Ruangan kembali sunyi. Semua orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Tapi kali ini, Syaiful, kakak Indah yang sejak tadi hanya diam dan mengamati, akhirnya membuka suara. "Tadi kamu bilang menikah siri nggak apa-apa, asalkan bersama Haris.” Syaiful tampak mengejek Indah.“Bagaimana dengan kandunganmu? Lama-lama akan semakin membesar." Suaranya tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya. Indah terdiam. Ia mengelus perutnya yang mulai membuncit, wajahnya masih dipenuhi kesedihan.Pak Burhan menghela nafas panjang. Wajahnya penuh kekecewaan, sorot matanya tajam menatap Indah yang masih terisak. "Ayah sudah mengingatkanmu, Indah, jangan mengganggu suami orang. Ya, begini akibatnya." Indah meremas ujung dasternya, bibirnya bergetar, seolah ingin membela diri tapi tak ada kata yang sanggup ia keluarkan. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang pucat. "Ayah, aku nggak pernah mau begini..." suaranya lirih. "Aku cuma mencintai Mas Haris..." "Cinta?" Bu Ratna mendengus
"Erlin, Ibu ingin menginap di rumah Haris. Sejak pulang dari rumah sakit, Ibu belum bertemu dengannya," kata Bu Siti dengan suara penuh harap.Ucapan itu membuat Erlin tertegun. Ia menatap ibunya dengan ragu, sementara hatinya bergejolak. Bagaimana mungkin ia memberi tahu bahwa Haris telah diusir oleh Esti?Erlin melirik Indra, suaminya, yang juga tampak kebingungan. Keduanya saling bertukar pandang, mencari cara terbaik untuk merespons permintaan Bu Siti tanpa membuatnya terlalu terkejut."Bagaimana, Erlin? Apa kamu tidak mau mengantarkan Ibu ke rumah Haris?" tanya Bu Siti lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.Erlin menelan ludah. "I... iya, Bu. Nanti aku antar," jawabnya dengan suara sedikit gemetar.Tanpa membuang waktu, ia melangkah keluar rumah, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponselnya dan segera menelepon Dewi, kakaknya. Ia butuh saran. Ia tak bisa menghadapi ini sendirian.Erlin pun segera menelepon Dewi. Jantungnya
Bu Siti mengerutkan kening, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu, Esti?"Haris menunduk, tak sanggup menatap ibunya. Dewi segera meraih tangan Bu Siti, berusaha menenangkannya."Ibu, maafkan kami karena tidak memberi tahu lebih awal," ujar Dewi hati-hati. "Kami hanya tidak ingin Ibu kaget dan sakit lagi."Bu Siti masih terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. "Jadi... selama ini kalian hanya berpura-pura di depan Ibu?" suaranya bergetar.Erlin ikut bicara, "Ibu, kami hanya ingin Ibu bahagia. Kami takut kalau Ibu tahu ini saat masih belum pulih, kondisinya malah memburuk."Bu Siti menatap mereka satu per satu. Matanya dipenuhi luka dan kekecewaan. Ia merasa telah dibohongi oleh anak-anaknya sendiri."Tapi Ibu tetap mengetahuinya, kan?" ujar Bu Siti lirih. "Seandainya kalian memberitahu sejak awal, mungkin Ibu bisa lebih siap.""Maafkan aku, Ibu. Aku harus menikahi Indah, bertanggung jawab atas kehamilannya. Esti mengusirku dari rumah," kata Haris perlah
