“Ibu nggak menuduh Indah, tapi Ibu bicara berdasarkan kenyataan. Ada hubungan apa kamu dengan Indah, kok kamu sangat membelanya?” sahut Siti dengan nada yang agak tinggi.
Haris kaget, ia baru menyadari kalau ia sudah salah berbicara. “Sialan, kok aku sampai keceplosan seperti itu ya?” kata Haris dalam hati, menyadari kebodohan yang sudah ia lakukan. “Haris, jangan bermain api. Sedekat apa hubunganmu dengan Indah?” tanya Dewi. “Sebatas pemilik dan biduannya saja, nggak lebih. Aku hanya kasihan melihat Indah selalu menjadi bahan cemoohan. Dia itu mencari nafkah untuk menghidupi anaknya. Apa salah kalau aku mempekerjakan dia? Apalagi sejak dia bergabung, orgen tunggal ku jadi sering dapat jadwal manggung. Dia itu membawa hoki.” Haris berkata panjang lebar. “Hati-hati Mas, berawal dari kasihan, kemudian saling curhat dan akhirnya menjadi nyaman. Rumah tangga pun dipertaruhkan.” Erlin mengingatkan Haris. Haris menjadi kesal, karena kedatangannya kesini untuk mengunjungi ibunya, tapi malah semua seperti menyudutkannya. “Yang dikatakan Erlin itu benar. Rasa simpatimu itu akan menjadi rasa mengasihi, lama-lama malah ingin memiliki. Jangan sampai rumah tanggamu berantakan gara-gara perempuan itu. Kamu harus belajar dari pengalaman hidup Dewi dan Erlin. Dulu kamu terlihat marah ketika mereka berdua diselingkuhi, jadi kamu jangan jadi pemainnya. Pikirkan anak istrimu, fokus pada mereka. Jual saja orgen tunggalmu itu. Banyaklah mudaratnya daripada manfaatnya.” Siti berbicara panjang supaya hati Haris terbuka. “Tapi musikku itu mampu menghidupi banyak keluarga kru.” Haris masih membela diri. “Apa gunanya bermanfaat bagi orang lain tapi malah menjadi duri bagi keluarga sendiri. Keluarga kru bukan tanggung jawabmu. Keluargamu lah tanggung jawabmu, yang nantinya dipertanggung jawabkan di akhirat. Jangan berpikir pendek!” tegas Siti. *** Sejak Esti menegur Indah waktu itu, penampilan Indah mulai berubah. Ia berpakaian agak sopan. Setidaknya yang dipakai tidak terlalu ketat, terkadang kaos oblong dan celana jeans atau memakai rok batas lutut. “Bu, Tante Indah malah terlihat cantik dan anggun kalau berpakaian seperti itu ya? Daripada waktu itu. Syukurlah dia berubah. Tapi siapa ya yang membuatnya berubah?” tanya Mei ketika mereka berdua berada di dalam rumah dan melihat Indah lewat. “Mungkin dia sudah mendapatkan hidayah, jadi ingin berubah ke arah lebih baik. Sedikit demi sedikit. Kita harus menghargai usahanya untuk menjadi baik.” Terdengar suara Indah sedang melantunkan sebuah lagu di studio. Memang suara Indah terdengar merdu dan mendayu-dayu, mungkin itulah yang membuat orgen tunggal Cakrawala banyak job. Apalagi dengan harga yang cukup bersaing dengan orgen tunggal lainnya. Hari ini mereka latihan untuk tampil hari minggu. Esti jarang bergabung atau sekedar melihat mereka latihan. Ia sendiri sudah capek dari sekolah, sampai rumah setengah empat. Waktu yang tersisa sore itu biasanya digunakan untuk memasak atau sekedar rebahan. Seperti hari ini, ia hanya rebahan di sofa bersama dengan Mei. Haris ada kegiatan diluar bersama dengan Camat dan staf kecamatan lainnya. Kemungkinan ia akan pulang malam. Menjelang magrib, para kru selesai latihan. Reno membereskan peralatan kemudian mengunci studio dan memberikan kuncinya pada Esti. “Ini kuncinya, Bu. Kami mau pulang,” pamit Reno sambil menyerahkan kunci studio. “Oke, hati-hati ya?” “Baik, Bu.” Reno menjawab dengan sopan. Tampak beberapa