"Um, Abi ke kamar dulu ya, mau ganti baju.""Baiklah." Kulihat raut wajahnya tampak tak senang, entah mengapa Kang Andi bersikap seperti itu. Aku pun melanjutkan berbincang dengan Paman dan Bibi, mengenang masa kecil aku dahulu bersama Mesya. "Duh, ngga kerasa ya, sudah sore saja," ujar Paman sambil melihat arlojinya. "Mesya sayang sudah waktunya Papah dan Mamah pulang, kamu baik-baik ya, di sini.""Ya ampun, Mamah ini, seperti Mesya masih SD saja, Mesya sudah kuliah loh, Mah. Bukan anak kecil lagi.""Tetep saja, bagi Mamah kamu masih kecil, baik-baik ya, sayang," ucap Mamah Mesya seraya memeluknya. "Teh Dita dan Kang Andi, kami titip anak kamii ya, dia ini agak sedikit manja, tapi tidak apa-apa kalau dia habis selesai makan jangan sungkan-sungkan nyuruh dia buat cuci piring," ujar Paman kali ini. "Ih, Papah, kok tega ke Mesya.""Bukan tega, tapi kamu harus belajar mandiri sayang."Aku, Mesya, juga Kang Andi mengantar Papah,Mamah Mesya ke depan, tak lupa kami memberikan oleh-ole
"Ya Allah … Akang, Mesya, kalian kehujanan. Kenapa tidak berteduh dulu.""Kami tadi berteduh, tapi karena sudah malam jadi kami pulang, iya kan. Kang?" tanya Mesya. Namun, kulihat Kang Andi diam saja, dia malah langsung masuk ke dalam tanpa berucap apa-apa."Mesya, kamu tidak apa-apa, sana gih, ganti baju dulu.""Iya, Teh. Makasih ya, Mesya memang kedinginan.""Kamu mau Teteh masakin air hangat buat mandi?""Tidak, Teh. Mesya mau langsung ganti baju, terus tidur saja."Di kamar…."Kang ada apa?""Tidak ada apa-apa, aku hanya capek saja, duh putri Abi sudah tidur rupanya." ucap Kang Andi sambil menciumi Kinara. "Kang, Maaf ya, Dita sudah maksa Akang buat anter Mesya. Aku cuma khawatir saja sama dia kalau sampai jalan sendiri.""Kamu tidak perlu sekhawatir itu, Mesya bukan anak kecil lagi!" ucap Kang Andi menekankan kalimatnya. Entah mengapa aku merasa Kang Andi tidak menyukai Mesya. Sikapnya sangat dingin. Aku jadi merasa tidak enak hati. Esoknya…."Teh, itu kok air di kamar mandi t
Esoknya…."Tara … Teh Dita, Kang Andi gimana Mesya cantik tidak? tanya Mesya setelah memotong rambutnya jadi pendek mirip Teh Evita. " Cantik banget, kamu potong rambut di mana?""Di salon dekat situ, Teh.""Kok kamu tahu di situ ada salon?""Ya tahu dong Teh. Aku kan browsing.""Kang Andi gimana, Mesya cantik tidak?" Masih tanya Mesya. "Tidak lucu, kenapa kamu berpenampilan seperti Evita?" ujar Kang Andi yang seketika membuatku kaget. Kulihat Mesya nampak sedih. "A-aku, suka saja dengan model rambut ini.""Kamu jangan bohong, kamu ingin niru Evita, kan?""Kang! Cukup hentikan! Mengapa kamu mengait-ngaitkan Mesya dengan Evita, apa di hati kamu selalu ada Evita! Apa di dunia ini yang berambut pendek hanya Evita? Lagipula darimana kamu tahu kalau Mesya tahu wajah dan penampilan Teh Evita?" ujarku kesal. "Eh, kalian jangan ribut, Mesya minta maaf, Mesya tidak tahu kalau dengan Mesya potong rambut jadi mirip mantan istri Kang Andi.""Kamu tidak perlu minta maaf, Mesya. Kang Andi terla
Pov. Evita. Setelah dirasa aman aku pun berangkat ke Banten, aku putuskan untuk sementara tinggal di sana. Sesampainya di rumah Bapak … semua masih sama, Bapak memang telaten dalam mengurus tanaman meskipun tidak ada Mamah nampak tanaman juga bunga-bunga tertata rapi. "Assalamu'alaikum….""Waalaikumsalam … Non Evita, MasyaAllah berangkat jam berapa, sepagi ini sudah sampai?""Maaf, Yah. Bi. Mengganggu. Apa Bapak sudah bangun?""Sudah, kok. Bapak sedang di halaman belakang lagi ngopi.""Yasudah aku temuin Bapak dulu, Bi Minah kenalin ini Bi Esih yang bakal bantuin aku ngurus Aa di sini, dan tolong ya buatin kopi buat Mang Ujang.""Iya, Non."Aku pun berjalan menuju halaman belakang, di sana biasanya Bapak dan Mamah banyak menghabiskan waktu untuk berbincang. "Kakek….""Aa! Vi, kamu sudah sampai?""Iya, Pak. Maaf ya pagi-pagi Evita sudah ke sini.""Kamu ini, ini kan rumahmu juga, kapanpun kamu pulang, Bapak senang. Bapak kesepian kalau tidak ada kalian. Bapak harap kali ini kamu la