Haris terdiam sejenak, matanya kosong menatap layar ponselnya yang baru saja dimatikan. Suara Dewi yang tiba-tiba menyapanya membuatnya terbangun dari lamunannya."Kenapa wajahmu kusut kayak gitu?" tanya Dewi yang baru keluar dari ruangan ibunya. Dewi menatapnya dengan cemas, merasa ada sesuatu yang mengganggu Haris.Haris menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Indah... dia makin nekat. Dia nggak mau dengar alasan, Mbak. Dia tetap bersikeras mau datang ke rumah sakit, bertemu Ibu."Dewi mengerutkan kening, tampak terkejut. "Haris, ini bukan waktu yang tepat. Ibu baru aja, kamu nggak ingin keadaan makin parah, kan?"Haris baru saja hendak kembali ke kamar ibunya ketika tiba-tiba suara langkah cepat terdengar di lorong rumah sakit."Mas Haris!"Haris menoleh dan terkejut. Indah sudah ada di sana.Ia berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya memburu. Matanya menyapu ruangan dengan tajam, lalu berhenti tepat pada Haris dan Dewi."Aku sudah bilang aku akan da
Malam itu, di rumah Indah yang sederhana, Haris duduk di hadapan penghulu dengan wajah kosong. Para saksi sudah berkumpul. Indah duduk tak jauh darinya, mengenakan kebaya putih sederhana. Tapi tak ada kebahagiaan di mata Haris, hanya keterpaksaan.Ketika penghulu mulai membaca akad nikah, tangan Haris gemetar."Haris Maulana bin Karim, apakah Anda menerima Indah Astuti binti Burhan sebagai istri Anda dengan mas kawin yang sudah disepakati?"Haris menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Sekilas, ia teringat wajah Esti dan anak-anaknya. Haris mengangguk.Kemudian Pak Burhan bertindak sebagai wali nikah, menggenggam tangan Haris. Dengan suara bergetar, Haris mengucapkan kata yang mengubah hidupnya selamanya."Saya terima nikahnya Indah Astuti binti Burhan dengan mas kawin yang emas lima gram, tunai.""Sah!" ujar para saksi bersamaan.Indah tersenyum tipis, meski air mata jatuh dari sudut matanya. Bu Ratna tampak puas, sementara ayahnya mengangguk lega. Sepertinya memang ini sudah di
Tanpa berpikir panjang, Indah meneruskan pesan itu dan langsung menelpon Haris."Mas, lihat pesan dari Esti! Dia mengancam akan melaporkan pernikahan kita ke atasanmu! Dia ingin Mas dipecat!" suaranya penuh kemarahan.Haris, yang masih di rumah sakit menjaga ibunya, menghela napas berat. "Aku sudah baca.""Lalu Mas mau diam aja?!" bentak Indah. "Dia pikir dia siapa sampai bisa mengancam kita seperti ini?!"Haris memijit pelipisnya. "Indah, aku sedang di rumah sakit. Bisa kita bicara nanti?"Indah mendengus kesal. "Mas! Kalau Mas sampai kehilangan pekerjaan, gimana dengan aku dan anak kita?!"Haris menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. "Aku akan bicara dengan Esti. Aku akan minta dia untuk tidak membawa masalah ini lebih jauh."Indah tertawa sinis. "Oh, jadi Mas masih peduli sama dia?! Aku istrimu sekarang, Mas! Aku nggak akan biarkan perempuan itu menang!"Haris mulai kehilangan kesabaran. "Aku cuma mau menyelesaikan ini dengan baik, Indah. Kalau kita terus memperkeruh suasana,
“Bu, lihatlah pakaian Tante Indah. Terlalu ketat, nggak punya malu ya?” kata Mei anak pertama Esti.Esti yang sedang asyik memainkan ponselnya langsung menoleh ke arah Mei. Ia tampak mengernyitkan dahi.“Ada apa, Mei?” tanya Esti, ia tidak begitu mendengar yang dibicarakan oleh Mei.“Itu lho Bu, Tante Indah pakai kaos ketat terus celana yang pendek sekali. Kayak orang mau senam aerobik di studio saja. Apa dia nggak risih ya?”“Masa sih?” “Benar, Bu. Padahal dulu Tante Indah nggak kayak gitu lho.”Esti penasaran dengan ucapan Mei, ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke ruang studio yang letaknya di sebelah rumahnya.Suasana studio tampak ramai, semua kru ada disini. Studio ini cukup luas, untuk latihan dan menyimpan peralatan musik, juga sound sistem sebuah orgen tunggal. Indah dan para kru sedang latihan bernyanyi. Besok mereka ada jadwal manggung di acara pernikahan. “Eh, Mbak Esti,” sapa Indah dengan suara serak-serak basah. Ia tersenyum dan mendekati Esti kemudian m