kru sudah naik di atas motornya masing-masing, begitu juga dengan Indah. Tapi Indah tidak menoleh sedikitpun ke arah Esti. Esti juga pura-pura tidak melihat Indah, ia menerima kunci itu kemudian menutup pintu samping. Sepertinya Indah masih kesal dengan kata-kata yang diucapkan oleh Esti waktu itu. Ia tidak terima ditegur oleh Esti, karena ia merasa kalau Esti bukan bosnya. Selesai makan malam, Esti menemani anak-anaknya belajar. sedangkan Haris belum pulang. “Bu, kok Ayah belum pulang? Memangnya kerja apa kok sampai malam?” tanya Ais di sela-sela ia menyelesaikan tugas sekolah. “Berarti pekerjaan Ayah belum selesai. Kalau sudah selesai pasti pulang, benar kan, Bu?” sahut Mei sambil meminta tanggapan dari ibunya. “Benar yang dikatakan Mei, nanti kalau sudah selesai pasti Ayah pulang. Selesaikan dulu tugasnya.” Sampai jam sembilan malam, Haris belum juga pulang. Ada sedikit kekhawatiran di hati Esti, karena Haris tidak memberi kabar padanya. Tadi sebelum magrib Haris memberitahu kalau pulang malam, tapi tidak menyebutkan jam berapa. Rasa kantuk juga sudah menyerang Esti, ia pun segera mengunci semua pintu dan jendela. Kemudian masuk ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. Esti berusaha untuk tidur, tapi pikirannya melayang kemana-mana. Semenjak Indah bergabung dengan Orgen tunggal milik Haris, ia selalu was-was. Status janda yang melekat pada Indah, ditambah dengan tingkah lakunya yang ganjen, membuat Esti sedikit curiga. “Jangan-jangan…. Ah, sudahlah, mudah-mudahan apa yang aku pikirkan tidak akan terjadi.” ESti berusaha menepis pikiran yang sempat terlintas. “Sudah jam sepuluh, kok belum pulang ya? Memangnya kegiatan apa sih, sampai malam seperti ini. Nanti kalau aku menelponnya, ia marah. Terserahlah, aku mau tidur.” *** “Jam berapa tadi malam pulangnya, Mas?” tanya Esti ketika mereka sedang sarapan. Anak-anak sudah berangkat duluan karena ada tugas piket kelas. “Jam sepuluh.” Haris menjawab dengan mata masih fokus ke makanan yang ada dipiring. “Masa sih? Aku jam sepuluh belum tidur.” Haris menatap ke arah Esti. “Kamu pikir aku bohong, terus aku keluyuran nggak jelas, gitu?” Dari nada suaranya terdengar kalau Haris kesal. “Mas, aku jam sepuluh masih belum tidur. Karena aku memang tidak bisa tidur, pas aku lihat jam ternyata sudah jam sepuluh. Aku ngomong baik-baik, kok jawabannya ketus kayak gitu.” Haris menghela nafas panjang. “Aku nggak tahu jam pastinya, ketika keluar dari kantor memang jam sepuluh.” Haris berkata dengan suara yang merendah, tidak emosi seperti tadi. “Nah gitu kan enak dengarnya. Nggak usah suka marah, nanti malah darah tinggi,” celetuk Esti, kemudian ia menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Akhirnya acara sarapan pagi mereka lalui dengan berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing. Setelah membereskan meja makan dan mereka pun bersiap-siap untuk berangkat kerja. “Kenapa sih Mas, akhir-akhir ini aku merasa kalau kita semakin jauh,” kata Esti dengan pelan, ia sedang memakai kaos kaki dan duduk bersebelahan dengan Haris. Haris pun menoleh ke arah Esti, tapi Esti pura-pura masih sibuk dengan kaos kakinya. Ia menghindari tatapan mata Haris, karena ia merasakan kalau matanya sendiri sedang berkaca-kaca. “Apa maksudmu?” tanya Haris, ia masih melihat ke arah Esti. “Nggak apa-apa.” Esti menjawab dengan suara parau, seperti orang yang sedang menahan tangis. “Apa kamu sakit?” “Aku nggak apa-apa.” Lagi-lagi Esti menjawab dengan suara yang parau, membuat Haris semakin curiga. Haris berusaha membuat Esti menatap ke arahnya, ia memegang dagu Esti dan ia terkejut melihat ekspresi wajah Esti.