Pasien rumah sakit jiwa teramat tampan. Para dokter dan perawat langsung jatuh cinta padanya!!
Pemuda yang dinyatakan gila telah kembali dengan puluhan bodyguard dan mobil mewah. Kedatangannya mengejutkan seluruh rakyat San Alexandria Baru. Apa yang sudah terjadi padanya selama tiga tahun menghilang? Dia membawa banyak uang dan akan membeli kota! ________________________ "Lepaskan aku! Aku tidak gila!" Di suatu ruangan dengan pencahayaan yang remang, seorang pria terus berteriak. Kedua tangan dan kakinya dipasangi rantai. Baju yang melekat di tubuh sudah compang-camping. Rambutnya gondrong dan kusut. Bulu-bulu halus tumbuh di sekitar wajah yang tidak terawat. Kotor dan kumal, seperti orang yang tak pernah mandi. Aaron de Fortman, keadaanya sungguh memprihatinkan. "Hei, orang-orang sialan! Cepat lepaskan aku! Bajingan kalian semua!" teriak Aaron lagi. Rantai di tangan dan kakinya turut menimbulkan suara akibat dia berusaha melepaskan diri. "Heh, bisa diam tidak?! Dasar tidak waras!" Terdengar suara seorang pria dari luar penjara di mana dia berada. Aaron hafal suara itu. Marquez de Fortman, mau apa pria licik itu memasuki ruang bawah tanah ini? Apa untuk menyiksanya seperti yang biasa si brengsek itu lakukan saat dia kalah main poker atau mabuk bir? Aaron tidak takut sama sekali. Jika dirinya bebas, maka orang yang pertama akan dia habisi adalah Marquez! "Heh, orang gila! Mengapa kau teriak-teriak terus? Mau aku sengat dengan listrik lagi?!" Marquez sudah berdiri di depan pintu jeruji besi di mana Aaron dikurung. Pria tinggi itu menatap sambil tersenyum remeh melihat kondisi adik tiri yang menyedihkan di dalam sana. Aaron melempar tatapan sinis dengan mata berapi-api. Marquez de Fortman, pria itu adalah anak dari wanita licik yang ayahnya bawa ke rumah dan nikahi tiga tahun yang lalu. Usianya dua tahun lebih tua darinya. Arogan, biadap dan menjijikan! Sungguh tak patut dia memakai nama ayahnya di belakang namanya. Bahkan Marquez bukan anak kandung Tuan Fortman. Dia cuma anak tiri di keluarga ini. Entah siapa ayahnya. Mungkin seorang berandal atau bajingan. Namun sungguh gila! Pria sialan itu telah merebut segalanya yang ia miliki. "Apa lihat-lihat? Kau lapar? Mau makan?" Marquez masih memasang senyum remeh sambil membalas tatapan tajam Aaron. Menyedihkan sekali! Ahli waris keluarga Fortman telah dinyatakan gila oleh dokter kejiwaan. Kemudian Aaron dikurung dalam bangker ini. Di atas sana rumah besar keluarga Fortman, dan di bawah sini Aaron yang malang. Dia bisa makan daging setiap hari dan minum wine paling mahal di kota San Alexandria Baru. Sedang Aaron, setiap hari mereka hanya memberinya nasi basi dan air keran. Kadang pula Marquez memaksanya meminum air seninya juga. Sungguh malang betul nasib pemuda itu. Marquez tersenyum remeh melihat Aaron yang menyedihkan. Dua orang penjaga datang sambil membawa nasi basi dan air keruh untuk Aaron. "Ck!Ck!Ck! Tuan Muda Fortman yang malang ... selamat menikmati makan malam Anda!" Dua orang penjaga tertawa setelah menaruh apa yang dibawanya ke depan Aaron. Melihat lelucon itu, Marquez tertawa paling kencang. Aaron mengepalkan buku-buku jemarinya penuh emosi. Rahangnya menggeretak kuat. Dalam hati dia mengutuk Marquez dan ibunya yang licik. "Aku