Beranda / Romansa / Rumah Lavender / Kelopak 4 | Suka

Share

Kelopak 4 | Suka

"Memangnya Kakak galauin siapa?"

"Kamu."

Aku membeku. Nyaris secara harfiah aku membeku mendengar jawabab kakakku itu. Badanku kaku, lidahku kelu, otakku beku. Dan kukira itu puncaknya. Namun ternyata aku salah besar. Sepuluh detik dari beku karena "kamu", sesuatu menyentuh pipiku.

Cup.

Iya, Kak Vigo mengecup pipiku! Katakanlah aku lebay, namun jika kau tahu bagaimana hubunganku dan kakakku sebelum pindah kemari, kau akan sama terkejutnya denganku. Aku dan kak Vigo nyaris tak saling bicara selama bertahun-tahun, dan kini dia bersikap seolah waktu bertahun-tahun minim interaksi itu tak pernah ada. Seolah kami meloncat dari masa kanak-kanak—di mana ia sering memeluk dan menciumku, ke masa sekarang— saat kami sudah di ambang dewasa.

"Gemes banget, sih, adeknya Kakak kaget gitu. Kayak cewek yang baru pertama kali digombalin cowok," kekeh Kak Vigo. "Atau memang baru pertama kali?"

"Apaan, sih," rajukku. Entah mengapa aku merasa tak nyaman—seperti kecewa. Menyadari bila Kak Vigo hanya bermaksud menggodaku serta tak serius dengan ucapannya. Dan bahwasannya kecupannya itu hanya sebentuk ekspresi gemas kakak terhadap adiknya.

"Gak mungkin bangetlah adeknya Kakak yang secantik ini belum pernah digombalin cowok," ujar Kak Vigo mencubit hidungku.

"Seringlah!" sahutku, mencoba mengenyahkan perasaan aneh yang kian menggerogoti. "Memangnya Kakak aja yang populer di sekolah. Aku juga, tahu!"

"Iya deh yang populer di sekolah," ejek Kak Vigo.

Perlahan, suasana di antara kami cair kembali. Lama kami tinggal dan bersenda gurau di sana. Melupakan rumah juga pulang untuk sementara. Dan selama itu pula, tautan jemari di antara kami tak terpisah.

***

Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat layar ponselku menyala. Segera aku meraihnya, dan menemukan nama Kak Vigo tertera di sana. Tanpa kusadari, senyumku terkembang membaca pesannya.

Kak Vigo: Mau ikut jemput Mama, gak?

Zlaffa: Mauuuu.

Kak Vigo: Kakak tunggu di bawah.

Setelah membalas 'ok', aku segera mencari pakaian untuk dikenakan. Karena tak ingin membuat Kak Vigo menunggu lama, kupilih baju secara acak: sebuah dress selutut berbahan ringan sewarna lavender.

Agak ajaib bagaimana aku bisa mengeringkan rambut dengan satu tangan sementara tangan lainnya sibuk memoles wajah dengan rangkaian perawatan wajah dan make up sederhana. Hingga kurang dari sepuluh menit sejak pesan terakhir dari Kak Vigo aku sudah menuruni tangga dengan sepasang kaki terbungkus Converse putih.

Setibanya di bawah, kudapati Kak Vigo sudah menunggu di beranda. Kakak laki-lakiku itu mengenakan jaket berwarna putih dipadu dengan jeans dan kaos berwarna hitam senada. Dia tersenyum saat melihatku melangkah menujunya.

"Papa mana?" tanyaku.

"Di belakang, nemenin Yugo sama Yugi main," jawab Kak Vigo. Matanya masih lekat memandangku. "Kakak udah izin kok buat jemput Mama bareng kamu. Jadi langsung berangkat aja."

"Sama Miss Zia?"

"Apanya?"

"Papa di belakang."

Kak Vigo hanya mengangguk ringan.

Seketika aku mencibir. Suasana hati yang tadi terbangun baik karena ajakan Kak Vigo, sekonyong-konyong rusak karena berita Papa dan Miss Zia menjaga Si kembar berdua. Maksudku—memangnya mereka pasangan suami-istri sampai harus menjaga Yugo dan Yugi berdua? Lagipula, memangnya Papa tak punya pekerjaan?

"Jangan cemberut gitu," tegur Kak Vigo.

"Kenapa memangnya? Aku gak boleh kesel sama mereka berdua?"

"Buka gitu," ujar Kak Vigo sembari mengait tengkukku dengan lengannya, kemudian merangkulku menuruni beranda. "Masalahnya Kakak jadi gemes kalo kamu gitu." Kak Vigo mencubit pipiku keras.

