Sepulang sekolah aku dikejutkan dengan kehadiran Miss Zia. Padahal Papa bilang wanita itu baru akan datang nanti sore. Namun saat tengah hari pun belum sampai, Miss Zia sudah tiba di sini.
Dulu aku biasa saja pada Miss Zia. Ya, seperti melihat pengasuh adik-adikku sebelumnya. Akan tetapi pandanganku berubah ketika aku menyadari bila ada interaksi yang aneh antara Papa dan Miss Zia. Aku tak pernah memergoki mereka melakukan "sesuatu". Tapi aku merasakan ada "sesuatu".
"Sudah sampai Miss Zia?" tanya Papa dengan sumringahnya sesaat setelah turun dari motor.
Miss Zia yang sedang duduk di salah satu anak tangga bersama Yugo dan Yugi segera berdiri dan memamerkan senyum profesional. "Baru sampai, Pak," ujarnya.
Lantad mata Miss Zia beralih padaku yang tengah mengurai tali pengaman helmku. Mulutnya baru saja terbuka untuk melontaskan entah-apa, namun aku sudah lebih dulu beranjak pergi mendaki tangga dan melewatinya.
Sikap sok manisnya itu tak akan mempan padaku. Dia kira aku akan menyukainya jika dia bersikap manis? Tentu saja tidak. Bahkan, meskipun Mama kurang menyayangi dan memehatikanku bila dibandingkan kakak atau adik-adikku, aku akan selalu berdiri di pihak Mama dan melindungi segala miliknya, termasuk Papa. Lagipula menurut teman-temanku, anak tengah itu memang seringkali agak terabaikan dibandingkan saudara lainnya. Itu hal biasa menurut mereka. Jadi aku mengamininya saja.
Sesampainya di kamar. Aku segera melempar tas ke tempat tidur dan melepaskan sepatu. Suasana hatiku jadi rusak setelah melihat wajah Miss Zia. Padahal tadi aku agak senang karena sudah mendapatkan teman sekolah baru.
Seraya melangkah mendekati kasur, jemariku dengan lincah mempereteli kancing seragamku. Segera saja kemeja putih itu melayang entah ke mana, yang kemudian disusul rok kotak-kotak serta tanktop putih.
Aku pun berbaring di kasurku yang empuk hanya mengenakan satu set pakaian dalam putih. Mataku baru saja hendak terpejam saat mendengar pintu terbuka dan aku terperanjak karena lupa mengunci pintu.
Aku tersentak duduk, dan menemukan Kak Vigo membeku di ambang pintu. Ada ponsel di tangannya, serta headphone mengepit telinganya. Mata kami sempat saling sapa sebelum...
Brukk!
pintu tertutup.
Tergesa aku melompat dari tempat tidur lalu menyambar apa saja dari lemari dan menutupi tubuh setengah telanjangku. Butuh beberapa saat bagiku untuk menenangkan diri dari rasa kaget bercampur malu sebelum pergi membuka pintu untuk menemui Kak Vigo.
Sayangnya—atau untungnya, Kak Vigo sudah pergi.
Sungguh, aku tak menyangkan akan melalui kejadian memalukan semacam itu. Aku sama sekali lupa mengunci pintu. Terlebih lagi, aku tak mengira Kak Vigo ada di rumah, kukira dia kuliah. Bahkan, kalau pun Kak Vigo ada di rumah dan ingin menemuiku di kamar, biasanya dia selalu mengetuk pintu lebih dulu.
Untuk beberapa saat aku mondar-mandir di depan pintu kamarku. Bingung harus melakukan apa. Menemuikan Kak Vigo dan menanyakan ada apa hingga ke kamarku—namun membayangkannya saja sudah terasa memalukan, apalagi melakukannya. Atau tetap di kamar hingga lupa akan kejadian tadi—yang entah kapan.
Aish!
Memberanikan diri, aku pergi ke depan pintu kamar kakakku, lalu mengetuk pintunya pelan.
"Masuk," terdengar sahutan dari dalam.