tak mau makan! Bebaskan aku, Bajingan!" berang Aaron. Ingin rasanya dia menghajar Marquez dan membuat pria itu tak dapat menunjukan senyumnya lagi. Marquez menahan tawanya lantas berkata, "Mau makan atau tidak itu bukan urusanku. Lebih cepat kau mati, itu lebih menguntungkan bagiku." "Bajingan kau Marquez!" Marquez tertawa geli melihat Aaron mengamuk. "Apa yang kau bisa lakukan? Seluruh San Alexandria mengira kau sudah gila setelah Daddy tiada. Kantor besar itu kini milikku. Juga pacarmu yang cantik itu, dia juga sudah tidur denganku. Apa lagi yang kau miliki? Kurasa ... mati jauh lebih baik untukmu, bukan?" "Biadap! Beraninya kau menyentuh Jesica!" Aaron benar-benar murka. Ingin rasanya dia mencabik-cabik tubuh Marquez dan mengambil jantungnya. Dia sungguh tidak terima kakak tiri licik itu telah tidur dengan pacarnya. Jesica adalah satu-satunya gadis yang dia cintai. Mereka nyaris menikah. Namun, kejadian tragis tiga tahun yang lalu telah merenggut cintanya. Juga masa depan dan mimpi mereka. "Wah! Lihatlah, dia sangat marah!" Marquez tertawa bersama para penjaga. Kemudian dia melanjutkan dengan mencondongkan wajahnya ke depan Aaron, "Heh, asal kau tahu saja! Jesica malam itu sangat cantik. Dia mengenakan pakaian tipis yang kau belikan untuk hadiah pernikahan. Aku menelusuri setiap inci tubuhnya tanpa sisa. Apa kau penasaran bagaimana rasanya? Aku bisa ceritakan." "Bajingan kau Marquez! Enyah kau dari sini! Brengsek!" Aaron semakin mengamuk. Amarahnya bisa membakar seluruh kota. Marquez dan para penjaga hanya tergelak tawa melihatnya. "Marquez, ada apa ini? Mengapa berisik sekali?" Suara seorang wanita mengejutkan mereka semua. Marquez dan dua orang penjaga segera menyudahi tawa mereka. Aaron hanya mendengus kesal. Dia tahu betul siapa wanita glamour yang datang. "Malam, Nyonya!" Dua orang penjaga menyapa wanita berpenampilan paripurna di depannya. Marisa Fortman, ibu kandung Marquez. Tak ada ular yang lebih berbisa dari wanita itu. Begitu pandainya dia memutar balikan fakta dan merubah hidup seseorang. Marisa memberi isyarat pada para penjaga untuk segera pergi. Sambil menikmati batang rokoknya, wanita itu mendekati Aaron. Bibir merah itu menyeringai tipis, lantas berbisik, "Andai saja kau tidak menolakku pada malam itu, mungkin saat ini kita sedang berkeringat bersama dalam selimut. Namun kau sungguh munafik, Aaron. Akhirnya kau harus mengalami semua ini. Menyedihkan sekali, bukan?" Aaron mengangkat kedua mata penuh emosi. Ingatannya kembali ke masa tiga tahun yang lalu. Malam itu sedang turun hujan. Markus pergi berpesta dan tak kunjung pulang. Tuan Fortman sedang terbaring sakit di Mega Hospital. Sedang Aaron baru saja tiba di rumah mewah mereka. "Aaron, apa kau sudah pulang? Syukurlah! Cepat ke kamarku sekarang! Ada yang ingin aku bicarakan dengan putraku yang tampan!" Aaron menatap heran pada layar ponselnya. Pesan singkat dari ibu tirinya sungguh aneh. Apa yang ingin Marisa bicarakan? Mengapa dia tidak pergi ke rumah sakit untuk menemani ayahnya? Wanita itu malah enak-enak di rumah! Aaron jadi geram. Dia lantas segera menuju kamar ibu tirinya. Marisa sedang duduk menghadap meja rias. Sehelai lingerie membalut tubuhnya yang ramping. Wanita itu sudah berusia 45 tahun, tapi