"Tunggu di mobil bentar, ya," ujar Kak Vigo ketika aku membuka pintu mobil untuk masuk. Ia pun langsung berlari pergi, meninggalkanku sendiri tanpa alasan.
Buk.
Aku membanting pintu mobil menutup dengan kencang. Dongkol dengan Kak Vigo yang mengajaknya ke sini. Ya, walaupun aku juga yang salah karena menyerahkan keputusan memilih tempat makan pada kakakku itu. Tapi aku sama sekali tak menyangka Kak Vigo akan sekekanakan ini. Dan sekarang ia entah minggat ke mana. Dasar menyebalkan!
Lima menit berlalu.
Aku melongok ke jendela, tak tampak batang hidung Kak Vigo, bahkan dari kejauhan.
Lima belas menit berlalu.
Sekali lagi aku mengintip lewat jendala, sosok Kak Vigo masih nihil. Sebenarnya dia pergi ke mana, sih?!
Dua puluh menit berlalu.
Aku sudah memegang handle pintu untuk turun dan mencari Kak Vigo. Mendadak aku jadi khawatir. Hilang sudah ke marahanku sama sekali. Kak Vigo tadi hanya izin sebentar. Kukira ia akan kembali dalam lima menit, namun seteleh dua puluh menit dia belum kunjung kembali juga.
Begitu turun, aku segera mengedarkan pandangku, mencari petunjuk di manakah Kak Vigo berada. Nihil. Aku tak menemukannya di mana pun.
Kupacu langkahku ke sembarang arah. Kuingat-ingat warna dan jenis baju Kak Vigo. Namun masih tak kutemu barang sepetak punggungnya pun. Lantas aku berputar dan mencari ke arah lain. Dari kejauhan aku dapat melihat plang minimarket. Dengan pikiran bahwa mungkin Kak Vigo tadi izin pergi ke sana untuk membeli sesuatu, aku segera menuju ke mini market itu.
Dugaanku tepat. Kak Vigo ada di sana. Berdiri di sudut halaman mini market. Ada plastik putih besar menggantung di ujung jemarinya dan... seorang wanita dalam dekapannya.
Hatiku mencelus. Dadaku terasa panas. Ada ketidaksukaan yang menyala di dalam diriku. Sebelum aku berbalik dan beranjak pergi, sempat kutangkap tatap terkejut Kak Vigo melihat kemunculanku.
BUK!
Keras-keras aku membanting pintu, lalu menghempaskan punggungku pada sandaran kursi. Napasku memburu, entah karena langkahku yang tadi terburu atau kemarahanku yang mendadak menderu.
Tapi—kenapa aku marah? Apa alasanku sampai jadi marah begini? Karena Kak Vigo membiarku menunggu lama sementara dia sedang asyik-asyikan bermesraan dengan pacarnya? Atau... aku marah karena melihat Kak Vigo sedang asyik-asyikan bermesraan dengan pacarnya saja?
Ah, entahlah! Yang jelas aku marah. Pokoknya marah saja. Masa bodoh apa alasannya.
Selang beberapa saat kemudian, Kak Vigo sudah kembali ke mobil. Aku mengabaikannya saja, melirik sekali pun tidak.
"Maaf, ya, Fa, Kakak perginya kelamaan."
Aku dia saja.
"Nih, tebusan karena udah mau nemenin Kakak makan di sini," kata Kak Vigo, meletakkan plastik besar mini market di pangkuanku, membuatku menduga ada ea krim di sana. Sebab ada sesuatu yang dingin menyentuh pahaku. "Jajanan kesukaan kamu masih sama, kan?" tanyanya, seraya menyalakan mobil dan menjauhi pelataran outlet bakso tersebut.
Plastik di pangkuanku kuanggurkan saja, tak kuusik sama sekali. Aku sebenarnya penasaran apa dengan yang dibeli Kak Vigo. Apa dia masih ingat camilan favoritku. Namun aku ingat jika aku masih marah, jadi gengsi saja bila luluh terlalu cepat.
"Kamu tadi nyariin Kakak, ya, Fa?"
Aku masih diam saja.
"Kenapa gak sekalian nyamperin? Kanapa langsung pergi gitu aja? Kakak jadi mikir kamu marah, tahu."
Memang! Aku marah, Kak, ucapku dalam benak. Sedangkan kalimat yang keluar dari bibirku hanya, "Gak mau ganggu orang pacaran," dengan nada ketus.
"Bukan pacar, tapi mantan."
"Mantan kok peluk-pelukan," sindirku.
"Ya... dianya masih belum terima Kakak putusin. Jadi masih suka nemplok-nemplok tiap ketemu."
"Berarti dianya masih sayang, kenapa diputusin coba?" sahutku sok skeptis, padahal ada secercah kesenangan yang tumbuh pasca pernyataan Kak Vigo itu.
