Dewi terus mondar-mandir di depan ruang ICU, sementara Haris hanya duduk diam, menatap kosong ke lantai rumah sakit. Sudah dua jam sejak ibunya dibawa masuk ke dalam.Pintu ICU akhirnya terbuka. Dokter keluar dengan ekspresi serius. Haris dan Dewi langsung bergegas mendekat."Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?" suara Dewi bergetar.Dokter menarik napas panjang. "Bu Siti mengalami serangan jantung akibat tekanan emosional yang terlalu besar. Untungnya, kami berhasil menstabilkan kondisinya. Namun, beliau masih dalam masa kritis."Haris menelan ludah. "Apa maksudnya, Dok? Ibu bisa sembuh?"Dokter mengangguk pelan. "Saat ini, beliau masih lemah. Kami akan terus memantau kondisinya dalam 24 jam ke depan. Kalian harus bersiap untuk segala kemungkinan."Bersiap untuk segala kemungkinan…Kata-kata dokter itu menusuk dada Haris seperti belati.Dewi menutup wajahnya, bahunya bergetar menahan tangis. Sementara Haris hanya bisa berdiri dengan tubuh kaku dan kepala tertunduk.Jika ibunya tidak sela
Siti menatapnya dengan penuh kasih. “Ibu minta maaf?” katanya lirih. Esti terdiam, sementara Haris menundukkan wajahnya. Kata-kata ibunya seakan menyiratkan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat hatinya terasa berat.“Maaf untuk apa, Bu?”“Ibu tidak bisa mendidik Haris dengan baik.” Air mata Siti mengalir perlahan. Haris terdiam, hatinya sedih mendengar ucapan ibunya.Esti menatap perlahan wajah Siti. “Ibu jangan banyak bicara dulu, istirahat saja ya? Saya akan disini menemani Ibu.”Terdengar suara pintu dibuka. Begitu pintu terbuka, semua orang di dalam ruangan sontak terkejut melihat Indah berdiri di ambang pintu.Siti yang tengah berbaring menatapnya dengan bingung, sementara Deni dan Umi yang baru datang ke rumah sakit, saling bertukar pandang. Erlin, yang duduk di sudut ruangan, ikut menatap dengan ekspresi tak terbaca.Namun, yang paling bereaksi adalah Haris. Begitu menyadari siapa yang datang, wajahnya langsung menegang. Ia segera bangkit dan berjalan cepat menghampi
Sementara itu, Indah menyadari ada yang memperhatikan mereka. Tatapan orang-orang itu terasa menusuk, membuatnya sedikit gelisah. Namun, bukannya mundur, ia malah tersenyum tipis dan bersikap seolah-olah tidak ada yang salah.Sebaliknya, Haris tampak lebih kaku. Ia bisa merasakan bisik-bisik dari orang-orang di sekitar mereka, tapi ia memilih untuk tetap fokus pada makanannya.Indah menyesap jus alpukatnya pelan, lalu berbisik pada Haris, “Kita diperhatikan, Mas.”Haris mengangkat wajahnya, melihat sekilas ke sekeliling. Ia tahu beberapa dari mereka, orang-orang yang pernah mengenalnya dan Esti sebagai pasangan suami istri.Namun, Haris hanya menghela napas, lalu kembali menatap Indah dengan sorot dingin. Indah tersenyum samar. Ia tahu, setelah ini pasti akan ada gosip yang beredar. Tapi anehnya, ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya saat ini hanya satu hal, Haris ada di sini bersamanya, bukan bersama Esti.Setelah selesai makan, Haris dan Indah kembali ke mobil. Perjalanan pulang t
Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah gorden, menerangi kamar dengan sinar hangat. Indah membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke samping. Kosong. Haris sudah tidak ada di tempat tidur. Ia segera bangkit, matanya mencari-cari sosok suaminya. Namun, yang tersisa hanya kasur yang dingin dan sisa keheningan semalam. Dengan perasaan gelisah, Indah bangkit dan keluar dari kamar. Dari dapur, terdengar suara piring beradu pelan. Ia melangkah ke sana dan mendapati Bu Ratna sedang menyiapkan sarapan. “Bu… Mas Haris mana?” tanyanya langsung. Bu Ratna menoleh, lalu tersenyum tipis. “Dia sudah pergi dari tadi pagi.” Jantung Indah berdegup kencang. “Pergi? Pergi ke mana?” Bu Ratna mengangkat bahu. “Dia hanya pamit mau pergi. Mungkin ke rumah sakit.” Indah menggigit bibir, berlari kecil kembali ke kamar. Ia mengambil ponselnya dan membuka layar. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan dari Haris. Tangannya mengepal. Semalam Haris menolak dirinya, dan sekarang dia pergi begitu saja tanp
“Bu, lihatlah pakaian Tante Indah. Terlalu ketat, nggak punya malu ya?” kata Mei anak pertama Esti.Esti yang sedang asyik memainkan ponselnya langsung menoleh ke arah Mei. Ia tampak mengernyitkan dahi.“Ada apa, Mei?” tanya Esti, ia tidak begitu mendengar yang dibicarakan oleh Mei.“Itu lho Bu, Tante Indah pakai kaos ketat terus celana yang pendek sekali. Kayak orang mau senam aerobik di studio saja. Apa dia nggak risih ya?”“Masa sih?” “Benar, Bu. Padahal dulu Tante Indah nggak kayak gitu lho.”Esti penasaran dengan ucapan Mei, ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke ruang studio yang letaknya di sebelah rumahnya.Suasana studio tampak ramai, semua kru ada disini. Studio ini cukup luas, untuk latihan dan menyimpan peralatan musik, juga sound sistem sebuah orgen tunggal. Indah dan para kru sedang latihan bernyanyi. Besok mereka ada jadwal manggung di acara pernikahan. “Eh, Mbak Esti,” sapa Indah dengan suara serak-serak basah. Ia tersenyum dan mendekati Esti kemudian m
Drtt…drtt… Terdengar suara ponsel Haris berdering. Esti masih belum bisa tidur, ia diam pura-pura tidur, ingin tahu bagaimana reaksi Haris. Haris bangun dan meraih ponselnya, ia menatap ke arah Esti. Ia berpikiran kalau Esti sudah tidur.Sebuah pesan yang masuk ke ponsel Haris, dengan perlahan ia membuka pesan itu. Jantungnya berdetak dengan kencang membaca pesan itu. Kemudian ia merebahkan tubuhnya lagi di sebelah Esti. Ia tampak bimbang setelah membaca pesan itu. Esti tahu kalau Haris gelisah karena Haris tidak bisa diam tubuhnya. Beberapa kali Haris membalikkan badannya. “Apa yang kamu pikirkan Mas? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” kata Esti dalam hati. Ia masih mengamati apa yang akan dilakukan oleh Haris.Sementara itu, Haris sudah berniat untuk keluar rumah, menemui orang yang mengirim pesan padanya. Haris hendak bangun, tapi ia mengurungkan niatnya, karena Esti membalikkan badan dan memeluk Haris dari belakang.“Aduh kenapa Esti malah memelukku?” Haris menjadi kesal
“Santi…” Winda tidak melanjutkan ucapannya.“Santi kenapa?” selidik Esti.“Santi kecentilan menggoda Rendi,” kata Winda dengan pelan.Esti tersenyum ke arah Irfan, rupanya Irfan juga tersenyum mendengar ucapan Winda.“Oalah, masalah laki-laki ya?” Irfan tertawa kecil, membuat Winda memerah pipinya karena malu.“Aku nggak menggoda Rendi, Rendi yang datang mendekati mejaku. Ia menanyakan tugas kelompok,” kilah Santi.“Winda, kalau kamu kesal masalah itu, jangan dikaitkan dengan orang tua Santi. Itu sangat menyakiti hati Santi. Kamu mau kalau orang tuamu dihina oleh orang lain?” Esti mulai berbicara dengan lembut.Winda menggelengkan kepalanya. Esti pun berbicara panjang lebar untuk mendamaikan Santi dan Winda. Bagaimanapun juga mereka berdua adalah remaja yang sedang puber dan mencari jati diri, jadi sedikit permasalahan saja akan membuat mereka ribut. Apalagi kalau masalah asmara.“Jangan diulangi lagi ya, Winda? Jangan menghina orang tua teman-temanmu.” Esti mengingatkan Winda,” dan
