Kukira rumah ini peninggalan Belanda pada era kolonialisme dulu. Rupanya, gayanya, kuno sekali. Besar dan indah sebetulnya, tapi karena kekunoannya itu jadi terlihat agak seram.
Itulah yang kupikirkan ketika melihat rumah di depanku ini. Rumah lama nenek dan kakekku. Jangan tanya kenapa aku, kedua orang tuaku, kakakku, beserta kedua adik kembarku ada di sini. Sebab pertanyaan itu agak sensitif bagi telinga orang tuaku.
"Sini Kakak bawain kopernya," ujar kakakku pertamaku, Kak Vigo.
Dengan senang hati aku merelakan koperku untuk di tarik oleh Kak Vigo, sementara aku mengekor di belakangnya bersama ibu dan si kembar—Yugo dan Yugi. Terpisah jauh dengan papa yang memimpin di depan.
Kulirik mama yang berwajah masam, diapit kedua adikku yang nampak muram. Ketiga orang itu adalah golongan yang paling tak bersemangat pindah ke sini. Alasan mama karena tempat ini jauh dari kejaksaan wilayah tempatnya berkedudukan. Sedangkan Yugo dan Yugi sedih harus berpisah dengan teman-temannya.
Sebetulnya memang tak ada yang benar-benar antusias pindah ke sini. Temasuk aku dan Kak Vigo 'hayuk-hayuk saja'. Bahkan papa pun tak begitu puas akan keputusannya. Tapi mau bagaimana lagi, di sinilah mereka dapat tinggal gratis sebab rumah dan perusahaan papa disita bank. Keadaan ekonomi keluarga mereka benar-benar tak baik saat ini.
Itulah mengapa papa memutuskan untuk pindah ke sini meski ibu tak setuju. Lagi pula rumah ini tak ditepati, hanya sesekali disinggahi saat ada anggota keluarga besar yang ingin berlibur atau berziarahke makam kakek dan nenek di ... suatu tempt di kawasan sekitar rumah (aku lupa di mana tepatnya).
Tok, tok, tok!
Aku mengernyit heran saat ayah mengetuk pintu. Bukankah katanya rumah ini kosong sepeninggal kakek dan nenek?
"Katanya kosong," desisku pada Kak Vigo.
Kudapati Kak Vigo membatu untuk sesaat sebelum mengangkat bahu kemudian.
Semenjak remaja, aku dan Kak Vigo mulai berjarak. Kami tak sedekat seperti yang kuingat saat masih kanak-kanak. Karena usia kami yang hany berselisih setahun, membuat kamu tumbuh remaja di waktu yang sama. Jadi ketika Kak Vigo mulai menutup diri, aku pun mengalami hal serupa. Dan karena kehidupan sekolah juga sosial kami berbeda, kami makin jarang bertemu, sibuk dengan dunia masih masih. Bahkan, di rumah yang lama aku dan Kak Vigo jarang sekali berjumpa selain di meja makan.
Ceklek.
Tedengar kunci diputar dari dalam. Lantas seorang pria yang beruban menyeruak dari pintu yang baru dibuka.
"Selamat datang Tuan Xabiru sekeluarga."
"Terima kasih Pak Kusno," balas yah dengan senyuman.
"Anak-anak, ini Pak Kusno," ujar Papa, menoleh pada anak-anak dan istrinya. "Beliau udah lama kerja sama keluarga kita untuk mengurus ladang lavender di belakang."
Ah, iya. Begitu lamanya tak ke sini, aku nyaris lupa bila di belakang rumah ada ladang lavender seluas lima hektar. Ladang itulah yang membuat rumah ini bernama 'Rumah Lavender', seperti yang tertulis pada plang di depan jalan masuk tadi.
"Den bagus Vigo sama Non ayu Zlaffa udah besar," ujar Pak Kusno memandangku dan Kak Vigo bergantian. Yang sama-sama kami balas dengan senyuman canggung. Aku yakin, seperti diriku, Kak Vigo juga tak ingat akan pria tua di hadapan kami ini. "Udah ada dua ekor baru pula. Ha ha ha," lanjut beliau ketika menemukan Yugo dan Yugi. Tawanya di akhir kata terdengar seperti gonggongan yang bersahabat.
"Iya, Pak. Hahaha." Papa ikut tertawa ringan. "Terakhir kali ke sini, Papa sama Mama masih ada, Yugo sama Yugi belum lahir."
"Oh, Yugo sama Yugi toh namanya. Genteng sekali, mirip sama Den bagus Vigo pas masih kecil."