“Kamu kenapa?” tanya Haris ketika melihat air mata menetes di pipi Esti. Ia pun segera memeluk Esti.Esti mempererat pelukannya, dan ia pun menangis tersedu-sedu.“Aku merasa kalau akhir-akhir ini komunikasi kita tidak baik bahkan setiap berbicara selalu diwarnai dengan perdebatan yang tiada ujung. Aku merindukan masa-masa seperti dulu, rumah yang penuh dengan kehangatan. Apakah keinginanku ini terlalu berlebihan?” Esti berkata dengan terbata-bata sambil terisak.“Enggak sayang, keinginanmu itu tidak berlebihan. Bahkan sangat wajar. Maafkan aku yang tidak menyadari semua keinginanmu itu.” Haris melepaskan pelukannya dan memegang wajah Esti dengan kedua tangannya, kemudian mencium Esti.“Maafkan aku, aku mungkin bukan suami yang baik. Tapi aku akan berusaha untuk menjadi suami yang bisa kamu andalkan.” Haris menatap Esti dengan tatapan penuh cinta.“Apakah aku sudah tidak menarik lagi bagimu, Mas?” tanya Esti.“Sssttt.” Haris meletakkan telunjuknya ke bibir Esti.“Maafkan aku kalau akh
“Mas, aku ada cerita,” kata Esti ketika sedang ngobrol dengan Haris. Hubungan mereka berdua sudah mulai membaik akhir-akhir ini.“Cerita apa?” tanya Haris.“Tadi ada siswaku bermasalah, ternyata dia itu keponakannya Indah.”“Terus, memangnya kenapa? Siswa bermasalah kan biasa.” Haris belum paham apa yang dimaksud oleh Esti.“Winda itu anak dari kakak sepupunya Indah. Orang tua Winda sudah bercerai, ibunya jadi TKW di Taiwan. Yang membuat aku kaget, ayahnya Winda selingkuh dengan Indah. Dan perselingkuhan itu membuat Indah hamil. Akhirnya suami Indah mengajukan gugatan cerai, karena Indah mengakui kalau itu anak dari selingkuhannya.” Esti tampak bersemangat bercerita.Haris sempat kaget, tapi ia bisa menguasai keadaannya. Haris pernah mendengar cerita ini, tapi hanya sebatas gosip saja.“Siapa laki-laki itu? Maksudku selingkuhannya Indah?”“Erdi. Katanya dulu juga kru sebuah orgen tunggal. Sekarang Erdi juga merantau, katanya sih ke Pekanbaru, di kebun kelapa sawit. Apa Mas mengenalnya
“Ponsel baru ya? Pasti mahal,” ucap seorang kru.“Iya dong! Tapi kredit hihi,” sahut Indah,” lagipula aku punya uang dari mana kalau beli cash.”“Ponsel baru? Apa mungkin….” Esti mulai bertanya-tanya, ia berharap kalau itu tidak seperti yang ia pikirkan.“Kenapa kok sepertinya semua serba kebetulan?” Lagi-lagi Esti hanya bergumam saja.“Ngapain kamu disitu?” tanya Haris mengagetkan Esti.“Oh, lagi dengerin para kru ngobrol. Mereka kalau ngobrol suka lucu-lucu, bikin ketawa. Jadi hiburan tersendiri.” Esti berkata sambil tertawa untuk mengurangi kegugupannya karena ketahuan mendengarkan pembicaraan orang lain. “Kenapa nggak gabung bersama mereka?”“Kalau aku ikut gabung, malah mereka nggak santai ngobrolnya.”“Soalnya kamu itu orangnya terlalu serius, jadi mereka bingung mau ngajak ngobrol,” kata Haris sambil menatap Esti.“Mas, lihat nggak ponselnya Indah. Keluaran terbaru dan bagus, pasti harganya mahal. Hebat ya Indah mampu membeli ponsel terbaru. Aku mau dong dibelikan yang kayak g