dia begitu mahir berhias dan menyembunyikan usianya. Siluet tinggi muncul pada cermin lebar di depannya. Marisa segera bangkit dan langsung menoleh ke belakang. Aaron segera membuang pandangan ke lain arah. Sungguh tak pantas dia melihat istri ayahnya dengan pakaian seperti itu. "Apa yang ingin kau bicarakan? Cepatlah bicara, aku tak mau lama-lama di sini," ucap Aaron dingin, lantas memutar tubuhnya membelakangi Marisa yang sedang menuju padanya. Dia sungguh dibuat terejut saat ibu tiri memeluknya dari belakang. Marisa menghirup wangi cologne Aaron yang segar. Lama sudah dia menantikan saat seperti ini. Meski Aaron lebih pantas menjadi anaknya, tapi sungguh pesona pria muda itu membuatnya tak tahan. "Apa yang kau lakukan? Lepaskan!" Aaron yang masih waras berusaha melepaskan kedua tangan Marisa yang melingkar erat di sekitar perutnya. Marisa tersenyum seringai saat mata Aaron berusaha menggapai wajahnya di balik punggung. "Ayo kita lakukan, Aaron. Aku benar-benar tak tahan lagi ..." "Kau sudah gila!" Dengan kasar Aaron melepaskan cengkeraman tangan Marisa. Wanita itu jatuh terjerembab ke atas ranjang karena terdorong. Wajah merah Aaron membuatnya gemas. Marisa langsung menyambar lengan Aaron, lantas menarik paksa pemuda itu padanya. Dan saat Aaron terjatuh ke ranjang, Marisa segera menguasainya. "Aku sangat bernafsu padamu, Aaron. Puaskan aku malam ini, Sayang ..." Dengan wajah yang sudah merah karena birahi, Marisa cepat-cepat membuka kancing kemeja Aaron. Pemuda itu berusaha berontak saat sang ibu tiri memaksanya. Marisa sungguh tak tahu malu. Dia memaksa anak tirinya untuk melakukan hal kotor. Aaron jelas tidak mau. Brak! Marisa jatuh dari atas ranjang setelah Aaron mendorongnya kasar. Wanita itu sedang meringis sambil memegang pinggangnya yang sakit. Aaron tak peduli. Dia segera meninggalkan kamar itu. "Aaron, beraninya kau menolak ku! Aku akan membuat hidupmu menderita!" Ternyata ucapan Marisa malam itu tidak main-main. Lihatlah keadaan Aaron malam ini. Pria 25 tahun itu tak lagi terlihat seperti pewaris keluarga Fortman yang terkenal akan kecerdasan dan parasnya yang tampan. Dia hanya orang gila. Seperti berita yang tersiar selama tiga tahun ini. Lantas, apa yang telah terjadi pada Aaron tiga tahun yang lalu? Kisah ini baru saja dimulai.. Dewa Amour_Marisa melempar senyum manis pada Aaron. Dengan telunjuk ia menyentuh dagu lancip pemuda itu. Matanya menatap liar seolah amat menginginkan dia. "Semua belum terlambat jika kau mau menjadi budakku," desisnya ke wajah Aaron. Pria itu menatap dengan mata terbakar. "Aku tak sudi!" Senyum di wajah Marisa memudar seketika. Matanya menatap nyalang pada Aaron. "Dasar keras kepala! Membusuk lah kau di tempat ini!" berangnya lantas pergi. Marquez yang menyimak menoleh satu kali ke punggung ibunya. lantas dia menaikan sudut bibirnya saat menatap pada Aaron. "Baiklah Young Master Fortman yang terhormat, selamat malam!" cibirnya lantas pergi. Aaron mendengus kesal mendengar gelak tawa para bajingan itu di ujung lorong. Tiga tahun terkurung di ruangan membosankan ini, sungguh tak patut dialami oleh pewaris keluarga Fortman yang lebih tersohor daripada seorang selebriti. Hawa dingin menusuk tulang menjelang pagi membuat tubuhnya menggigil. Dia membutuhkan selimut bulu tebal untuk melindun
