Home / Thriller / SANG PEWARIS PERKASA / Chapter 4 - Kelicikan Marquez

Share

Chapter 4 - Kelicikan Marquez

"Menyingkir kalian! Biarkan saya masuk!"

"Di mana Tuan Muda Fortman kalian sekap?!"

"Serahkan dia pada saya!"

Suara ricuh di ujung lorong mengembalikan kewarasan Aaron. Ia tersadar dari semua bayangan masa lalunya.

Iris biru terang itu mencari-cari ke sekitar. Sepertinya ia kenal dengan suara laki-laki yang berteriak pada para penjaga di ujung lorong. Bukankah dia Jeremy?

Sementara itu di ujung lorong sedang terjadi perdebatan hebat antara seorang laki-laki dengan tiga orang penjaga. Laki-laki itu datang dengan membawa berkas-berkas penting dalam kopernya.

Jeremy merupakan pria asal Selatan yang sudah bekerja puluhan tahun melayani keluarga Fortman sebagai sekretaris sekaligus pengacara Tuan Fortman.

Setelah Tuan Besar Fortman meninggal, semua hak waris jatuh pada putra tunggalnya yaitu Aaron de Fortman. Sayangnya, di hari penyerahan hak waris di pengadilan pusat, Jeremy tidak melihat Aaron sama sekali.

Dia curiga jika Marisa dan Marquez sudah melakukan sesuatu pada Tuan Muda Fortman tersebut. Dan saat ia menanyakan Aaron. Marisan dan Marquez menjawab dengan santai.

"Aaron sedang tidak sehat. Mentalnya terganggu. Sekarang dia sedang berada di rumah sakit jiwa untuk menjalani perawatan."

Jeremy yang mahir menebak gelagat orang mengetahui jika dia sudah dibohongi oleh para bajingan itu. Dia pun berusaha mencari keberadaan Aaron.

Marisa dan Marquez tidak membawa Aaron ke rumah sakit jiwa mana pun untuk proses pemulihan mentalnya. Hingga hari ini Jeremy datang dengan membawa tiga orang detektif. Dia menggeledah rumah Tuan Forman.

"Ada apa ini? Pagi-pagi sudah merusuh di rumah orang!"

Jeremy yang sedang bersitegang dengan para penjaga di ujung lorong pun menoleh ke arah sumber suara tersebut. Marisa menghembuskan asap rokoknya lalu tersenyum sinis.

"Nyonya, saya tahu Anda sudah berbuat tidak benar pada Tuan Muda Aaron. Sekarang katakan di mana dia? Saya harus menyerahkan banyak berkas penting padanya," ucap Jeremy dengan sorot mata dingin pada wanita di depannya.

Marisa menyeringai. Sambil menjepit batang rokok di antara kedua jarinya, wanita itu mendekat pada Jeremy.

"Apa yang bisa orang gila perbuat pada berkas-berkas penting itu? Aaron sudah tidak bisa diharapkan lagi. Mentalnya rusak dan dia sangat berbahaya! Jika ada hal penting mengenai warisan keluarga Fortman, baiknya serahkan saja padaku," desisnya.

Jeremy mencengkeram pegangan koper di tangannya. Matanya menatap tajam. "Tidak bisa, Nyonya. Seperti apa pun kondisi Tuan Muda Aaron, saya harus menemuinya."

Melihat laki-laki itu yang keras kepala, Marisa jadi muak. "Oke! Jika tidak mau berurusan denganku maka enyahlah kau dari hadapanku!"

"Setidaknya biarkan saya melihat kondisi Tuan Muda dulu!" desak Jeremy tak kalah kesal.

Marisa memicingkan matanya. "Kau tidak akan keluar dengan selamat jika maju satu langkah lagi!"

Jeremy mematung di tempat. Dia tahu betul wanita di depannya ini memang bukan hanya racun, tapi juga iblis yang suka makan orang.

Maka sebelum ia meninggalkan tempat itu, sang pengacara mengintimidasi mereka dengan melempar tatapan yang tajam.

"Dasar laki-laki sinting!"

Marisa tidak peduli. Dia segera melangkah menuju pintu rahasia yang berada di ujung lorong. Tiga orang penjaga segera mengkuti langkah wanita itu.

Jeremy, oh dia sudah pergi?

Indera pendengaran Aaron yang amat tajam menangkap suara langkah pantofel mereka menjauh dari tempat ia berada saat ini.

Wajah kuyu itu menekur ke bawah. Aaron sempat putus asa setelah berharap jika Jeremy akan membebaskan dia dari penjara busuk yang membelenggunya saat ini.

Langkah sepasang tungkai jenjang yang dipasangi heels warna merah menepi di depan jeruji besi di mana seorang laki-laki terpenjara di sana. Marisa tersenyum remeh melihat kondisi Aaron.

