“Bu, lihatlah pakaian Tante Indah. Terlalu ketat, nggak punya malu ya?” kata Mei anak pertama Esti.
Esti yang sedang asyik memainkan ponselnya langsung menoleh ke arah Mei. Ia tampak mengernyitkan dahi. “Ada apa, Mei?” tanya Esti, ia tidak begitu mendengar yang dibicarakan oleh Mei. “Itu lho Bu, Tante Indah pakai kaos ketat terus celana yang pendek sekali. Kayak orang mau senam aerobik di studio saja. Apa dia nggak risih ya?” “Masa sih?” “Benar, Bu. Padahal dulu Tante Indah nggak kayak gitu lho.” Esti penasaran dengan ucapan Mei, ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke ruang studio yang letaknya di sebelah rumahnya. Suasana studio tampak ramai, semua kru ada disini. Studio ini cukup luas, untuk latihan dan menyimpan peralatan musik, juga sound sistem sebuah orgen tunggal. Indah dan para kru sedang latihan bernyanyi. Besok mereka ada jadwal manggung di acara pernikahan. “Eh, Mbak Esti,” sapa Indah dengan suara serak-serak basah. Ia tersenyum dan mendekati Esti kemudian mengulurkan tangan untuk bersalaman. Beberapa kru juga tersenyum pada Esti, Esti membalasnya dengan menganggukkan kepalanya. “Lanjutkan saja latihannya, aku hanya ingin melihat saja kok,” sahut Esti. Indah dan para kru pun melanjutkan latihannya. Esti duduk bersebelahan dengan Mei, ia berusaha menikmati lagu yang dinyanyikan oleh Indah. Suara Indah memang bagus seperti seorang penyanyi profesional. Pandangan Esti tertuju pada pakaian yang melekat pada tubuh Indah. Memang benar kata Mei, pakaian Indah begitu tampak seksi, memperlihatkan lekuk tubuh Indah yang memang bahenol. Esti saja sangat risih melihatnya. Tak lama kemudian muncul Haris, suami Esti yang baru saja pulang dari kantor. Haris mendekati Esti dan Mei. “Lho Ais kemana?” tanya Haris. “Main ke rumah Vivi, Yah.” Mei menjawab pertanyaan ayahnya. Aisyah Farhana atau yang sering dipanggil Ais adalah anak kedua Esti dan Haris. Masih duduk di kelas empat SD. Sedangkan Mei atau Meidina Salsabila duduk di kelas tujuh SMP. Satu lagu usai dinyanyikan oleh Indah, Haris pun memberikan pengarahan pada kru orgen tunggal miliknya. “Besok pagi, sesudah subuh kalian harus sudah sampai disini ya? Mempersiapkan peralatan. Nanti malam jangan begadang, biar besok tampil prima. Jangan kecewakan orang yang menyewa kita.” “Oke, Pak.” Beberapa kru menjawab secara bersamaan. Esti hanya mengamati interaksi Haris dengan para kru. Tak sengaja ia melihat ke arah Indah yang tampak memandang Haris dengan wajah sumringah. Jantung Esti berdetak dengan kencang, ia pun menarik nafas panjang untuk menetralkan detak jantungnya. “Kenapa Bu?” tanya Mei. “Memangnya kenapa?” Esti malah balik bertanya sambil menoleh ke arah Mei. “Ibu kok menarik nafas?” “Oh, nggak apa-apa. Tiba-tiba dada Ibu sesak.” “Lihat Bu, om-om kru memandang Tante Indah sampai tak berkedip. Mudah-mudahan Ayah nggak kayak gitu.” Mei berbisik pada Esti. Deg! Jantung Esti berdetak kencang lagi. Ia melihat ke arah Haris yang tampak berbicara serius dengan Indah, sedangkan para kru sibuk dengan peralatan musiknya sambil sesekali melirik ke arah Haris dan Indah. “Sejak kapan mereka berdua akrab seperti itu?” kata Esti dalam hati. Esti sangat khawatir melihat keakraban bos orgen tunggal dan biduannya. Ia takut jika sesuatu yang buruk akan menimpa rumah tangganya lagi, seperti beberapa tahun yang lalu. Reno, salah satu kru tampak mengamati perubahan ekspresi wajah Esti. Reno