang lalu membuang pandangan ke luar jendela. Salju mulai turun menjelang malam tiba.Butiran putih itu mengingatka
Kantor Pengacara Pusat Alexandria Baru pagi itu.Jeremy sangat terkejut dan marah setelah menerima telepon dari salah satu penjaga yang bekerja di kediaman Tuan Fortman.Para bajingan itu ternyata masih saja gemar menyiksa Aaron. Bahkan memperlakukan Tuan Muda sudah seperti binatang.["Anda harus lakukan sesuatu, Tuan! Mereka akan membawa Tuan Muda ke tahanan khusus siang ini!"]Dicengkeram gagang telepon dalam genggaman. Jeremy memejamkan matanya berat."Aku akan siapkan semuanya. Kau harus awasi di sana dan terus hubungi aku," kata Jeremy.["Baik, Tuan!"]Brak!Diletakkan gagang telepon itu kembali ke tempatnya. Jeremy memijat pertengahan di antara kedua alisnya yang tebal. Ia sedang berpikir.Sementara itu di kediaman Tuan Fortman. Tepatnya di lantai dua mansion.Langkah anggun sepasang tungkai jenjang yang dipasangi heels warna merah terayun menuju suatu kamar. Itu kamar khusus di mana mereka menyimpan Tuan Fortman yang sedang koma.Marisa berjalan sambil menikmati batang rokoknya
Jeremy menatap punggung seorang yang berdiri sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Kemudian dilihatnya laras panjang yang tergeletak di antara kedua tungkai orang tersebut. "Hei, siapa yang membayar mu?" Ekor mata sang sniper melirik. Dan saat Jeremy hendak maju, ia segera memutar dan langsung menendang revolver di tangan pria itu. Senjata api jatuh tak terelakan lagi. Jeremy dibuat terkejut saat satu pukulan menghantam wajahnya. Dia jatuh tersungkur. Dua orang yang melihatnya segera bersiap untuk menembak. Sementara sniper segera meraih senjata dengan kakinya. Duar! Duar! Baku tembak terjadi di antara mereka. Jeremy segera bangkit dan langsung menyambar pistolnya. Dia mengejar sniper yang bersembunyi di balik mobil. "Keluar kau atau kami akan menembak mu di sini!" Sniper sedang bersiaga dengan senjata di tangan. Ekor matanya mengintai dari balik mobil. Duar! Duar! Shit! Mereka terus menembak! Ia segera mengisi peluru dan mulai mengincar kepala musuh. Duar! Dua
Pagi yang dingin di pertengahan bulan Juni. Sinar jingga menerobos dari sela-sela perbukitan yang diselimuti salju tebal.Seorang laki-laki terbaring di atas sebuah brangkar yang berada di ruang rawat khusus.Aaron de Fortman, ia membuka matanya perlahan-lahan. Samar-samar ia memindai ke sekitar ruangan tempat dirinya berada.Beragam alat medis terpampang di sekitar. Aroma obat-obatan membuat kepalanya pusing. Juga suara tetesan air infus yang terdengar lamban.Ini bukan penjara tempat ia disekap. Ruangan ini mengingatkan ia pada insiden tiga tahun yang lalu.'Cepat siapkan!''Lakukan!'"Tidak!"Aaron menjerit. Dan saat ia hendak bangkit, dia terkejut melihat kedua tangan dan kakinya sudah dipasangi borgol yang dikaitkan ke masing-masing tepi ranjang.Ini ruang terapi kejut. Dia trauma dengan situasi saat ini. Di mana para dokter akan melakukan tindakan padanya. Itu sebuah kejahatan."Dokter, pasien sudah sadar!"Perawat yang melihat Aaron segera berlari menuju ruang dokter untuk mela
Hari berikutnya di rumah sakit jiwa. Miranda sedang berjalan di lorong sambil memegang catatan para pasien. Matanya mencari-cari ke sekitar.Di mana mereka menyekap Tuan Muda Fortman?"Dokter Miranda!"Deg!Suara itu membuatnya terkejut. Langkah sepasang tungkai jenjang itu segera dihentikan. Indera pendengaran Miranda menangkap suara ketukan sepatu yang mendekat dari arah belakang."Dokter Miranda, apa yang sedang Anda lakukan di sini? Bukankah ini lorong menuju pusat rumah sakit?"Pusat rumah sakit?Miranda keheranan sesaat. Ia mengerjapkan mata beberapa kali guna menetralisir serangan panik yang mendera jiwanya.Dokter Toni menatapnya dengan kedua alis hitam tebal yang nyaris menyatu. Gelagat Dokter Miranda membuatnya curiga."Ah, ya! Aku sedang menuju bangsal pasien kelas berat. Sepertinya aku tersesat sampai ke sini," ucap Miranda disertai senyuman yang tampak canggung.Dokter Toni memicingkan matanya. "Anda orang baru di rumah sakit ini, sebaiknya Anda baca dulu protokol rumah s