"Pak kok daritadi senyam-senyum?""Coba deh, kamu lihat ponsel Bapak," ujar Bapak seraya memberikan ponselnya. Kubaca satu persatu pesan yang tertera di sana. "Wah, Bapak ternyata banyak penggemarnya, Evita bakal punya ibu tiri, dong." Godaku. "Kamu ini ngaco saja.""Ya, ngga apa-apa Pak. Biar Bapak tidak kesepian.""Bapak ingin melihat kamu menikah dulu.""Hmmm, menikah lagi? Entahlah Pak.""Jangan bilang kalau kamu masih mencintai ayahnya Aa?""Evita tidak tahu, Pak. Evita kan, sudah dua kali menikah dan dua-duanya gagal.""Dua kali kamu menikah tanpa restu Mamah bukan?"Benar juga, tapi kenapa Bapak menyinggung hal itu. Aku bingung mau jawab apa. "Maaf, Vi. Kalau kamu tersinggung, Bapak cuma sedikit berpikir mungkin kalau kamu menikah dengan pilihan Mamah kamu tidak akan gagal lagi," ujar Bapak"Pilihan Mamah? Amir maksud Bapak?""Yah, dulu Mamah berharap sekali kamu menikah dengan Amir, tapi takdir berkata lain, Bapak tidak menyalahkanmu, toh semua keputusan akan menjadi konsek
"Apa? Amir di rumah sakit!""Iya, Vi, tolong cepat kamu ke sini ya, sayang. Nanti Mamah kirim alamat juga di ruang mana Amir dirawat." ujar Mamah Amir sambil terisak.Apakah ini ada hubungannya dengan orang yang mengikuti kami kemarin. "Ada apa,Vi. Kamu terlihat cemas," tanya Bapak mengagetkanku. "Amir diserang orang, Pak. Kata mamahnya sekarang sedang dirawat di Rumah sakit, yasudah ayo kita ke sana.""Sebentar Pak, Evita mau titip Aa dulu ke Bi Esih." "Yasudah."Aku pun bergegas pergi ke rumah sakit setelah menitipkan Aa. Di mobil…."Apa mungkin yang nyerang Amir lawan politiknya, ya.""Kemarin malam saat Amir mengantar Evita, kita memang diikuti orang Pak.""Apa? Kenapa kamu baru bilang, Evita tidak tahu apa tujuan mereka, apakah mereka memang ingin mengincar Amir, atau justru mengincar Evita.""Loh, memangnya kamu punya musuh?""Tidak, sich. Tapi alasan Evita kembali ke Banten karena ingin menghindari seseorang."Aku pun menceritakan kejadian saat Mila dan Dita ke rumah menyer
"Saya Terima nikah dan kawinnya Evita binti Marwan dengan mas kawin 50 gram perhiasan di bayar tu-nai!""Sah! Sah! Sah!"Terdengar suara riuh, ketika Amir berhasil mengucap akad. Lalu doa pun mengiringi kami. "Baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khayrin. (Semoga Allah memberkahimu ketika bahagia dan ketika susah, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan)"Akad ketiga dan laki-laki ketiga yang mengucap janji suci di dalam hidupku, aku yang sudah dua kali menikah tetap merasakan ketegangan dan keharuan yang sama, memasuki kembali hubungan suci yang sebenarnya aku sendiri takut gagal untuk yang kesekiankalinya. Gaun kebaya putih yang ketiga yang ku kenakan hari ini semoga saja menjadi gaun terakhir yang menjadi saksi akan hidupku. Bicara soal cinta dan perasaan, jujur tak sepenuhnya hatiku menerima Amir, di dalam lubuk hati terdalam ada satu nama yang tak pernah tergeser, meski berulang kali aku mencoba mengusirnya, nama itu tetap bersemanyam di sana aku
Pov. Mesya. Lulus SMA aku ingin sekali kuliah keluar negri tapi Mamah Papah malah menyuruhku kuliah di Bandung. Entahlah aku merasa tidak begitu tertarik meskipun kutahu kehidupan di Bandung takkan beda jauh dengan Jakarta hanya udaranya saja mungkin yang lebih sejuk. "Pah, boleh ya, Mesya kuliah ke Jepang?""Janganlah Sya, Mamah dan Papah kok rasanya khawatir melepasmu ke sana, lebih baik kamu kuliah di Bandung saja ya," ujar Mamah. "Aku kan, sudah dewasa Mah.""Kamu ini dewasa apanya, apa-apa saja di urusin sama Mamah.""Sudah pokoknya Papah mau kamu kuliah di Bandung lagipula kita punya saudara di sana, jadi Papah Mamah lebih tenang menitipkanmu di sana.""Di titipkan? Dih ogah, ah Pah. Walaupun kuliah di Bandung tapi Mesya maunya ngekost.""Iya, bolehlah ngekost tapi untuk sementara kamu tinggal sama saudaramu dulu, ya.""Ah, numpang di rumah orang tuh, ngga enak, Pah.""Dia Uwak kamu kok, bukan orang lain.""Yasudahlah terserah Papah!" ucapku kesal. Papah malah menceritakan m