Hati-hati sekali aku menekan gangang pintu. Seakan ada bayi yang sedang tertidur di dalam sana, dan aku takut membangunkannya. Padahal kenyataannya, hanya ada Kak Vigo yang tengah duduk bersila di tengah ranjangnya.
"Kak—"
"Maaf," ucap Kak Vigo bersamaan dengan sapaanku.
Kami pun terdiam. Canggung bukan main. Sampai kemudian Kak Vigo turun dari ranjangnya dan berkata, "Mau cari angin, gak?"
Bingung akan perubahan alur pembicaraannya, aku hanya mengangguk kecil dan mengekori Kak Vigo yang melangkah mendahuluiku.
Kami masih hening ketika menuruni tangga lalu menapaki lantai pertama. Barulah ketika Kak Vigo menghentikan langkah lalu berbali memandangku, ia bertanya, "Udah liat ladang belum?"
"Belum," ujarku.
"Mau liat?"
"Boleh," aku menyetujui.
Kak Vigo membukan pintu belakang lalu membiarkanku melangkah keluar lebih dulu. Hari ini cuaca tak begitu cerah, jadi tak terlalu panas di luar. Namun Kak Vigo tetap memasangkan tudung dari hoodie selutut yang kukenakan, menutupi kepala dan sebagian wajahku.
Aku dan Kak Vigo melangkah pelan di antara galangan lavender, membuat betisku tergelitik oleh ujung-ujung bunga berwarna ungu itu.
"Fa," ucap Kak Vigo, "maaf, ya, soal tadi. Kakak gak tahu kamu udah pulang. Jadi Kakak langsung masuk aja."
"Iya, gak pa-pa," balasku. Wajahku terasa panas membayangkan kejadian memalukan tadi. Namun sebaik mungkin aku berlagak bahwa hal tadi bukanlah apa-apa. "Jadi... kakak tadi mau ngapain ke kamarku?"
"Mm... itu... mau pinjam printer. Buat nyetak tugas," jawab Kak Vigo.
"Memangnya punya Kakak di mana?".
"Gak tahu pas packing Kakak taro di kotak mana. Lupa."
"Kakak gak kuliah hari ini? Aku kira kuliah."
"Enggak. Kelasnya dibatalin. Jadi abis anter Mama langsung pulang," ucap Kak Vigo. "Kamu sendiri, gimana sekolah barunya?"
"Lumayan," ujarku, mengingat kembali sekolah baruku. Bangunannya, orang-orangnya, dan insiden hampir ditabrak tadi, juga... Arka.
"Gak langsung belajar?"
"Enggak. Cuma daftar doang. Besok baru mulai sekolah."
Angin berembus kencang sekali. Membuat tudung hoodieku jatuh dari kepala. Semak lavender bergoyang dengan liar, tak kalah riuh dari gerak reranting pepohonan di tepi ladang.
"Kak, itu hutan?" tanyaku, menunjuk pepohonan di tepi ladang.
Kak Vigo mengikuti arah telunjukku. "Iya. Kenapa?"
"Ada hewan buasnya, gak?"
Kak Vigo tertawa. Membuatku bertanya-tanya apa yang lucu. Aku kan bertanya serius. Kendati begitu, aku senang melihatnya tertawa selebar itu. Apalagi karena aku.
"Kita cek, yuk!"
Belum sempat aku menolak, Kak Vigo sudah menaut tanganku dan menarikku pergi ke arah hutan di tepi ladang itu.
Melihat tanganku yang hangat dalam genggamannya membuatku lupa akan keinginan menolak yang belum tersampaikan. Jantungku sibuk berkepak riang. Sementara pikiranku terbang, melayang-layang entah ke mana. Yang jelas, aku gembira.
Sangat gembira.
***
Teduh.
Makin jauh masuk ke dalam hutan, tanah yang kupijak bersama Kak Vigo di sisiku kian lindap. Sebab sinar mentari semakin kesulitan menembus atap pepohonan. Membuat suasana mencekam. Untunglah, tangan Kak Vigo masih menggenggam.
"Kak," aku berbisik.