Sudah satu bulan sejak Haris salah sebut nama, sejak itu pula Esti selalu beralasan ketika Haris mengajak berhubungan. “Kenapa sih kamu selalu menghindar? Selalu saja ada alasan, sekarang alasanmu apa lagi?” tanya Haris dengan kesal.Esti hanya terdiam. Ia tahu kalau ia salah karena sudah menolak ajakan suaminya. Tapi hatinya sangat sakit ketika mengingat kejadian waktu itu.“Kamu itu istri durhaka dan Allah akan marah karena menolak ajakan suami. Apa yang akan kamu lakukan tidak berkah karena suami tidak ridho. Kalau seperti ini terus, bisa-bisa aku cari lagi.” Haris mendengus kesal. Nafsu sudah di ubun-ubun tapi Esti malah menghindar.“Silahkan kalau mau cari lagi,” sahut Esti dengan tenang.“Kamu menantangku? Masih banyak perempuan yang mau denganku. Aku masih gagah. Apa kamu pikir aku tidak mampu mencari perempuan lain?” ejek Haris sambil menatap sinis ke arah Esti.“Termasuk Indah? Apakah Indah yang akan kamu cari untuk melampiaskan nafsumu?” “Mengapa selalu kamu kait-kaitkan d
“Nggak usah pakai tapi-tapian. Sekarang kamu harus lebih membuka pikiranmu. Jangan hanya cemburu tidak jelas seperti itu.”“Tidak jelas bagaimana, Mbak? Bahkan saat Mas Haris bercinta denganku, ia menyebut nama Indah.”Dewi tampak kaget dengan ucapan Esti.“Nggak usah mengada-ada kamu. Kenapa kamu ngotot sekali menuduh Haris selingkuh? Nggak usah aneh-aneh, pikirkan anak-anakmu.” Dewi berkata dengan tegas.Akhirnya Esti berpamitan pulang, ia sangat kecewa dengan tanggapan Dewi. Selama ini hubungan Dewi dan Esti memang dekat dan baik, karena itu mereka saling bertukar pikiran. Apalagi mereka sama-sama guru. Dewi sendiri seorang janda, dengan dua anak perempuan. Usman, mantan suami Dewi berselingkuh dengan kekasih yang dulu tidak direstui oleh orang tua Usman.Esti sengaja bercerita pada Dewi, dengan harapan Dewi bisa menasehati Haris. Bukannya malah menjatuhkan mental Esti dengan mengatakan Esti terlalu cemburu.Ketika mobil Esti keluar dari halaman rumah Dewi, tampak Erlin, adik bungs
“Ya sudah, aku pulang saja, daripada kalian nggak jadi makan.” Esti beranjak dari duduknya, kemudian memotret mereka berdua. Haris dan Indah sangat kaget, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya Esti keluar dari rumah makan itu, tak lupa ia mengambil pesanannya.“Masukkan ke tagihan meja no 5 ya?” kata Esti sambil menunjuk ke arah Haris dan Indah.“Baik, Bu.” Sang kasir menjawab sambil tersenyum.Esti melangkah dengan gontai, tak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Esti sekarang. Semua menjadi satu. Apa yang ia takutkan selama ini benar-benar terjadi. Tapi ia tidak mau terpuruk, ada Mei dan Ais anak mereka yang perlu diperhatikan.Diperjalanan, Esti sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia pun menangis sesenggukan. Lebih baik ia menangis di mobil daripada menangis di rumah. Jangan sampai anak-anaknya tahu kalau ia menangis.Sampai di rumah, Esti langsung masuk ke kamar. Ia membuka lemari tempat dokumen dan surat-surat berharga. Ia menyimpan semua surat-surat berharga itu ke su
“Aku pikir Mas sudah berubah semenjak kasus dulu. Ternyata benar kata orang, sekali selingkuh, pasti akan melakukan selingkuh lagi. Bodohnya aku, kenapa aku dulu memaafkanmu.” Haris masih terdiam, semua yang dikatakan Esti benar. Kalau ia menyangkalnya, pasti Esti akan semakin emosi.“Kalau aku melakukan kesalahan, seharusnya Mas bilang padaku. Aku akan berusaha untuk memperbaikinya. Bukannya malah mencari kepuasan diluar.” Esti berhenti sejenak, menghela nafas dan melanjutkan berbicara.“Seperti kejadian menyebut nama Indah, aku sudah mau melayani semua keinginanmu. Kapanpun Mas mau aku selalu mengiyakan. Apa aku kurang memuaskan? Kenapa Mas tega melakukan semua ini? Mas nggak berkaca pada kejadian yang menimpa keluargamu. Mbak Dewi dan Erlin keluarganya berantakan karena pihak ketiga. Dulu Mas ngomongin Mas Usman nggak punya hati, karena menyakiti Mbak Dewi. Ternyata malah kamu juga yang nggak punya hati.” Esti berkata dengan air mata yang tidak bisa dibendung lagi.“Aku akan menca
