"Pak kok daritadi senyam-senyum?""Coba deh, kamu lihat ponsel Bapak," ujar Bapak seraya memberikan ponselnya. Kubaca satu persatu pesan yang tertera di sana. "Wah, Bapak ternyata banyak penggemarnya, Evita bakal punya ibu tiri, dong." Godaku. "Kamu ini ngaco saja.""Ya, ngga apa-apa Pak. Biar Bapak tidak kesepian.""Bapak ingin melihat kamu menikah dulu.""Hmmm, menikah lagi? Entahlah Pak.""Jangan bilang kalau kamu masih mencintai ayahnya Aa?""Evita tidak tahu, Pak. Evita kan, sudah dua kali menikah dan dua-duanya gagal.""Dua kali kamu menikah tanpa restu Mamah bukan?"Benar juga, tapi kenapa Bapak menyinggung hal itu. Aku bingung mau jawab apa. "Maaf, Vi. Kalau kamu tersinggung, Bapak cuma sedikit berpikir mungkin kalau kamu menikah dengan pilihan Mamah kamu tidak akan gagal lagi," ujar Bapak"Pilihan Mamah? Amir maksud Bapak?""Yah, dulu Mamah berharap sekali kamu menikah dengan Amir, tapi takdir berkata lain, Bapak tidak menyalahkanmu, toh semua keputusan akan menjadi konsek
"Apa? Amir di rumah sakit!""Iya, Vi, tolong cepat kamu ke sini ya, sayang. Nanti Mamah kirim alamat juga di ruang mana Amir dirawat." ujar Mamah Amir sambil terisak.Apakah ini ada hubungannya dengan orang yang mengikuti kami kemarin. "Ada apa,Vi. Kamu terlihat cemas," tanya Bapak mengagetkanku. "Amir diserang orang, Pak. Kata mamahnya sekarang sedang dirawat di Rumah sakit, yasudah ayo kita ke sana.""Sebentar Pak, Evita mau titip Aa dulu ke Bi Esih." "Yasudah."Aku pun bergegas pergi ke rumah sakit setelah menitipkan Aa. Di mobil…."Apa mungkin yang nyerang Amir lawan politiknya, ya.""Kemarin malam saat Amir mengantar Evita, kita memang diikuti orang Pak.""Apa? Kenapa kamu baru bilang, Evita tidak tahu apa tujuan mereka, apakah mereka memang ingin mengincar Amir, atau justru mengincar Evita.""Loh, memangnya kamu punya musuh?""Tidak, sich. Tapi alasan Evita kembali ke Banten karena ingin menghindari seseorang."Aku pun menceritakan kejadian saat Mila dan Dita ke rumah menyer
"Saya Terima nikah dan kawinnya Evita binti Marwan dengan mas kawin 50 gram perhiasan di bayar tu-nai!""Sah! Sah! Sah!"Terdengar suara riuh, ketika Amir berhasil mengucap akad. Lalu doa pun mengiringi kami. "Baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khayrin. (Semoga Allah memberkahimu ketika bahagia dan ketika susah, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan)"Akad ketiga dan laki-laki ketiga yang mengucap janji suci di dalam hidupku, aku yang sudah dua kali menikah tetap merasakan ketegangan dan keharuan yang sama, memasuki kembali hubungan suci yang sebenarnya aku sendiri takut gagal untuk yang kesekiankalinya. Gaun kebaya putih yang ketiga yang ku kenakan hari ini semoga saja menjadi gaun terakhir yang menjadi saksi akan hidupku. Bicara soal cinta dan perasaan, jujur tak sepenuhnya hatiku menerima Amir, di dalam lubuk hati terdalam ada satu nama yang tak pernah tergeser, meski berulang kali aku mencoba mengusirnya, nama itu tetap bersemanyam di sana aku
Pov. Mesya. Lulus SMA aku ingin sekali kuliah keluar negri tapi Mamah Papah malah menyuruhku kuliah di Bandung. Entahlah aku merasa tidak begitu tertarik meskipun kutahu kehidupan di Bandung takkan beda jauh dengan Jakarta hanya udaranya saja mungkin yang lebih sejuk. "Pah, boleh ya, Mesya kuliah ke Jepang?""Janganlah Sya, Mamah dan Papah kok rasanya khawatir melepasmu ke sana, lebih baik kamu kuliah di Bandung saja ya," ujar Mamah. "Aku kan, sudah dewasa Mah.""Kamu ini dewasa apanya, apa-apa saja di urusin sama Mamah.""Sudah pokoknya Papah mau kamu kuliah di Bandung lagipula kita punya saudara di sana, jadi Papah Mamah lebih tenang menitipkanmu di sana.""Di titipkan? Dih ogah, ah Pah. Walaupun kuliah di Bandung tapi Mesya maunya ngekost.""Iya, bolehlah ngekost tapi untuk sementara kamu tinggal sama saudaramu dulu, ya.""Ah, numpang di rumah orang tuh, ngga enak, Pah.""Dia Uwak kamu kok, bukan orang lain.""Yasudahlah terserah Papah!" ucapku kesal. Papah malah menceritakan m