menjadi salah tingkah ketika ia kepergok Esti sedang menatapnya. Reno pun menundukkan kepalanya. “Ada apa dengan Reno? Kok dia menatapku kayak gitu? Apakah dia tahu sesuatu yang tidak aku ketahui?” Esti berkata dalam hati. *** “Mas, Indah kalau nyanyi di panggung pakaiannya bagaimana?” tanya Esti ketika mereka berdua ada di dalam kamar, menjelang tidur malam. Pillow talk ini sering mereka lakukan, sekedar bercerita tentang kegiatan juga tentang anak-anak. Ini dimaksudkan untuk menjaga kedekatan dan keintiman setelah badai yang pernah menimpa rumah tangga mereka. “Maksudnya?” Haris mengernyitkan dahi dan menoleh ke arah Esti. “Kayak biduan-biduan lain yang tampil sangat seksi dan pakaian yang terbuka.” “Namanya juga biduan, ya kayak gitu deh.” Mata Haris beralih ke ponsel yang ada di tangannya. “Apa nggak bisa tampil lebih sopan? Yang dinikmati kan suaranya bukan tubuhnya. Kayak tadi, aku risih melihat pakaian Indah. Apa dia itu nggak sadar kalau sudah punya anak dan nggak muda lagi, harusnya dia tahu itu!” “Kita nggak usah ngatur-ngatur pakaian orang lain. Ia nyaman berpakaian seperti itu, ya biarkan saja.” Haris berkata dengan mata yang masih menatap layar ponselnya. “Bukannya ngatur, Mas. Tapi kan menyangkut citra orgen tunggal Cakrawala. Kalau laki-laki sih senang melihat perempuan berpakaian seperti itu.” Esti mulai kesal karena Haris tampaknya acuh tak acuh menanggapi omongannya. Ia pun melanjutkan bicaranya. “Kasihan ya, mencari uang sambil merendahkan martabat diri sendiri,” lanjut Esti. “Apa maksudmu?” Haris menoleh ke arah Esti. “Itu lho, biduan-biduan tampil diatas panggung dengan pakaian seksi hanya demi saweran. Apa dia nggak malu dengan keluarganya sendiri ya? Pikirkan bagaimana perasaan orang tua, suami dan juga anak-anaknya.” “Tapi kan mereka mencari nafkah halal,” protes Haris. “Halal? Halal itu kalau ia hanya bernyanyi dan berpakaian sopan. Kalau sampai menerima saweran laki-laki yang memberikan uangnya sambil mencolek-colek bagian tubuhnya, apakah itu halal?” “Belum lagi ketika terjadi hubungan haram antara biduan dengan kru yang sudah berkeluarga atau biduan dengan pemilik orgen tunggal,” lanjut Esti sambil menatap wajah Haris, membuat Haris salah tingkah dan mengalihkan pandangan ke arah lain. “Jadi kamu pikir aku ada hubungan dengan Indah?” Seketika Haris tampak kesal dan mulai emosi. Jantungnya berdetak dengan kencang. “Bukan, aku menceritakan pemilik orgen tunggal yang lain. Contohnya orgen tunggal Kencana, pemiliknya hampir saja bercerai. Akhirnya orgen tunggalnya dijual. Orgen tunggal Mitra, Bintang Harapan dan masih banyak lagi contoh lainnya. Eh, kok Mas jadi sewot seperti itu? Aku kan nggak ngomongin Mas?” Esti tampak curiga dengan gelagat Haris yang sepertinya tersinggung dengan ucapan Esti tadi. “Si-siapa yang sewot? Ucapanmu tadi seperti menuduhku.” Haris menjawab dengan gugup, membuat Esti semakin curiga. “Nggak usah gugup gitu, aku nggak menuduhmu kok. Aku hanya menyampaikan pendapatku tentang pemilik orgen tunggal yang lain. Semoga saja tidak terjadi pada orgen tunggal Cakrawala ya?” Esti berusaha untuk berbicara dengan tenang, walaupun dalam hatinya tampak mulai kesal dan emosi. “Sudah malam, tidur! Besok kesiangan ke kantornya,” kata Esti. Ia pun merebahkan tubuhnya dan berbaring membelakangi suaminya. Esti berusaha untuk memejamkan mata, tapi hanya mata yang terpejam, pikirannya