"Ih, Kak! Sakit!" protesku. Sekarang aku menjadi sangsi, ini Kak Vigo memang gemas atau sebenarnya kesal denganku.

"Sori, sori," Kak Vigo menghentikan langkahnya lalu buru-buru minta maaf. "Mana yang sakit?"

Aku menunjuk pipiku yang terasa berdenyut. "Ini."

Cup.

"Masih sakit gak?"

Aku mematung. Jangankan sakit, aku saja sudah tak berpijak rasanya.

Cup.

"Masih?"

Aku masih bungkam. Geming tak bergerak. Otakku macet. Apa-apaan ini?

Cup.

"Udah-udah!" jeritku keras, mengalahnya degup jantungku yang berisik.

"Kalo tadi masih diem juga, bukan lagi pipi, tapi bibir kamu kakak—" buru-buru aku membungkam mulut Kak Vigo dengan tanganku aku tak menyelesaikan ucapannya. Lantas segera aku berlari memasuki mobil.

***

"Kita mampir dulu ya," ujar Kak Vigo setelah lama kami saling bungkam. Sebab aku masih sibuk memikirkan kecupan-kecupan Kak Vigo di tangga beranda tadi, sementara Kak Vigo sejak tadi hanya fokus pada jalan.

"Mm," gumamku. "Mau ke mana?"

"Makan. Kakak laper. Lagian Mama masih lama pulangnya."

Aku mengangguk.

"Kamu mau makan apa?"

"Apa aja. Lagian, kan, kakak yang mau makan. Kenapa malah nanya aku?"

"Memang kamu gak mau makan?" tanya Kak Vigo, melirikku sebentar sebelum kembali memandang ke depan.

"Enggak. Aku masih kenyang."

"Kenyang makan apa? Kayaknya kamu belum makan siang tadi."

"Lagi diet," jawabku asal.

"Diet apa sih, udah kurus gitu."

"Mana ada kurus. Aku gendut gini," sanggahku.

"Kamu itu gak ada gendut-gendutnya, Fa." Kak Viga tak menyerah. "Nih, liat," tambahnya, mengangkat penggelangan tanganku yang longgar dilingkari jari telunjuk dan jempolnya. "Pergelangan tangan kamu aja kecil banget."

Aku menatap tangganku dalam genggaman Kak Vigo. Sentuhannya membuatku gugup—tapi senang, entah mengapa. Perutku pun ikut bereaksi, seolah ada yang berkepakkan di sana. Bahkan ketika Kak Vigo tak melepaskan tanganku, malah bergeser menelusupkan jemarinya di antaran jemari mungilku, senyum kecil terbit di sudut bibirku.

"Jadi, mau makan di mana?" lagi, Kak Vigo bertanya.

"Kenapa harus aku yang mutusin? Aku makan apa aja yang Kakak pilih."

"Bener, ya?"

"Iya," sahutku.

Dan tiga puluh menit kemudian aku menyesali keputusanku.

Aku tak menduga Kak Vigo semenyebalkan itu.

Namun, bila kuingat lagi, dulu ketika kami masih kecil Kak Vigo memang tersangka yang selalu membuatku menangis (juga tertawa). Mengingat hal itu membuatku rindu sekaligus sadar sudah seberapa besar mereka tumbuh. Ia sudah di tingkat akhir SMA dan Kak Vigo—bahkan—sudah kuliah. Kami bukan anak-anak lagi.

"Nyebelin, ih!" sungutku ketika Kak Vigo menggandengku memasuki sebuah kedai beraroma pekat kaldu sapi.

"Katanya bakal makan apa aja yang Kakak pilih," sindir Kak Vigo diakhiri kekeh menyebalkan.

"Tapi kan gak di sini juga," rengekku. Sedikit jengkel saat menduduki salah satu kursi plastik yang berwarna biru. "Aku gak mau makanlah!"

"Ya udah, lihat Kakak makan aja, nanti juga kamu kenyang."

Aku hanya menatap heran Kak Vigo sebagai respon atas kalimat antipatinya itu.

"Kan katanya kalo kita lihat orang yang kita suka makan, kita bakalan ikut kenyang."

"Suka?" Aku mengernyit, hilang fokus atas maksud ucapan Kakak Vigo. Ada gelenyar aneh di perutku, ada debar keras di dadaku.

"Ehm... suka... sebagai kakak," ujar Kak Vigo seraya menggaruk rahangnya. Matanya lari dari tatapanku, padahal sejak tadi ia tak lepas memandangku. "Memang kamu gak suka Kakak jadi kakak kamu?"

"Suka..." ujarku pelan. Anehnya aku merasa kecewa.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status