Pulang dari kantor, Haris tampak biasa saja. Ia masih menyapa Mei dan Ais, tapi Mei tampak enggan bermanis-manis muka di depan ayahnya. Ais langsung memeluk ayahnya. Haris tampak heran dengan Mei yang seperti mengabaikannya. Biasanya Mei yang selalu menyambut kepulangan ayahnya dari kantor. Tapi suasana hari ini tampak berbeda.“Mei kenapa? Kamu sakit?’ tanya Haris.Mei hanya menggelengkan kepala. “Kamu mau minta apa? I phone terbaru?’Lagi-lagi Mei menggelengkan kepala. Haris hanya menghela nafas panjang, bingung mau bertanya apa lagi. “Ayah, tadi Bunda Indah eh Tante Indah kesini.” Ucapan Ais membuat Haris tampak kaget, wajahnya menjadi pucat. Perubahan ekspresi wajah Haris tak luput dari pandangan Mei. Mei menatap sinis ke arah Haris, Haris yang kebetulan menatap Mei, langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.“O ya, sama siapa kesininya? Sama om-om kru ya?” sahut Haris dengan wajah yang dibuat tersenyum sambil menatap Ais. Walaupun dalam hatinya ketar-ketir.“Sendirian, ngobr
Tanpa berpikir panjang, Indah meneruskan pesan itu dan langsung menelpon Haris."Mas, lihat pesan dari Esti! Dia mengancam akan melaporkan pernikahan kita ke atasanmu! Dia ingin Mas dipecat!" suaranya penuh kemarahan.Haris, yang masih di rumah sakit menjaga ibunya, menghela napas berat. "Aku sudah baca.""Lalu Mas mau diam aja?!" bentak Indah. "Dia pikir dia siapa sampai bisa mengancam kita seperti ini?!"Haris memijit pelipisnya. "Indah, aku sedang di rumah sakit. Bisa kita bicara nanti?"Indah mendengus kesal. "Mas! Kalau Mas sampai kehilangan pekerjaan, gimana dengan aku dan anak kita?!"Haris menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. "Aku akan bicara dengan Esti. Aku akan minta dia untuk tidak membawa masalah ini lebih jauh."Indah tertawa sinis. "Oh, jadi Mas masih peduli sama dia?! Aku istrimu sekarang, Mas! Aku nggak akan biarkan perempuan itu menang!"Haris mulai kehilangan kesabaran. "Aku cuma mau menyelesaikan ini dengan baik, Indah. Kalau kita terus memperkeruh suasana,
Malam itu, di rumah Indah yang sederhana, Haris duduk di hadapan penghulu dengan wajah kosong. Para saksi sudah berkumpul. Indah duduk tak jauh darinya, mengenakan kebaya putih sederhana. Tapi tak ada kebahagiaan di mata Haris, hanya keterpaksaan.Ketika penghulu mulai membaca akad nikah, tangan Haris gemetar."Haris Maulana bin Karim, apakah Anda menerima Indah Astuti binti Burhan sebagai istri Anda dengan mas kawin yang sudah disepakati?"Haris menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Sekilas, ia teringat wajah Esti dan anak-anaknya. Haris mengangguk.Kemudian Pak Burhan bertindak sebagai wali nikah, menggenggam tangan Haris. Dengan suara bergetar, Haris mengucapkan kata yang mengubah hidupnya selamanya."Saya terima nikahnya Indah Astuti binti Burhan dengan mas kawin yang emas lima gram, tunai.""Sah!" ujar para saksi bersamaan.Indah tersenyum tipis, meski air mata jatuh dari sudut matanya. Bu Ratna tampak puas, sementara ayahnya mengangguk lega. Sepertinya memang ini sudah di
