Terik sang mentari petang itu cukup panas. Sinar jingganya menerobos dari sela-sela daun pinus yang tipis. Perlahan Aaron membuka matanya. Ia terkejut mendapati tubuhnya yang sedang tergolek di antara semak-semak jurang.
"Ah, di mana aku?" Berangsur-angsur laki-laki itu menyeret tubuh ringkihnya guna berusaha bangkit. Di sela rasa haus dan kepayahan, Aaron mengingat insiden yang baru saja terjadi padanya. Marquez, di mana laki-laki itu? Bukankah mereka menaiki mobil yang sama? Aaron tak mampu mengingat banyak hal. Termasuk ledakan dahsyat yang terjadi. Dia hanya ingat saat mobil itu terperosok lalu terjun ke jurang. Dalam hati, Aaron mencemaskan Marquez. Meski mereka hanya saudara tiri dan tidak pernah akur, tapi dia masih punya nurani terhadap laki-laki menyebalkan itu. "Marquez, aku harus mencarinya!" Aaron berusaha bangkit sambil bertumpu ke pepohonan di sekitar. Ia berjalan dengan terpincang-pincang. Matanya memindai ke sekitar hutan. "Marquez!" Dari balik sebuah pohon besar, Marquez mengintai laki-laki di bawah sana yang sedang mencarinya. Dasar bodoh! Aaron masih peduli saja pada orang yang sudah menjebaknya sampai ke hutan ini. Seringai licik terbit di sudut bibir Marquez. Bagaimana jika dia meninggalkan si bodoh itu di hutan belantara ini? "Marquez, kau di mana?!" teriak Aaron. Langkah itu dihentikan. Dicengkeram sambil meringis kesakitan bagian celana kainnya yang terkoyak. Lututnya terluka dan terus mengucurkan darah. Dengan napas yang terengah-engah matanya memindai ke sekitar. Entah di mana Marquez berada. Melihat Aaron yang terus mencarinya, Marquez jadi muak dan merasa permainan ini kurang seru. Dia putuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih ekstrim. Seperti memancing singa jantan keluar untuk menerkam Aaron. Namun, tiba-tiba saja kakinya terperosok. "Aaaaaa!" Marquez menjerit saat dia terjatuh ke sebuah rawa-rawa yang berisikan banyak buaya liar. Teriakan itu sampai ke telinga Aaron. Juga hewan pemangsa di sekitar rawa-rawa yang sedang kelaparan. Entah pertolongan atau maut yang lebih dulu menjelang Marquez. "Tolong!" "Tolong aku!" "Aaron!" Marquez berteriak ketakutan. Rawa-rawa itu cukup dangkal dan dipenuhi lumpur yang lengket dan berbau busuk. Puluhan ekor buaya lapar berlomba-lomba menuju padanya. "Tidak! Jangan makan aku! Tolong!" Aaron mencari-cari sumber suara Marquez. Hingga kemudian itu menoleh ke arah batu besar di seberangnya. Itu cukup tinggi. Apa dia sanggup untuk mendaki saat kakinya sedang sakit begini? "Tidak! Tolong aku!" Puluhan ekor buaya menyerang Marquez dengan brutal. Laki-laki yang sedang terjebak di rawa-rawa tak mampu menghalau mereka. Hewan buas itu saling bertarung memperebutkan mangsanya. "Marquez!" Aaron amat terkejut melihat kondisi Marquez. Laki-laki itu terjebak di antara puluhan buaya lapar yang sedang bertarung. Setelah mati-matian ia merangkak sampai tiba di atas batu besar itu. Sekarang Aaron kebingungan bagaimana caranya dia bisa menolong Marquez. Saat dia sedang berpikir, tiba-tiba sebuah flash back melintas di kepalanya. Itu kenangan pahit di masa kecilnya. "Tuan Muda Aaron mengalami hampir 50 persen luka bakar. Hanya operasi yang bisa memulihkan kondisinya." Perkataan dokter