berkelana. Drtt…drtt… Terdengar suara ponsel Haris berdering.Drtt…drtt… Terdengar suara ponsel Haris berdering. Esti masih belum bisa tidur, ia diam pura-pura tidur, ingin tahu bagaimana reaksi Haris. Haris bangun dan meraih ponselnya, ia menatap ke arah Esti. Ia berpikiran kalau Esti sudah tidur.Sebuah pesan yang masuk ke ponsel Haris, dengan perlahan ia membuka pesan itu. Jantungnya berdetak dengan kencang membaca pesan itu. Kemudian ia merebahkan tubuhnya lagi di sebelah Esti. Ia tampak bimbang setelah membaca pesan itu. Esti tahu kalau Haris gelisah karena Haris tidak bisa diam tubuhnya. Beberapa kali Haris membalikkan badannya. “Apa yang kamu pikirkan Mas? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” kata Esti dalam hati. Ia masih mengamati apa yang akan dilakukan oleh Haris.Sementara itu, Haris sudah berniat untuk keluar rumah, menemui orang yang mengirim pesan padanya. Haris hendak bangun, tapi ia mengurungkan niatnya, karena Esti membalikkan badan dan memeluk Haris dari belakang.“Aduh kenapa Esti malah memelukku?” Haris menjadi kesal
“Santi…” Winda tidak melanjutkan ucapannya.“Santi kenapa?” selidik Esti.“Santi kecentilan menggoda Rendi,” kata Winda dengan pelan.Esti tersenyum ke arah Irfan, rupanya Irfan juga tersenyum mendengar ucapan Winda.“Oalah, masalah laki-laki ya?” Irfan tertawa kecil, membuat Winda memerah pipinya karena malu.“Aku nggak menggoda Rendi, Rendi yang datang mendekati mejaku. Ia menanyakan tugas kelompok,” kilah Santi.“Winda, kalau kamu kesal masalah itu, jangan dikaitkan dengan orang tua Santi. Itu sangat menyakiti hati Santi. Kamu mau kalau orang tuamu dihina oleh orang lain?” Esti mulai berbicara dengan lembut.Winda menggelengkan kepalanya. Esti pun berbicara panjang lebar untuk mendamaikan Santi dan Winda. Bagaimanapun juga mereka berdua adalah remaja yang sedang puber dan mencari jati diri, jadi sedikit permasalahan saja akan membuat mereka ribut. Apalagi kalau masalah asmara.“Jangan diulangi lagi ya, Winda? Jangan menghina orang tua teman-temanmu.” Esti mengingatkan Winda,” dan
“Biasa, Mas. Toni sedang buntu, butuh suntikan dana untuk bertahan hidup,” kata Indah menggoda Toni.“Jangan buka kartu dong, kan ketahuan kalau dompetku melompong.” Toni mengimbangi ucapan Indah, supaya Haris tidak curiga. Haris hanya tersenyum melihat kru dan biduannya yang saling mengeluarkan celetukan.“Bukannya manggung kemarin sudah dapat?” tanya Haris.“Namanya juga manusia, Bos. Banyak kebutuhan dan keinginan,” sahut Toni. Belum sempat Haris menjawab, ada seseorang memanggilnya.“Ayah!” teriak Ais yang berlari mendekati Haris.“Iya, sayang,” sambut Haris sambil memeluk tubuh anak bungsunya itu.“Ayo, Yah, Ais mau nunjukin sesuatu,” ajak Ais sambil menarik tangan ayahnya.“Oke.” Haris pun mengikuti langkah kaki Ais untuk masuk menuju rumah mereka.Indah tampak kesal, belum sempat ia menggoda Haris, malah Haris pergi. Toni tersenyum melihat Indah yang kecewa.“Cie…cie, ada yang kecewa,” bisik Toni menggoda Indah.Sementara itu, di dalam rumah ada Esti dan Mei yang sedang sibuk d
