"Memangnya Kakak galauin siapa?"
"Kamu."
Aku membeku. Nyaris secara harfiah aku membeku mendengar jawabab kakakku itu. Badanku kaku, lidahku kelu, otakku beku. Dan kukira itu puncaknya. Namun ternyata aku salah besar. Sepuluh detik dari beku karena "kamu", sesuatu menyentuh pipiku.
Cup.
Iya, Kak Vigo mengecup pipiku! Katakanlah aku lebay, namun jika kau tahu bagaimana hubunganku dan kakakku sebelum pindah kemari, kau akan sama terkejutnya denganku. Aku dan kak Vigo nyaris tak saling bicara selama bertahun-tahun, dan kini dia bersikap seolah waktu bertahun-tahun minim interaksi itu tak pernah ada. Seolah kami meloncat dari masa kanak-kanak—di mana ia sering memeluk dan menciumku, ke masa sekarang— saat kami sudah di ambang dewasa.
"Gemes banget, sih, adeknya Kakak kaget gitu. Kayak cewek yang baru pertama kali digombalin cowok," kekeh Kak Vigo. "Atau memang baru pertama kali?"
"Apaan, sih," rajukku. Entah mengapa aku merasa tak nyaman—seperti kecewa. Menyadari bila Kak Vigo hanya bermaksud menggodaku serta tak serius dengan ucapannya. Dan bahwasannya kecupannya itu hanya sebentuk ekspresi gemas kakak terhadap adiknya.
"Gak mungkin bangetlah adeknya Kakak yang secantik ini belum pernah digombalin cowok," ujar Kak Vigo mencubit hidungku.
"Seringlah!" sahutku, mencoba mengenyahkan perasaan aneh yang kian menggerogoti. "Memangnya Kakak aja yang populer di sekolah. Aku juga, tahu!"
"Iya deh yang populer di sekolah," ejek Kak Vigo.
Perlahan, suasana di antara kami cair kembali. Lama kami tinggal dan bersenda gurau di sana. Melupakan rumah juga pulang untuk sementara. Dan selama itu pula, tautan jemari di antara kami tak terpisah.
***
Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat layar ponselku menyala. Segera aku meraihnya, dan menemukan nama Kak Vigo tertera di sana. Tanpa kusadari, senyumku terkembang membaca pesannya.
Kak Vigo: Mau ikut jemput Mama, gak?
Zlaffa: Mauuuu.
Kak Vigo: Kakak tunggu di bawah.
Setelah membalas 'ok', aku segera mencari pakaian untuk dikenakan. Karena tak ingin membuat Kak Vigo menunggu lama, kupilih baju secara acak: sebuah dress selutut berbahan ringan sewarna lavender.
Agak ajaib bagaimana aku bisa mengeringkan rambut dengan satu tangan sementara tangan lainnya sibuk memoles wajah dengan rangkaian perawatan wajah dan make up sederhana. Hingga kurang dari sepuluh menit sejak pesan terakhir dari Kak Vigo aku sudah menuruni tangga dengan sepasang kaki terbungkus Converse putih.
Setibanya di bawah, kudapati Kak Vigo sudah menunggu di beranda. Kakak laki-lakiku itu mengenakan jaket berwarna putih dipadu dengan jeans dan kaos berwarna hitam senada. Dia tersenyum saat melihatku melangkah menujunya.
"Papa mana?" tanyaku.
"Di belakang, nemenin Yugo sama Yugi main," jawab Kak Vigo. Matanya masih lekat memandangku. "Kakak udah izin kok buat jemput Mama bareng kamu. Jadi langsung berangkat aja."
"Sama Miss Zia?"
"Apanya?"
"Papa di belakang."
Kak Vigo hanya mengangguk ringan.
Seketika aku mencibir. Suasana hati yang tadi terbangun baik karena ajakan Kak Vigo, sekonyong-konyong rusak karena berita Papa dan Miss Zia menjaga Si kembar berdua. Maksudku—memangnya mereka pasangan suami-istri sampai harus menjaga Yugo dan Yugi berdua? Lagipula, memangnya Papa tak punya pekerjaan?
"Jangan cemberut gitu," tegur Kak Vigo.
"Kenapa memangnya? Aku gak boleh kesel sama mereka berdua?"
