Melihat Miss Zia di meja makan, duduk di hadapan Papa, mengobrol pada Mama, sungguh membuatku jijik. Ingin sekali aku menyiram wajahnya itu dengan susu hangat dalam genggamanku ini. Bisa-bisanya wanita jalang itu tersenyum seperti itu pada wanita yang sudah ia khianati. Apa dia tak punya hati? Atau tak punya malu?
"Yugo, makannya pelan-pelan, Sayang," tegur Miss Zia saat Yugo memasukan sepotong besar roti ke dalam mulutnya.
"Iya, Jagoan," timpal Papa, mengusap kepala Yugo yang duduk di sisinya. "Dengerin kata Miss Zia."
Apa-apaan itu?! Mereka sedang cosplay jadi pasangan suami-istri?
Aku melirik Mama yang tampaknya suasana hatinya masih seburuk kemarin. Wajahnya yang dipoles riasan sederhana itu tampak muram.
"Yugi, makanannya jangan dimainin gitu," tegur Mama pada Yugi yang duduk di sininya. Apa yang dilakukan Yugi memang bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Yugo. Sepasang anak kembar yang duduk berdampingan itu memang berpenampilan identik, namun selera makan mereka sunggu berbeda. Yugo suka sekali roti, Yugi lebih suka nasi.
"Gak usah dimarahin gitu, Ma."
"Siapa yang marahin sih, Pa?" sahut Mama dengan rahang yang terkatup rapat. "Mama cuma kasih tahu Yugi supaya gak mainin makanannya."
"Tapi Ugi gak suka loti, Ma!" protes Yugi. "Ugi mau nasi goleng!"
"Kemarin kamu udah makan nasi goreng, Yugi. Gak boleh makan nasi goreng tiap hari," ucap Mama.
"Iya Ugi, sekalangkan gililan salapan loti. Gantian!"
"Tapi Ugi gak suka LOTI!" jerit Yugi di akhir kalimatnya. "Miss Jia! Ugi mau lori! Mau loti!"
Mama mengusap wajahnya frustrasi. Aku makin kasihan melihatnya.
Barangkali sudah diasuh oleh pengasuh sejak kecil, Yugo dan Yugi menjadi kurang dekat dengan Mama. Mereka malah lebih melekat dengan Miss Zia yang menjijikan itu. Aku bisa mengerti kenapa hal semacam itu bisa terjadi. Mama terlalu sibuk dengan pekerjaannya, hingga sulit meluangkan untuk bonding dengan si Kembar. Tapi aku juga tak bisa mengalahkan Mama, apalagi dengan keadaan bisnis Papa sekarang. Jika Mama tak bekerja, hidup keluarga kami pasti akan sangat sulit.
Mama menghela napas panjang sebelum berpaling pada Yugi dan berkata, "Yugi, dengerin Mama! Inget perjanjian kita waktu itu? Yugo sama Yugi harus mau gantian menu sarapan favorit setiap hari, kan? Kan udah dibilang sama Tante Dokter gak boleh makan nasi goreng setiap hari."
"Iya... tapi Ugi pengen nasi goleng," rengek Yugi. "Sekali ini aja ya, Maaaa?"
"Gak boleh Yugi. Kan Yugi juga udah sepakat sama peraturannya," tegas Mama.
"ENGGAK! UGI MAU NASI GOLENG! NASI GOLENG!"
Prang!
Prang!
Yugi yang mulai tantrum melempar benda-benda di atas meja hingga pecah berserakan di lantai. Sarapan pagi yang memang sudah tak menyenangkan itu kini berubah jadi bencana.
"Yugi!" bentak Mama.
"UGI MAU NASI GOLEEEEEEENG!"
Prang!
"Zia bawa Yugo sama Yugi keluar!" ujar Papa mengatasi riuh suara pecahnya alat-alat makan.
