"Jesica!""Tidak! Jesica!"Aaron histeris dan ingin mengamuk. Entah apa yang terjadi. Marisa segera menoleh ke arah Dokter Federic. Sang dokter cuma memasang wajah heran menanggapi."Apa yang terjadi? Kenapa dia tidak mau diam?" tanya Marisa.Marquez menimpali, "Jika dia terus mengamuk begitu, bagaimana kita bisa membuatnya menandatangani berkas-berkas itu?"Kedua orang itu tampak pusing dan bingung. Dokter Federic segera angkat bicara."Sepertinya obat halusinasi sudah tidak mempan padanya. Malam ini juga sebaiknya dia segera dibawa ke rumah sakit! Ada banyak alat di sana yang bisa merusak mentalnya."Marquez menoleh ke arah ibunya usai mendengar semua ucapan Dokter Federic.Marisa mengangguk. "Lakukan apa saja yang penting dia mau tanda tangan!" putusnya.Dokter Federic tersenyum tipis. Maka malam itu juga ia segera mengatur keberangkatan Aaron menuju rumah sakit jiwa."Lepaskan aku!""Jesica!"Aaron terus berontak dan berteriak saat beberapa petugas rumah sakit membawanya keluar d
Marquez memejamkan mata seraya mencengkeram gelas wine dalam genggaman.Prang!Marisa yang terkejut segera menoleh ke arah sang putra yang sedang duduk di sofa. Ia menjerit melihat tangan Marquez mengucurkan darah segar. Gila! Dia mencengkeram gelas sampai pecah?"Cepat panggilkan dokter!" teriak Marisa pada para asisten.Semua orang dibuat ricuh. Sementara Marquez tetap diam meski pendarahan di tangannya tak juga berhenti.Darah ini adalah bukti jika api yang berkobar di matanya tidak akan pernah padam sebelum melihat mayat Aaron."Marquez Sayangku!"Marisa merangkul kepala Marquez hingga bersandar ke bahunya. Wanita itu menangis melihat tangan putranya terluka.Para dokter segera berdatangan. Marquez langsung mendapatkan penanganan medis. Marisa cemas melihat sang putra diam saja."Kau pasti kesal karena kita gagal lagi menghabisi Aaron."Marquez cuma menarik nafas panjang lalu membuang pandangan ke luar jendela. Salju mulai turun menjelang malam tiba.Butiran putih itu mengingatka
Kantor Pengacara Pusat Alexandria Baru pagi itu.Jeremy sangat terkejut dan marah setelah menerima telepon dari salah satu penjaga yang bekerja di kediaman Tuan Fortman.Para bajingan itu ternyata masih saja gemar menyiksa Aaron. Bahkan memperlakukan Tuan Muda sudah seperti binatang.["Anda harus lakukan sesuatu, Tuan! Mereka akan membawa Tuan Muda ke tahanan khusus siang ini!"]Dicengkeram gagang telepon dalam genggaman. Jeremy memejamkan matanya berat."Aku akan siapkan semuanya. Kau harus awasi di sana dan terus hubungi aku," kata Jeremy.["Baik, Tuan!"]Brak!Diletakkan gagang telepon itu kembali ke tempatnya. Jeremy memijat pertengahan di antara kedua alisnya yang tebal. Ia sedang berpikir.Sementara itu di kediaman Tuan Fortman. Tepatnya di lantai dua mansion.Langkah anggun sepasang tungkai jenjang yang dipasangi heels warna merah terayun menuju suatu kamar. Itu kamar khusus di mana mereka menyimpan Tuan Fortman yang sedang koma.Marisa berjalan sambil menikmati batang rokoknya
Jeremy menatap punggung seorang yang berdiri sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Kemudian dilihatnya laras panjang yang tergeletak di antara kedua tungkai orang tersebut. "Hei, siapa yang membayar mu?" Ekor mata sang sniper melirik. Dan saat Jeremy hendak maju, ia segera memutar dan langsung menendang revolver di tangan pria itu. Senjata api jatuh tak terelakan lagi. Jeremy dibuat terkejut saat satu pukulan menghantam wajahnya. Dia jatuh tersungkur. Dua orang yang melihatnya segera bersiap untuk menembak. Sementara sniper segera meraih senjata dengan kakinya. Duar! Duar! Baku tembak terjadi di antara mereka. Jeremy segera bangkit dan langsung menyambar pistolnya. Dia mengejar sniper yang bersembunyi di balik mobil. "Keluar kau atau kami akan menembak mu di sini!" Sniper sedang bersiaga dengan senjata di tangan. Ekor matanya mengintai dari balik mobil. Duar! Duar! Shit! Mereka terus menembak! Ia segera mengisi peluru dan mulai mengincar kepala musuh. Duar! Dua