"Kenapa?" tanya Kak Vigo dengan suara biasa. Namun dalam sunyinya hutan, volume sedang terdengar begitu kencang.
"Jangan keras-keras," desisku.
"Kamu yang ngapain bisik-bisik?"
"Takut ada harimau—"
"Ssttt..." sela Kak Vigo. "Jangan bilang gitu di hutan, gak baik. Nanti dia dateng beneran—kata Kakek."
"Iiiiihhh..." Aku merapat pada kakakku. Melepaskan jemarinya hanya untuk gati mendekap lengannya. "Pulang aja, yuk."
"Nanti, sebentar lagi."
"Tapi aku takut," tuturku.
"Kan ada Kakak," ujar Kak Vigo. Diurainya dekapanku, lalu kembali ia menautkan tangan kami.
"Tapi Kak—"
"Kamu loh yang tadi nanya ada hewan buas atau enggak," Kak Vigo mengingatkan.
"Aku udah gak penasan lagi. Gak mau tahu malah," balasku. "Jadi mending kita pulang sekarang.
"Sebentar lagi."
"Mau ngapain lagi?"
"Gak ada. Jalan-jalan aja sama kamu."
"Jalan-jalan kok di hutan," keluhku.
"Ya, kan di hutan bebas."
"Bebas dari apa?"
"Manusia dan... normanya."
"Norma?" Aku mengernyit. Memangnya Kak Vigo punya masalah dengan norma masyarakat. "Norma apa?"
"Kamu jadi banyak nanya ya," tegur Kak Vigo. "Padahal tadi malu-malu."
Kata "tadi" dari Kak Vigo cukup jadi bahan bakar benakku untuk kembali memutar ingatan memalukan yang belum lama berlalu itu. Membikin darah berpacu cepat menuju kedua belah pipiku yang membara. Dan aku bungkam tak sanggup bicara, atau bahkan mengangkat kepala.
"Sampe," ujar Kak Vigo. Seraya menarik tanganku agar tak terus melaju.
Langkahku terhenti. Kembali kuangkat wajahku setelah lama hanya tertunduk menatap kaki. Dan kudapati di hadapanku sebuah padang rumput hijau berhias bunga-bungan liar berwarna ungu dan merah muda, terang tersiram cahaya. Aku tak menyangka, ada tempat terbuka di tengah hutan lebat semacam ini.
Reda dari perasaan terpesona akan indahnya pemandangan di depanku, aku pun menoleh, menatap kakakku.
"Kakak tahu dari mana ada tempat kayak gini?"
"Gak sengaja nemu semalem."
"Semalem?" tanyaku tak percaya.
"Mm. Semalem Kakak gak bisa tidur, jadi keluar buat lari sebentar. Terus nyampe ke sini."
"Kakak joging malem-malem ke hutan?"
"Ya," angguk Kak Vigo. "Sekalian nenangin pikiran," tambahnya. Lantas jemarinya menghela tanganku menapaki padang rumput berbunga itu
Aku masih tak habis pikir dengan Kak Vigo yang lari ke tengah hutan pada malam hari hanya untuk menenangkan pikiran. Terdengar aneh sekali. Sekacau apa sih pikirannya sampai harus pergi ke sini saat malam hari.
"Memangnya Kak Vigo lagi ada masalah."
"Bukan 'lagi', tapi 'selalu'. Dan kayaknya gak akan pernah selesai sampai perasaan Kakak usai."
"Ooooh... perasaan," ujarku, langsung mengerti. Memang berat kalau masalah perasaan. "Kakak galau."
"Duduk sini," Kak Vigo mengajak duduk di sebatang pohon yang tampaknya sudah lama tumbang. Dan aku pun menurutinya.
Berdua kami duduk bersisian dengan tangan yang masih bertautan. Kala mataku menyapu pada rumpu berbunga itu, dapat kurasakan tatapan Kak Vigo terpaku padaku. Membuat jantungku lagi-lagi berdegup tak tentu. Dan kupu-kupu yang berkepak liar kini menginvasi perutku.