"Buka gitu," ujar Kak Vigo sembari mengait tengkukku dengan lengannya, kemudian merangkulku menuruni beranda. "Masalahnya Kakak jadi gemes kalo kamu gitu." Kak Vigo mencubit pipiku keras.
"Ih, Kak! Sakit!" protesku. Sekarang aku menjadi sangsi, ini Kak Vigo memang gemas atau sebenarnya kesal denganku.
"Sori, sori," Kak Vigo menghentikan langkahnya lalu buru-buru minta maaf. "Mana yang sakit?"
Aku menunjuk pipiku yang terasa berdenyut. "Ini."
Cup.
"Masih sakit gak?"
Aku mematung. Jangankan sakit, aku saja sudah tak berpijak rasanya.
Cup.
"Masih?"
Aku masih bungkam. Geming tak bergerak. Otakku macet. Apa-apaan ini?
Cup.
"Udah-udah!" jeritku keras, mengalahnya degup jantungku yang berisik.
"Kalo tadi masih diem juga, bukan lagi pipi, tapi bibir kamu kakak—" buru-buru aku membungkam mulut Kak Vigo dengan tanganku aku tak menyelesaikan ucapannya. Lantas segera aku berlari memasuki mobil.
***
"Kita mampir dulu ya," ujar Kak Vigo setelah lama kami saling bungkam. Sebab aku masih sibuk memikirkan kecupan-kecupan Kak Vigo di tangga beranda tadi, sementara Kak Vigo sejak tadi hanya fokus pada jalan.
"Mm," gumamku. "Mau ke mana?"
"Makan. Kakak laper. Lagian Mama masih lama pulangnya."
Aku mengangguk.
"Kamu mau makan apa?"
"Apa aja. Lagian, kan, kakak yang mau makan. Kenapa malah nanya aku?"
"Memang kamu gak mau makan?" tanya Kak Vigo, melirikku sebentar sebelum kembali memandang ke depan.
"Enggak. Aku masih kenyang."
"Kenyang makan apa? Kayaknya kamu belum makan siang tadi."
"Lagi diet," jawabku asal.
"Diet apa sih, udah kurus gitu."
"Mana ada kurus. Aku gendut gini," sanggahku.
"Kamu itu gak ada gendut-gendutnya, Fa." Kak Viga tak menyerah. "Nih, liat," tambahnya, mengangkat penggelangan tanganku yang longgar dilingkari jari telunjuk dan jempolnya. "Pergelangan tangan kamu aja kecil banget."
Aku menatap tangganku dalam genggaman Kak Vigo. Sentuhannya membuatku gugup—tapi senang, entah mengapa. Perutku pun ikut bereaksi, seolah ada yang berkepakkan di sana. Bahkan ketika Kak Vigo tak melepaskan tanganku, malah bergeser menelusupkan jemarinya di antaran jemari mungilku, senyum kecil terbit di sudut bibirku.
"Jadi, mau makan di mana?" lagi, Kak Vigo bertanya.
"Kenapa harus aku yang mutusin? Aku makan apa aja yang Kakak pilih."
"Bener, ya?"
"Iya," sahutku.
Dan tiga puluh menit kemudian aku menyesali keputusanku.
Aku tak menduga Kak Vigo semenyebalkan itu.
Namun, bila kuingat lagi, dulu ketika kami masih kecil Kak Vigo memang tersangka yang selalu membuatku menangis (juga tertawa). Mengingat hal itu membuatku rindu sekaligus sadar sudah seberapa besar mereka tumbuh. Ia sudah di tingkat akhir SMA dan Kak Vigo—bahkan—sudah kuliah. Kami bukan anak-anak lagi.
"Nyebelin, ih!" sungutku ketika Kak Vigo menggandengku memasuki sebuah kedai beraroma pekat kaldu sapi.
"Katanya bakal makan apa aja yang Kakak pilih," sindir Kak Vigo diakhiri kekeh menyebalkan.
"Tapi kan gak di sini juga," rengekku. Sedikit jengkel saat menduduki salah satu kursi plastik yang berwarna biru. "Aku gak mau makanlah!"
"Ya udah, lihat Kakak makan aja, nanti juga kamu kenyang."
Aku hanya menatap heran Kak Vigo sebagai respon atas kalimat antipatinya itu.