Angin pagi bertiup dengan kencang. Daun-daun maple berjatuhan di tepi sungai beku.Tiga tahun yang lalu, itu waktu yang begitu singkat baginya. Juga memiliki banyak kenangan.Aaron membuka mata. Sepasang iris hijau terang memancar dengan sempurna. Dipandanginya dari balik langit-langit kaca yang buram. Hujan salju kembali turun."Aku sangat mencintaimu! Aku sudah tidak sabar menunggu hari pernikahan kita."Hawa dingin yang ditimbulkan, juga salju putih yang lembut membuatnya teringat pada gadisnya."Aku pun sangat mencintaimu. Sama seperti mu, aku tidak sabaran menunggu hari pernikahan kita."Jesica tersenyum membalas tatapannya kala itu. Senyuman yang begitu manis. Siapa sangka di sela indahnya harapan dan mimpi mereka itu, hal yang mengerikan harus terjadi."Aaron, aku bukan milikmu lagi! Aku kehilangan segalanya! Aku tak mau hidup lagi!" Jesica bicara dengan suaranya yang serak. Juga matanya yang sembab.Selama tiga tahun ia mengenal gadis itu, ini untuk pertama kalinya Aaron meli
"Menyingkir kalian! Biarkan saya masuk!""Di mana Tuan Muda Fortman kalian sekap?!""Serahkan dia pada saya!"Suara ricuh di ujung lorong mengembalikan kewarasan Aaron. Ia tersadar dari semua bayangan masa lalunya.Iris biru terang itu mencari-cari ke sekitar. Sepertinya ia kenal dengan suara laki-laki yang berteriak pada para penjaga di ujung lorong. Bukankah dia Jeremy?Sementara itu di ujung lorong sedang terjadi perdebatan hebat antara seorang laki-laki dengan tiga orang penjaga. Laki-laki itu datang dengan membawa berkas-berkas penting dalam kopernya.Jeremy merupakan pria asal Selatan yang sudah bekerja puluhan tahun melayani keluarga Fortman sebagai sekretaris sekaligus pengacara Tuan Fortman. Setelah Tuan Besar Fortman meninggal, semua hak waris jatuh pada putra tunggalnya yaitu Aaron de Fortman. Sayangnya, di hari penyerahan hak waris di pengadilan pusat, Jeremy tidak melihat Aaron sama sekali.Dia curiga jika Marisa dan Marquez sudah melakukan sesuatu pada Tuan Muda Fortman
Terik sang mentari petang itu cukup panas. Sinar jingganya menerobos dari sela-sela daun pinus yang tipis. Perlahan Aaron membuka matanya. Ia terkejut mendapati tubuhnya yang sedang tergolek di antara semak-semak jurang."Ah, di mana aku?"Berangsur-angsur laki-laki itu menyeret tubuh ringkihnya guna berusaha bangkit. Di sela rasa haus dan kepayahan, Aaron mengingat insiden yang baru saja terjadi padanya.Marquez, di mana laki-laki itu?Bukankah mereka menaiki mobil yang sama?Aaron tak mampu mengingat banyak hal. Termasuk ledakan dahsyat yang terjadi. Dia hanya ingat saat mobil itu terperosok lalu terjun ke jurang.Dalam hati, Aaron mencemaskan Marquez. Meski mereka hanya saudara tiri dan tidak pernah akur, tapi dia masih punya nurani terhadap laki-laki menyebalkan itu."Marquez, aku harus mencarinya!"Aaron berusaha bangkit sambil bertumpu ke pepohonan di sekitar. Ia berjalan dengan terpincang-pincang. Matanya memindai ke sekitar hutan."Marquez!"Dari balik sebuah pohon besar, Marq