"Teh Dita! Teh Dita! Lihat deh, ini bukannya mantan istri Kang Andi ya? Dia sudah menikah lagi, loh."Sengaja aku teriak ketika kulihat di luar Teh Dita dan Kang Andi sedang bersantai. Sudah kuduga Kang Andi terperanjat mendengar ocehanku. "Kamu berteman di Facebook Mes?" tanya Teh Dia. "Iya," kujawab sambil melirik Kang Andi ingin melihat reaksinya. "Emang Teteh sama Akang sudah tidak ada komunikasi, sama Kak Evita?" "Tidak, Mes." ucap Teh Dita. "Bukan urusanmu!" Jawab Kang Andi. "Kang! Jangan gitulah." ujar Teh Dita lagi yang tidak enak kepadaku. "Maaf kalau Mesya terkesan ikut campur, Mesya berteman dengan Kak Evita karena suka dengan barang jualannya makanya mengikuti instagramnya.""Iya, Sya. Lagian itu hak kamu terserah mau berteman dengan siapa, apalagi di media sosial.""Lihat Teh, ini video dia nikahan loh, keren banget, suaminya juga ganteng sebelas duabelaslah sama Kang Andi. Hehe," ujarku kepada Teh Dita, tak disangka Kang Andi pun bangkit lalu melihat ponselku, ia
Pagi hari di Bandung, membuatku malas bangun, dingin menusuk tulang. Karena haus aku pun bangkit menuju dapur. "Eh, kamu sudah bangun Sya?""Iya, Teh. Emang Teteh lagi bikin apa?""Ini lagi goreng singkong, tadi Kang Andi minta digorengin. Kamu mau bikin Teh Sya?""Ngga, Teh. Ini Mesya mau bikin susu.""Teteh boleh minta tolong tidak?""Apa Teh?""Tolong bawain kopi buat Kang Andi soalnya ini gorengannya kalau ditinggal takut gosong.""Boleh, Teh. Emang si Akangnya di mana?""Di belakang Sya, maaf ya.""Santai saja, Teh."Aku pun membawa secangkir kopi yang telah Teh Dita buat. Tentu saja aku semangat meski pun sebenarnya aku kedinginan. Heran saja sama mereka sepagi ini sudah beraktivitas. Sesampainya di halaman belakang. "Kang ini kopinya, atau mau susu punya Mesya?" "Kenapa kamu yang bawa? Emang Dita ke mana?""Teh Dita bilang males katanya habis akang ngambek mulu, semalam dia ngga dikasih jatah ya, Kang?" tanyaku sambil berbisik. Wajah Kang Andi nampak merah."Eh ini kopinya,
"Kang perut aku laper, makan dulu yuk," ajakku pada Kang Andi. Ia hanya diam saja tapi ketika aku memintanya berhenti di dekat tukang siomay dia pun berhenti. "Stop kang! Stop! Aku pengen makan siomay." Kang Andi segera memarkirkan motornya. "Mang siomaynya dua porsi yang satu jangan pake tahu, jangan pake kentang jangan pake kecap ya, Mang," ucapku pada tukang siomay. "Akang maunya gimana? Campur aja?" "Akang tidak perlu, Sya. Kamu saja.""Masa aku makan Akang cuma ngelihatin, tenang aja nanti buat Teh Dita sama Kinara Mesya bungkusin.""Tidak usah Sya, terimakasih.""Udah, deh. Mang yang satunya campur banyakin siomaynya tapi saos nya sedikit jangan pake sambel."Seketika Kang Andi melihat kearahku dia pasti kaget karena aku bisa tahu, seleranya. Aku pernah lihat postingan Teh Evita di mana dia menjelaskan tentang seseorang dengan kebiasaannya dan aku yakin pasti orang itu Kang Andi, benar juga kan. Kalau lihat reaksinya. "Kenapa Kang? Apa ada yang salah?""Tidak, Akang ngga en