“Biasa, Mas. Toni sedang buntu, butuh suntikan dana untuk bertahan hidup,” kata Indah menggoda Toni.“Jangan buka kartu dong, kan ketahuan kalau dompetku melompong.” Toni mengimbangi ucapan Indah, supaya Haris tidak curiga. Haris hanya tersenyum melihat kru dan biduannya yang saling mengeluarkan celetukan.“Bukannya manggung kemarin sudah dapat?” tanya Haris.“Namanya juga manusia, Bos. Banyak kebutuhan dan keinginan,” sahut Toni. Belum sempat Haris menjawab, ada seseorang memanggilnya.“Ayah!” teriak Ais yang berlari mendekati Haris.“Iya, sayang,” sambut Haris sambil memeluk tubuh anak bungsunya itu.“Ayo, Yah, Ais mau nunjukin sesuatu,” ajak Ais sambil menarik tangan ayahnya.“Oke.” Haris pun mengikuti langkah kaki Ais untuk masuk menuju rumah mereka.Indah tampak kesal, belum sempat ia menggoda Haris, malah Haris pergi. Toni tersenyum melihat Indah yang kecewa.“Cie…cie, ada yang kecewa,” bisik Toni menggoda Indah.Sementara itu, di dalam rumah ada Esti dan Mei yang sedang sibuk d
Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah gorden, menerangi kamar dengan sinar hangat. Indah membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke samping. Kosong. Haris sudah tidak ada di tempat tidur. Ia segera bangkit, matanya mencari-cari sosok suaminya. Namun, yang tersisa hanya kasur yang dingin dan sisa keheningan semalam. Dengan perasaan gelisah, Indah bangkit dan keluar dari kamar. Dari dapur, terdengar suara piring beradu pelan. Ia melangkah ke sana dan mendapati Bu Ratna sedang menyiapkan sarapan. “Bu… Mas Haris mana?” tanyanya langsung. Bu Ratna menoleh, lalu tersenyum tipis. “Dia sudah pergi dari tadi pagi.” Jantung Indah berdegup kencang. “Pergi? Pergi ke mana?” Bu Ratna mengangkat bahu. “Dia hanya pamit mau pergi. Mungkin ke rumah sakit.” Indah menggigit bibir, berlari kecil kembali ke kamar. Ia mengambil ponselnya dan membuka layar. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan dari Haris. Tangannya mengepal. Semalam Haris menolak dirinya, dan sekarang dia pergi begitu saja tanp
Sementara itu, Indah menyadari ada yang memperhatikan mereka. Tatapan orang-orang itu terasa menusuk, membuatnya sedikit gelisah. Namun, bukannya mundur, ia malah tersenyum tipis dan bersikap seolah-olah tidak ada yang salah.Sebaliknya, Haris tampak lebih kaku. Ia bisa merasakan bisik-bisik dari orang-orang di sekitar mereka, tapi ia memilih untuk tetap fokus pada makanannya.Indah menyesap jus alpukatnya pelan, lalu berbisik pada Haris, “Kita diperhatikan, Mas.”Haris mengangkat wajahnya, melihat sekilas ke sekeliling. Ia tahu beberapa dari mereka, orang-orang yang pernah mengenalnya dan Esti sebagai pasangan suami istri.Namun, Haris hanya menghela napas, lalu kembali menatap Indah dengan sorot dingin. Indah tersenyum samar. Ia tahu, setelah ini pasti akan ada gosip yang beredar. Tapi anehnya, ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya saat ini hanya satu hal, Haris ada di sini bersamanya, bukan bersama Esti.Setelah selesai makan, Haris dan Indah kembali ke mobil. Perjalanan pulang t