Suara baling-baling helikoter masih terdengar di telinga Aaron. Juga situasinya saat itu. Kilas balik masa lalu membuatnya mengantuk.Salju putih berjatuhan di langit memenuhi atap kaca. Hawa dingin menusuk ke tulang di sela pakaian basah yang berbau busuk. Dari ujung lorong yang remang terlihat langkah seorang laki-laki."Dasar gila! Dia bahkan masih bisa tidur pulas di dalam penjara busuk ini," desis Marquez sambil menutupi hidungnya menggunakan sapu tangan.Cuaca yang lembab membuat aroma busuk yang tercium dari dalam penjara itu semakin menyengat. Sementara laki-laki yang dikurung di dalam sana malah sedang enak tidur. Jelas saja dia jadi kesal.Dua orang penjaga segera menghampiri laki-laki dengan mantel bulu tebal yang sedang berdiri memandangi si tahanan."Selamat malam, Tuan Marquez." Mereka menyapa dengan sopan.Marquez cuma melirik sesaat ke arah dua orang penjaga itu, lantas matanya kembali menatap pada laki-laki lusuh yang terikat rantai berkarat di dalam penjara."Apa kal
Hari mulai siang saat mobil hitam menepi di pelataran kediaman keluarga Fortman. Marisa baru saja tiba usai bertemu pengacara di Pusat Group Mecco Company."Selamat siang, Nyonya!""Menyingkir kalian!"Para asiten keheranan melihat wajah Marisa yang tampak sangat kesal. Wanita itu marah-marah seperti iblis yang sedang kelaparan. Tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya."Ursula, apa Dokter Federic datang kesini?""Belum, Nyonya."Shit!Marisa mendengus kesal. Kapan dokter itu akan datang? Ia sudah tidak sabar ingin segera menjalankan rencananya. Dengan emosi yang sesak di dada, wanita itu menggeleng lalu membentak para pekerja tanpa alasan yang jelas."Sepertinya Nyonya lupa minum obat.""Ya, kau benar. Dia harus minum obat."Para pekerja segera pergi setelah Marisa memaki mereka habis-habisan. Wanita itu memang tidak waras. Mentalnya terganggu sejak Tuan Fortman koma. Sementara itu di ruang bawah tanah di mana Aaron disekap. Tiga bayangan panjang memnatul saat pintu sebuah
"Jesica!""Tidak! Jesica!"Aaron histeris dan ingin mengamuk. Entah apa yang terjadi. Marisa segera menoleh ke arah Dokter Federic. Sang dokter cuma memasang wajah heran menanggapi."Apa yang terjadi? Kenapa dia tidak mau diam?" tanya Marisa.Marquez menimpali, "Jika dia terus mengamuk begitu, bagaimana kita bisa membuatnya menandatangani berkas-berkas itu?"Kedua orang itu tampak pusing dan bingung. Dokter Federic segera angkat bicara."Sepertinya obat halusinasi sudah tidak mempan padanya. Malam ini juga sebaiknya dia segera dibawa ke rumah sakit! Ada banyak alat di sana yang bisa merusak mentalnya."Marquez menoleh ke arah ibunya usai mendengar semua ucapan Dokter Federic.Marisa mengangguk. "Lakukan apa saja yang penting dia mau tanda tangan!" putusnya.Dokter Federic tersenyum tipis. Maka malam itu juga ia segera mengatur keberangkatan Aaron menuju rumah sakit jiwa."Lepaskan aku!""Jesica!"Aaron terus berontak dan berteriak saat beberapa petugas rumah sakit membawanya keluar d