"Karena Kakak baik."
Aku hanya mendengus.
"Kamu kenapa, sih? Marah?"
"Enggak."
"Kok ketus banget jawabnya kalo gak marah?"
"Kan aku memang gini kalo ngomong. Aku biasa aja kok."
"Bohong," bantah Kak Vigo. "Fafanya Kakak itu kalo ngomong lembut, gak ketus kayak gini," tambahnya. Alasannya itu sungguh masuk akal. Normalnya aku memang berbicara dengan cukup lembut kepada siapapun, apalagi pada Kak Vigo. "Dan lagi," mobil berhenti karena lampu lalu lintas berubah merah, dan kedua tangan Kak Vigo pun menangkup wajahku sehingga mau tak mau aku harus menatapnya, "Fafa itu kalo diajak ngomong pasti natap lawan bicaranya."
"Aku gak marah, kok," ujarku pelan. Sudah kutinggalkan nada ketusku. Mana bisa aku bicara ketua pada Kak Vigo jika dia menatapku selembut dan seteduh itu. Yang ada jantungku malah berontak ingin lepas dari sangkarnya; aku berdebar parah.
"Terus apa?" Kak Vigo menyeringai. "Kesel?"
"Enggak."
"Bohong," balas Kak Vigo, seraya menoel puncak hidungku dengan ujung telunjuknya. Lalu ia kembali memandang ke depan, sebab lampu sudah kembali hijau; mobil kembali memacu rodanya di atas jalanan sore yang ramai.
"Kamu pasti marah karena Kakak bikin kamu nunggu lama, kan?"
"Enggak."
"Kalo gitu, kamu masih marah karena Kakak ajak ke kedai bakso?"
"Enggak, Kak," sanggahku.
"Atau jangan-jangan kamu marah karena ngelihat Kakak pelukan sama cewek lain?"
"Enggaklah!" bantahku cepat. Saking cepatnya, Kak Vigo langsung menoleh padaku dengan alis terangkat.
"Iya, iya," balasnya diiringi tawa. Tangannya pun singgah untuk mengusap puncak kepalaku singkat.
***
Mama sudah menunggu di depan kantornya saat aku dan Kak Vigo tiba. Wajahnya nampak kecut. Mungkin harinya sedang tak lancar di kantor. Atau mungkin ia kalah dalam sidangnya kali ini.
"Nanti singgah buat beli makanan dulu, Kak," ujar Mama sesaat setelah mobil keluar dari parkiran gedung kantornya.
"Mau beli makan apa?"
"Terserah, kalian mau makan apa," jawab Mama.
"Capek ya, Ma?" Aku menoleh ke belakang, pada Mama yang baru saja merebahkan kepalanya pada sandaran kursi.
"Mm," gumam Mama.
"Mama mau minum gak?" tawarku.
"Enggak," jawab Mama.
"Oke."
Sisa perjalanan itu berlangsung hening. Aku dan Kak Vigo sama-sama paham untuk tak membuat keributan karena Mama tengah terlelap di kursi belakang. Sehingga kami hanya sesekali saling lirik. Selain itu tak ada percakapan sama sekali, kecuali saat Kak Vigo turun ke sebuah kedai makan padang dan menanyakanku ingin lauk apa, yang kujawab terserah karena aku memang sedang tak ingin makan apapun.
Di rumah pun keheningan masih terus berlanjut. Hingga aku memutuskan untuk melewatkan makan malam dan naik ke kamarku lebih cepat. Kutinggalkan jajanan yang dibelikan Kak Vigo untuk si Kembar agar mereka tak merecoki Mama yang tampaknya sangat butuh ketenangan untu istirahat.
Di kamar, tak banyak yang kukerjakan. Hanya goleran di kasur seraya bermain ponsel. Tak ada tugas sekolah yang harus kukerjakan mengingat besok baru hari pertamaku masuk sekolah. Hanya saja sejak tadi pikiranku sibuk beralih dari postingan-postingan di layar ponsel ke pertanyaan Kak Vigo di mobil tadi.
Malam kian larut, namun mataku masih enggak terkatup. Yang ada perutku malah meronta, menuntut sesauatu untuk santap. Jadilah aku terpaksa turun ke dapur.
Pelan-pelan aku bergerak ke sana kemari di dapur temaram itu. Bahkan ketika meletakkan panci berisi air dan menyalakan kompor memanaskan untuk memask mie instan saja aki hati-hati sekali. Aku tak ada yang terbangun karena suara yang kucipta.
"Ngapain?"
Nyaris saja aku terjungkal zaking terkejutnya karena pertanyaan yang dibisikkan di telingaku itu.
"Kaget, ya?" tanya Kak Vigo dengan raut bersalah.
"Enggap pa-pa, kok," balasku. "Kakak ngapain di sini?"