Siti menatapnya dengan penuh kasih. “Ibu minta maaf?” katanya lirih. Esti terdiam, sementara Haris menundukkan wajahnya. Kata-kata ibunya seakan menyiratkan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat hatinya terasa berat.“Maaf untuk apa, Bu?”“Ibu tidak bisa mendidik Haris dengan baik.” Air mata Siti mengalir perlahan. Haris terdiam, hatinya sedih mendengar ucapan ibunya.Esti menatap perlahan wajah Siti. “Ibu jangan banyak bicara dulu, istirahat saja ya? Saya akan disini menemani Ibu.”Terdengar suara pintu dibuka. Begitu pintu terbuka, semua orang di dalam ruangan sontak terkejut melihat Indah berdiri di ambang pintu.Siti yang tengah berbaring menatapnya dengan bingung, sementara Deni dan Umi yang baru datang ke rumah sakit, saling bertukar pandang. Erlin, yang duduk di sudut ruangan, ikut menatap dengan ekspresi tak terbaca.Namun, yang paling bereaksi adalah Haris. Begitu menyadari siapa yang datang, wajahnya langsung menegang. Ia segera bangkit dan berjalan cepat menghampi
Dewi terus mondar-mandir di depan ruang ICU, sementara Haris hanya duduk diam, menatap kosong ke lantai rumah sakit. Sudah dua jam sejak ibunya dibawa masuk ke dalam.Pintu ICU akhirnya terbuka. Dokter keluar dengan ekspresi serius. Haris dan Dewi langsung bergegas mendekat."Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?" suara Dewi bergetar.Dokter menarik napas panjang. "Bu Siti mengalami serangan jantung akibat tekanan emosional yang terlalu besar. Untungnya, kami berhasil menstabilkan kondisinya. Namun, beliau masih dalam masa kritis."Haris menelan ludah. "Apa maksudnya, Dok? Ibu bisa sembuh?"Dokter mengangguk pelan. "Saat ini, beliau masih lemah. Kami akan terus memantau kondisinya dalam 24 jam ke depan. Kalian harus bersiap untuk segala kemungkinan."Bersiap untuk segala kemungkinan…Kata-kata dokter itu menusuk dada Haris seperti belati.Dewi menutup wajahnya, bahunya bergetar menahan tangis. Sementara Haris hanya bisa berdiri dengan tubuh kaku dan kepala tertunduk.Jika ibunya tidak sela
Tanpa berpikir panjang, Indah meneruskan pesan itu dan langsung menelpon Haris."Mas, lihat pesan dari Esti! Dia mengancam akan melaporkan pernikahan kita ke atasanmu! Dia ingin Mas dipecat!" suaranya penuh kemarahan.Haris, yang masih di rumah sakit menjaga ibunya, menghela napas berat. "Aku sudah baca.""Lalu Mas mau diam aja?!" bentak Indah. "Dia pikir dia siapa sampai bisa mengancam kita seperti ini?!"Haris memijit pelipisnya. "Indah, aku sedang di rumah sakit. Bisa kita bicara nanti?"Indah mendengus kesal. "Mas! Kalau Mas sampai kehilangan pekerjaan, gimana dengan aku dan anak kita?!"Haris menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. "Aku akan bicara dengan Esti. Aku akan minta dia untuk tidak membawa masalah ini lebih jauh."Indah tertawa sinis. "Oh, jadi Mas masih peduli sama dia?! Aku istrimu sekarang, Mas! Aku nggak akan biarkan perempuan itu menang!"Haris mulai kehilangan kesabaran. "Aku cuma mau menyelesaikan ini dengan baik, Indah. Kalau kita terus memperkeruh suasana,
Malam itu, di rumah Indah yang sederhana, Haris duduk di hadapan penghulu dengan wajah kosong. Para saksi sudah berkumpul. Indah duduk tak jauh darinya, mengenakan kebaya putih sederhana. Tapi tak ada kebahagiaan di mata Haris, hanya keterpaksaan.Ketika penghulu mulai membaca akad nikah, tangan Haris gemetar."Haris Maulana bin Karim, apakah Anda menerima Indah Astuti binti Burhan sebagai istri Anda dengan mas kawin yang sudah disepakati?"Haris menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Sekilas, ia teringat wajah Esti dan anak-anaknya. Haris mengangguk.Kemudian Pak Burhan bertindak sebagai wali nikah, menggenggam tangan Haris. Dengan suara bergetar, Haris mengucapkan kata yang mengubah hidupnya selamanya."Saya terima nikahnya Indah Astuti binti Burhan dengan mas kawin yang emas lima gram, tunai.""Sah!" ujar para saksi bersamaan.Indah tersenyum tipis, meski air mata jatuh dari sudut matanya. Bu Ratna tampak puas, sementara ayahnya mengangguk lega. Sepertinya memang ini sudah di