"Sya, besok aku dan Kang Andi mau ke pengajian, kamu ada kuliah? Apa di rumah saja?""Besok ya? Kayanya ngga ada jadwal Teh. Besok aku di rumah saja.""Atau kamu mau ikut sama kami?""Ke pengajian?""Iya, ke pengajian, ngga lama kok. Paling cuma satu jam, daripada kamu suntuk di rumah.""Iya, juga sich. Yasudah atuh."Malamnya kucari tutorial hijab simple tak lupa aku pun mencari foto Kak Evita, mana tahu ada foto dia yang pake hijab. Setelah kutelusuri Instagramnya ketemu juga, Kak Evita sangat anggun menggunakan hijab pashmina warna hitam, sepertinya bisa kucoba. Esoknya…."Sya! Sya! Jadi ikut kan?""Iya, jadi Teh. Tapi apa nanti kita naik grab?""Tidak Sya. Ada mobil Abah di depan kamu siap-siap ya." "Okelah kalau begitu."Hmm sepertinya aku harus pura-pura jadi anak sholehah dulu nich, buat narik perhatian mereka. Kupilih gamis coklat dengan outer hitam dan pasmina hitam. Tigapuluh menit berlalu Teh Dita manggil lagi. "Sya, kamu sudah siap?""Sebentar Teh. Tunggu ya. Aku masih
"Teh Evita!""Iya, ini aku Dit? Apa kabar?" ucapku sambil mengulurkan tangan. "Kabar baik," Ia pun menatap Amir juga Bapak. "Oh, iya. Dit. Kenalkan ini suamiku, Amir dan ini Bapakku."Dita pun menangkupkan kedua tangannya, lalu mempersilahkan kami masuk. "Mari masuk, Teh. Pak … eh Aa apa kabar?""Kabar baik, Umi Dita, Aa kemari karena kangen sama Kinara, Aa yang paksa Bunda untuk datang kemari, di mana Kinara, Umi?""Kinara ada di dalam, mari masuk….""Ada siapa, Um?" tanya Kang Andi dari dalam. Bukan menjawab Dita malah agak salah tingkah, sepertinya dia memang terkejut dengan kehadiranku."Ayo mari masuk," Lagi-lagi Dita menawari kami untuk masuk ke dalam rumahnya. Baru juga kakiku melangkah tiba-tiba saja Kang Andi muncul dari balik pintu. Seketika mata kami beradu, Kang Andi terlihat lebih kaget melihatku, entah mengapa ada perasaan aneh yang kembali menjalar di hatiku. "Kang, apa kabar?" tanyaku berbasa-basi. "Ba-baik," Jawabnya, melihat Bapak ia pun segera mencium tangan Ba
"Ya ampun, kamu mau apalagi, Mir? Apa kamu belum puas?"Amir tak menjawab pertanyaanku, tapi lagi-lagi dia mengulang ritual tadi, tapi kali ini di kamar mandi. Setelah ia kehabisan tenaga, aku pun segera membersihkan diri, kutinggalkan saja dia di kamar mandi, kalau tidak, kapan akan selesai. Saat aku hendak memakai baju, tiba-tiba ponsel Amir terus saja berdering, kulihat sebuah nama di layar ponselnya. 'Si Bawel'Siapa yang dia tulis Si Bawel, penasaran kuangkat dan kujawab saja. Belum juga aku berucap, dari sebrang terdengar suara perempuan. "Halloo, Mir. gimana jadi ngga? Jangan bilang batal cuma gara-gara istri kamu, ya. Kamu pernah bilang kamu bakal selalu utamain aku. Awas kalau kamu ingkar janji, hallo, halooo, Mir, kok kamu diam saja!""Ma-af, Amirnya sedang mandi.""Isshhh!" Seketika perempuan tadi mematikan ponselnya seperti marah. Kusimpan kembali ponsel Amir dan tak mau terlalu memikirkannya.Setelah Amir selesai mandi. "Sayang tadi ada yang telpon kamu, aku bilang
"Apa maksud kamu, Amir?""Maaf, maaf kan, aku sayang, aku hanya sedang pusing." Ia mencoba meraih kedua tanganku dan kembali mencumbuiku. Namun, aku merasa hambar setelah mendengar ucapannya tadi. Segera kulepaskan kedua tangannya, lalu beranjak ke kasur untuk tidur. Laki-laki seperti apa yang aku nikahi, mengapa masih pengantin baru saja, sudah berucap yang membuatku sakit hati. Esoknya … pagi-pagi aku meminta izin kepada Amir, aku memutuskan untuk tinggal di rumah Bapak saja, sebenarnya untuk membeli rumah pun, aku mampu. Aku hanya ingin tahu saja, sejauh mana tanggung jawab Amir. "Mir, kita sudah pernah bicara, kan. Kalau aku tidak betah tinggal di sini, kita tinggal di rumah Bapak saja, kasian beliau cuma sendirian, seandainya Bapak menikah barulah nanti kita cari rumah baru.""Terserah kamu, saja, Vi. Tapi orangtuaku bilang, mereka akan membangun rumah untuk kita, di lahan sebelah sana." Amir menunjuk sebuah lahan kosong samping rumah orangtuanya."Ya, itu sich terserah, kan.