di rumah sakit pusat kala itu mengejutkan Tuan Fortman. Putranya mengalami kecelakaan saat berada di laboratorium sekolah. Ada banyak murid di sana. Salah satunya Marquez. "Tuan Muda terbakar setelah menolong Tuan Marquez dari semburan api." Penuturan seorang saksi mata di lokasi kejadian membuat Tuan Fortman murka. Di malam yang sama saat para dokter melakukan operasi pada Aaron, laki-laki itu menghukum Marquez menggunakan ikat pinggangnya. "Beraninya kau meninggalkan putraku di tengah kobaran api! Dasar sialan!" Bug! Bug! Marquez yang baru berusia 15 tahun saat itu hanya bisa membiarkan tubuhnya di cambuk sampai memar. Namun dia bersumpah dalam hatinya, jika dia tidak akan melupakan penyiksaan itu. Marquez memang sengaja meninggalkan Aaron dalam jebakan api saat terjadi kebakaran di Lab sekolah mereka. Rasa irinya pada saudara tirinya itu teramat besar hingga dia ingin menghabisi Aaron. Sayangnya petugas pemadam berhasil menyelamatkan Aaron. Tuan Muda segera dilarikan ke rumah sakit. Tangisan dan jeritan orang-orang terhadap Aaron membuat Marquez muak. "Kau tahu? Aaron mempertaruhkan nyawanya demi kau! Dia memang putraku! Tetapi kau hanya pecundang yang selalu dengki pada Aaron! Rasakan ini!" Bug! Bug! "Hentikan! Kumohon ..." Tuan Fortman mencengkeram ikat pinggang di tangannya. Matanya menatap tajam saat Marisa tiba-tiba saja berlari lantas melindungi Marquez. Marisa terisak-isak. "Maafkan dia! Dia memang bodoh!" jeritnya sambil memeluk Marquez. "Ya, putramu itu memang bodoh! Aku sudah perintahkan padamu untuk mengirimnya ke asrama, tapi kau tetap membiarkan dia berkeliaran di rumah ini sampai akhirnya si bodoh ini membahayakan putraku!" Tuan Fortman sangat marah. Marisa menggeleng dalam tangis. "Aku mohon jangan menyiksanya lagi! Aku akan segera mengirimnya ke sana. Ya, aku janji!" Tuan Fortman tidak berkata apa-apa lagi. Dengan wajah kesal, laki-laki itu segera pergi setelah Jeremy menyodorkan ponselnya. "Mom, kau jangan memohon pada bajingan itu," desis Marquez pada ibunya. Marisa menatapnya. "Aku tahu kau tersiksa di sini, tapi kumohon bertahanlah sebenatar lagi. Setelah kita berhasil menguasai harta mereka, maka kau lah yang akan memperlakukan Aaron seperti ini. Aku janji." Marquez cuma mengangguk. Api dendam masih berkobar di mata anak itu saat Marisa memeluknya sambil menangis. "Marquez, tangkap ini!" Laki-laki itu membuka mata. Kilasan masa lalu sempat bermain di memorinya. Marquez pikir dia akan selesai saat ini juga. Nyatanya Aaron datang. Laki-laki itu melempar akar pohon yang panjang dan kuat ke arahnya. "Cepat naik, Marquez!" teriak Aaron. Dia terlihat sedang berdiri di atas batu besar yang berada di tepi rawa-rawa. Marquez sebal karena dia harus berhutang budi pada musuh bebuyutannya itu. Ekor matanya melirik ke arah puluhan buaya yang sedang bergulat. Ini memang saat yang tepat untuk dia kabur. "Ayo naik, Marquez! Cepat!" Aaron segera menarik akar itu guna mengangkat Marquez dari tengah rawa-rawa. Namun, ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Hewan buas mulai teralihkan dan ingin mengejar Marquez. "Cepat tarik, Bodoh!" teriak Marquez pada Aaron. Dia bisa mati sebagai santapan buaya-buaya itu. Aaron berusaha keras