"Panggil Vigo aja, Pak. Lebih enak."
Pak Kusno langsung menoleh pada papa mendengar permintaan Kak Vigo itu. "Gak apa-apa, Tuan?" tanyanya meminta persetujuan.
"Terserah Vigo aja, Pak."
"Baik, baik."
"Di dalam sudah dibersikan, Pak?" Mama bersuara untuk terakhir kalinya.
"Sudah Nyonya Ruby."
"Ya sudah, saya permisi masuk duluan, ya, Pak," izin Mama. "Ayo Yugo, Yugi," ajaknya pada si kembar. Lalu ketiga anak beranak itu pun beriringan melewati celah di antara papa dan pak Kusno.
"Kalau begitu, saya permisi kembali ke ladang, Tuan. Mau melanjutkan pekerjaan. Kalau ada apa-apa panggil saya saja," ujar Pak Kusno dengan sopan. "Dan soal ART yang Bapak minta, sudah saya carikan. Besok bisa saya ajak ke sini kalau Bapak mau bertemu."
"Iya, Pak. Terima kasih."
Selepas kepergian Pak Kusno. Papa langsung masuk, diikuti olehku dan Kak Vigo.
Bagian dalam rumah itu sama kunonya dengan bagian luar. Interiornya, tangganya, furniturnya, bahkan warna catnya terlihat tua. Dan samar-samar kenangan mulai mengetuk ingatanku akan rumah ini. Tak banyak, mengingat terakhir kali aku ke sini saat berusia tujuh tahu, sedang sekarang aku sudah delapan belas tahun.
"Pak Kusno itu juga tinggal di rumah ini, Pa?"
"Enggak. Dia tinggal di pondok di pinggir ladang."
"Sendiri?"
"Iya. Istrinya baru meninggal bulan lalu."
"Oh ... ."
"Kamarku di mana?" tanya Kak Vigo pada Papa.
"Di atas," sahut Papa. "Kamu juga Fafa. Dua kamar di ujung kanan."
Alangkah lega rasanya saat Kak Vigo dengan baik hatinya mengangkatkan koporku mendaki tangga. Jadi aku tak perlu susah payah hingga encok untuk mengangkut koperku.
Aku tak ingat bila Kak Vigo seperhatian dan sebaik hati ini. Agaknya sudah terlalu lama sejak kami jadi saudara yang akrab.
"Makasih, Kak," ujarku diiringi senyuman.
"Mm," gumam Kak Vigo yang langsung berlalu. Tak sekali pun menatapku. Hal itu cukup membuatku bertanya-tanya; apa Kak Vigo terpaksa membantuku? Tapi kan aku tak pernah meminta.
Terserahlah.
***
Ternyata rumah ini tak seburuk yang kukira. Setidaknya, pemandangan dari kamarku sangatlah indah. Persis mengarah ke hamparan ungu ladang lavender yang membentang luas, bermandikan cahaya matahari terakhir sore itu. Indah sekali.
Ting!
Aku berpaling dari jendela begitu mendengar denting ponselku. Pasti ada pesan baru.
Betul saja dugaanku. Saat kuraih ponselku, kudapati sebuah pesan dari dari mama.
Mama: Cepat turun. Makan. Panggil Kakak sekalian.
Zlaffa: Iya.
Tak lupa aku menutup jendela sebelum pergi ke luar kamar. Dan segera aku ragu kala berhadapan demgan pintu putih di seberang kamarku, pintu kamar Kak Vigo.
Batu saja tanganku melayang untuk mengetuk, ketika pintu mendadak terbuka. Menampakkan wajah Kak Vigo yang kuyu. Kendati begitu, rupanya tetap tak mengecewakan. Anak papa memang tak main-main visualnya. Luas biasa!
"Kenapa?" tanya Kak Vigo singkat. Matanya melihat tanganku yang masih melayang di depan matanya, bersial mengetuk.
"Oh ... " Buru-buru kuturunkan tanganku dan menatap wajah Kak Vigo malu-malu. "Itu ... Mama nyuruh turun buat makan."
Masih serupa siang tadi, Kak Vigo masih tak mau menatapku. Kakak laki-lakiku itu juga iris sekali saat berbicara padaku. Membuatku bertanya-tanya; apa aku punya salag padanya?
"Iya," balas Kak Vigo. Hanya begitu saja. Tak ada ada pengantar atau akhiran, apalagi basa-bagi. Cukup satu kata itu dan ia meninggalkanku begitu saja untuk turun ke bawah.
