Kantor Pengacara Pusat Alexandria Baru pagi itu.Jeremy sangat terkejut dan marah setelah menerima telepon dari salah satu penjaga yang bekerja di kediaman Tuan Fortman.Para bajingan itu ternyata masih saja gemar menyiksa Aaron. Bahkan memperlakukan Tuan Muda sudah seperti binatang.["Anda harus lakukan sesuatu, Tuan! Mereka akan membawa Tuan Muda ke tahanan khusus siang ini!"]Dicengkeram gagang telepon dalam genggaman. Jeremy memejamkan matanya berat."Aku akan siapkan semuanya. Kau harus awasi di sana dan terus hubungi aku," kata Jeremy.["Baik, Tuan!"]Brak!Diletakkan gagang telepon itu kembali ke tempatnya. Jeremy memijat pertengahan di antara kedua alisnya yang tebal. Ia sedang berpikir.Sementara itu di kediaman Tuan Fortman. Tepatnya di lantai dua mansion.Langkah anggun sepasang tungkai jenjang yang dipasangi heels warna merah terayun menuju suatu kamar. Itu kamar khusus di mana mereka menyimpan Tuan Fortman yang sedang koma.Marisa berjalan sambil menikmati batang rokoknya
Jeremy menatap punggung seorang yang berdiri sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Kemudian dilihatnya laras panjang yang tergeletak di antara kedua tungkai orang tersebut. "Hei, siapa yang membayar mu?" Ekor mata sang sniper melirik. Dan saat Jeremy hendak maju, ia segera memutar dan langsung menendang revolver di tangan pria itu. Senjata api jatuh tak terelakan lagi. Jeremy dibuat terkejut saat satu pukulan menghantam wajahnya. Dia jatuh tersungkur. Dua orang yang melihatnya segera bersiap untuk menembak. Sementara sniper segera meraih senjata dengan kakinya. Duar! Duar! Baku tembak terjadi di antara mereka. Jeremy segera bangkit dan langsung menyambar pistolnya. Dia mengejar sniper yang bersembunyi di balik mobil. "Keluar kau atau kami akan menembak mu di sini!" Sniper sedang bersiaga dengan senjata di tangan. Ekor matanya mengintai dari balik mobil. Duar! Duar! Shit! Mereka terus menembak! Ia segera mengisi peluru dan mulai mengincar kepala musuh. Duar! Dua
Pagi yang dingin di pertengahan bulan Juni. Sinar jingga menerobos dari sela-sela perbukitan yang diselimuti salju tebal.Seorang laki-laki terbaring di atas sebuah brangkar yang berada di ruang rawat khusus.Aaron de Fortman, ia membuka matanya perlahan-lahan. Samar-samar ia memindai ke sekitar ruangan tempat dirinya berada.Beragam alat medis terpampang di sekitar. Aroma obat-obatan membuat kepalanya pusing. Juga suara tetesan air infus yang terdengar lamban.Ini bukan penjara tempat ia disekap. Ruangan ini mengingatkan ia pada insiden tiga tahun yang lalu.'Cepat siapkan!''Lakukan!'"Tidak!"Aaron menjerit. Dan saat ia hendak bangkit, dia terkejut melihat kedua tangan dan kakinya sudah dipasangi borgol yang dikaitkan ke masing-masing tepi ranjang.Ini ruang terapi kejut. Dia trauma dengan situasi saat ini. Di mana para dokter akan melakukan tindakan padanya. Itu sebuah kejahatan."Dokter, pasien sudah sadar!"Perawat yang melihat Aaron segera berlari menuju ruang dokter untuk mela