"Mau minum. Kamu mau ngapain manasin air?"
"Masak mie," ujarku. "Laper."
"Makanya kalo disuruh makan itu makan," omel Kak Vigo.
"Ya, tadi kan gak laper," sungutku.
"Mau masak mie yang mana? Biar Kakak masakin. Sana duduk aja."
"Gak usah, biar aku aja. Kakak minum aja. Kan katanya tadi mau minum."
Cepat-cepat Kak Vigo menyambar gelas dan mengisinya dengan air lalu menandaskannya dalam beberapa detik.
"Udah minumnya. Mau masak mie yang mana."
Aku mendesah pasrah dan menunjuk salah satu mie yang tersusun di rak dapur.
"Ya udah, sana duduk!" perintah Kak Vigo.
Tanpa mencoba membantah lagi, segera kutempati salah satu kursi yang menghadap pada meja bundar besar.
"Mau pakek telor, gak?" tawar Kak Vigo.
"Mau," sahutku.
"Sayur?"
"Mau."
"Bakso?"
"Mau juga."
"Jalan-jalan abis makan mau juga?"
"Eh?" tanyaku. Keningku mengernyit; bingung.
"Jalan-jalan. Cari angin. Abis makan nanti."
"Ke mana?"
"Di sekitar sini aja. Mau, gak?"
"Emang gak ngeri jalan-jalan malem gini? Daerah sini kan sepi."
Kak Vigo menoleh bersama senyuman pongah. Tangannya menepuk-nepuk dadanya. "Kan sama Kakak. Jadi, pasti aman."
"Ya udah, deh."
"Ya udah apa?" goda Kak Vigo.
"Ya udah, mau jalan-jalan sama Kak Vigo."
"Bagus!"
***
"Jadi, kamu udah gak marah lagi, kan?" tanya Kak Vigo. Matanya tak lepas menatapku yang tengah menyantap mie instan kuah buatannya. "Kan aku udah bilang, aku gak marah, Kak," balasku. Lelah juga ditanya begini berulang kali. Bahkan tadi sebelum aku turun, Kak Vigo beberapa kali mengirimiku pesan dengan bertanyaan yang nyaris serupa: aku marah atau tidak; apa kemarahanku sudah hilang. Awalnya aku masih membalasnya, lama kelamaan aku abaikan saja. Jujur saja, awalnya aku memang marah, walau aku bingung apa alasan sebenarnya aku marah. Tapi itu sudah lama hilang sejak di mobil tadi, sejak di lampu merah tadi, sejak Kak Vigo menatapku selembut tadi. Ya, aku memang agak lemah di hadapan Kak Vigo. Mau marah pun sulit bertahan lama-lama. Dan sekarang, terus-terus ditanyai soal kemarahku begini, aku jadi tergoda untuk kembali marah saja. Biar sekalian saja. "Oke, oke," Kak Vigo menyudahi. "Tapi sebenarnya kamu
Melihat Miss Zia di meja makan, duduk di hadapan Papa, mengobrol pada Mama, sungguh membuatku jijik. Ingin sekali aku menyiram wajahnya itu dengan susu hangat dalam genggamanku ini. Bisa-bisanya wanita jalang itu tersenyum seperti itu pada wanita yang sudah ia khianati. Apa dia tak punya hati? Atau tak punya malu?"Yugo, makannya pelan-pelan, Sayang," tegur Miss Zia saat Yugo memasukan sepotong besar roti ke dalam mulutnya."Iya, Jagoan," timpal Papa, mengusap kepala Yugo yang duduk di sisinya. "Dengerin kata Miss Zia."Apa-apaan itu?! Mereka sedang cosplay jadi pasangan suami-istri?Aku melirik Mama yang tampaknya suasana hatinya masih seburuk kemarin. Wajahnya yang dipoles riasan sederhana itu tampak muram."Yugi, makanannya jangan dimainin gitu," tegur Mama pada Yugi yang duduk di sininya. Apa yang dilakukan Yugi memang bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Yugo. Se
"Halo semuanya," sapaku malu-malu. Jujur saja, aku bukanlah tipe murid penuh percaya diri yang saat diberi kesempatan untuk berdiri di depan kelas, akan menikmati setiap perhatian yang tercurah padanya. Jadi, perkenalan diri yang tengah kulakukan ini membuatku gugup luar biasanya."Haiiiiiiii!" seru teman sekelasku yang baru dengan hebosnya. Beberapa murid laki-laki bahkan saling bersiul-siul, membuat wali kelas yang sudah uzur buru-buru mengangkat tangannya, memberi tanda agar murid-murid kembali tertib supaya aku bisa melanjutkan perkenalan diriku.Setelah kelas tenang kembali, aku pun lanjut berkata, "Perkenalkan nama saya Zlaffa Rudianta. Kalian bisa memanggil saya Fafa." Aku menambahkan nama panggilanku di rumah karena teringat saat Arka kesulitan mengingat dan menyebut namaku. Sehingga aku berpikir untuk memberitahu nama panggilan yang akan membuat mereka lebih mudah untuk mengingat dan menyebut namaku. "Saya adalah murid pindahan dari salah satu SMA swasta di Jakarta. Saya pinda