Sesampainya di meja makan. Suasana hening sekali. Mama dan papa masih tampak canggung, sedang si kembar sudah tidur.
Begitu heningnya makan malam ini, hanya suara sendok dan piring yang beradu, menghasilkan suara yang cukup keras.
"Besok kamu siap-siap, Fa, ikut Papa buat daftar ke sekolah baru kamu."
Aku mengangguk. "Jauh sekolahnya?"
"Di kampung sebelah. Cuma satu kiloan kalau jalan kaki," ujar Papa.
"Terus aku kuliah gimana?" tanya Kak Vigo yang telah kehilangan mobilnya karena disita bank. Dan setelah kupikir-kupikir jarak dari sini ke halte terdekat sangatlah jauh.
"Kamu bisa pakai mobil Papa."
"Terus aku gimana? Aku mau berangkat kerja pakek apa?" Mama menyahut dengan emosi dalak suaranya.
"Kamu bisa berangkat bareng Vigo," jawab Papa, santai.
"Kejaksaan sama kampus Vigo itu gak searah. Vigo bisa terlambat ke kampus kalo harus ngatar aku kerja tiap hari."
"Ya, kamu kan bisa turun di halte terus naik bus ke kantor."
Mama mendengus. "Lagian kenapa kita harus pindah ke sini? Kenapa gak rumah dan tanah ini aja yang kamu jual buat beli rumah di kota?! Di tengah peradaban! Gak di antah berantah kayak BEGINI!!!" Suara Mama makin meninggi pada tiap kalimat yang ia lontarkan. Menggema di rumah besar yang telah lama tinggal ini.
"KAMU MAU AKU JUAL TANAH KUBURAN ORANG TUAKU?!!!" raung Papa. Dan aku tahu perdebatan ini akan panjang. Selera makanku pun telah hilang.
"KAMU GAK PERLU JUAL SEMUA!"
Kuputuskan untuk beranjak pergi, kembali ke kamarku. Baik mama mau pun papa tak ada yang peduli, sibuk denga perdebatan mereka yang terus meledak-ledak beberapa pekan belakangan. Hanya Kak Vigo yang netranya terus mengikutiku mendaki tangga hingga hilang ketika berbelok memasuki lorong, menuju kamarku di ujung.
Di kejauhan, masih terdengar suara teriakan mama dan papa yang saling bersahutan. Bahkan kini dibumbui tangisan si kembar yang terbangun, barangkali karena terkejut.
Sesampainya di kamar, kubuka kembali jendela kamarku. Membiarkan udara segar mengalir masuk bersama lembut aroma lavender.
Tok, tok, tok!
Aku menoleh mendengar suara ketukan pintu.
"Masuk," ujarku.
Ceklek...
Pintu terbuka. Menampakkan Kak Vigo yang membawa sepiring makanan dan segelas air minum.
"Makan dulu," ucap Kak Vigo, menyerahkan bawaannya.
"Gak selera," balasku, melirik ayam balado dan daun singkong lodeh itu.
"Nanti kamu sakit malah repot. Apalagi kondisi keluarga kita lagi kayak gini."
"Barengan tapi," pintaku pada Kak Vigo yang masih berdiri.
"Gak—"
"Kalo Kakak gak mau, aku juga gak mau," selaku.
"Iya, deh," desahnya pasrah.
Aku tersenyum lebar. Lantas kutarik ujung kaos Kak Vigo agar ia ikut duduk bersamaku di tepi ranjang.
Kak Vigo membiarkanku untuk menyuap lebih dulu, yang kemudian baru disusul olehnya. Sejenak kami makan dalam diam. Hanya denting sendok dan piring yang mengisi keheningan di antara kamu.
"Mama sama Papa kapan mau berhenti ribut-ribut kayak gini, ya?" tanyaku ketika menyadari suara mama dan papa tak terdengar lagi.
"Sampai ada yang mau ngalah di antara mereka. Sampai ada yang mau mengerti kesulitan masing-masing."
"Aku gak bisa nyalahin Mama. Jarak kejaksaan dari sini itu jauh banget. Mana akses kendaraan umum gak ada," kataku disela kunyahan.
"Kita juga gak bisa nyalahin Papa. Ngejual tanah ini artinya dia ngejual kuburan Nenek sama Kakek. Apalagi belum tentu semua anak Nenek bakal setuju."
"Iya, sih..." aku mengakui. Memang serba sulit.
"Sodara Papa apa gak ada yang mau bantu gitu biar usaha Papa bisa bangkit lagi?"