Hari berikutnya di rumah sakit jiwa. Miranda sedang berjalan di lorong sambil memegang catatan para pasien. Matanya mencari-cari ke sekitar.Di mana mereka menyekap Tuan Muda Fortman?"Dokter Miranda!"Deg!Suara itu membuatnya terkejut. Langkah sepasang tungkai jenjang itu segera dihentikan. Indera pendengaran Miranda menangkap suara ketukan sepatu yang mendekat dari arah belakang."Dokter Miranda, apa yang sedang Anda lakukan di sini? Bukankah ini lorong menuju pusat rumah sakit?"Pusat rumah sakit?Miranda keheranan sesaat. Ia mengerjapkan mata beberapa kali guna menetralisir serangan panik yang mendera jiwanya.Dokter Toni menatapnya dengan kedua alis hitam tebal yang nyaris menyatu. Gelagat Dokter Miranda membuatnya curiga."Ah, ya! Aku sedang menuju bangsal pasien kelas berat. Sepertinya aku tersesat sampai ke sini," ucap Miranda disertai senyuman yang tampak canggung.Dokter Toni memicingkan matanya. "Anda orang baru di rumah sakit ini, sebaiknya Anda baca dulu protokol rumah s
Lorong menuju ruang operasi cukup sepi. Miranda tampak gusar sambil berjalan di belakang Dokter Toni. Sesekali ia menatap punggung laki-laki di depannya itu.Aneh sekali. Kenapa tiba-tiba Dokter Toni ingin dia membantunya di ruang operasi. Namun, apakah mereka akan melakukan operasi terhadap Tuan Muda Fortman?Tanda tanya besar muncul di benak Miranda. Dia harus waspada. Terutama pada Dokter Toni. Begitu yang dikatakan oleh Jeremy.Pintu ruang operasi sudah kelihatan. Miranda menelan ludah kasar saat Dokter Toni tiba-tiba menoleh padanya."Dokter Miranda, ada pasien kelas berat yang akan menjalani operasi syaraf otak malam ini. Kami ingin kau turut melihatnya."Miranda mengangguk. "Baik, Dokter."Dokter Toni tersenyum tipis. Laki-laki itu segera melanjutkan langkahnya menuju pintu ruang operasi. Dua orang dokter yang sudah menunggunya segera mempersilakan mereka untuk masuk.Miranda berjalan mengikuti langkah Dokter Toni. Matanya memindai ke sekitar ruangan di mana dirinya berada saat
Ruangan itu tampak pengap dengan pencahayaan yang remang-remang. Di tengah ruangan tampak seorang laki-laki yang terbaring di atas sebuah ranjang pasien.Beragam alat medis tampak mengelilingi ranjang di mana tubuh tinggi kekar itu terbaring dengan ringkih.Aaron de Fortman, ia belum membuka matanya sejak dua hari terakhir. Para dokter biadab itu sudah menyiksanya dengan terapi kejut dan traumatik.Otaknya nyaris mati. Beruntung fisiknya teramat kuat. Aaron masih bisa bertahan hingga saat ini.Seragam pasien warna biru muda membalut tubuhnya yang atletis. Marisa tersenyum saat ia menyentuh lengan dengan gambar tato di depannya."Aaron, kau sangat tampan. Tapi sayang, hidupmu sangat tragis! Dan semua itu karena kau menolak ku!"Wanita itu tersenyum miring. Kemudian dia mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan laki-laki yang terbaring di hadapannya itu. Bibirnya menyeringai tipis."Aaron, bangunlah jika kau bisa."Laki-laki yang terbaring di atas ranjang pasien itu diam saja. Aaron belu
"Cepat siapkan ruang operasi!"Terdengar suara teriakan yang dibarengi dengan suara derap langkah beberapa orang.Miranda yang nyaris tertidur di meja kerjanya dibuat terkejut. Ada apa ribut-ribut?Mereka melintas di depan pintu ruangannya. Miranda cuma bisa melihat punggung orang-orang itu setelah mereka cukup jauh.Dia kebingungan. Siapa pasien yang sedang dilarikan menuju ruang operasi?"Maaf, boleh aku tahu? Ada apa di sana?"Miranda bertanya kepada dua orang perawat yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang operasi. "Pasien VIP akan segera di operasi. Kami harus bersiap-siap," ucap perawat itu.Miranda terkejut. "Pasien VIP?"Dua orang perawat tidak menghiraukan. Mereka segera pergi meninggalkan Miranda yang sedang kebingungan."Sepertinya aku menemukan Tuan Muda Fortman!"Setelah kembali ke ruangannya, Miranda segera menghubungi seseorang lewat sambungan ponselnya.Pasien VIP yang mereka maksud pasti Tuan Muda Fortman. Miranda sangat senang karena akhirnya ia bisa m
"Bajingan! Kau mau aku mati, kan? Maka sebelum itu aku yang akan menghabisi mu!"Bug!Marquez masih tercengang saat tubuhnya terpental cukup jauh. Gila! Itu pukulan yang luar biasa. Matanya terangkat guna menggapai wajah lawannya. Dilihatnya Aaron yang sudah berdiri di hadapannya.Laki-laki itu merobek baju steril yang melekat di tubuhnya. Marquez melotot melihat otot-otot Aaron yang seketika menyembul dari permukaan kulitnya. Ototnya sangat padat seperti seorang atlet tinju.Dia masih kesulitan untuk mempercayai semua itu. Marquez menggeleng dan ingin segera bangkit lalu kabur. Namun tangan kekar Aaron berhasil menyambar bagian punggung jasnya.Marquez menoleh kaget. Dan satu pukulan telak segera menghantam wajahnya."Shit!""Bangun kau, Bedebah!"Melihat lawannya kembali tersungkur, Aaron segera melangkah maju. Tangan dengan gambar tato itu langsung menyambar kerah kemeja Marquez.Dia menatapnya sudah seperti iblis yang ingin makan orang. Marquez dibuat gemetar ketakutan.Dan sebelu
Bruk!Pintu sebuah super car dibuka dengan cepat. Tergesa-gesa tangan seorang pria mengeluarkan seonggok tubuh wanita yang tampak tidak sadarkan diri.Miranda Foster, nyaris dua jam ia pingsan setelah benturan benda tumpul menghantam tengkuk lehernya dari arah belakang.Tak banyak hal yan g ia ingat. Kecuali percakapan terakhirnya dengan Jeremy lewat sambungan ponsel."Dengar, tetaplah di dalam kamar sampai kami tiba!"Begitu yang dikatakan oleh Jeremy. Namun, saat ia hendak menoleh untuk melihat ke arah pintu satu pukulan keras lebih dulu merenggut kewarasannya. Miranda jatuh pingsan seketika."Sayang, aku tahu ini sangat gila. Namun, asal kau tahu jika aku memang cowok yang menyukai banyak hal ekstrim, seperti menculik calon istri orang begini. Hahaha!"Pria itu tertawa begitu lantang saat berhasil mengeluarkan tubuh Miranda dari dalam mobil. Dengan kedua tangan ia menggendong wanita itu memasuki sebuah kastil.Di sisi lain, Aaron tampak sedang mengemudikan super car miliknya tak te
Hari mulai malam. Jeremy dan Luca tampak berjalan setengah berlari menuju mobil dinas di pelataran markas. Miranda dalam bahaya saat ini. Jeremy harus segera menghubungi Aaron. Ia dan Luca segera menuju gedung apartemen di mana Miranda tinggal."Apa?"Aaron bangkit dari sofa. Benda pipih dalam genggaman didekatkan ke telinga kanan. Wajah pria itu tampak diliputi rasa cemas. Sedang pendar matanya dipenuh amarah yang siap diledakan.Apa yang terjadi?Siapa yang menelepon Aaron?Mari kita cari tahu bersama.Hari mulai sore saat Marquez mendatangi unit apartemen Miranda. Pria itu datang dengan maksud yang buruk. Marquez ingin menculik Miranda.Namun saat ia tiba di gedung apartemen, Marquez melihat dua orang pria yang sedang berjalan di lobi gedung. Sepertinya Aaron yang menugaskan mereka untuk mengantar Miranda pulang setelah menghadiri pemakaman Tuan Fortman.Marquez yang licik tentu tak ingin Jeremy sampai melihatnya. Maka dia pun segera bersembunyi ke balik dinding dan baru muncul s
