Home / Romansa / Rumah Lavender / Kelopak 1 | Rumah Lavender

Share

Rumah Lavender
Rumah Lavender
Author: luminouswater

Kelopak 1 | Rumah Lavender

Kukira rumah ini peninggalan Belanda pada era kolonialisme dulu. Rupanya, gayanya, kuno sekali. Besar dan indah sebetulnya, tapi karena kekunoannya itu jadi terlihat agak seram.

Itulah yang kupikirkan ketika melihat rumah  di depanku ini. Rumah lama nenek dan kakekku. Jangan tanya kenapa aku, kedua orang tuaku, kakakku, beserta kedua adik kembarku ada di sini. Sebab pertanyaan itu agak sensitif bagi telinga orang tuaku.

"Sini Kakak bawain kopernya," ujar kakakku pertamaku, Kak Vigo.

Dengan senang hati aku merelakan koperku untuk di tarik oleh Kak Vigo, sementara aku mengekor di belakangnya bersama ibu dan si kembar—Yugo dan Yugi. Terpisah jauh dengan papa yang memimpin di depan.

Kulirik mama yang berwajah masam, diapit kedua adikku yang nampak muram. Ketiga orang itu adalah golongan yang paling tak bersemangat pindah ke sini. Alasan mama karena tempat ini jauh dari kejaksaan wilayah tempatnya berkedudukan. Sedangkan Yugo dan Yugi sedih harus berpisah dengan teman-temannya.

Sebetulnya memang tak ada yang benar-benar antusias pindah ke sini. Temasuk aku dan Kak Vigo 'hayuk-hayuk saja'. Bahkan papa pun tak begitu puas akan keputusannya. Tapi mau bagaimana lagi, di sinilah mereka dapat tinggal gratis sebab rumah dan perusahaan papa disita bank. Keadaan ekonomi keluarga mereka benar-benar tak baik saat ini.

Itulah mengapa papa memutuskan untuk pindah ke sini meski ibu tak setuju. Lagi pula rumah ini tak ditepati, hanya sesekali disinggahi saat ada anggota keluarga besar yang ingin berlibur atau berziarahke makam kakek dan nenek di ... suatu tempt di kawasan sekitar rumah (aku lupa di mana tepatnya).

Tok, tok, tok!

Aku mengernyit heran saat ayah mengetuk pintu. Bukankah katanya rumah ini kosong sepeninggal kakek dan nenek?

"Katanya kosong," desisku pada Kak Vigo.

Kudapati Kak Vigo membatu untuk sesaat sebelum mengangkat bahu kemudian.

Semenjak remaja, aku dan Kak Vigo mulai berjarak. Kami tak sedekat seperti yang kuingat saat masih kanak-kanak. Karena usia kami yang hany berselisih setahun, membuat kamu tumbuh remaja di waktu yang sama. Jadi ketika Kak Vigo mulai menutup diri, aku pun mengalami hal serupa. Dan karena kehidupan sekolah juga sosial kami berbeda, kami makin jarang bertemu, sibuk dengan dunia masih masih. Bahkan, di rumah yang lama aku dan Kak Vigo jarang sekali berjumpa selain di meja makan.

Ceklek.

Tedengar kunci diputar dari dalam. Lantas seorang pria yang beruban menyeruak dari pintu yang baru dibuka.

"Selamat datang Tuan Xabiru sekeluarga."

"Terima kasih Pak Kusno," balas yah dengan senyuman.

"Anak-anak, ini Pak Kusno," ujar Papa, menoleh pada anak-anak dan istrinya. "Beliau udah lama kerja sama keluarga kita untuk mengurus ladang lavender di belakang."

Ah, iya. Begitu lamanya tak ke sini, aku nyaris lupa bila di belakang rumah ada ladang lavender seluas lima hektar. Ladang itulah yang membuat rumah ini bernama 'Rumah Lavender', seperti yang tertulis pada plang di depan jalan masuk tadi.

"Den bagus Vigo sama Non ayu Zlaffa udah besar," ujar Pak Kusno memandangku dan Kak Vigo bergantian. Yang sama-sama kami balas dengan senyuman canggung. Aku yakin, seperti diriku, Kak Vigo juga tak ingat akan pria tua di hadapan kami ini. "Udah ada dua ekor baru pula. Ha ha ha," lanjut beliau ketika menemukan Yugo dan Yugi. Tawanya di akhir kata terdengar seperti gonggongan yang bersahabat.

"Iya, Pak. Hahaha." Papa ikut tertawa ringan. "Terakhir kali ke sini, Papa sama Mama masih ada, Yugo sama Yugi belum lahir."

"Oh, Yugo sama Yugi toh namanya. Genteng sekali, mirip sama Den bagus Vigo pas masih kecil."

"Panggil Vigo aja, Pak. Lebih enak."

Pak Kusno langsung menoleh pada papa mendengar permintaan Kak Vigo itu. "Gak apa-apa, Tuan?" tanyanya meminta persetujuan.