Kutelan bongkahan yang terasa mengganjal tenggorokanku saking gugupnya ditatap begitu. Lalu kulempar tanya untuk mencairkan suasana. "Memangnya Kakak galauin siapa?"
"Kamu."
***
"Memangnya Kakak galauin siapa?" "Kamu." Aku membeku. Nyaris secara harfiah aku membeku mendengar jawabab kakakku itu. Badanku kaku, lidahku kelu, otakku beku. Dan kukira itu puncaknya. Namun ternyata aku salah besar. Sepuluh detik dari beku karena "kamu", sesuatu menyentuh pipiku. Cup. Iya, Kak Vigo mengecup pipiku! Katakanlah aku lebay, namun jika kau tahu bagaimana hubunganku dan kakakku sebelum pindah kemari, kau akan sama terkejutnya denganku. Aku dan kak Vigo nyaris tak saling bicara selama bertahun-tahun, dan kini dia bersikap seolah waktu bertahun-tahun minim interaksi itu tak pernah ada. Seolah kami meloncat dari masa kanak-kanak—di mana ia sering memeluk dan menciumku, ke masa sekarang— saat kami sudah di ambang dewasa. "Gemes banget, sih, adeknya Kakak kaget gitu. Kayak cewek yang baru pertama kali digombalin cowok," kekeh Kak Vigo. "Atau memang baru pertama kali?
"Tunggu di mobil bentar, ya," ujar Kak Vigo ketika aku membuka pintu mobil untuk masuk. Ia pun langsung berlari pergi, meninggalkanku sendiri tanpa alasan. Buk. Aku membanting pintu mobil menutup dengan kencang. Dongkol dengan Kak Vigo yang mengajaknya ke sini. Ya, walaupun aku juga yang salah karena menyerahkan keputusan memilih tempat makan pada kakakku itu. Tapi aku sama sekali tak menyangka Kak Vigo akan sekekanakan ini. Dan sekarang ia entah minggat ke mana. Dasar menyebalkan! Lima menit berlalu. Aku melongok ke jendela, tak tampak batang hidung Kak Vigo, bahkan dari kejauhan. Lima belas menit berlalu. Sekali lagi aku mengintip lewat jendala, sosok Kak Vigo masih nihil. Sebenarnya dia pergi ke mana, sih?! Dua puluh menit berlalu. Aku sudah memegang handle pintu untuk turun dan mencari Kak Vigo. Mendadak aku j
"Jadi, kamu udah gak marah lagi, kan?" tanya Kak Vigo. Matanya tak lepas menatapku yang tengah menyantap mie instan kuah buatannya. "Kan aku udah bilang, aku gak marah, Kak," balasku. Lelah juga ditanya begini berulang kali. Bahkan tadi sebelum aku turun, Kak Vigo beberapa kali mengirimiku pesan dengan bertanyaan yang nyaris serupa: aku marah atau tidak; apa kemarahanku sudah hilang. Awalnya aku masih membalasnya, lama kelamaan aku abaikan saja. Jujur saja, awalnya aku memang marah, walau aku bingung apa alasan sebenarnya aku marah. Tapi itu sudah lama hilang sejak di mobil tadi, sejak di lampu merah tadi, sejak Kak Vigo menatapku selembut tadi. Ya, aku memang agak lemah di hadapan Kak Vigo. Mau marah pun sulit bertahan lama-lama. Dan sekarang, terus-terus ditanyai soal kemarahku begini, aku jadi tergoda untuk kembali marah saja. Biar sekalian saja. "Oke, oke," Kak Vigo menyudahi. "Tapi sebenarnya kamu