“Apa yang kamu bicarakan dengan Indah?” tanya Haris ketika mereka sedang duduk santai di ruang keluarga menemani Ais yang asyik bermain.Esti yang dari tadi matanya tertuju ke layar televisi langsung menoleh ke arah Haris dengan penuh tanda tanya.“Kok Mas tahu kalau aku ngobrol dengan Indah? Oh, Indah mengadu sama kamu ya? Ngomong apa aja? Sesuai dengan yang aku bicarakan dengannya atau ada yang dikurangi dan ditambahi?’ Esti langsung memberondong Haris dengan beberapa pertanyaan yang membuat Haris kaget dan gugup.“E-enggak, Indah nggak ngomong apa-apa sama aku,” jawab Haris dengan gugup.“Aduh, kok aku nggak kepikiran kalau Esti bakal mencecarku dengan banyak pertanyaan,” kata Haris dalam hati menyadari kebodohannya.“Jujur saja, Mas. Jangan bohong! Indah mengadu padamu kan? Terus kamu lebih percaya sama aku atau Indah?”“Sudahlah, nggak usah dibahas.” Haris berusaha mengalihkan pembicaraan.“Enggak bisa, Mas yang memulainya. Harus diselesaikan, apa yang Indah bicarakan? Kapan Inda
“Ibu nggak menuduh Indah, tapi Ibu bicara berdasarkan kenyataan. Ada hubungan apa kamu dengan Indah, kok kamu sangat membelanya?” sahut Siti dengan nada yang agak tinggi.Haris kaget, ia baru menyadari kalau ia sudah salah berbicara.“Sialan, kok aku sampai keceplosan seperti itu ya?” kata Haris dalam hati, menyadari kebodohan yang sudah ia lakukan.“Haris, jangan bermain api. Sedekat apa hubunganmu dengan Indah?” tanya Dewi.“Sebatas pemilik dan biduannya saja, nggak lebih. Aku hanya kasihan melihat Indah selalu menjadi bahan cemoohan. Dia itu mencari nafkah untuk menghidupi anaknya. Apa salah kalau aku mempekerjakan dia? Apalagi sejak dia bergabung, orgen tunggal ku jadi sering dapat jadwal manggung. Dia itu membawa hoki.” Haris berkata panjang lebar.“Hati-hati Mas, berawal dari kasihan, kemudian saling curhat dan akhirnya menjadi nyaman. Rumah tangga pun dipertaruhkan.” Erlin mengingatkan Haris.Haris menjadi kesal, karena kedatangannya kesini untuk mengunjungi ibunya, tapi malah
“Kamu kenapa?” tanya Haris ketika melihat air mata menetes di pipi Esti. Ia pun segera memeluk Esti.Esti mempererat pelukannya, dan ia pun menangis tersedu-sedu.“Aku merasa kalau akhir-akhir ini komunikasi kita tidak baik bahkan setiap berbicara selalu diwarnai dengan perdebatan yang tiada ujung. Aku merindukan masa-masa seperti dulu, rumah yang penuh dengan kehangatan. Apakah keinginanku ini terlalu berlebihan?” Esti berkata dengan terbata-bata sambil terisak.“Enggak sayang, keinginanmu itu tidak berlebihan. Bahkan sangat wajar. Maafkan aku yang tidak menyadari semua keinginanmu itu.” Haris melepaskan pelukannya dan memegang wajah Esti dengan kedua tangannya, kemudian mencium Esti.“Maafkan aku, aku mungkin bukan suami yang baik. Tapi aku akan berusaha untuk menjadi suami yang bisa kamu andalkan.” Haris menatap Esti dengan tatapan penuh cinta.“Apakah aku sudah tidak menarik lagi bagimu, Mas?” tanya Esti.“Sssttt.” Haris meletakkan telunjuknya ke bibir Esti.“Maafkan aku kalau akh
“Mas, aku ada cerita,” kata Esti ketika sedang ngobrol dengan Haris. Hubungan mereka berdua sudah mulai membaik akhir-akhir ini.“Cerita apa?” tanya Haris.“Tadi ada siswaku bermasalah, ternyata dia itu keponakannya Indah.”“Terus, memangnya kenapa? Siswa bermasalah kan biasa.” Haris belum paham apa yang dimaksud oleh Esti.“Winda itu anak dari kakak sepupunya Indah. Orang tua Winda sudah bercerai, ibunya jadi TKW di Taiwan. Yang membuat aku kaget, ayahnya Winda selingkuh dengan Indah. Dan perselingkuhan itu membuat Indah hamil. Akhirnya suami Indah mengajukan gugatan cerai, karena Indah mengakui kalau itu anak dari selingkuhannya.” Esti tampak bersemangat bercerita.Haris sempat kaget, tapi ia bisa menguasai keadaannya. Haris pernah mendengar cerita ini, tapi hanya sebatas gosip saja.“Siapa laki-laki itu? Maksudku selingkuhannya Indah?”“Erdi. Katanya dulu juga kru sebuah orgen tunggal. Sekarang Erdi juga merantau, katanya sih ke Pekanbaru, di kebun kelapa sawit. Apa Mas mengenalnya