"Terserah Vigo aja, Pak."

"Baik, baik."

"Di dalam sudah dibersikan, Pak?" Mama bersuara untuk terakhir kalinya.

"Sudah Nyonya Ruby."

"Ya sudah, saya permisi masuk duluan, ya, Pak," izin Mama. "Ayo Yugo, Yugi," ajaknya pada si kembar. Lalu ketiga anak beranak itu pun beriringan melewati celah di antara papa dan pak Kusno.

"Kalau begitu, saya permisi kembali ke ladang, Tuan. Mau melanjutkan pekerjaan. Kalau ada apa-apa panggil saya saja," ujar Pak Kusno dengan sopan. "Dan soal ART yang Bapak minta, sudah saya carikan. Besok bisa saya ajak ke sini kalau Bapak mau bertemu."

"Iya, Pak. Terima kasih."

Selepas kepergian Pak Kusno. Papa langsung masuk, diikuti olehku dan Kak Vigo.

Bagian dalam rumah itu sama kunonya dengan bagian luar. Interiornya, tangganya, furniturnya, bahkan warna catnya terlihat tua. Dan samar-samar kenangan mulai mengetuk ingatanku akan rumah ini. Tak banyak, mengingat terakhir kali aku ke sini saat berusia tujuh tahu, sedang sekarang aku sudah delapan belas tahun.

"Pak Kusno itu juga tinggal di rumah ini, Pa?"

"Enggak. Dia tinggal di pondok di pinggir ladang."

"Sendiri?"

"Iya. Istrinya baru meninggal bulan lalu."

"Oh ... ."

"Kamarku di mana?" tanya Kak Vigo pada Papa.

"Di atas," sahut Papa. "Kamu juga Fafa. Dua kamar di ujung kanan."

Alangkah lega rasanya saat Kak Vigo dengan baik hatinya mengangkatkan koporku mendaki tangga. Jadi aku tak perlu susah payah hingga encok untuk mengangkut koperku.

Aku tak ingat bila Kak Vigo seperhatian dan sebaik hati ini. Agaknya sudah terlalu lama sejak kami jadi saudara yang akrab.

"Makasih, Kak," ujarku diiringi senyuman.

"Mm," gumam Kak Vigo yang langsung berlalu. Tak sekali pun menatapku. Hal itu cukup membuatku bertanya-tanya; apa Kak Vigo terpaksa membantuku? Tapi kan aku tak pernah meminta.

Terserahlah.

***

Ternyata rumah ini tak seburuk yang kukira. Setidaknya, pemandangan dari kamarku sangatlah indah. Persis mengarah ke hamparan ungu ladang lavender yang membentang luas, bermandikan cahaya matahari terakhir sore itu. Indah sekali.

Ting!

Aku berpaling dari jendela begitu mendengar denting ponselku. Pasti ada pesan baru.

Betul saja dugaanku. Saat kuraih ponselku, kudapati sebuah pesan dari dari mama.

Mama: Cepat turun. Makan. Panggil Kakak sekalian.

Zlaffa: Iya.

Tak lupa aku menutup jendela sebelum pergi ke luar kamar. Dan segera aku ragu kala berhadapan demgan pintu putih di seberang kamarku, pintu kamar Kak Vigo.

Batu saja tanganku melayang untuk mengetuk, ketika pintu mendadak terbuka. Menampakkan wajah Kak Vigo yang kuyu. Kendati begitu, rupanya tetap tak mengecewakan. Anak papa memang tak main-main visualnya. Luas biasa!

"Kenapa?" tanya Kak Vigo singkat. Matanya melihat tanganku yang masih melayang di depan matanya, bersial mengetuk.

"Oh ... " Buru-buru kuturunkan tanganku dan menatap wajah Kak Vigo malu-malu. "Itu ... Mama nyuruh turun buat makan."

Masih serupa siang tadi, Kak Vigo masih tak mau menatapku. Kakak laki-lakiku itu juga iris sekali saat berbicara padaku. Membuatku bertanya-tanya; apa aku punya salag padanya?

"Iya," balas Kak Vigo. Hanya begitu saja. Tak ada ada pengantar atau akhiran, apalagi basa-bagi. Cukup satu kata itu dan ia meninggalkanku begitu saja untuk turun ke bawah.

Sesampainya di meja makan. Suasana hening sekali. Mama dan papa masih tampak canggung, sedang si kembar sudah tidur.

Begitu heningnya makan malam ini, hanya suara sendok dan piring yang beradu, menghasilkan suara yang cukup keras.

"Besok kamu siap-siap, Fa, ikut Papa buat daftar ke sekolah baru kamu."

Aku mengangguk. "Jauh sekolahnya?"

"Di kampung sebelah. Cuma satu kiloan kalau jalan kaki," ujar Papa.

"Terus aku kuliah gimana?" tanya Kak Vigo yang telah kehilangan mobilnya karena disita bank. Dan setelah kupikir-kupikir jarak dari sini ke halte terdekat sangatlah jauh.

