Sinar matahari memasuki celah-celah jendela, pagi-pagi sekali Kang Andi izin berangkat ke kebun, ia bilang siangnya ada urusan penting, entah apa aku tak berani bertanya. "Um, Abi berangkat dulu ya," ujarnya "Sepagi ini, Bi? Emang mau ke mana?""Mau ke kebun.""Kok, rapi?""Aku cuma ngecek saja kok, setelahnya akan langsung berangkat ada urusan penting, mungkin ngga pulang dulu.""Oh, yasudah tapi Abi gendong Kinara sebentar, gih. Pamitan dulu sama putri kecilnya.""Oh, iya. Abi lupa, Kinara sayang sini Abi gendong, cium Abi dong. Abi berangkat ya, sayang…." Kinara pun mencium tangan Abinya. Setelahnya aku memandikan Kinara ketika hendak memakaikan baju untuk Kinara. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu begitu keras. Tok … tok … tok …."Teh, buka pintunya cepat! Kamu ada di dalam, kan? Teh buka pintunya!"Aku yang sedang memakaikan Kinara baju begitu kaget, karena aku hafal suara itu, tapi mengapa suaranya diiringi tangisan, aku pun bergegas membuka pintu meninggalkan Kinara
Dua minggu berlalu sejak kejadian di mana Mila melabrak Teh Evita, Kang Andi tak lagi menerima pesan atau pun telpon darinya, bahkan sepertinya nomor kami di blokir, jujur aku senang. Tutt … tut … Ponselku bergetar kulihat di layar ternyata nama Emak terpampang di sana. "Hallo assalamu'alaikum, Teh. Apa kabar kalian?""Waalaikumsalam, baik. Mak, ada apa tumben telpon?""Teh sebentar lagi Abah sama Emak mau ke rumahmu, Abah dapat pesan dari pamanmu kalau beliau mau berkunjung, nanti jelasnya Emak ceritain, ya. Emak mau siap-siap dulu, ngga sabar pengen ketemu cucu Emak.""Alhamdulillah kalau Emak mau ke sini, mau di masakin apa Mak?""Tak perlu repot, Nak. Yasudah ya, kami mau siap-siap, Assalamu'alaikum," ucap Emak mengakhiri obrolan. "Oke, Mak. Waalaikumsalam." "Siapa Um?" tanya Kang Andi. "Oh, itu tadi Emak. Katanya mereka mau datang ke sini, karena pamanku mau berkunjung, tapi aku juga ngga ngerti jelasnya gimana, kata Emak mau ngobrol langsung, nanti kalau sudah sampai di si
"Um, Abi ke kamar dulu ya, mau ganti baju.""Baiklah." Kulihat raut wajahnya tampak tak senang, entah mengapa Kang Andi bersikap seperti itu. Aku pun melanjutkan berbincang dengan Paman dan Bibi, mengenang masa kecil aku dahulu bersama Mesya. "Duh, ngga kerasa ya, sudah sore saja," ujar Paman sambil melihat arlojinya. "Mesya sayang sudah waktunya Papah dan Mamah pulang, kamu baik-baik ya, di sini.""Ya ampun, Mamah ini, seperti Mesya masih SD saja, Mesya sudah kuliah loh, Mah. Bukan anak kecil lagi.""Tetep saja, bagi Mamah kamu masih kecil, baik-baik ya, sayang," ucap Mamah Mesya seraya memeluknya. "Teh Dita dan Kang Andi, kami titip anak kamii ya, dia ini agak sedikit manja, tapi tidak apa-apa kalau dia habis selesai makan jangan sungkan-sungkan nyuruh dia buat cuci piring," ujar Paman kali ini. "Ih, Papah, kok tega ke Mesya.""Bukan tega, tapi kamu harus belajar mandiri sayang."Aku, Mesya, juga Kang Andi mengantar Papah,Mamah Mesya ke depan, tak lupa kami memberikan oleh-ole
"Ya Allah … Akang, Mesya, kalian kehujanan. Kenapa tidak berteduh dulu.""Kami tadi berteduh, tapi karena sudah malam jadi kami pulang, iya kan. Kang?" tanya Mesya. Namun, kulihat Kang Andi diam saja, dia malah langsung masuk ke dalam tanpa berucap apa-apa."Mesya, kamu tidak apa-apa, sana gih, ganti baju dulu.""Iya, Teh. Makasih ya, Mesya memang kedinginan.""Kamu mau Teteh masakin air hangat buat mandi?""Tidak, Teh. Mesya mau langsung ganti baju, terus tidur saja."Di kamar…."Kang ada apa?""Tidak ada apa-apa, aku hanya capek saja, duh putri Abi sudah tidur rupanya." ucap Kang Andi sambil menciumi Kinara. "Kang, Maaf ya, Dita sudah maksa Akang buat anter Mesya. Aku cuma khawatir saja sama dia kalau sampai jalan sendiri.""Kamu tidak perlu sekhawatir itu, Mesya bukan anak kecil lagi!" ucap Kang Andi menekankan kalimatnya. Entah mengapa aku merasa Kang Andi tidak menyukai Mesya. Sikapnya sangat dingin. Aku jadi merasa tidak enak hati. Esoknya…."Teh, itu kok air di kamar mandi t