"Mereka bantu. Kalo gak bantu, hutang Papa ke bank pasti masih ada sekarang."
Kembali aku dan Kak Vigo tengggelam dalam kebungkaman, fokus menghabiskan nasi di piring kami berdua. Dan setelah lama kemudian barulah kusadari inilah pertama kalinya aku mengobrol dengan Kak Vigo lagi.
"Kak," panggilku.
"Mm?" sahut Kak Vigo yang tengah menyobek-nyobek ayah dengan garpu agar aku gak perlu kesulitan memotongnya.
"Ini pertama kalinya kita ngobrol lagi setelah sekian lama, tahu."
Mendengar ucapanku itu, Kak Vigo mengangkat wajahnya dan memandangku tepat di mata untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun ini. Dan tanpa diduga-duga, di dalam sana jantungku berkepak liar.
Aku sama sekali tak ingat jika tatapan Kak Vigo sedalam ini, selembut ini. Bahwa sepasang mata beriris kopi itu bisa membuatku berdebar sehebat ini.
"Ini juga pertama kalinya Kakak mau natap aku lagi."
***
Canggung sekali usai aku dan Kak Vigomakan berdua semalam. Ucapankulah yang berperan besar. Soal Kak Vigo yang baru mau menatapku setelah sekian lama.Bodoh sekali, ya, aku berkata begitu? Aku juga tak habis pikir dengan diriku sendiri.Kecanggungan yang dimulai semalam pun terus bertahan hingga pagi ini. Saat Kak Vigo duduk di sisiku ketika sarapan."Papa sama Fafa pergi naik apa ke sekolah?" Kak Vigo buka suara seraya mengolesi rotinya dengan selai coklat. Aneh. Seingatku Kak Vigo tak suka selai coklat."Pinjam motor Pak Kusno sebentar," jawab Papa yang baru saja tiba dan menempati kursinya."Mama mana?" tanyaku."Lagi mandiin Yugo sama Yugi," sahut Papa.Aku terkejut saat Kak Vigo tiba-tiba meletakan setangkup roti yang baru ia beri selai di piringku. Aku pun segera menoleh, dan menemukan kakak laki-lakiku itu sudah sibuk mengolesi r
Sepulang sekolah aku dikejutkan dengan kehadiran Miss Zia. Padahal Papa bilang wanita itu baru akan datang nanti sore. Namun saat tengah hari pun belum sampai, Miss Zia sudah tiba di sini.Dulu aku biasa saja pada Miss Zia. Ya, seperti melihat pengasuh adik-adikku sebelumnya. Akan tetapi pandanganku berubah ketika aku menyadari bila ada interaksi yang aneh antara Papa dan Miss Zia. Aku tak pernah memergoki mereka melakukan "sesuatu". Tapi aku merasakan ada "sesuatu"."Sudah sampai Miss Zia?" tanya Papa dengan sumringahnya sesaat setelah turun dari motor.Miss Zia yang sedang duduk di salah satu anak tangga bersama Yugo dan Yugi segera berdiri dan memamerkan senyum profesional. "Baru sampai, Pak," ujarnya.Lantad mata Miss Zia beralih padaku yang tengah mengurai tali pengaman helmku. Mulutnya baru saja terbuka untuk melontaskan entah-apa, namun aku sudah lebih dulu beranjak pergi mendaki tangga dan melewati
"Memangnya Kakak galauin siapa?" "Kamu." Aku membeku. Nyaris secara harfiah aku membeku mendengar jawabab kakakku itu. Badanku kaku, lidahku kelu, otakku beku. Dan kukira itu puncaknya. Namun ternyata aku salah besar. Sepuluh detik dari beku karena "kamu", sesuatu menyentuh pipiku. Cup. Iya, Kak Vigo mengecup pipiku! Katakanlah aku lebay, namun jika kau tahu bagaimana hubunganku dan kakakku sebelum pindah kemari, kau akan sama terkejutnya denganku. Aku dan kak Vigo nyaris tak saling bicara selama bertahun-tahun, dan kini dia bersikap seolah waktu bertahun-tahun minim interaksi itu tak pernah ada. Seolah kami meloncat dari masa kanak-kanak—di mana ia sering memeluk dan menciumku, ke masa sekarang— saat kami sudah di ambang dewasa. "Gemes banget, sih, adeknya Kakak kaget gitu. Kayak cewek yang baru pertama kali digombalin cowok," kekeh Kak Vigo. "Atau memang baru pertama kali?