Lorong menuju ruang operasi cukup sepi. Miranda tampak gusar sambil berjalan di belakang Dokter Toni. Sesekali ia menatap punggung laki-laki di depannya itu.Aneh sekali. Kenapa tiba-tiba Dokter Toni ingin dia membantunya di ruang operasi. Namun, apakah mereka akan melakukan operasi terhadap Tuan Muda Fortman?Tanda tanya besar muncul di benak Miranda. Dia harus waspada. Terutama pada Dokter Toni. Begitu yang dikatakan oleh Jeremy.Pintu ruang operasi sudah kelihatan. Miranda menelan ludah kasar saat Dokter Toni tiba-tiba menoleh padanya."Dokter Miranda, ada pasien kelas berat yang akan menjalani operasi syaraf otak malam ini. Kami ingin kau turut melihatnya."Miranda mengangguk. "Baik, Dokter."Dokter Toni tersenyum tipis. Laki-laki itu segera melanjutkan langkahnya menuju pintu ruang operasi. Dua orang dokter yang sudah menunggunya segera mempersilakan mereka untuk masuk.Miranda berjalan mengikuti langkah Dokter Toni. Matanya memindai ke sekitar ruangan di mana dirinya berada saat
Brak!"Apa ini?!"Tuan Hernandez yang sedang berada di ruang kerja dibuat terkejut saat seseorang melempar selembar surat kabar ke depannya. Dihentikan aktifitas tangannya pada tumpukan berkas di meja. Matanya terangkat ke wajah orang yang sedang berdiri di depan meja.Tuan Dakosta sedang menatap dengan penuh tanya dan heran. Apa yang membuat rekannya itu tampak marah?Tuan Hernandez kembali menurunkan pandangan. Kali ini selembar surat kabar di depannya yang ia lihat. Matanya terbelalak lebar saat melihat gambar yang terpampang pada halaman depan surat kabar."Kau berbohong padaku dan Laura? Ternyata laki-laki itu bukan putramu, melainkan seorang pewaris keluarga Fortman? Aaron de Fortman! Namanya ditulis dengan font hitam yang tebal di situ."Tuan Hernandez menelan ludah kasar melihat kemarahan di wajah Tuan Dakosta. Maka segera ia meraih surat kabar di depannya.'Aaron de Fortman, dia menghilang selama satu bulan. Pihak kepolisian akhinya menghentikan pencarian.'Begitu tulisan ya
Angin bertiup cukup kencang petang itu. Dahan-dahan maple bergesekan halus karena embusan angin. Satu per satu daun-daunnya berjatuhan ke tanah berbatu.Kelab malam di pusat kota tampak ramai sore itu. Eve terlihat berdiri di depan seorang wanita paruh baya yang berpenampilan glamour.Madan Julie, wanita berusia 50 tahun itu pemilik tunggal kelab di mana Eve bekerja setiap harinya. Bukan hanya sebuah kelab biasa yang menyajikan minuman, wanita dan musik. Akan tetapi, Kelab Madam Julie juga menyediakan pria bayaran yang disiapkan untuk para wanita kesepian.Sudah dua tahun Eve bekerja di tempat kotor itu. Tadinya dia hanya bekerja sebagai bartender. Namun suatu hari ia mendatangi Madam Julie untuk meminjam uang.Saat itu kondisi Eli sedang kritis di rumah sakit. Adik perempuannya akan menjalani proses operasi, tapi dia tidak punya cukup uang yang diminta oleh pihak rumah sakit.'Kau datang ke orang yang tepat. Aku bisa berikan sejumlah uang yang kau butuhkan, tapi ...'Wanita itu berk