"Vi, maaf ya, buat kami tidak nyaman." ujar Mamah. "Tidak apa-apa, Mah.""Sebentar ya, Vi. Mamah mau nemuin yang punya hajat dulu, setelahnya kita pulang, eh ngga pulang juga, sich. Ya kita belanja dulu lah, ke Mall, atau perawatan dulu gitu ke salon." "Yasudah, Evita tunggu di sini, ya. Mah."Mamah pun berlalu pergi, Lagi-lagi aku terjebak di sekumpulan ibu-ibu. "Siapa itu? Cantik ya?" ujar seorang ibu yang menggunakan kebaya marun. "Itu, menantunya Bu Camat." Jawab ibu-ibu yang berada di sampingnya. "Oh, yang katanya janda itu?""Husss, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya denger."Tak tahan aku pun menegur mereka, kali ini aku tidak boleh diam seenak hati mereka membicarakanku. "Kenapa, Bu? Ibu mekbucarakan saya? Iya saya memang menantunya Bu Camat dan saya memang janda, memangnya ada masalah apa ya?""Maaf, Neng … maaf, jangan diambil hati.""Saya tidak mengambil hati, saya cuma bertanya pada ibu-ibu semua, emang ada masalah apa dengan status saya? Toh pasangan saya saja me
Aku bersiap hendak berangkat arisan dengan Mamah Amir. "Yang, kamu sudah rapi?""Iya, aku titip Aa, ya," ucapku kepada Amir. Lalu aku pun pamit kepada Aa yang sedang main game di dalam kamar. "Aa, Bunda berangkat dulu ya, sama Enin. Baik-baik ya, sayang.""Iya, Bunda. Aa sudah janjian sama Papah mau ke rumah kakek, tapi Aa mau ajak Bibi ya, Bun.""Iya, sayang. Ajak saja," Ku kecup kening Aa lalu memeluknya. Aku pun segera turun ke bawah menemui Mamah. "Vi, kamu sudah siap? MasyaAllah menantu Mamah cantik banget, gadis-gadis juga kalah sama kamu, Vi.""Ah, Mamah. Bisa saja."Saat hendak berjalan keluar tiba-tiba saja Papah Amir memanggil. "Eh, kalian sudah mau pergi, apa tidak butuh supir?""Ngga perlu, lah, Pah. Biar Evita saja yang nyetir, iya, kan. Mah? " Mamah terserah kamu saja, Vi. Tapi lagi pula tidak begitu jauh, kok dari sini.""Memang Arisan di mana Mah?" tanya Papah Amir. "Itu, arisan di rumah Bu Broto.""Bu Broto yang rumahnya di Blok F?""Iya.""Oh, kirain Papah di
Pov Evita. Tak lama Amir mendorong perempuan tadi. "Kang Amir! Kok aku didorong."Amir seperti memberi kode pada perempuan itu, akan kehadiranku. Tapi perempuan itu tetap tidak mengerti kode dari Amir, dia terus saja nyerocos, berbicara tanpa jeda. "Kang, kenapa kamu ganti nomor? Aku mau menghubungi kamu benar-benar susah, kamu bilang mau balik lagi ke Jakarta, tahunya kamu malah betah tinggal di kampung! Aku kesepian, Kang."Kulihat tukang bubur pun nampak melirik kearahku, kubiarkan saja, adegan itu berlangsung, ingin tahu saja apa yang bisa Amir jelaskan padaku, entah mengapa tidak ada rasa cemburu dalam hatiku. Amir pun menghampiriku tanpa perduli pada perempuan yang masih nyerocos itu. "Vi, kenalin ini temanku Alesha, dia teman kerjaku di jakarta dulu."Aku melirik santai saja, kulihat Amir nampak gelagapan sendiri, mungkin tak enak hati dengan kejadian tadi. "Alesha! Kenalkan ini istriku, Evita," ujar Amir kepada perempuan itu, kulihat perempuan yang Amir panggil Alesha it