Miranda baru saja selesai mandi saat terdengar suara bel pintu yang ditekan oleh seseorang. Sedikit heran dan cemas, sambil mengeringkan rambut dengan handuk Miranda berjalan menuju pintu. Ya Tuhan, siapa yang datang di saat yang tidak tepat begini? Apakah Aaron? Ah, tidak mungkin. Bukankah pria itu sedang berada di mansion saat ini? Lantas siapa yang datang? Miranda hanya bisa menerka-nerka dalam hati tentang tamu yang sedang berdiri di luar pintu unit apartemennya saat ini. Ting tong! Deg! Oh, tidak! Orang itu terus saja menekan bel pintu. Seolah dia sudah tak sabar ingin masuk. Jantung Miranda berdegup kencang disertai rasa takut dan cemas yang sedang memenuhi jiwanya. Satu jam sudah Jeremy dan Luca meninggalkan unit apartemen. Kini ia hanya seorang diri di sini. Jeremy dan Aaron pernah mengatakan jika akan banyak hal yang mungkin terjadi saat ia sedang sendirian. Marisa tidak mungkin akan diam saja dan menerima kematian putranya, bukan? Wanita jahat itu pasti a
Hari mulai siang, namun sinar jingga sang mentari seolah enggan untuk terbit saat ini. Langit tampak mendung dengan angin yang lumayan kencang.Orang-orang masih berkumpul di pemakaman. Dari dalam mobil, sepasang iris biru terang mengamati punggung mereka.Anthony de Fortman, kematiannya menggemparkan warga San Alexandria Baru. Bersamaan dengan kasus berlapis yang menjerat Marquez.Semua orang berpikir jika kematian Tuan Fortman pasti ada hubungannya dengan eksekusi mati yang menewaskan anak tirinya, Marquez.Beberapa jurnalis mulai merancang cerita untuk artikel terbaru mereka. Sementara para Awak Media sibuk mengumpulkan informasi tentang kematian klan bangsawan, Anthony de Fortman tersebut."Aaron ..."Miranda berkata dengan pelan setelah menutup pintu mobil. Dengan mata telanjang ia pandangi punggung seorang laki-laki yang masih berdiri di samping makan Tuan Fortman.Aaron de Fortman, dia pasti sangat terpukul atas kematian sang ayah. Mengapa berita duka ini harus sampai ke teling
"Kau suka gaunnya?"Suara bass itu mengembalikan kesadaran Miranda dari fantasinya. Hampir lima menit ia berdiri di depan cermin dan memandangi siluetnya.Sedang pria yang bertanya tak lain adalah Aaron. Pria itu tersenyum manis saat manik-manik hijau Miranda menangkap bayangan dirinya di cermin."Kau yang pilih gaun ini, mana mungkin aku tak menyukainya."Wanita itu berkata dengan malu-malu. Miranda menunduk sambil tersenyum usai bicara. Pipinya bersemu merah akibat tatapan lembut Aaron.Pria yang sedang duduk di sofa itu lantas bangkit. Bahu lebar dalam balutan Tuxedo hitam itu menuju pada wanita yang masih berdiri di depan cermin.Miranda Foster, sehelai gaun pengantin warna putih tampak begitu elegan membalut tubuhnya yang proposional. Tiara dari berlian menghias kepalanya dengan begitu indah.Aaron tersenyum kagum melihat calon mempelai pengantinnya. Dia seperti sedang melihat Jesica saat ini. Akan tetapi, dia tak boleh mengungkapkan perasaan itu. Miranda mungkin tidak akan suka.