"Kan katanya kalo kita lihat orang yang kita suka makan, kita bakalan ikut kenyang."
"Suka?" Aku mengernyit, hilang fokus atas maksud ucapan Kakak Vigo. Ada gelenyar aneh di perutku, ada debar keras di dadaku.
"Ehm... suka... sebagai kakak," ujar Kak Vigo seraya menggaruk rahangnya. Matanya lari dari tatapanku, padahal sejak tadi ia tak lepas memandangku. "Memang kamu gak suka Kakak jadi kakak kamu?"
"Suka..." ujarku pelan. Anehnya aku merasa kecewa.
***
"Tunggu di mobil bentar, ya," ujar Kak Vigo ketika aku membuka pintu mobil untuk masuk. Ia pun langsung berlari pergi, meninggalkanku sendiri tanpa alasan. Buk. Aku membanting pintu mobil menutup dengan kencang. Dongkol dengan Kak Vigo yang mengajaknya ke sini. Ya, walaupun aku juga yang salah karena menyerahkan keputusan memilih tempat makan pada kakakku itu. Tapi aku sama sekali tak menyangka Kak Vigo akan sekekanakan ini. Dan sekarang ia entah minggat ke mana. Dasar menyebalkan! Lima menit berlalu. Aku melongok ke jendela, tak tampak batang hidung Kak Vigo, bahkan dari kejauhan. Lima belas menit berlalu. Sekali lagi aku mengintip lewat jendala, sosok Kak Vigo masih nihil. Sebenarnya dia pergi ke mana, sih?! Dua puluh menit berlalu. Aku sudah memegang handle pintu untuk turun dan mencari Kak Vigo. Mendadak aku j
"Jadi, kamu udah gak marah lagi, kan?" tanya Kak Vigo. Matanya tak lepas menatapku yang tengah menyantap mie instan kuah buatannya. "Kan aku udah bilang, aku gak marah, Kak," balasku. Lelah juga ditanya begini berulang kali. Bahkan tadi sebelum aku turun, Kak Vigo beberapa kali mengirimiku pesan dengan bertanyaan yang nyaris serupa: aku marah atau tidak; apa kemarahanku sudah hilang. Awalnya aku masih membalasnya, lama kelamaan aku abaikan saja. Jujur saja, awalnya aku memang marah, walau aku bingung apa alasan sebenarnya aku marah. Tapi itu sudah lama hilang sejak di mobil tadi, sejak di lampu merah tadi, sejak Kak Vigo menatapku selembut tadi. Ya, aku memang agak lemah di hadapan Kak Vigo. Mau marah pun sulit bertahan lama-lama. Dan sekarang, terus-terus ditanyai soal kemarahku begini, aku jadi tergoda untuk kembali marah saja. Biar sekalian saja. "Oke, oke," Kak Vigo menyudahi. "Tapi sebenarnya kamu
Melihat Miss Zia di meja makan, duduk di hadapan Papa, mengobrol pada Mama, sungguh membuatku jijik. Ingin sekali aku menyiram wajahnya itu dengan susu hangat dalam genggamanku ini. Bisa-bisanya wanita jalang itu tersenyum seperti itu pada wanita yang sudah ia khianati. Apa dia tak punya hati? Atau tak punya malu?"Yugo, makannya pelan-pelan, Sayang," tegur Miss Zia saat Yugo memasukan sepotong besar roti ke dalam mulutnya."Iya, Jagoan," timpal Papa, mengusap kepala Yugo yang duduk di sisinya. "Dengerin kata Miss Zia."Apa-apaan itu?! Mereka sedang cosplay jadi pasangan suami-istri?Aku melirik Mama yang tampaknya suasana hatinya masih seburuk kemarin. Wajahnya yang dipoles riasan sederhana itu tampak muram."Yugi, makanannya jangan dimainin gitu," tegur Mama pada Yugi yang duduk di sininya. Apa yang dilakukan Yugi memang bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Yugo. Se