"Kasihan sekali. Kau pikir pengacara bodoh itu bisa membantumu? Kau salah, Aaron! Tidak ada yang bisa membantumu selain aku! Maka sebelum aku bosan dan ingin menghabisimu, aku bertanya lagi. Maukah kau menjadi budakku? Maka kau akan terbebas dari penjara ini!"

Sepasang mata Aaron terangkat guna menggapai wajah iblis di depannya. Seringai tipis terbit di sudut bibir Marisa kala manik-manik biru terang itu menatapnya.

"Kau terlalu menyedihkan untuk mati di tempat ini, Aaron. Maka apa sulitnya terima saja tawaran dariku? Kau pasti akan hidup enak jika bersedia menjadi budakku," desis Marisa lagi.

Aaron meludah. "Cuih! Lebih baik aku mati di sini daripada menjadi budakmu!"

"Dasar keras kepala!"

Maria yang marah segera meminta seember air pada para penjaga. Maka segera ia menyiram laki-laki di dalam sel tahanan itu. Dia tertawa puas melihat Aaron basah kuyup dan menggigil kedinginan.

"Jangan beri dia makan! Biarkan dia makan kotorannya sendiri!" Usai memberi perintah, Marisa bergegas pergi.

Aaron mengepalkan tangannya dengan tatapan yang tajam. Wanita itu, dia bahkan lebih gila daripada orang yang tidak waras!

Dipejamkan mata itu, Aaron kembali mengingat momen-momen yang sudah lewat di hidupnya.

['Telah terjadi kecelakaan tunggal di sekitar bukit. Mobil mewah yang membawa Tuan Muda Fortman terperosok hingga masuk jurang. Tim satuan khusus dan para polisi sedang melakukan evakuasi saat ini!']

"Apa?!"

"Oh, tidak!"

'Tuan Muda Aaron!"

Breaking News pagi itu mengejutkan seluruh kota. Mereka bergegas pergi ke lokasi untuk melihat proses evakuasi. Mereka juga tidak sabar ingin tahu bagaimana kondisi Aaron saat itu.

"Mobilnya meledak! Kami membutuhkan Tim Pemadam!"

"Oh, Tuhanku!"

Tuan Fortman yang baru saja pulih dari komanya dibuat shock saat mendengar kabar duka yang Jeremy sampaikan. Laki-laki tua itu sekuat tenaga berusaha sadar. Dia ingin melihat kondisi putranya.

"Kau tidak bisa meninggalkan rumah sakit saat ini."

Tuan Fortman dan Jeremy menoleh ke arah pintu, dari mana sumber suara tersebut.

Marisa membalas tatapan dua orang laki-laki itu dengan wajah sedih dan panik. Wanita itu lantas berlari menuju Tuan Fortman sambil menangis.

"Oh, Sayang! Aaron tidak ditemukan di jurang! Para polisi dan Unit Khusus sudah menyerah mencarinya!" jerit Marisa setelah menjatuhkan wajahnya ke dada Tuan Fortman.

Seketika laki-laki tua itu mengalami shock berat.

"Tuan Besar!"

Jeremy sangat terkejut melihat Tuan Fortman jatuh pinsan.

Marisa tersenyum licik diam-diam sambil melihat para dokter dan perawat yang sibuk menangani laki-laki tua itu. Dia berharap hari ini ada dua nyawa yang hilang. Nyawa Anthony dan putranya, Aaron.

"Bagiamana? Apakah laki-laki itu sudah kau bereskan?" Marisa menghubungi Marquez setelah mengambil privasi dari kericuhan di ruang ICU di mana Tuan Fortman terbaring.

Marquez yang sedang berada di dalam jurang menoleh ke arah laki-laki yang tergolek di bawah kakinya.

Aaron belum sadrakan diri. Sementara dia sudah kepayahan menyeret laki-laki itu menjauh dari ledakan mobil.

"Huh! Aku capek sekali karena si bodoh ini! Kenapa kita tidak biarkan dia tewas dalam ledakan mobil?" jawab Marquez. Ponsel pintar berada dalam genggaman tangan kanannya dan didekatkan ke teinga.

Marisa tersenyum puas mendengar ucapan Marquez. "Kita masih butuh Aaron untuk memindahkan semua wewenang hak waris semua kekayaaan keluarga Fortman, bukan? Maka bersabarlah sebentar lagi, Sayangku."

Marquez berdecak jengah. Ia segera menyudahi panggilan.

"Bodoh! Kau merepotkan saja!"

Dengan kesal dia menendang Aaron yang masih belum sadarkan diri. Kemudian kepalanya menggeleng dengan ekspresi bosan. Tiba-tiba matanya melihat sebuah semak belukar yang rimbun. Bibirnya menyeringai tipis.

"Kurasa di hutan ini masih banyak hewan buas. Bagaimana jika aku berbaik hati memberi makan mereka?"

Marquez tertawa begitu gila. Kemudian dia menyeret tubuh ringkih Aaron, lantas melemparnya ke semak-semak.

"Persetan dengan apapun! Matilah kau, Aaron!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status