"Tunggu di mobil bentar, ya," ujar Kak Vigo ketika aku membuka pintu mobil untuk masuk. Ia pun langsung berlari pergi, meninggalkanku sendiri tanpa alasan. Buk. Aku membanting pintu mobil menutup dengan kencang. Dongkol dengan Kak Vigo yang mengajaknya ke sini. Ya, walaupun aku juga yang salah karena menyerahkan keputusan memilih tempat makan pada kakakku itu. Tapi aku sama sekali tak menyangka Kak Vigo akan sekekanakan ini. Dan sekarang ia entah minggat ke mana. Dasar menyebalkan! Lima menit berlalu. Aku melongok ke jendela, tak tampak batang hidung Kak Vigo, bahkan dari kejauhan. Lima belas menit berlalu. Sekali lagi aku mengintip lewat jendala, sosok Kak Vigo masih nihil. Sebenarnya dia pergi ke mana, sih?! Dua puluh menit berlalu. Aku sudah memegang handle pintu untuk turun dan mencari Kak Vigo. Mendadak aku j
"Jadi, kamu udah gak marah lagi, kan?" tanya Kak Vigo. Matanya tak lepas menatapku yang tengah menyantap mie instan kuah buatannya. "Kan aku udah bilang, aku gak marah, Kak," balasku. Lelah juga ditanya begini berulang kali. Bahkan tadi sebelum aku turun, Kak Vigo beberapa kali mengirimiku pesan dengan bertanyaan yang nyaris serupa: aku marah atau tidak; apa kemarahanku sudah hilang. Awalnya aku masih membalasnya, lama kelamaan aku abaikan saja. Jujur saja, awalnya aku memang marah, walau aku bingung apa alasan sebenarnya aku marah. Tapi itu sudah lama hilang sejak di mobil tadi, sejak di lampu merah tadi, sejak Kak Vigo menatapku selembut tadi. Ya, aku memang agak lemah di hadapan Kak Vigo. Mau marah pun sulit bertahan lama-lama. Dan sekarang, terus-terus ditanyai soal kemarahku begini, aku jadi tergoda untuk kembali marah saja. Biar sekalian saja. "Oke, oke," Kak Vigo menyudahi. "Tapi sebenarnya kamu
Melihat Miss Zia di meja makan, duduk di hadapan Papa, mengobrol pada Mama, sungguh membuatku jijik. Ingin sekali aku menyiram wajahnya itu dengan susu hangat dalam genggamanku ini. Bisa-bisanya wanita jalang itu tersenyum seperti itu pada wanita yang sudah ia khianati. Apa dia tak punya hati? Atau tak punya malu?"Yugo, makannya pelan-pelan, Sayang," tegur Miss Zia saat Yugo memasukan sepotong besar roti ke dalam mulutnya."Iya, Jagoan," timpal Papa, mengusap kepala Yugo yang duduk di sisinya. "Dengerin kata Miss Zia."Apa-apaan itu?! Mereka sedang cosplay jadi pasangan suami-istri?Aku melirik Mama yang tampaknya suasana hatinya masih seburuk kemarin. Wajahnya yang dipoles riasan sederhana itu tampak muram."Yugi, makanannya jangan dimainin gitu," tegur Mama pada Yugi yang duduk di sininya. Apa yang dilakukan Yugi memang bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Yugo. Se
"Halo semuanya," sapaku malu-malu. Jujur saja, aku bukanlah tipe murid penuh percaya diri yang saat diberi kesempatan untuk berdiri di depan kelas, akan menikmati setiap perhatian yang tercurah padanya. Jadi, perkenalan diri yang tengah kulakukan ini membuatku gugup luar biasanya."Haiiiiiiii!" seru teman sekelasku yang baru dengan hebosnya. Beberapa murid laki-laki bahkan saling bersiul-siul, membuat wali kelas yang sudah uzur buru-buru mengangkat tangannya, memberi tanda agar murid-murid kembali tertib supaya aku bisa melanjutkan perkenalan diriku.Setelah kelas tenang kembali, aku pun lanjut berkata, "Perkenalkan nama saya Zlaffa Rudianta. Kalian bisa memanggil saya Fafa." Aku menambahkan nama panggilanku di rumah karena teringat saat Arka kesulitan mengingat dan menyebut namaku. Sehingga aku berpikir untuk memberitahu nama panggilan yang akan membuat mereka lebih mudah untuk mengingat dan menyebut namaku. "Saya adalah murid pindahan dari salah satu SMA swasta di Jakarta. Saya pinda