menarik Marquez. Dia mengerang kesakitan karena kakinya yang terluka. Namun nuraninya menolak saat dia ingin meninggalkan Marquez. Sejak mereka belia, Marquez selalu mencari kesempatan untuk membahayakannya. Aaron tahu semuanya. Maka dia mulai bersiaga saat Marquez berhasil naik dari rawa-rawa. "Syukurlah, Marquez." Dengan terengah-engah, Aaron menjatuhkan diri duduk bersandar di batu. Akhirnya ia berhasil menyelamatkan Marquez. Sementara Marquez yang tubuhnya penuh lumpur hanya menoleh ke arah Aaron. Kemudian dia melirik ke bawah di mana puluhan buaya sedang meminta makan. "Aku tahu kau sangat baik, Young Master Fortman. Akan tetapi, kau juga sangat bodoh!" Aaron dibuat terkejut saat Marquez tiba-tiba mendorongnya. Laki-laki itu tertawa geli melihat Aaron yang sedang bergelantungan pada akar pohon. Dia nyaris jatuh ke rawa-rawa. "Bajingan kau Marquez! Aku sudah menolongmu tapi kau malah mau membahayakan aku!" cerca Aaron kesal. Dia berusaha keras berpegangan ke akar pohon. Marquuez tersenyum remeh. "Ya, ya, terserah mau ngomong apa aku tidak peduli." "Marquez! Hei jangan pergi!" Aaron berteriak melihat Marquez turun dari batu. Laki-laki bajingan itu memang tak bisa dipercaya! Marquez meninggalkan dia yang sedang berjuang hidup atau mati. Mata Aaron melihat ke bawah. Puluhan ekor buaya menantinya jatuh ke rawa. "Ya, Tuhan ... bagaimana ini?" Dalam kebingungan Aaron, tiba-tiba saja sebuah bidikan laser mengenai wajahnya. Dia buru-buru melihat ke atas. Sebuah helikopter terlihat di langit hutan. "Hei, aku di sini!" teriak Aaron sekencangnya. Tim satuan khusus menoleh ke bawah. Mereka menemukan Aaron. "Itu Tuan Muda Fortman! Ayo lakukan pendaratan darurat!"Suara baling-baling helikoter masih terdengar di telinga Aaron. Juga situasinya saat itu. Kilas balik masa lalu membuatnya mengantuk.Salju putih berjatuhan di langit memenuhi atap kaca. Hawa dingin menusuk ke tulang di sela pakaian basah yang berbau busuk. Dari ujung lorong yang remang terlihat langkah seorang laki-laki."Dasar gila! Dia bahkan masih bisa tidur pulas di dalam penjara busuk ini," desis Marquez sambil menutupi hidungnya menggunakan sapu tangan.Cuaca yang lembab membuat aroma busuk yang tercium dari dalam penjara itu semakin menyengat. Sementara laki-laki yang dikurung di dalam sana malah sedang enak tidur. Jelas saja dia jadi kesal.Dua orang penjaga segera menghampiri laki-laki dengan mantel bulu tebal yang sedang berdiri memandangi si tahanan."Selamat malam, Tuan Marquez." Mereka menyapa dengan sopan.Marquez cuma melirik sesaat ke arah dua orang penjaga itu, lantas matanya kembali menatap pada laki-laki lusuh yang terikat rantai berkarat di dalam penjara."Apa kal
Hari mulai siang saat mobil hitam menepi di pelataran kediaman keluarga Fortman. Marisa baru saja tiba usai bertemu pengacara di Pusat Group Mecco Company."Selamat siang, Nyonya!""Menyingkir kalian!"Para asiten keheranan melihat wajah Marisa yang tampak sangat kesal. Wanita itu marah-marah seperti iblis yang sedang kelaparan. Tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya."Ursula, apa Dokter Federic datang kesini?""Belum, Nyonya."Shit!Marisa mendengus kesal. Kapan dokter itu akan datang? Ia sudah tidak sabar ingin segera menjalankan rencananya. Dengan emosi yang sesak di dada, wanita itu menggeleng lalu membentak para pekerja tanpa alasan yang jelas."Sepertinya Nyonya lupa minum obat.""Ya, kau benar. Dia harus minum obat."Para pekerja segera pergi setelah Marisa memaki mereka habis-habisan. Wanita itu memang tidak waras. Mentalnya terganggu sejak Tuan Fortman koma. Sementara itu di ruang bawah tanah di mana Aaron disekap. Tiga bayangan panjang memnatul saat pintu sebuah