Drtt…drtt… Terdengar suara ponsel Haris berdering. Esti masih belum bisa tidur, ia diam pura-pura tidur, ingin tahu bagaimana reaksi Haris. Haris bangun dan meraih ponselnya, ia menatap ke arah Esti. Ia berpikiran kalau Esti sudah tidur.Sebuah pesan yang masuk ke ponsel Haris, dengan perlahan ia membuka pesan itu. Jantungnya berdetak dengan kencang membaca pesan itu. Kemudian ia merebahkan tubuhnya lagi di sebelah Esti. Ia tampak bimbang setelah membaca pesan itu. Esti tahu kalau Haris gelisah karena Haris tidak bisa diam tubuhnya. Beberapa kali Haris membalikkan badannya. “Apa yang kamu pikirkan Mas? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” kata Esti dalam hati. Ia masih mengamati apa yang akan dilakukan oleh Haris.Sementara itu, Haris sudah berniat untuk keluar rumah, menemui orang yang mengirim pesan padanya. Haris hendak bangun, tapi ia mengurungkan niatnya, karena Esti membalikkan badan dan memeluk Haris dari belakang.“Aduh kenapa Esti malah memelukku?” Haris menjadi kesal
Tanpa berpikir panjang, Indah meneruskan pesan itu dan langsung menelpon Haris."Mas, lihat pesan dari Esti! Dia mengancam akan melaporkan pernikahan kita ke atasanmu! Dia ingin Mas dipecat!" suaranya penuh kemarahan.Haris, yang masih di rumah sakit menjaga ibunya, menghela napas berat. "Aku sudah baca.""Lalu Mas mau diam aja?!" bentak Indah. "Dia pikir dia siapa sampai bisa mengancam kita seperti ini?!"Haris memijit pelipisnya. "Indah, aku sedang di rumah sakit. Bisa kita bicara nanti?"Indah mendengus kesal. "Mas! Kalau Mas sampai kehilangan pekerjaan, gimana dengan aku dan anak kita?!"Haris menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. "Aku akan bicara dengan Esti. Aku akan minta dia untuk tidak membawa masalah ini lebih jauh."Indah tertawa sinis. "Oh, jadi Mas masih peduli sama dia?! Aku istrimu sekarang, Mas! Aku nggak akan biarkan perempuan itu menang!"Haris mulai kehilangan kesabaran. "Aku cuma mau menyelesaikan ini dengan baik, Indah. Kalau kita terus memperkeruh suasana,
Malam itu, di rumah Indah yang sederhana, Haris duduk di hadapan penghulu dengan wajah kosong. Para saksi sudah berkumpul. Indah duduk tak jauh darinya, mengenakan kebaya putih sederhana. Tapi tak ada kebahagiaan di mata Haris, hanya keterpaksaan.Ketika penghulu mulai membaca akad nikah, tangan Haris gemetar."Haris Maulana bin Karim, apakah Anda menerima Indah Astuti binti Burhan sebagai istri Anda dengan mas kawin yang sudah disepakati?"Haris menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Sekilas, ia teringat wajah Esti dan anak-anaknya. Haris mengangguk.Kemudian Pak Burhan bertindak sebagai wali nikah, menggenggam tangan Haris. Dengan suara bergetar, Haris mengucapkan kata yang mengubah hidupnya selamanya."Saya terima nikahnya Indah Astuti binti Burhan dengan mas kawin yang emas lima gram, tunai.""Sah!" ujar para saksi bersamaan.Indah tersenyum tipis, meski air mata jatuh dari sudut matanya. Bu Ratna tampak puas, sementara ayahnya mengangguk lega. Sepertinya memang ini sudah di