Wanita mana yang mau gagal dalam berumah tangga, karena statusku yang kini menikah sudah tiga kali tak ayal selalu menjadi gosip hangat para ibu-ibu. "Eh si Amir itu nikah sama anak Pak Kades yang janda itu ya?""Iya, kabarnya udah janda dua kali, mana punya anak lagi.""Ih, sayang amat ya, masa anak bujang nikah sama janda beranak.""Tapi meski janda si Evita cantik loh, dan katanya kaya juga karena dapet warisan atau apalah gitu, dari lakinya.""Ah bukannya lakinya miskin?""Iya, laki pertamanya miskin, kan suami keduanya kaya, orang luar negri kabarnya."Begitulah percakapan ibu-ibu yang kudengar ketika aku melintas dekat rumah Mamah Amir. Karena merasa tak nyaman aku pun tak mau lagi tinggal di rumah Mamah Amir, bukan karena keluarganya tetapi lebih karena lingkungannya. "Yang, kita tinggal di rumah Bapakku saja, ya, karena kasian Bapak kesepian.""Aku sich terserah kamu saja, di mana nyamannya. Sebenarnya aku juga sudah siapin rumah buat kita.""Rumah?""Iya.""Tapi aku juga pu
"Bangun, Mah … bangun….""Sudah, sudah, sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," ucap Abah yang di iya, kan. Oleh semuanya. Sesampainya di rumah sakit, Bu Marlina langsung di bawa ke UGD. Kulihat Mesya terus saja menangis. "Pah, maafkan Mesya …." "Sudahlah jangan bahas itu lagi, yang penting sekarang kesehatan Mamahmu."Lalu paman Aryo, pun mendekatiku. "Maafkan paman, sudah membuat wajahmu babak belur, sebaiknya sekalian kamu berobat."Aku bahkan tak ingat rasa sakitku. Namun, Dita menghampiriku. "Wajahmu memar, Kang. Sebaiknya ayo kamu sekalian saja diobati."Tanpa menunggu jawabanku Dita menarik tanganku lalu mencari Dokter umum. "Aku tidak apa-apa, kok.""Tidak apa-apa gimana, orang wajah Akang memar. " Terimakasih yah, kamu sudah percaya pada Akang."Dita hanya mengulas senyum. Aku lega akhirnya masalah ini selesai meskipun kami masih menunggu keadaan Bu Marlina, semoga saja beliau baik-baik saja. _______Malamnya Abah dan Emak memilih menginap di rumah kami, sedangkan Mesya
Cuaca Bandung yang dingin tak menyurutkan amarah Papah Mesya yang terlihat begitu panas, aku tahu orangtua mana yang tak sakit hati bila mendengar anak tersayang dilecehkan, tapi sungguh hal itu tak pernah kulakukan. Sungguh ironis sebenarnya aku lebih kasihan pada orangtua Mesya, apakah mereka tidak akan malu jika tahu kelakuan anaknya. "Baiklah akan kulaporkan masalah ini pada polisi, aku akan meminta seorang pengacara untuk menjebloskanmu ke penjara.""Baik, silahkan saja, Paman.""Kamu menantang?""Tidak, aku tidak takut, karena aku tidak salah.""Awas saja kau, tak akan kulepaskan!" Ancam nya. Nampak Papah Mesya sedang menghubungi seseorang. "Apakah tidak ada jalan lain?" tanya Abah. "Biar saja, Bah. Aku yakin karena aku tidak bersalah, kita lihat saja hasilnya nanti," ujarku sambil menatap Mesya, Lagi-lagi dia merasa tak nyaman."Pah! Papah!""Ada apa sayang, sebentar Papah hubungi pengacara dahulu.""Tidak usah, Pah. Tolong jangan laporkan masalah ini ke polisi, Mesya malu,