Marquez memejamkan mata seraya mencengkeram gelas wine dalam genggaman.Prang!Marisa yang terkejut segera menoleh ke arah sang putra yang sedang duduk di sofa. Ia menjerit melihat tangan Marquez mengucurkan darah segar. Gila! Dia mencengkeram gelas sampai pecah?"Cepat panggilkan dokter!" teriak Marisa pada para asisten.Semua orang dibuat ricuh. Sementara Marquez tetap diam meski pendarahan di tangannya tak juga berhenti.Darah ini adalah bukti jika api yang berkobar di matanya tidak akan pernah padam sebelum melihat mayat Aaron."Marquez Sayangku!"Marisa merangkul kepala Marquez hingga bersandar ke bahunya. Wanita itu menangis melihat tangan putranya terluka.Para dokter segera berdatangan. Marquez langsung mendapatkan penanganan medis. Marisa cemas melihat sang putra diam saja."Kau pasti kesal karena kita gagal lagi menghabisi Aaron."Marquez cuma menarik nafas panjang lalu membuang pandangan ke luar jendela. Salju mulai turun menjelang malam tiba.Butiran putih itu mengingatka
Brak!"Apa ini?!"Tuan Hernandez yang sedang berada di ruang kerja dibuat terkejut saat seseorang melempar selembar surat kabar ke depannya. Dihentikan aktifitas tangannya pada tumpukan berkas di meja. Matanya terangkat ke wajah orang yang sedang berdiri di depan meja.Tuan Dakosta sedang menatap dengan penuh tanya dan heran. Apa yang membuat rekannya itu tampak marah?Tuan Hernandez kembali menurunkan pandangan. Kali ini selembar surat kabar di depannya yang ia lihat. Matanya terbelalak lebar saat melihat gambar yang terpampang pada halaman depan surat kabar."Kau berbohong padaku dan Laura? Ternyata laki-laki itu bukan putramu, melainkan seorang pewaris keluarga Fortman? Aaron de Fortman! Namanya ditulis dengan font hitam yang tebal di situ."Tuan Hernandez menelan ludah kasar melihat kemarahan di wajah Tuan Dakosta. Maka segera ia meraih surat kabar di depannya.'Aaron de Fortman, dia menghilang selama satu bulan. Pihak kepolisian akhinya menghentikan pencarian.'Begitu tulisan ya
Angin bertiup cukup kencang petang itu. Dahan-dahan maple bergesekan halus karena embusan angin. Satu per satu daun-daunnya berjatuhan ke tanah berbatu.Kelab malam di pusat kota tampak ramai sore itu. Eve terlihat berdiri di depan seorang wanita paruh baya yang berpenampilan glamour.Madan Julie, wanita berusia 50 tahun itu pemilik tunggal kelab di mana Eve bekerja setiap harinya. Bukan hanya sebuah kelab biasa yang menyajikan minuman, wanita dan musik. Akan tetapi, Kelab Madam Julie juga menyediakan pria bayaran yang disiapkan untuk para wanita kesepian.Sudah dua tahun Eve bekerja di tempat kotor itu. Tadinya dia hanya bekerja sebagai bartender. Namun suatu hari ia mendatangi Madam Julie untuk meminjam uang.Saat itu kondisi Eli sedang kritis di rumah sakit. Adik perempuannya akan menjalani proses operasi, tapi dia tidak punya cukup uang yang diminta oleh pihak rumah sakit.'Kau datang ke orang yang tepat. Aku bisa berikan sejumlah uang yang kau butuhkan, tapi ...'Wanita itu berk
Rumah kecil di bawah kolong jembatan menjelang sore. Suara pecahan kaca memecah keheningan. Miranda yang sedang termenung dibuat tersentak. Segera ia melirik ke arah belakang.Apa yang terjadi di dalam rumah?Apa Eli sudah bangun?Tak ada jawaban untuk pertanyaan di benaknya itu. Hanya tirai dengan motif bunga daisy yang melambai karena embusan angin, itu yang dia lihat."Di mana kakakmu?!"Plaak!Brug!Prang!Astaga, apa yang terjadi?Kenapa ribut-ribut begitu?Miranda segera beranjak dari bangku kayu yang ia duduki. Dengan langkah yang cepat ia menerobos tirai motif daisy. Hatinya mencemaskan Eli. Dan saat langkahnya tiba di dalam rumah, Miranda terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Tiga orang laki-laki dengan tampang preman sedang mengintimidasi Eli."Di mana kakakmu atau aku akan menculikmu lalu aku jual ke seorang muncikari?!"Laki-laki bertubuh kekar dengan gambar tato ular naga di lengan kiri sedang menjambak rambut Eli. Dia menodong wajah gadis cilik itu dengan ujung revolv