Haris terdiam sejenak, matanya kosong menatap layar ponselnya yang baru saja dimatikan. Suara Dewi yang tiba-tiba menyapanya membuatnya terbangun dari lamunannya."Kenapa wajahmu kusut kayak gitu?" tanya Dewi yang baru keluar dari ruangan ibunya. Dewi menatapnya dengan cemas, merasa ada sesuatu yang mengganggu Haris.Haris menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Indah... dia makin nekat. Dia nggak mau dengar alasan, Mbak. Dia tetap bersikeras mau datang ke rumah sakit, bertemu Ibu."Dewi mengerutkan kening, tampak terkejut. "Haris, ini bukan waktu yang tepat. Ibu baru aja, kamu nggak ingin keadaan makin parah, kan?"Haris baru saja hendak kembali ke kamar ibunya ketika tiba-tiba suara langkah cepat terdengar di lorong rumah sakit."Mas Haris!"Haris menoleh dan terkejut. Indah sudah ada di sana.Ia berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya memburu. Matanya menyapu ruangan dengan tajam, lalu berhenti tepat pada Haris dan Dewi."Aku sudah bilang aku akan da
Bu Siti mengerutkan kening, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu, Esti?"Haris menunduk, tak sanggup menatap ibunya. Dewi segera meraih tangan Bu Siti, berusaha menenangkannya."Ibu, maafkan kami karena tidak memberi tahu lebih awal," ujar Dewi hati-hati. "Kami hanya tidak ingin Ibu kaget dan sakit lagi."Bu Siti masih terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. "Jadi... selama ini kalian hanya berpura-pura di depan Ibu?" suaranya bergetar.Erlin ikut bicara, "Ibu, kami hanya ingin Ibu bahagia. Kami takut kalau Ibu tahu ini saat masih belum pulih, kondisinya malah memburuk."Bu Siti menatap mereka satu per satu. Matanya dipenuhi luka dan kekecewaan. Ia merasa telah dibohongi oleh anak-anaknya sendiri."Tapi Ibu tetap mengetahuinya, kan?" ujar Bu Siti lirih. "Seandainya kalian memberitahu sejak awal, mungkin Ibu bisa lebih siap.""Maafkan aku, Ibu. Aku harus menikahi Indah, bertanggung jawab atas kehamilannya. Esti mengusirku dari rumah," kata Haris perlah
"Erlin, Ibu ingin menginap di rumah Haris. Sejak pulang dari rumah sakit, Ibu belum bertemu dengannya," kata Bu Siti dengan suara penuh harap.Ucapan itu membuat Erlin tertegun. Ia menatap ibunya dengan ragu, sementara hatinya bergejolak. Bagaimana mungkin ia memberi tahu bahwa Haris telah diusir oleh Esti?Erlin melirik Indra, suaminya, yang juga tampak kebingungan. Keduanya saling bertukar pandang, mencari cara terbaik untuk merespons permintaan Bu Siti tanpa membuatnya terlalu terkejut."Bagaimana, Erlin? Apa kamu tidak mau mengantarkan Ibu ke rumah Haris?" tanya Bu Siti lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.Erlin menelan ludah. "I... iya, Bu. Nanti aku antar," jawabnya dengan suara sedikit gemetar.Tanpa membuang waktu, ia melangkah keluar rumah, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponselnya dan segera menelepon Dewi, kakaknya. Ia butuh saran. Ia tak bisa menghadapi ini sendirian.Erlin pun segera menelepon Dewi. Jantungnya
Ruangan kembali sunyi. Semua orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Tapi kali ini, Syaiful, kakak Indah yang sejak tadi hanya diam dan mengamati, akhirnya membuka suara. "Tadi kamu bilang menikah siri nggak apa-apa, asalkan bersama Haris.” Syaiful tampak mengejek Indah.“Bagaimana dengan kandunganmu? Lama-lama akan semakin membesar." Suaranya tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya. Indah terdiam. Ia mengelus perutnya yang mulai membuncit, wajahnya masih dipenuhi kesedihan.Pak Burhan menghela nafas panjang. Wajahnya penuh kekecewaan, sorot matanya tajam menatap Indah yang masih terisak. "Ayah sudah mengingatkanmu, Indah, jangan mengganggu suami orang. Ya, begini akibatnya." Indah meremas ujung dasternya, bibirnya bergetar, seolah ingin membela diri tapi tak ada kata yang sanggup ia keluarkan. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang pucat. "Ayah, aku nggak pernah mau begini..." suaranya lirih. "Aku cuma mencintai Mas Haris..." "Cinta?" Bu Ratna mendengus