Mobil-mobil polisi melaju beriringan di jalan pegunungan. Mobil ambulans tampak berjalan di barisan terdepan.Setelah dieksekusi mati, Nacos yang dikira adalah Marquez rencananya akan segera dibawa ke sebuah gereja untuk proses kremasi.Di dalam mobil sebujur tubuh yang sudah kaku tampak berbaring. Di kedua sisi terlihat masing-masing dua orang polisi yang duduk di sekitar.Sementara mobil Marisa mengikuti di belakang ambulans yang membawa jenazah Nacos. Wajah paripurna itu tampak gelisah. Sekali lagi Marisa bertanya dalam hati kecilnya, apa ini sudah benar?"Selamat, Nona! Anda melahirkan bayi kembar laki-laki! Kembar yang sangat identik!"Saat mendengar penuturan seorang dokter yang menangani proses persalinan saat itu, Marisa tampak tidak senang. Tidak ada sinar dari manik matanya yang memancarkan kebahagiaan.Kenapa demikian?30 tahun yang lalu saat usianya baru 20 tahun, Marisa meninggalkan rumah dan seorang ibu yang sakit-sakitan.Menurut para dokter, ibunya tak punya harapan un
Angin bertiup cukup kencang dari arah laut. Burung-burung kecil terbang rendah di sekitar gedung kejaksaan. Kadang kala makhluk kecil bersayap itu hinggap di dahan-dahan maple yang rentan.Hari Senin di penghujung bulan Desember pada musim panas. Gedung kejaksaan tampak dipenuhi orang-orang. Mereka berkerumun di pelataran gedung. Ada juga yang nekat menerobos masuk.Tidak hanya warga sipil yang berbondong-bondong datang ke gedung kejaksaan. Para Awak Media juga tampak memadati pelataran gedung sampai ke lobi. Semuanya tampak sibuk mencari informasi.Hari ini tanggal 21 Desember, menurut keputusan pengadilan hari ini Marquez akan di eksekusi mati. Jelas semua warga kota sudah tak sabaran menunggu hari ini tiba.Kejahatan Marquez amat banyak. Pria itu pantas di hukum mati!Warga kota sangat geram saat melihat seorang pria yang baru saja keluar dari mobil polisi. Itu Marquez! Dengan bersemangat mereka segera maju ingin menghajarnya."Habisi dia!""Hukum mati dia!""Bajingan!"Ujaran ke
Restoran cepat saji yang berada tidak jauh dari Pusat Kejiwaan San Alexandria Baru tampak ramai oleh pengunjung. Dikarenakan sudah waktu jam makan siang, para pekerja restoran mulai sibuk melayani pesanan para tamu.Di antara tamu-tamu di restoran itu, tampak Aaron dan Miranda yang sedang duduk di meja VIP. Keduanya menikmati menu makan siang sambil berbincang dengan santai.Beef Pepper Rice merupakan menu klasik dari Pepper Lunch. Salah satu menu yang dipesan oleh Miranda untuk makan siangnya bersama Aaron.Potongan daging sapi dipanggang dengan bumbu lada di atas plat panas, lalu disajikan dengan nasi yang lezat. Sensasi panas dan rasa gurih yang nikmat, juga aroma yang menggugah selera.Aroma Shochu yang mencair bersama butiran es di dalam gelas menambah semaraknya makan siang mereka.Aaron teringat banyak hal tentang waktu yang ia lalu bersama Jesica dahulu. Mereka amat sering mengunjungi restoran mewah di seluruh kota. Juga menikmati aneka kuliner di setiap musim."Aku merasa ad
Sinar jingga baru saja terbit dari ufuk timur. Miranda berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Kamar Ester yang sedang ia tuju."Dia tak mau makan apa pun sejak kemarin. Hanya diam saja seperti ini."Seorang perawat menjelaskan kondisi pasien saat Miranda bertanya. Matanya tertuju pada gadis belia dengan stelan biru muda yang tampak sedang duduk di sudut kamar sambil mendekap kedua lututnya.Miranda membuang nafas panjang. "Bisa tinggalkan kami berdua?""Baik, Dokter."Perawat segera pergi setelah diminta oleh Miranda. Dengan langkah yang pelan, Miranda segera menghampiri gadis belia di sudut kamar. Ester diam saja saat ia berjongkok di samping gadis itu."Hei, apa kau tidak ingin jalan-jalan ke taman? Aku bisa temani jika kau mau."Miranda berusaha berinteraksi dengan pasien. Dia teresenyum saat tatapan kosong Ester terangkat ke wajahnya."Si-siapa kau?! Pergi! Jangan dekati aku!"Ester mengamuk. Dengan ketakutan dia mengusir Miranda."Hei, jangan takut. Aku dokter di rumah sakit ini