"Kamu bisa pakai mobil Papa."

"Terus aku gimana? Aku mau berangkat kerja pakek apa?" Mama menyahut dengan emosi dalak suaranya.

"Kamu bisa berangkat bareng Vigo," jawab Papa, santai.

"Kejaksaan sama kampus Vigo itu gak searah. Vigo bisa terlambat ke kampus kalo harus ngatar aku kerja tiap hari."

"Ya, kamu kan bisa turun di halte terus naik bus ke kantor."

Mama mendengus. "Lagian kenapa kita harus pindah ke sini? Kenapa gak rumah dan tanah ini aja yang kamu jual buat beli rumah di kota?! Di tengah peradaban! Gak di antah berantah kayak BEGINI!!!" Suara Mama makin meninggi pada tiap kalimat yang ia lontarkan. Menggema di rumah besar yang telah lama tinggal ini.

"KAMU MAU AKU JUAL TANAH KUBURAN ORANG TUAKU?!!!" raung Papa. Dan aku tahu perdebatan ini akan panjang. Selera makanku pun telah hilang.

"KAMU GAK PERLU JUAL SEMUA!"

Kuputuskan untuk beranjak pergi, kembali ke kamarku. Baik mama mau pun papa tak ada yang peduli, sibuk denga perdebatan mereka yang terus meledak-ledak beberapa pekan belakangan. Hanya Kak Vigo yang netranya terus mengikutiku mendaki tangga hingga hilang ketika berbelok memasuki lorong, menuju kamarku di ujung.

Di kejauhan, masih terdengar suara teriakan mama dan papa yang saling bersahutan. Bahkan kini dibumbui tangisan si kembar yang terbangun, barangkali karena terkejut.

Sesampainya di kamar, kubuka kembali jendela kamarku. Membiarkan udara segar mengalir masuk bersama lembut aroma lavender.

Tok, tok, tok!

Aku menoleh mendengar suara ketukan pintu.

"Masuk," ujarku.

Ceklek...

Pintu terbuka. Menampakkan Kak Vigo yang membawa sepiring makanan dan segelas air minum.

"Makan dulu," ucap Kak Vigo, menyerahkan bawaannya.

"Gak selera," balasku, melirik ayam balado dan daun singkong lodeh itu.

"Nanti kamu sakit malah repot. Apalagi kondisi keluarga kita lagi kayak gini."

"Barengan tapi," pintaku pada Kak Vigo yang masih berdiri.

"Gak—"

"Kalo Kakak gak mau, aku juga gak mau," selaku.

"Iya, deh," desahnya pasrah.

Aku tersenyum lebar. Lantas kutarik ujung kaos Kak Vigo agar ia ikut duduk bersamaku di tepi ranjang.

Kak Vigo membiarkanku untuk menyuap lebih dulu, yang kemudian baru disusul olehnya. Sejenak kami makan dalam diam. Hanya denting sendok dan piring yang mengisi keheningan di antara kamu.

"Mama sama Papa kapan mau berhenti ribut-ribut kayak gini, ya?" tanyaku ketika menyadari suara mama dan papa tak terdengar lagi.

"Sampai ada yang mau ngalah di antara mereka. Sampai ada yang mau mengerti kesulitan masing-masing."

"Aku gak bisa nyalahin Mama. Jarak kejaksaan dari sini itu jauh banget. Mana akses kendaraan umum gak ada," kataku disela kunyahan.

"Kita juga gak bisa nyalahin Papa. Ngejual tanah ini artinya dia ngejual kuburan Nenek sama Kakek. Apalagi belum tentu semua anak Nenek bakal setuju."

"Iya, sih..." aku mengakui. Memang serba sulit.

"Sodara Papa apa gak ada yang mau bantu gitu biar usaha Papa bisa bangkit lagi?"

"Mereka bantu. Kalo gak bantu, hutang Papa ke bank pasti masih ada sekarang."

Kembali aku dan Kak Vigo tengggelam dalam kebungkaman, fokus menghabiskan nasi di piring kami berdua. Dan setelah lama kemudian barulah kusadari inilah pertama kalinya aku mengobrol dengan Kak Vigo lagi.

"Kak," panggilku.

"Mm?" sahut Kak Vigo yang tengah menyobek-nyobek ayah dengan garpu agar aku gak perlu kesulitan memotongnya.

"Ini pertama kalinya kita ngobrol lagi setelah sekian lama, tahu."

Mendengar ucapanku itu, Kak Vigo mengangkat wajahnya dan memandangku tepat di mata untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun ini. Dan tanpa diduga-duga, di dalam sana jantungku berkepak liar.

Aku sama sekali tak ingat jika tatapan Kak Vigo sedalam ini, selembut ini. Bahwa sepasang mata beriris kopi itu bisa membuatku berdebar sehebat ini.

"Ini juga pertama kalinya Kakak mau natap aku lagi."

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status