“Ponsel baru ya? Pasti mahal,” ucap seorang kru.“Iya dong! Tapi kredit hihi,” sahut Indah,” lagipula aku punya uang dari mana kalau beli cash.”“Ponsel baru? Apa mungkin….” Esti mulai bertanya-tanya, ia berharap kalau itu tidak seperti yang ia pikirkan.“Kenapa kok sepertinya semua serba kebetulan?” Lagi-lagi Esti hanya bergumam saja.“Ngapain kamu disitu?” tanya Haris mengagetkan Esti.“Oh, lagi dengerin para kru ngobrol. Mereka kalau ngobrol suka lucu-lucu, bikin ketawa. Jadi hiburan tersendiri.” Esti berkata sambil tertawa untuk mengurangi kegugupannya karena ketahuan mendengarkan pembicaraan orang lain. “Kenapa nggak gabung bersama mereka?”“Kalau aku ikut gabung, malah mereka nggak santai ngobrolnya.”“Soalnya kamu itu orangnya terlalu serius, jadi mereka bingung mau ngajak ngobrol,” kata Haris sambil menatap Esti.“Mas, lihat nggak ponselnya Indah. Keluaran terbaru dan bagus, pasti harganya mahal. Hebat ya Indah mampu membeli ponsel terbaru. Aku mau dong dibelikan yang kayak g
Tanpa berpikir panjang, Indah meneruskan pesan itu dan langsung menelpon Haris."Mas, lihat pesan dari Esti! Dia mengancam akan melaporkan pernikahan kita ke atasanmu! Dia ingin Mas dipecat!" suaranya penuh kemarahan.Haris, yang masih di rumah sakit menjaga ibunya, menghela napas berat. "Aku sudah baca.""Lalu Mas mau diam aja?!" bentak Indah. "Dia pikir dia siapa sampai bisa mengancam kita seperti ini?!"Haris memijit pelipisnya. "Indah, aku sedang di rumah sakit. Bisa kita bicara nanti?"Indah mendengus kesal. "Mas! Kalau Mas sampai kehilangan pekerjaan, gimana dengan aku dan anak kita?!"Haris menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. "Aku akan bicara dengan Esti. Aku akan minta dia untuk tidak membawa masalah ini lebih jauh."Indah tertawa sinis. "Oh, jadi Mas masih peduli sama dia?! Aku istrimu sekarang, Mas! Aku nggak akan biarkan perempuan itu menang!"Haris mulai kehilangan kesabaran. "Aku cuma mau menyelesaikan ini dengan baik, Indah. Kalau kita terus memperkeruh suasana,
Malam itu, di rumah Indah yang sederhana, Haris duduk di hadapan penghulu dengan wajah kosong. Para saksi sudah berkumpul. Indah duduk tak jauh darinya, mengenakan kebaya putih sederhana. Tapi tak ada kebahagiaan di mata Haris, hanya keterpaksaan.Ketika penghulu mulai membaca akad nikah, tangan Haris gemetar."Haris Maulana bin Karim, apakah Anda menerima Indah Astuti binti Burhan sebagai istri Anda dengan mas kawin yang sudah disepakati?"Haris menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Sekilas, ia teringat wajah Esti dan anak-anaknya. Haris mengangguk.Kemudian Pak Burhan bertindak sebagai wali nikah, menggenggam tangan Haris. Dengan suara bergetar, Haris mengucapkan kata yang mengubah hidupnya selamanya."Saya terima nikahnya Indah Astuti binti Burhan dengan mas kawin yang emas lima gram, tunai.""Sah!" ujar para saksi bersamaan.Indah tersenyum tipis, meski air mata jatuh dari sudut matanya. Bu Ratna tampak puas, sementara ayahnya mengangguk lega. Sepertinya memang ini sudah di