Mansion Keluarga Fortman menjelang siang. Para penjaga tampak berdiri di sepanjang teras menuju pelataran. Dua mobil dinas baru saja menepi. Dengan sigap mereka segera maju dan menyambut seorang pria yang baru saja keluar dar mobil.Marquez de Fortman, sambil menghembuskan asap cerutunya ia menatap bangunan megah di depannya saat ini. Tak ada yang berubah dari bangunan tiga lantai dengan cat dindingnya yang putih itu.Semuanya masih tampak sama seperti dua puluh tahun yang lalu, saat Marisa membawanya ke rumah ini. Persis seperti saat ini ia lakukan, dia berdiri di pelataran sambil memandangi ibunya berciuman dengan seorang pria.Itu kali pertama ia melihat Tuan Fortman.Anthony de Fortman, dia bukan hanya seorang pebisnis tapi juga pohon uang dan peti-peti harta karun yang selama ini dia cari. Begitu kata ibunya.'Mulai saat ini, kita akan tinggal di rumah ini.'Marisa berbisik seiring lirih angin yang bertiup sore itu. Bersamaan dengan gugurnya daun-daun maple, ia melihat seorang a
Sore hari yang cerah. Sinar jingga dari ufuk timur tampak begitu memukau. Cahayanya menerpa ladang bunga daisy yang terhampar luas di sekitar pegunungan Salvador."Kau tahu, Dave. Aku selalu ingin bertemu denganmu. Aku selalu menunggu saat seperti ini. Kau mungkin tidak bisa mengira seperti apa perasaan bahagia yang aku rasakan saat ini."Dave melirik ke arah gadis cantik di sampingnya. Dia dan Laura sedang berjalan-jalan di sekitar pegunungan. Mendengar semua perkataan Laura, dia merasa sedikit tak nyaman.Laura tersenyum manis menanggapi tatapan Dave. Apa yang dirinya katakan memang benar. Dia sangat senang bisa bertemu lagi dengan teman kecil sekaligus cinta pertamanya itu."Laura, aku tidak bisa mengingat apa pun saat ini. Andaikan aku bisa mengingat semuanya, mungkin rasanya akan sangat bahagia seperti mu."Dave bicara dengan suara yang lembut dan manik mata yang dipalingkan dari tatapan Laura. Ladang bunga daisy yang sedang berkembang. Mereka saling bersentuhan saat angin menerp
"Jadi, kau bekerja sebagai pria bayaran?"Miranda geleng-geleng sambil tersenyum remeh. Dia dan Eve sedang berada di suatu kafe yang cukup jauh dari area pemakaman.Miranda yang mengajak Eve meninggalkan lokasi terjadinya kebakaran mobil. Kemunculan beberapa mobil polisi membuatnya sangat panik. Dia tak mau sampai mereka melihatnya.Eve tampak kesal melihat sikap Miranda menilainya. Dia memang bekerja sebagai gigolo, tapi dia bukan laki-laki murahan seperti yang wanita itu pikirkan."Aku butuh uang untuk pengobatan adikku."Senyuman di wajah itu memudar kala mendengar ucapan Eve. Miranda mengangkat kedua matanya menatap wajah pria di depannya. Eve memasang wajah jengah. Ia lantas melanjutkan, "Adikku baru berusia delapan tahun. Dia mengidap kanker otak.""Apa?" Miranda sangat terkejut. Eve hanya menagguk pelan menanggapi."Hm, maafkan aku." Miranda berkata lagi. Ia merasa tak enak hati pada Eve.Pria itu tersenyum tipis. "Maaf untuk apa? Orang sepertiku sudah terbiasa direndahkan."