"Jesica!""Tidak! Jesica!"Aaron histeris dan ingin mengamuk. Entah apa yang terjadi. Marisa segera menoleh ke arah Dokter Federic. Sang dokter cuma memasang wajah heran menanggapi."Apa yang terjadi? Kenapa dia tidak mau diam?" tanya Marisa.Marquez menimpali, "Jika dia terus mengamuk begitu, bagaimana kita bisa membuatnya menandatangani berkas-berkas itu?"Kedua orang itu tampak pusing dan bingung. Dokter Federic segera angkat bicara."Sepertinya obat halusinasi sudah tidak mempan padanya. Malam ini juga sebaiknya dia segera dibawa ke rumah sakit! Ada banyak alat di sana yang bisa merusak mentalnya."Marquez menoleh ke arah ibunya usai mendengar semua ucapan Dokter Federic.Marisa mengangguk. "Lakukan apa saja yang penting dia mau tanda tangan!" putusnya.Dokter Federic tersenyum tipis. Maka malam itu juga ia segera mengatur keberangkatan Aaron menuju rumah sakit jiwa."Lepaskan aku!""Jesica!"Aaron terus berontak dan berteriak saat beberapa petugas rumah sakit membawanya keluar d
Marquez memejamkan mata seraya mencengkeram gelas wine dalam genggaman.Prang!Marisa yang terkejut segera menoleh ke arah sang putra yang sedang duduk di sofa. Ia menjerit melihat tangan Marquez mengucurkan darah segar. Gila! Dia mencengkeram gelas sampai pecah?"Cepat panggilkan dokter!" teriak Marisa pada para asisten.Semua orang dibuat ricuh. Sementara Marquez tetap diam meski pendarahan di tangannya tak juga berhenti.Darah ini adalah bukti jika api yang berkobar di matanya tidak akan pernah padam sebelum melihat mayat Aaron."Marquez Sayangku!"Marisa merangkul kepala Marquez hingga bersandar ke bahunya. Wanita itu menangis melihat tangan putranya terluka.Para dokter segera berdatangan. Marquez langsung mendapatkan penanganan medis. Marisa cemas melihat sang putra diam saja."Kau pasti kesal karena kita gagal lagi menghabisi Aaron."Marquez cuma menarik nafas panjang lalu membuang pandangan ke luar jendela. Salju mulai turun menjelang malam tiba.Butiran putih itu mengingatka
Kantor Pengacara Pusat Alexandria Baru pagi itu.Jeremy sangat terkejut dan marah setelah menerima telepon dari salah satu penjaga yang bekerja di kediaman Tuan Fortman.Para bajingan itu ternyata masih saja gemar menyiksa Aaron. Bahkan memperlakukan Tuan Muda sudah seperti binatang.["Anda harus lakukan sesuatu, Tuan! Mereka akan membawa Tuan Muda ke tahanan khusus siang ini!"]Dicengkeram gagang telepon dalam genggaman. Jeremy memejamkan matanya berat."Aku akan siapkan semuanya. Kau harus awasi di sana dan terus hubungi aku," kata Jeremy.["Baik, Tuan!"]Brak!Diletakkan gagang telepon itu kembali ke tempatnya. Jeremy memijat pertengahan di antara kedua alisnya yang tebal. Ia sedang berpikir.Sementara itu di kediaman Tuan Fortman. Tepatnya di lantai dua mansion.Langkah anggun sepasang tungkai jenjang yang dipasangi heels warna merah terayun menuju suatu kamar. Itu kamar khusus di mana mereka menyimpan Tuan Fortman yang sedang koma.Marisa berjalan sambil menikmati batang rokoknya