Rumah kecil di bawah kolong jembatan menjelang sore. Suara pecahan kaca memecah keheningan. Miranda yang sedang termenung dibuat tersentak. Segera ia melirik ke arah belakang.Apa yang terjadi di dalam rumah?Apa Eli sudah bangun?Tak ada jawaban untuk pertanyaan di benaknya itu. Hanya tirai dengan motif bunga daisy yang melambai karena embusan angin, itu yang dia lihat."Di mana kakakmu?!"Plaak!Brug!Prang!Astaga, apa yang terjadi?Kenapa ribut-ribut begitu?Miranda segera beranjak dari bangku kayu yang ia duduki. Dengan langkah yang cepat ia menerobos tirai motif daisy. Hatinya mencemaskan Eli. Dan saat langkahnya tiba di dalam rumah, Miranda terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Tiga orang laki-laki dengan tampang preman sedang mengintimidasi Eli."Di mana kakakmu atau aku akan menculikmu lalu aku jual ke seorang muncikari?!"Laki-laki bertubuh kekar dengan gambar tato ular naga di lengan kiri sedang menjambak rambut Eli. Dia menodong wajah gadis cilik itu dengan ujung revolv
Mansion Keluarga Fortman menjelang siang. Para penjaga tampak berdiri di sepanjang teras menuju pelataran. Dua mobil dinas baru saja menepi. Dengan sigap mereka segera maju dan menyambut seorang pria yang baru saja keluar dar mobil.Marquez de Fortman, sambil menghembuskan asap cerutunya ia menatap bangunan megah di depannya saat ini. Tak ada yang berubah dari bangunan tiga lantai dengan cat dindingnya yang putih itu.Semuanya masih tampak sama seperti dua puluh tahun yang lalu, saat Marisa membawanya ke rumah ini. Persis seperti saat ini ia lakukan, dia berdiri di pelataran sambil memandangi ibunya berciuman dengan seorang pria.Itu kali pertama ia melihat Tuan Fortman.Anthony de Fortman, dia bukan hanya seorang pebisnis tapi juga pohon uang dan peti-peti harta karun yang selama ini dia cari. Begitu kata ibunya.'Mulai saat ini, kita akan tinggal di rumah ini.'Marisa berbisik seiring lirih angin yang bertiup sore itu. Bersamaan dengan gugurnya daun-daun maple, ia melihat seorang a
Sore hari yang cerah. Sinar jingga dari ufuk timur tampak begitu memukau. Cahayanya menerpa ladang bunga daisy yang terhampar luas di sekitar pegunungan Salvador."Kau tahu, Dave. Aku selalu ingin bertemu denganmu. Aku selalu menunggu saat seperti ini. Kau mungkin tidak bisa mengira seperti apa perasaan bahagia yang aku rasakan saat ini."Dave melirik ke arah gadis cantik di sampingnya. Dia dan Laura sedang berjalan-jalan di sekitar pegunungan. Mendengar semua perkataan Laura, dia merasa sedikit tak nyaman.Laura tersenyum manis menanggapi tatapan Dave. Apa yang dirinya katakan memang benar. Dia sangat senang bisa bertemu lagi dengan teman kecil sekaligus cinta pertamanya itu."Laura, aku tidak bisa mengingat apa pun saat ini. Andaikan aku bisa mengingat semuanya, mungkin rasanya akan sangat bahagia seperti mu."Dave bicara dengan suara yang lembut dan manik mata yang dipalingkan dari tatapan Laura. Ladang bunga daisy yang sedang berkembang. Mereka saling bersentuhan saat angin menerp
"Jadi, kau bekerja sebagai pria bayaran?"Miranda geleng-geleng sambil tersenyum remeh. Dia dan Eve sedang berada di suatu kafe yang cukup jauh dari area pemakaman.Miranda yang mengajak Eve meninggalkan lokasi terjadinya kebakaran mobil. Kemunculan beberapa mobil polisi membuatnya sangat panik. Dia tak mau sampai mereka melihatnya.Eve tampak kesal melihat sikap Miranda menilainya. Dia memang bekerja sebagai gigolo, tapi dia bukan laki-laki murahan seperti yang wanita itu pikirkan."Aku butuh uang untuk pengobatan adikku."Senyuman di wajah itu memudar kala mendengar ucapan Eve. Miranda mengangkat kedua matanya menatap wajah pria di depannya. Eve memasang wajah jengah. Ia lantas melanjutkan, "Adikku baru berusia delapan tahun. Dia mengidap kanker otak.""Apa?" Miranda sangat terkejut. Eve hanya menagguk pelan menanggapi."Hm, maafkan aku." Miranda berkata lagi. Ia merasa tak enak hati pada Eve.Pria itu tersenyum tipis. "Maaf untuk apa? Orang sepertiku sudah terbiasa direndahkan."