Haris terdiam sejenak, matanya kosong menatap layar ponselnya yang baru saja dimatikan. Suara Dewi yang tiba-tiba menyapanya membuatnya terbangun dari lamunannya."Kenapa wajahmu kusut kayak gitu?" tanya Dewi yang baru keluar dari ruangan ibunya. Dewi menatapnya dengan cemas, merasa ada sesuatu yang mengganggu Haris.Haris menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Indah... dia makin nekat. Dia nggak mau dengar alasan, Mbak. Dia tetap bersikeras mau datang ke rumah sakit, bertemu Ibu."Dewi mengerutkan kening, tampak terkejut. "Haris, ini bukan waktu yang tepat. Ibu baru aja, kamu nggak ingin keadaan makin parah, kan?"Haris baru saja hendak kembali ke kamar ibunya ketika tiba-tiba suara langkah cepat terdengar di lorong rumah sakit."Mas Haris!"Haris menoleh dan terkejut. Indah sudah ada di sana.Ia berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya memburu. Matanya menyapu ruangan dengan tajam, lalu berhenti tepat pada Haris dan Dewi."Aku sudah bilang aku akan da
Bu Siti mengerutkan kening, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu, Esti?"Haris menunduk, tak sanggup menatap ibunya. Dewi segera meraih tangan Bu Siti, berusaha menenangkannya."Ibu, maafkan kami karena tidak memberi tahu lebih awal," ujar Dewi hati-hati. "Kami hanya tidak ingin Ibu kaget dan sakit lagi."Bu Siti masih terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. "Jadi... selama ini kalian hanya berpura-pura di depan Ibu?" suaranya bergetar.Erlin ikut bicara, "Ibu, kami hanya ingin Ibu bahagia. Kami takut kalau Ibu tahu ini saat masih belum pulih, kondisinya malah memburuk."Bu Siti menatap mereka satu per satu. Matanya dipenuhi luka dan kekecewaan. Ia merasa telah dibohongi oleh anak-anaknya sendiri."Tapi Ibu tetap mengetahuinya, kan?" ujar Bu Siti lirih. "Seandainya kalian memberitahu sejak awal, mungkin Ibu bisa lebih siap.""Maafkan aku, Ibu. Aku harus menikahi Indah, bertanggung jawab atas kehamilannya. Esti mengusirku dari rumah," kata Haris perlah
"Erlin, Ibu ingin menginap di rumah Haris. Sejak pulang dari rumah sakit, Ibu belum bertemu dengannya," kata Bu Siti dengan suara penuh harap.Ucapan itu membuat Erlin tertegun. Ia menatap ibunya dengan ragu, sementara hatinya bergejolak. Bagaimana mungkin ia memberi tahu bahwa Haris telah diusir oleh Esti?Erlin melirik Indra, suaminya, yang juga tampak kebingungan. Keduanya saling bertukar pandang, mencari cara terbaik untuk merespons permintaan Bu Siti tanpa membuatnya terlalu terkejut."Bagaimana, Erlin? Apa kamu tidak mau mengantarkan Ibu ke rumah Haris?" tanya Bu Siti lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.Erlin menelan ludah. "I... iya, Bu. Nanti aku antar," jawabnya dengan suara sedikit gemetar.Tanpa membuang waktu, ia melangkah keluar rumah, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponselnya dan segera menelepon Dewi, kakaknya. Ia butuh saran. Ia tak bisa menghadapi ini sendirian.Erlin pun segera menelepon Dewi. Jantungnya