Haris terdiam sejenak, matanya kosong menatap layar ponselnya yang baru saja dimatikan. Suara Dewi yang tiba-tiba menyapanya membuatnya terbangun dari lamunannya."Kenapa wajahmu kusut kayak gitu?" tanya Dewi yang baru keluar dari ruangan ibunya. Dewi menatapnya dengan cemas, merasa ada sesuatu yang mengganggu Haris.Haris menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Indah... dia makin nekat. Dia nggak mau dengar alasan, Mbak. Dia tetap bersikeras mau datang ke rumah sakit, bertemu Ibu."Dewi mengerutkan kening, tampak terkejut. "Haris, ini bukan waktu yang tepat. Ibu baru aja, kamu nggak ingin keadaan makin parah, kan?"Haris baru saja hendak kembali ke kamar ibunya ketika tiba-tiba suara langkah cepat terdengar di lorong rumah sakit."Mas Haris!"Haris menoleh dan terkejut. Indah sudah ada di sana.Ia berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya memburu. Matanya menyapu ruangan dengan tajam, lalu berhenti tepat pada Haris dan Dewi."Aku sudah bilang aku akan da
Bu Siti mengerutkan kening, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu, Esti?"Haris menunduk, tak sanggup menatap ibunya. Dewi segera meraih tangan Bu Siti, berusaha menenangkannya."Ibu, maafkan kami karena tidak memberi tahu lebih awal," ujar Dewi hati-hati. "Kami hanya tidak ingin Ibu kaget dan sakit lagi."Bu Siti masih terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. "Jadi... selama ini kalian hanya berpura-pura di depan Ibu?" suaranya bergetar.Erlin ikut bicara, "Ibu, kami hanya ingin Ibu bahagia. Kami takut kalau Ibu tahu ini saat masih belum pulih, kondisinya malah memburuk."Bu Siti menatap mereka satu per satu. Matanya dipenuhi luka dan kekecewaan. Ia merasa telah dibohongi oleh anak-anaknya sendiri."Tapi Ibu tetap mengetahuinya, kan?" ujar Bu Siti lirih. "Seandainya kalian memberitahu sejak awal, mungkin Ibu bisa lebih siap.""Maafkan aku, Ibu. Aku harus menikahi Indah, bertanggung jawab atas kehamilannya. Esti mengusirku dari rumah," kata Haris perlah
"Erlin, Ibu ingin menginap di rumah Haris. Sejak pulang dari rumah sakit, Ibu belum bertemu dengannya," kata Bu Siti dengan suara penuh harap.Ucapan itu membuat Erlin tertegun. Ia menatap ibunya dengan ragu, sementara hatinya bergejolak. Bagaimana mungkin ia memberi tahu bahwa Haris telah diusir oleh Esti?Erlin melirik Indra, suaminya, yang juga tampak kebingungan. Keduanya saling bertukar pandang, mencari cara terbaik untuk merespons permintaan Bu Siti tanpa membuatnya terlalu terkejut."Bagaimana, Erlin? Apa kamu tidak mau mengantarkan Ibu ke rumah Haris?" tanya Bu Siti lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.Erlin menelan ludah. "I... iya, Bu. Nanti aku antar," jawabnya dengan suara sedikit gemetar.Tanpa membuang waktu, ia melangkah keluar rumah, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponselnya dan segera menelepon Dewi, kakaknya. Ia butuh saran. Ia tak bisa menghadapi ini sendirian.Erlin pun segera menelepon Dewi. Jantungnya
Ruangan kembali sunyi. Semua orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Tapi kali ini, Syaiful, kakak Indah yang sejak tadi hanya diam dan mengamati, akhirnya membuka suara. "Tadi kamu bilang menikah siri nggak apa-apa, asalkan bersama Haris.” Syaiful tampak mengejek Indah.“Bagaimana dengan kandunganmu? Lama-lama akan semakin membesar." Suaranya tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya. Indah terdiam. Ia mengelus perutnya yang mulai membuncit, wajahnya masih dipenuhi kesedihan.Pak Burhan menghela nafas panjang. Wajahnya penuh kekecewaan, sorot matanya tajam menatap Indah yang masih terisak. "Ayah sudah mengingatkanmu, Indah, jangan mengganggu suami orang. Ya, begini akibatnya." Indah meremas ujung dasternya, bibirnya bergetar, seolah ingin membela diri tapi tak ada kata yang sanggup ia keluarkan. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang pucat. "Ayah, aku nggak pernah mau begini..." suaranya lirih. "Aku cuma mencintai Mas Haris..." "Cinta?" Bu Ratna mendengus