"Halo semuanya," sapaku malu-malu. Jujur saja, aku bukanlah tipe murid penuh percaya diri yang saat diberi kesempatan untuk berdiri di depan kelas, akan menikmati setiap perhatian yang tercurah padanya. Jadi, perkenalan diri yang tengah kulakukan ini membuatku gugup luar biasanya."Haiiiiiiii!" seru teman sekelasku yang baru dengan hebosnya. Beberapa murid laki-laki bahkan saling bersiul-siul, membuat wali kelas yang sudah uzur buru-buru mengangkat tangannya, memberi tanda agar murid-murid kembali tertib supaya aku bisa melanjutkan perkenalan diriku.Setelah kelas tenang kembali, aku pun lanjut berkata, "Perkenalkan nama saya Zlaffa Rudianta. Kalian bisa memanggil saya Fafa." Aku menambahkan nama panggilanku di rumah karena teringat saat Arka kesulitan mengingat dan menyebut namaku. Sehingga aku berpikir untuk memberitahu nama panggilan yang akan membuat mereka lebih mudah untuk mengingat dan menyebut namaku. "Saya adalah murid pindahan dari salah satu SMA swasta di Jakarta. Saya pinda
Kukira rumah ini peninggalan Belanda pada era kolonialisme dulu. Rupanya, gayanya, kuno sekali. Besar dan indah sebetulnya, tapi karena kekunoannya itu jadi terlihat agak seram.Itulah yang kupikirkan ketika melihat rumah di depanku ini. Rumah lama nenek dan kakekku. Jangan tanya kenapa aku, kedua orang tuaku, kakakku, beserta kedua adik kembarku ada di sini. Sebab pertanyaan itu agak sensitif bagi telinga orang tuaku."Sini Kakak bawain kopernya," ujar kakakku pertamaku, Kak Vigo.Dengan senang hati aku merelakan koperku untuk di tarik oleh Kak Vigo, sementara aku mengekor di belakangnya bersama ibu dan si kembar—Yugo dan Yugi. Terpisah jauh dengan papa yang memimpin di depan.Kulirik mama yang berwajah masam, diapit kedua adikku yang nampak muram. Ketiga orang itu adalah golongan yang paling tak bersemangat pindah ke sini. Alasan mama karena tempat ini jauh dari kejaksaan wilayah tempa
Canggung sekali usai aku dan Kak Vigomakan berdua semalam. Ucapankulah yang berperan besar. Soal Kak Vigo yang baru mau menatapku setelah sekian lama.Bodoh sekali, ya, aku berkata begitu? Aku juga tak habis pikir dengan diriku sendiri.Kecanggungan yang dimulai semalam pun terus bertahan hingga pagi ini. Saat Kak Vigo duduk di sisiku ketika sarapan."Papa sama Fafa pergi naik apa ke sekolah?" Kak Vigo buka suara seraya mengolesi rotinya dengan selai coklat. Aneh. Seingatku Kak Vigo tak suka selai coklat."Pinjam motor Pak Kusno sebentar," jawab Papa yang baru saja tiba dan menempati kursinya."Mama mana?" tanyaku."Lagi mandiin Yugo sama Yugi," sahut Papa.Aku terkejut saat Kak Vigo tiba-tiba meletakan setangkup roti yang baru ia beri selai di piringku. Aku pun segera menoleh, dan menemukan kakak laki-lakiku itu sudah sibuk mengolesi r
Sepulang sekolah aku dikejutkan dengan kehadiran Miss Zia. Padahal Papa bilang wanita itu baru akan datang nanti sore. Namun saat tengah hari pun belum sampai, Miss Zia sudah tiba di sini.Dulu aku biasa saja pada Miss Zia. Ya, seperti melihat pengasuh adik-adikku sebelumnya. Akan tetapi pandanganku berubah ketika aku menyadari bila ada interaksi yang aneh antara Papa dan Miss Zia. Aku tak pernah memergoki mereka melakukan "sesuatu". Tapi aku merasakan ada "sesuatu"."Sudah sampai Miss Zia?" tanya Papa dengan sumringahnya sesaat setelah turun dari motor.Miss Zia yang sedang duduk di salah satu anak tangga bersama Yugo dan Yugi segera berdiri dan memamerkan senyum profesional. "Baru sampai, Pak," ujarnya.Lantad mata Miss Zia beralih padaku yang tengah mengurai tali pengaman helmku. Mulutnya baru saja terbuka untuk melontaskan entah-apa, namun aku sudah lebih dulu beranjak pergi mendaki tangga dan melewati