"Jadi, kau bekerja sebagai pria bayaran?"Miranda geleng-geleng sambil tersenyum remeh. Dia dan Eve sedang berada di suatu kafe yang cukup jauh dari area pemakaman.Miranda yang mengajak Eve meninggalkan lokasi terjadinya kebakaran mobil. Kemunculan beberapa mobil polisi membuatnya sangat panik. Dia tak mau sampai mereka melihatnya.Eve tampak kesal melihat sikap Miranda menilainya. Dia memang bekerja sebagai gigolo, tapi dia bukan laki-laki murahan seperti yang wanita itu pikirkan."Aku butuh uang untuk pengobatan adikku."Senyuman di wajah itu memudar kala mendengar ucapan Eve. Miranda mengangkat kedua matanya menatap wajah pria di depannya. Eve memasang wajah jengah. Ia lantas melanjutkan, "Adikku baru berusia delapan tahun. Dia mengidap kanker otak.""Apa?" Miranda sangat terkejut. Eve hanya menagguk pelan menanggapi."Hm, maafkan aku." Miranda berkata lagi. Ia merasa tak enak hati pada Eve.Pria itu tersenyum tipis. "Maaf untuk apa? Orang sepertiku sudah terbiasa direndahkan."
"Tuan Foster memiliki aset kekayaan sekitar 780 Triliun dolar. Diantaranya tiga pulau di Provinsi Salvador dan sepuluh rumah sakit di San Alexandria Baru. Selebihnya beberapa perusahaan yang bergerak di bidang properti dan Farmasi. Juga beberapa bungalow di Swedia Baru."Marisa dan Marquez saling pandang mendengar penuturan Louis tentang kekayaan Tuan Foster. Gila! Harta sebanyak itu, entah bagaimana cara mengelolanya.Melihat tampang dua orang di depannya itu, Louis tersenyum tipis lalu melanjutkan, "Setelah Tuan Foster tiada, mungkin semua aset kekayaannya akan disumbangkan ke panti-panti sosial karena tak ada yang mengelola.""Apa?"Marisa dan Marquez terkejut bersamaan mendengar ucapan Louis. Warisan sebanyak itu mau disumbangkan? Enak saja!"Hei, bukankah Tuan Foster masih punya seorang pawaris?" Marisa segera mengajukan pertanyaan yang memang sudah bersarang di benaknya dan juga Marquez. Dia tak sabaran menunggu tanggapan Louis. Dia harus segera tahu siapa pewaris Tuan Foster.
Eve berusaha memecahkan kaca depan mobil dengan sebuah batu yang cukup besar. Usahanya tak sia-sia. Kaca mobil pecah setelah ia menghantam dengan batu tersebut."Cepat keluar!"Pria itu berteriak sambil mengulurkan tangan pada wanita yang masih terjebak di dalam mobil. Miranda menatapnya dengan sendu. Eve tak peduli. Setelah ia berhasil menggapai lengan wanita itu, dia langsung menarik Miranda keluar dari mobil.Duar!Ledakan besar membuat Eve dan Miranda terpental cukup jauh. Keduanya berguling-guling di rerumputan. "Kau baik-baik saja?" Eve bertanya pada wanita yang berada di bawahnya saat ini. Matanya mengincar wajah cantik yang juga sedang menatapnya. Ini pertemuan mereka kedua kalinya. Eve terpana akan kecantikan Miranda."Menyingkirlah!"Perkataan Miranda sungguh di luar perkiraan. Dengan kasar wanita itu menepis Eve darinya. Miranda bergegas bangkit dan segera melihat ke arah semak-semak di mana mobil Luca berada.Oh, tidak!Off-road putih itu sudah dilahap oleh api. Mirand