Haris duduk di kursi dengan kepala tertunduk, jari-jarinya saling meremas, seolah mencoba mencari pegangan di tengah badai yang ia ciptakan sendiri. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Deni dingin. Suasana ruang tamu terasa menyesakkan. Haris menghela napas berat sebelum menjawab dengan suara lirih, "Besok aku akan ke rumah Indah." "Kalau ibunya memaksa pesta pernikahan, bagaimana?" Deni melipat tangan di dada, ekspresinya tajam seperti pisau. Sebelum Haris sempat bicara, Dewi memutar bola matanya dan menyela dengan suara ketus. "Lebih baik uang untuk pesta kamu gunakan untuk kehidupanmu nanti. Gajimu sudah di bank, kan?" Haris mengangguk pelan. "Iya... Bahkan ATM-ku masih dipegang sama Esti." "Mas... Mas... Gimana sih? ATM dipegang Mbak Esti? Ya jelas buat biaya Mei dan Ais!" Erlin terkekeh sinis. "Kamu pikir Mbak Esti bakal diam aja setelah tahu suaminya selingkuh dan punya anak sama perempuan lain?" Haris terdiam. Nafasnya terasa berat. "Makanya, kalau mau berbuat
"Ibu kalian yang egois." Dewi berkata dengan sinisnya. " Lihatlah, Esti. Anak-anakmu yang menjadi korban keegoisanmu.”Esti mendongak, menatap Dewi dengan tajam. Matanya sudah cukup bengkak karena menangis, tapi kini bukan kesedihan yang terpancar, melainkan kemarahan."Egois? Aku yang egois, Mbak?" Esti tertawa kecil, getir. "Aku yang diselingkuhi, aku yang dikhianati, dan sekarang aku juga yang disalahkan?"Dewi mendengus. "Kalau kamu lebih sabar, lebih mengalah, mungkin rumah tangga ini masih bisa dipertahankan."Mei menoleh ke budenya dengan ekspresi bingung. "Jadi Ibu yang salah, Bude?”Esti mengelus kepala Ais yang masih memeluknya erat. "Nak, kalian dengar baik-baik. Ibu sudah berusaha bertahan selama ini, tapi Ayah kalian yang tidak memilih kita."Haris menghembuskan napas berat. "Ayah tetap ingin jadi ayah buat kalian."Mei menatap ayahnya dengan mata yang berkilat karena air mata. "Tapi Ayah juga ayah untuk anaknya Tante Indah, kan?"Haris terdiam. Tak ada jawaban yang bisa
Ibunya Indah terlihat lega, sementara ayahnya menatapnya dengan tajam. "Indah, jangan mempermalukan diri sendiri. Kita sudah cukup dipermalukan."Indah menggeleng keras, lalu menatap Haris dengan mata memohon. "Mas Haris, aku nggak mau pergi. Aku mau tetap di sini bersamamu. Aku nggak peduli menikah siri atau resmi, aku cuma ingin kita tetap bersama!"Esti, yang sejak tadi menahan emosinya, akhirnya tertawa sinis. "Indah, kamu nggak punya malu, ya? Masih ngotot mau tinggal di rumah ini, setelah semua yang terjadi?”"Aku mengandung anaknya! Aku berhak tinggal di sini!" Indah berteriak.PLAK!Tiba-tiba, ayahnya Indah menampar pipi Indah dengan keras. Semua orang terkejut."Diam, Indah!" Ayahnya berseru, suaranya bergetar karena emosi. "Kamu sudah membuat kami malu! Jangan tambah lagi! Kamu pikir bisa datang ke rumah istri sah, merebut suaminya, lalu seenaknya menginjak harga diri orang lain?”Indah memegang pipinya yang memerah. Tangisnya semakin pecah, tapi kali ini bukan hanya karena