Melihat Miss Zia di meja makan, duduk di hadapan Papa, mengobrol pada Mama, sungguh membuatku jijik. Ingin sekali aku menyiram wajahnya itu dengan susu hangat dalam genggamanku ini. Bisa-bisanya wanita jalang itu tersenyum seperti itu pada wanita yang sudah ia khianati. Apa dia tak punya hati? Atau tak punya malu?"Yugo, makannya pelan-pelan, Sayang," tegur Miss Zia saat Yugo memasukan sepotong besar roti ke dalam mulutnya."Iya, Jagoan," timpal Papa, mengusap kepala Yugo yang duduk di sisinya. "Dengerin kata Miss Zia."Apa-apaan itu?! Mereka sedang cosplay jadi pasangan suami-istri?Aku melirik Mama yang tampaknya suasana hatinya masih seburuk kemarin. Wajahnya yang dipoles riasan sederhana itu tampak muram."Yugi, makanannya jangan dimainin gitu," tegur Mama pada Yugi yang duduk di sininya. Apa yang dilakukan Yugi memang bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Yugo. Se
"Halo semuanya," sapaku malu-malu. Jujur saja, aku bukanlah tipe murid penuh percaya diri yang saat diberi kesempatan untuk berdiri di depan kelas, akan menikmati setiap perhatian yang tercurah padanya. Jadi, perkenalan diri yang tengah kulakukan ini membuatku gugup luar biasanya."Haiiiiiiii!" seru teman sekelasku yang baru dengan hebosnya. Beberapa murid laki-laki bahkan saling bersiul-siul, membuat wali kelas yang sudah uzur buru-buru mengangkat tangannya, memberi tanda agar murid-murid kembali tertib supaya aku bisa melanjutkan perkenalan diriku.Setelah kelas tenang kembali, aku pun lanjut berkata, "Perkenalkan nama saya Zlaffa Rudianta. Kalian bisa memanggil saya Fafa." Aku menambahkan nama panggilanku di rumah karena teringat saat Arka kesulitan mengingat dan menyebut namaku. Sehingga aku berpikir untuk memberitahu nama panggilan yang akan membuat mereka lebih mudah untuk mengingat dan menyebut namaku. "Saya adalah murid pindahan dari salah satu SMA swasta di Jakarta. Saya pinda
Kukira rumah ini peninggalan Belanda pada era kolonialisme dulu. Rupanya, gayanya, kuno sekali. Besar dan indah sebetulnya, tapi karena kekunoannya itu jadi terlihat agak seram.Itulah yang kupikirkan ketika melihat rumah di depanku ini. Rumah lama nenek dan kakekku. Jangan tanya kenapa aku, kedua orang tuaku, kakakku, beserta kedua adik kembarku ada di sini. Sebab pertanyaan itu agak sensitif bagi telinga orang tuaku."Sini Kakak bawain kopernya," ujar kakakku pertamaku, Kak Vigo.Dengan senang hati aku merelakan koperku untuk di tarik oleh Kak Vigo, sementara aku mengekor di belakangnya bersama ibu dan si kembar—Yugo dan Yugi. Terpisah jauh dengan papa yang memimpin di depan.Kulirik mama yang berwajah masam, diapit kedua adikku yang nampak muram. Ketiga orang itu adalah golongan yang paling tak bersemangat pindah ke sini. Alasan mama karena tempat ini jauh dari kejaksaan wilayah tempa
Canggung sekali usai aku dan Kak Vigomakan berdua semalam. Ucapankulah yang berperan besar. Soal Kak Vigo yang baru mau menatapku setelah sekian lama.Bodoh sekali, ya, aku berkata begitu? Aku juga tak habis pikir dengan diriku sendiri.Kecanggungan yang dimulai semalam pun terus bertahan hingga pagi ini. Saat Kak Vigo duduk di sisiku ketika sarapan."Papa sama Fafa pergi naik apa ke sekolah?" Kak Vigo buka suara seraya mengolesi rotinya dengan selai coklat. Aneh. Seingatku Kak Vigo tak suka selai coklat."Pinjam motor Pak Kusno sebentar," jawab Papa yang baru saja tiba dan menempati kursinya."Mama mana?" tanyaku."Lagi mandiin Yugo sama Yugi," sahut Papa.Aku terkejut saat Kak Vigo tiba-tiba meletakan setangkup roti yang baru ia beri selai di piringku. Aku pun segera menoleh, dan menemukan kakak laki-lakiku itu sudah sibuk mengolesi r