Esoknya…."Tara … Teh Dita, Kang Andi gimana Mesya cantik tidak? tanya Mesya setelah memotong rambutnya jadi pendek mirip Teh Evita. " Cantik banget, kamu potong rambut di mana?""Di salon dekat situ, Teh.""Kok kamu tahu di situ ada salon?""Ya tahu dong Teh. Aku kan browsing.""Kang Andi gimana, Mesya cantik tidak?" Masih tanya Mesya. "Tidak lucu, kenapa kamu berpenampilan seperti Evita?" ujar Kang Andi yang seketika membuatku kaget. Kulihat Mesya nampak sedih. "A-aku, suka saja dengan model rambut ini.""Kamu jangan bohong, kamu ingin niru Evita, kan?""Kang! Cukup hentikan! Mengapa kamu mengait-ngaitkan Mesya dengan Evita, apa di hati kamu selalu ada Evita! Apa di dunia ini yang berambut pendek hanya Evita? Lagipula darimana kamu tahu kalau Mesya tahu wajah dan penampilan Teh Evita?" ujarku kesal. "Eh, kalian jangan ribut, Mesya minta maaf, Mesya tidak tahu kalau dengan Mesya potong rambut jadi mirip mantan istri Kang Andi.""Kamu tidak perlu minta maaf, Mesya. Kang Andi terla
Pov. Evita. Setelah dirasa aman aku pun berangkat ke Banten, aku putuskan untuk sementara tinggal di sana. Sesampainya di rumah Bapak … semua masih sama, Bapak memang telaten dalam mengurus tanaman meskipun tidak ada Mamah nampak tanaman juga bunga-bunga tertata rapi. "Assalamu'alaikum….""Waalaikumsalam … Non Evita, MasyaAllah berangkat jam berapa, sepagi ini sudah sampai?""Maaf, Yah. Bi. Mengganggu. Apa Bapak sudah bangun?""Sudah, kok. Bapak sedang di halaman belakang lagi ngopi.""Yasudah aku temuin Bapak dulu, Bi Minah kenalin ini Bi Esih yang bakal bantuin aku ngurus Aa di sini, dan tolong ya buatin kopi buat Mang Ujang.""Iya, Non."Aku pun berjalan menuju halaman belakang, di sana biasanya Bapak dan Mamah banyak menghabiskan waktu untuk berbincang. "Kakek….""Aa! Vi, kamu sudah sampai?""Iya, Pak. Maaf ya pagi-pagi Evita sudah ke sini.""Kamu ini, ini kan rumahmu juga, kapanpun kamu pulang, Bapak senang. Bapak kesepian kalau tidak ada kalian. Bapak harap kali ini kamu la
"Pak kok daritadi senyam-senyum?""Coba deh, kamu lihat ponsel Bapak," ujar Bapak seraya memberikan ponselnya. Kubaca satu persatu pesan yang tertera di sana. "Wah, Bapak ternyata banyak penggemarnya, Evita bakal punya ibu tiri, dong." Godaku. "Kamu ini ngaco saja.""Ya, ngga apa-apa Pak. Biar Bapak tidak kesepian.""Bapak ingin melihat kamu menikah dulu.""Hmmm, menikah lagi? Entahlah Pak.""Jangan bilang kalau kamu masih mencintai ayahnya Aa?""Evita tidak tahu, Pak. Evita kan, sudah dua kali menikah dan dua-duanya gagal.""Dua kali kamu menikah tanpa restu Mamah bukan?"Benar juga, tapi kenapa Bapak menyinggung hal itu. Aku bingung mau jawab apa. "Maaf, Vi. Kalau kamu tersinggung, Bapak cuma sedikit berpikir mungkin kalau kamu menikah dengan pilihan Mamah kamu tidak akan gagal lagi," ujar Bapak"Pilihan Mamah? Amir maksud Bapak?""Yah, dulu Mamah berharap sekali kamu menikah dengan Amir, tapi takdir berkata lain, Bapak tidak menyalahkanmu, toh semua keputusan akan menjadi konsek
"Apa? Amir di rumah sakit!""Iya, Vi, tolong cepat kamu ke sini ya, sayang. Nanti Mamah kirim alamat juga di ruang mana Amir dirawat." ujar Mamah Amir sambil terisak.Apakah ini ada hubungannya dengan orang yang mengikuti kami kemarin. "Ada apa,Vi. Kamu terlihat cemas," tanya Bapak mengagetkanku. "Amir diserang orang, Pak. Kata mamahnya sekarang sedang dirawat di Rumah sakit, yasudah ayo kita ke sana.""Sebentar Pak, Evita mau titip Aa dulu ke Bi Esih." "Yasudah."Aku pun bergegas pergi ke rumah sakit setelah menitipkan Aa. Di mobil…."Apa mungkin yang nyerang Amir lawan politiknya, ya.""Kemarin malam saat Amir mengantar Evita, kita memang diikuti orang Pak.""Apa? Kenapa kamu baru bilang, Evita tidak tahu apa tujuan mereka, apakah mereka memang ingin mengincar Amir, atau justru mengincar Evita.""Loh, memangnya kamu punya musuh?""Tidak, sich. Tapi alasan Evita kembali ke Banten karena ingin menghindari seseorang."Aku pun menceritakan kejadian saat Mila dan Dita ke rumah menyer