Haris terdiam sejenak, matanya kosong menatap layar ponselnya yang baru saja dimatikan. Suara Dewi yang tiba-tiba menyapanya membuatnya terbangun dari lamunannya."Kenapa wajahmu kusut kayak gitu?" tanya Dewi yang baru keluar dari ruangan ibunya. Dewi menatapnya dengan cemas, merasa ada sesuatu yang mengganggu Haris.Haris menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Indah... dia makin nekat. Dia nggak mau dengar alasan, Mbak. Dia tetap bersikeras mau datang ke rumah sakit, bertemu Ibu."Dewi mengerutkan kening, tampak terkejut. "Haris, ini bukan waktu yang tepat. Ibu baru aja, kamu nggak ingin keadaan makin parah, kan?"Haris baru saja hendak kembali ke kamar ibunya ketika tiba-tiba suara langkah cepat terdengar di lorong rumah sakit."Mas Haris!"Haris menoleh dan terkejut. Indah sudah ada di sana.Ia berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya memburu. Matanya menyapu ruangan dengan tajam, lalu berhenti tepat pada Haris dan Dewi."Aku sudah bilang aku akan da
Bu Siti mengerutkan kening, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu, Esti?"Haris menunduk, tak sanggup menatap ibunya. Dewi segera meraih tangan Bu Siti, berusaha menenangkannya."Ibu, maafkan kami karena tidak memberi tahu lebih awal," ujar Dewi hati-hati. "Kami hanya tidak ingin Ibu kaget dan sakit lagi."Bu Siti masih terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. "Jadi... selama ini kalian hanya berpura-pura di depan Ibu?" suaranya bergetar.Erlin ikut bicara, "Ibu, kami hanya ingin Ibu bahagia. Kami takut kalau Ibu tahu ini saat masih belum pulih, kondisinya malah memburuk."Bu Siti menatap mereka satu per satu. Matanya dipenuhi luka dan kekecewaan. Ia merasa telah dibohongi oleh anak-anaknya sendiri."Tapi Ibu tetap mengetahuinya, kan?" ujar Bu Siti lirih. "Seandainya kalian memberitahu sejak awal, mungkin Ibu bisa lebih siap.""Maafkan aku, Ibu. Aku harus menikahi Indah, bertanggung jawab atas kehamilannya. Esti mengusirku dari rumah," kata Haris perlah
"Erlin, Ibu ingin menginap di rumah Haris. Sejak pulang dari rumah sakit, Ibu belum bertemu dengannya," kata Bu Siti dengan suara penuh harap.Ucapan itu membuat Erlin tertegun. Ia menatap ibunya dengan ragu, sementara hatinya bergejolak. Bagaimana mungkin ia memberi tahu bahwa Haris telah diusir oleh Esti?Erlin melirik Indra, suaminya, yang juga tampak kebingungan. Keduanya saling bertukar pandang, mencari cara terbaik untuk merespons permintaan Bu Siti tanpa membuatnya terlalu terkejut."Bagaimana, Erlin? Apa kamu tidak mau mengantarkan Ibu ke rumah Haris?" tanya Bu Siti lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.Erlin menelan ludah. "I... iya, Bu. Nanti aku antar," jawabnya dengan suara sedikit gemetar.Tanpa membuang waktu, ia melangkah keluar rumah, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponselnya dan segera menelepon Dewi, kakaknya. Ia butuh saran. Ia tak bisa menghadapi ini sendirian.Erlin pun segera menelepon Dewi. Jantungnya
Ruangan kembali sunyi. Semua orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Tapi kali ini, Syaiful, kakak Indah yang sejak tadi hanya diam dan mengamati, akhirnya membuka suara. "Tadi kamu bilang menikah siri nggak apa-apa, asalkan bersama Haris.” Syaiful tampak mengejek Indah.“Bagaimana dengan kandunganmu? Lama-lama akan semakin membesar." Suaranya tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya. Indah terdiam. Ia mengelus perutnya yang mulai membuncit, wajahnya masih dipenuhi kesedihan.Pak Burhan menghela nafas panjang. Wajahnya penuh kekecewaan, sorot matanya tajam menatap Indah yang masih terisak. "Ayah sudah mengingatkanmu, Indah, jangan mengganggu suami orang. Ya, begini akibatnya." Indah meremas ujung dasternya, bibirnya bergetar, seolah ingin membela diri tapi tak ada kata yang sanggup ia keluarkan. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang pucat. "Ayah, aku nggak pernah mau begini..." suaranya lirih. "Aku cuma mencintai Mas Haris..." "Cinta?" Bu Ratna mendengus