"Jadi, kau bekerja sebagai pria bayaran?"Miranda geleng-geleng sambil tersenyum remeh. Dia dan Eve sedang berada di suatu kafe yang cukup jauh dari area pemakaman.Miranda yang mengajak Eve meninggalkan lokasi terjadinya kebakaran mobil. Kemunculan beberapa mobil polisi membuatnya sangat panik. Dia tak mau sampai mereka melihatnya.Eve tampak kesal melihat sikap Miranda menilainya. Dia memang bekerja sebagai gigolo, tapi dia bukan laki-laki murahan seperti yang wanita itu pikirkan."Aku butuh uang untuk pengobatan adikku."Senyuman di wajah itu memudar kala mendengar ucapan Eve. Miranda mengangkat kedua matanya menatap wajah pria di depannya. Eve memasang wajah jengah. Ia lantas melanjutkan, "Adikku baru berusia delapan tahun. Dia mengidap kanker otak.""Apa?" Miranda sangat terkejut. Eve hanya menagguk pelan menanggapi."Hm, maafkan aku." Miranda berkata lagi. Ia merasa tak enak hati pada Eve.Pria itu tersenyum tipis. "Maaf untuk apa? Orang sepertiku sudah terbiasa direndahkan."
"Tuan Foster memiliki aset kekayaan sekitar 780 Triliun dolar. Diantaranya tiga pulau di Provinsi Salvador dan sepuluh rumah sakit di San Alexandria Baru. Selebihnya beberapa perusahaan yang bergerak di bidang properti dan Farmasi. Juga beberapa bungalow di Swedia Baru."Marisa dan Marquez saling pandang mendengar penuturan Louis tentang kekayaan Tuan Foster. Gila! Harta sebanyak itu, entah bagaimana cara mengelolanya.Melihat tampang dua orang di depannya itu, Louis tersenyum tipis lalu melanjutkan, "Setelah Tuan Foster tiada, mungkin semua aset kekayaannya akan disumbangkan ke panti-panti sosial karena tak ada yang mengelola.""Apa?"Marisa dan Marquez terkejut bersamaan mendengar ucapan Louis. Warisan sebanyak itu mau disumbangkan? Enak saja!"Hei, bukankah Tuan Foster masih punya seorang pawaris?" Marisa segera mengajukan pertanyaan yang memang sudah bersarang di benaknya dan juga Marquez. Dia tak sabaran menunggu tanggapan Louis. Dia harus segera tahu siapa pewaris Tuan Foster.
Eve berusaha memecahkan kaca depan mobil dengan sebuah batu yang cukup besar. Usahanya tak sia-sia. Kaca mobil pecah setelah ia menghantam dengan batu tersebut."Cepat keluar!"Pria itu berteriak sambil mengulurkan tangan pada wanita yang masih terjebak di dalam mobil. Miranda menatapnya dengan sendu. Eve tak peduli. Setelah ia berhasil menggapai lengan wanita itu, dia langsung menarik Miranda keluar dari mobil.Duar!Ledakan besar membuat Eve dan Miranda terpental cukup jauh. Keduanya berguling-guling di rerumputan. "Kau baik-baik saja?" Eve bertanya pada wanita yang berada di bawahnya saat ini. Matanya mengincar wajah cantik yang juga sedang menatapnya. Ini pertemuan mereka kedua kalinya. Eve terpana akan kecantikan Miranda."Menyingkirlah!"Perkataan Miranda sungguh di luar perkiraan. Dengan kasar wanita itu menepis Eve darinya. Miranda bergegas bangkit dan segera melihat ke arah semak-semak di mana mobil Luca berada.Oh, tidak!Off-road putih itu sudah dilahap oleh api. Mirand