Kukira rumah ini peninggalan Belanda pada era kolonialisme dulu. Rupanya, gayanya, kuno sekali. Besar dan indah sebetulnya, tapi karena kekunoannya itu jadi terlihat agak seram.Itulah yang kupikirkan ketika melihat rumah di depanku ini. Rumah lama nenek dan kakekku. Jangan tanya kenapa aku, kedua orang tuaku, kakakku, beserta kedua adik kembarku ada di sini. Sebab pertanyaan itu agak sensitif bagi telinga orang tuaku."Sini Kakak bawain kopernya," ujar kakakku pertamaku, Kak Vigo.Dengan senang hati aku merelakan koperku untuk di tarik oleh Kak Vigo, sementara aku mengekor di belakangnya bersama ibu dan si kembar—Yugo dan Yugi. Terpisah jauh dengan papa yang memimpin di depan.Kulirik mama yang berwajah masam, diapit kedua adikku yang nampak muram. Ketiga orang itu adalah golongan yang paling tak bersemangat pindah ke sini. Alasan mama karena tempat ini jauh dari kejaksaan wilayah tempa
Canggung sekali usai aku dan Kak Vigomakan berdua semalam. Ucapankulah yang berperan besar. Soal Kak Vigo yang baru mau menatapku setelah sekian lama.Bodoh sekali, ya, aku berkata begitu? Aku juga tak habis pikir dengan diriku sendiri.Kecanggungan yang dimulai semalam pun terus bertahan hingga pagi ini. Saat Kak Vigo duduk di sisiku ketika sarapan."Papa sama Fafa pergi naik apa ke sekolah?" Kak Vigo buka suara seraya mengolesi rotinya dengan selai coklat. Aneh. Seingatku Kak Vigo tak suka selai coklat."Pinjam motor Pak Kusno sebentar," jawab Papa yang baru saja tiba dan menempati kursinya."Mama mana?" tanyaku."Lagi mandiin Yugo sama Yugi," sahut Papa.Aku terkejut saat Kak Vigo tiba-tiba meletakan setangkup roti yang baru ia beri selai di piringku. Aku pun segera menoleh, dan menemukan kakak laki-lakiku itu sudah sibuk mengolesi r
Sepulang sekolah aku dikejutkan dengan kehadiran Miss Zia. Padahal Papa bilang wanita itu baru akan datang nanti sore. Namun saat tengah hari pun belum sampai, Miss Zia sudah tiba di sini.Dulu aku biasa saja pada Miss Zia. Ya, seperti melihat pengasuh adik-adikku sebelumnya. Akan tetapi pandanganku berubah ketika aku menyadari bila ada interaksi yang aneh antara Papa dan Miss Zia. Aku tak pernah memergoki mereka melakukan "sesuatu". Tapi aku merasakan ada "sesuatu"."Sudah sampai Miss Zia?" tanya Papa dengan sumringahnya sesaat setelah turun dari motor.Miss Zia yang sedang duduk di salah satu anak tangga bersama Yugo dan Yugi segera berdiri dan memamerkan senyum profesional. "Baru sampai, Pak," ujarnya.Lantad mata Miss Zia beralih padaku yang tengah mengurai tali pengaman helmku. Mulutnya baru saja terbuka untuk melontaskan entah-apa, namun aku sudah lebih dulu beranjak pergi mendaki tangga dan melewati
"Memangnya Kakak galauin siapa?" "Kamu." Aku membeku. Nyaris secara harfiah aku membeku mendengar jawabab kakakku itu. Badanku kaku, lidahku kelu, otakku beku. Dan kukira itu puncaknya. Namun ternyata aku salah besar. Sepuluh detik dari beku karena "kamu", sesuatu menyentuh pipiku. Cup. Iya, Kak Vigo mengecup pipiku! Katakanlah aku lebay, namun jika kau tahu bagaimana hubunganku dan kakakku sebelum pindah kemari, kau akan sama terkejutnya denganku. Aku dan kak Vigo nyaris tak saling bicara selama bertahun-tahun, dan kini dia bersikap seolah waktu bertahun-tahun minim interaksi itu tak pernah ada. Seolah kami meloncat dari masa kanak-kanak—di mana ia sering memeluk dan menciumku, ke masa sekarang— saat kami sudah di ambang dewasa. "Gemes banget, sih, adeknya Kakak kaget gitu. Kayak cewek yang baru pertama kali digombalin cowok," kekeh Kak Vigo. "Atau memang baru pertama kali?