Jeremy menatap punggung seorang yang berdiri sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Kemudian dilihatnya laras panjang yang tergeletak di antara kedua tungkai orang tersebut. "Hei, siapa yang membayar mu?" Ekor mata sang sniper melirik. Dan saat Jeremy hendak maju, ia segera memutar dan langsung menendang revolver di tangan pria itu. Senjata api jatuh tak terelakan lagi. Jeremy dibuat terkejut saat satu pukulan menghantam wajahnya. Dia jatuh tersungkur. Dua orang yang melihatnya segera bersiap untuk menembak. Sementara sniper segera meraih senjata dengan kakinya. Duar! Duar! Baku tembak terjadi di antara mereka. Jeremy segera bangkit dan langsung menyambar pistolnya. Dia mengejar sniper yang bersembunyi di balik mobil. "Keluar kau atau kami akan menembak mu di sini!" Sniper sedang bersiaga dengan senjata di tangan. Ekor matanya mengintai dari balik mobil. Duar! Duar! Shit! Mereka terus menembak! Ia segera mengisi peluru dan mulai mengincar kepala musuh. Duar! Dua
Pagi yang dingin di pertengahan bulan Juni. Sinar jingga menerobos dari sela-sela perbukitan yang diselimuti salju tebal.Seorang laki-laki terbaring di atas sebuah brangkar yang berada di ruang rawat khusus.Aaron de Fortman, ia membuka matanya perlahan-lahan. Samar-samar ia memindai ke sekitar ruangan tempat dirinya berada.Beragam alat medis terpampang di sekitar. Aroma obat-obatan membuat kepalanya pusing. Juga suara tetesan air infus yang terdengar lamban.Ini bukan penjara tempat ia disekap. Ruangan ini mengingatkan ia pada insiden tiga tahun yang lalu.'Cepat siapkan!''Lakukan!'"Tidak!"Aaron menjerit. Dan saat ia hendak bangkit, dia terkejut melihat kedua tangan dan kakinya sudah dipasangi borgol yang dikaitkan ke masing-masing tepi ranjang.Ini ruang terapi kejut. Dia trauma dengan situasi saat ini. Di mana para dokter akan melakukan tindakan padanya. Itu sebuah kejahatan."Dokter, pasien sudah sadar!"Perawat yang melihat Aaron segera berlari menuju ruang dokter untuk mela
Hari berikutnya di rumah sakit jiwa. Miranda sedang berjalan di lorong sambil memegang catatan para pasien. Matanya mencari-cari ke sekitar.Di mana mereka menyekap Tuan Muda Fortman?"Dokter Miranda!"Deg!Suara itu membuatnya terkejut. Langkah sepasang tungkai jenjang itu segera dihentikan. Indera pendengaran Miranda menangkap suara ketukan sepatu yang mendekat dari arah belakang."Dokter Miranda, apa yang sedang Anda lakukan di sini? Bukankah ini lorong menuju pusat rumah sakit?"Pusat rumah sakit?Miranda keheranan sesaat. Ia mengerjapkan mata beberapa kali guna menetralisir serangan panik yang mendera jiwanya.Dokter Toni menatapnya dengan kedua alis hitam tebal yang nyaris menyatu. Gelagat Dokter Miranda membuatnya curiga."Ah, ya! Aku sedang menuju bangsal pasien kelas berat. Sepertinya aku tersesat sampai ke sini," ucap Miranda disertai senyuman yang tampak canggung.Dokter Toni memicingkan matanya. "Anda orang baru di rumah sakit ini, sebaiknya Anda baca dulu protokol rumah s