Haris duduk di kursi dengan kepala tertunduk, jari-jarinya saling meremas, seolah mencoba mencari pegangan di tengah badai yang ia ciptakan sendiri. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Deni dingin. Suasana ruang tamu terasa menyesakkan. Haris menghela napas berat sebelum menjawab dengan suara lirih, "Besok aku akan ke rumah Indah." "Kalau ibunya memaksa pesta pernikahan, bagaimana?" Deni melipat tangan di dada, ekspresinya tajam seperti pisau. Sebelum Haris sempat bicara, Dewi memutar bola matanya dan menyela dengan suara ketus. "Lebih baik uang untuk pesta kamu gunakan untuk kehidupanmu nanti. Gajimu sudah di bank, kan?" Haris mengangguk pelan. "Iya... Bahkan ATM-ku masih dipegang sama Esti." "Mas... Mas... Gimana sih? ATM dipegang Mbak Esti? Ya jelas buat biaya Mei dan Ais!" Erlin terkekeh sinis. "Kamu pikir Mbak Esti bakal diam aja setelah tahu suaminya selingkuh dan punya anak sama perempuan lain?" Haris terdiam. Nafasnya terasa berat. "Makanya, kalau mau berbuat
"Ibu kalian yang egois." Dewi berkata dengan sinisnya. " Lihatlah, Esti. Anak-anakmu yang menjadi korban keegoisanmu.”Esti mendongak, menatap Dewi dengan tajam. Matanya sudah cukup bengkak karena menangis, tapi kini bukan kesedihan yang terpancar, melainkan kemarahan."Egois? Aku yang egois, Mbak?" Esti tertawa kecil, getir. "Aku yang diselingkuhi, aku yang dikhianati, dan sekarang aku juga yang disalahkan?"Dewi mendengus. "Kalau kamu lebih sabar, lebih mengalah, mungkin rumah tangga ini masih bisa dipertahankan."Mei menoleh ke budenya dengan ekspresi bingung. "Jadi Ibu yang salah, Bude?”Esti mengelus kepala Ais yang masih memeluknya erat. "Nak, kalian dengar baik-baik. Ibu sudah berusaha bertahan selama ini, tapi Ayah kalian yang tidak memilih kita."Haris menghembuskan napas berat. "Ayah tetap ingin jadi ayah buat kalian."Mei menatap ayahnya dengan mata yang berkilat karena air mata. "Tapi Ayah juga ayah untuk anaknya Tante Indah, kan?"Haris terdiam. Tak ada jawaban yang bisa
Ibunya Indah terlihat lega, sementara ayahnya menatapnya dengan tajam. "Indah, jangan mempermalukan diri sendiri. Kita sudah cukup dipermalukan."Indah menggeleng keras, lalu menatap Haris dengan mata memohon. "Mas Haris, aku nggak mau pergi. Aku mau tetap di sini bersamamu. Aku nggak peduli menikah siri atau resmi, aku cuma ingin kita tetap bersama!"Esti, yang sejak tadi menahan emosinya, akhirnya tertawa sinis. "Indah, kamu nggak punya malu, ya? Masih ngotot mau tinggal di rumah ini, setelah semua yang terjadi?”"Aku mengandung anaknya! Aku berhak tinggal di sini!" Indah berteriak.PLAK!Tiba-tiba, ayahnya Indah menampar pipi Indah dengan keras. Semua orang terkejut."Diam, Indah!" Ayahnya berseru, suaranya bergetar karena emosi. "Kamu sudah membuat kami malu! Jangan tambah lagi! Kamu pikir bisa datang ke rumah istri sah, merebut suaminya, lalu seenaknya menginjak harga diri orang lain?”Indah memegang pipinya yang memerah. Tangisnya semakin pecah, tapi kali ini bukan hanya karena