Haris duduk di kursi dengan kepala tertunduk, jari-jarinya saling meremas, seolah mencoba mencari pegangan di tengah badai yang ia ciptakan sendiri. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Deni dingin. Suasana ruang tamu terasa menyesakkan. Haris menghela napas berat sebelum menjawab dengan suara lirih, "Besok aku akan ke rumah Indah." "Kalau ibunya memaksa pesta pernikahan, bagaimana?" Deni melipat tangan di dada, ekspresinya tajam seperti pisau. Sebelum Haris sempat bicara, Dewi memutar bola matanya dan menyela dengan suara ketus. "Lebih baik uang untuk pesta kamu gunakan untuk kehidupanmu nanti. Gajimu sudah di bank, kan?" Haris mengangguk pelan. "Iya... Bahkan ATM-ku masih dipegang sama Esti." "Mas... Mas... Gimana sih? ATM dipegang Mbak Esti? Ya jelas buat biaya Mei dan Ais!" Erlin terkekeh sinis. "Kamu pikir Mbak Esti bakal diam aja setelah tahu suaminya selingkuh dan punya anak sama perempuan lain?" Haris terdiam. Nafasnya terasa berat. "Makanya, kalau mau berbuat
"Ibu kalian yang egois." Dewi berkata dengan sinisnya. " Lihatlah, Esti. Anak-anakmu yang menjadi korban keegoisanmu.”Esti mendongak, menatap Dewi dengan tajam. Matanya sudah cukup bengkak karena menangis, tapi kini bukan kesedihan yang terpancar, melainkan kemarahan."Egois? Aku yang egois, Mbak?" Esti tertawa kecil, getir. "Aku yang diselingkuhi, aku yang dikhianati, dan sekarang aku juga yang disalahkan?"Dewi mendengus. "Kalau kamu lebih sabar, lebih mengalah, mungkin rumah tangga ini masih bisa dipertahankan."Mei menoleh ke budenya dengan ekspresi bingung. "Jadi Ibu yang salah, Bude?”Esti mengelus kepala Ais yang masih memeluknya erat. "Nak, kalian dengar baik-baik. Ibu sudah berusaha bertahan selama ini, tapi Ayah kalian yang tidak memilih kita."Haris menghembuskan napas berat. "Ayah tetap ingin jadi ayah buat kalian."Mei menatap ayahnya dengan mata yang berkilat karena air mata. "Tapi Ayah juga ayah untuk anaknya Tante Indah, kan?"Haris terdiam. Tak ada jawaban yang bisa
Ibunya Indah terlihat lega, sementara ayahnya menatapnya dengan tajam. "Indah, jangan mempermalukan diri sendiri. Kita sudah cukup dipermalukan."Indah menggeleng keras, lalu menatap Haris dengan mata memohon. "Mas Haris, aku nggak mau pergi. Aku mau tetap di sini bersamamu. Aku nggak peduli menikah siri atau resmi, aku cuma ingin kita tetap bersama!"Esti, yang sejak tadi menahan emosinya, akhirnya tertawa sinis. "Indah, kamu nggak punya malu, ya? Masih ngotot mau tinggal di rumah ini, setelah semua yang terjadi?”"Aku mengandung anaknya! Aku berhak tinggal di sini!" Indah berteriak.PLAK!Tiba-tiba, ayahnya Indah menampar pipi Indah dengan keras. Semua orang terkejut."Diam, Indah!" Ayahnya berseru, suaranya bergetar karena emosi. "Kamu sudah membuat kami malu! Jangan tambah lagi! Kamu pikir bisa datang ke rumah istri sah, merebut suaminya, lalu seenaknya menginjak harga diri orang lain?”Indah memegang pipinya yang memerah. Tangisnya semakin pecah, tapi kali ini bukan hanya karena