Pagi yang dingin di pertengahan bulan Juni. Sinar jingga menerobos dari sela-sela perbukitan yang diselimuti salju tebal.Seorang laki-laki terbaring di atas sebuah brangkar yang berada di ruang rawat khusus.Aaron de Fortman, ia membuka matanya perlahan-lahan. Samar-samar ia memindai ke sekitar ruangan tempat dirinya berada.Beragam alat medis terpampang di sekitar. Aroma obat-obatan membuat kepalanya pusing. Juga suara tetesan air infus yang terdengar lamban.Ini bukan penjara tempat ia disekap. Ruangan ini mengingatkan ia pada insiden tiga tahun yang lalu.'Cepat siapkan!''Lakukan!'"Tidak!"Aaron menjerit. Dan saat ia hendak bangkit, dia terkejut melihat kedua tangan dan kakinya sudah dipasangi borgol yang dikaitkan ke masing-masing tepi ranjang.Ini ruang terapi kejut. Dia trauma dengan situasi saat ini. Di mana para dokter akan melakukan tindakan padanya. Itu sebuah kejahatan."Dokter, pasien sudah sadar!"Perawat yang melihat Aaron segera berlari menuju ruang dokter untuk mela
Hari berikutnya di rumah sakit jiwa. Miranda sedang berjalan di lorong sambil memegang catatan para pasien. Matanya mencari-cari ke sekitar.Di mana mereka menyekap Tuan Muda Fortman?"Dokter Miranda!"Deg!Suara itu membuatnya terkejut. Langkah sepasang tungkai jenjang itu segera dihentikan. Indera pendengaran Miranda menangkap suara ketukan sepatu yang mendekat dari arah belakang."Dokter Miranda, apa yang sedang Anda lakukan di sini? Bukankah ini lorong menuju pusat rumah sakit?"Pusat rumah sakit?Miranda keheranan sesaat. Ia mengerjapkan mata beberapa kali guna menetralisir serangan panik yang mendera jiwanya.Dokter Toni menatapnya dengan kedua alis hitam tebal yang nyaris menyatu. Gelagat Dokter Miranda membuatnya curiga."Ah, ya! Aku sedang menuju bangsal pasien kelas berat. Sepertinya aku tersesat sampai ke sini," ucap Miranda disertai senyuman yang tampak canggung.Dokter Toni memicingkan matanya. "Anda orang baru di rumah sakit ini, sebaiknya Anda baca dulu protokol rumah s
Lorong menuju ruang operasi cukup sepi. Miranda tampak gusar sambil berjalan di belakang Dokter Toni. Sesekali ia menatap punggung laki-laki di depannya itu.Aneh sekali. Kenapa tiba-tiba Dokter Toni ingin dia membantunya di ruang operasi. Namun, apakah mereka akan melakukan operasi terhadap Tuan Muda Fortman?Tanda tanya besar muncul di benak Miranda. Dia harus waspada. Terutama pada Dokter Toni. Begitu yang dikatakan oleh Jeremy.Pintu ruang operasi sudah kelihatan. Miranda menelan ludah kasar saat Dokter Toni tiba-tiba menoleh padanya."Dokter Miranda, ada pasien kelas berat yang akan menjalani operasi syaraf otak malam ini. Kami ingin kau turut melihatnya."Miranda mengangguk. "Baik, Dokter."Dokter Toni tersenyum tipis. Laki-laki itu segera melanjutkan langkahnya menuju pintu ruang operasi. Dua orang dokter yang sudah menunggunya segera mempersilakan mereka untuk masuk.Miranda berjalan mengikuti langkah Dokter Toni. Matanya memindai ke sekitar ruangan di mana dirinya berada saat
Ruangan itu tampak pengap dengan pencahayaan yang remang-remang. Di tengah ruangan tampak seorang laki-laki yang terbaring di atas sebuah ranjang pasien.Beragam alat medis tampak mengelilingi ranjang di mana tubuh tinggi kekar itu terbaring dengan ringkih.Aaron de Fortman, ia belum membuka matanya sejak dua hari terakhir. Para dokter biadab itu sudah menyiksanya dengan terapi kejut dan traumatik.Otaknya nyaris mati. Beruntung fisiknya teramat kuat. Aaron masih bisa bertahan hingga saat ini.Seragam pasien warna biru muda membalut tubuhnya yang atletis. Marisa tersenyum saat ia menyentuh lengan dengan gambar tato di depannya."Aaron, kau sangat tampan. Tapi sayang, hidupmu sangat tragis! Dan semua itu karena kau menolak ku!"Wanita itu tersenyum miring. Kemudian dia mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan laki-laki yang terbaring di hadapannya itu. Bibirnya menyeringai tipis."Aaron, bangunlah jika kau bisa."Laki-laki yang terbaring di atas ranjang pasien itu diam saja. Aaron belu