Tanpa diminta dua kali, Miss Zia langsung menggendong Yugi yang masih memberontak dan mengandeng Yugo menjauh dari meja makan itu, hingga hilang dari pandang.
"Lihat!" seru Papa. "Karena peraturan kamu yang kelewat ketat dan konyol itu, Yugi jadi hilang kendali kayak gitu!"
Mama berdiri, tak terima disudutkan oleh Papa. "Terus kamu mau biarin Yugi makan nasi goreng tiap hari?! Kamu lupa baru sebulan yang lalu di harus di rawat karena lambungnya bermasalah?!"
"Tapi kamu gak perlu seketat itu sama anak umur empat tahun!" Papa ikut berdiri, nadanya naik lebih tinggi.
"Kalo aku gak tegas, dia akan terus ngerengek minta nasi goreng tiap hari!" teriak Mama. "Dan aku gak mau Yugi sakit lagi!"
"Kamu ngomong gitu seolah aku mau Yugi sakit!"
"MAMA! PAPA!" seru Kak Vigo, lebih kencang dari teriakan-teriakan Mama dan Papa. Membuat keduanya seketika senyap. Saling melotot satu sama lain. "Aku tahu hubungan Mama sama Papa lagi gak baik, tapi tolonglah jangan berantem setiap kali lagi makan, terutama di depan adek-adek. Fafa udah lebih dari sekali gak jadi makan karena kalian berdua." Kak Vigo melirik roti di piringku yang belum tersentuh. "Dan—ini bahkan hari pertama Fafa masuk sekolah!" seru Kak Vigo frustrasi. Tangannya terangkat, mengusap wajahnya gusar. "Kalo gak bisa ngasih Fafa semangat, seenggaknya jangan bikin dia kepikiran sama pertengkaran-pertengkaran kalian."
Baik Mama maupun Papa telah berhenti saling membelalak, tampak malu. Kini keduanya saling membelakangi. Lalu Mama lebih dulu menatapku dan berucap, "Maaf ya, Fa, Mama kelepasan. Habisin sarapannya, terus berangkat sekolah." Mama mengusap kepalaku sekilas, lantas berlalu meninggalkan dapur yang kacau balau.
"Cepet makan sarapanya, Fa. Papa tunggu di depan," ujar Papa, sebelum ikut berlalu.
"Biar aku yang anterin Fafa," sergah Kak Vigo.
"Ck! Kamu kan harus nganterin Mama, Vigo!"
"Mama bahkan belum siap-siap. Aku bisa anterin Fafa dulu."
"Terserah kamulah," putus Papa, pasrah.
Selepas kepergian Papa, Kak Vigo berpaling padaku. Di bekalnya roti lapis coklatku ke dalam tisu, lalu memberikannya padaku. "Makan sambil jalan aja. Pasti gak di tempat berantakan kayk gini," katanya, memandang pecahan alat makan yang berserakan.
"Tapi siapa yang bakal beresin ini semua?"
"Alah gampang. Banyak orang di rumah. Bisa Miss Zia, Papa, atau Kakak nanti. Yang pasti bukan kamu. Karena kamu mau sekolah."
"Tapi kan, Kak—"
"Ayok!" ajak Kak Vigo dengan tak sabar. Dihelanya tanganku untuk beringsut pergi.
***
"Di sekolah jangan nakal," tutur Kak Vigo ketika aku menyalimi tangannya.
"Aku buka anak kecil tahu," sahutku.
"Bukan anak kecil, tapi kok gemesin?" Bersama ledekan itu, Kak Vigo mencubit hidungku gemas.
"Apaan, sih, Kak Vigo," protesku, "sakit tahu!"
Masih dengan senyum tersungging di bibirnya, Kak Vigo melepaskan cubitannya. "Salahnya Adeknya Kakak ini gemesin banget, sih."
Aku merasakan wajahku panas karena pujian Kak Vigo itu. Perutku pun terasa menggeliat penuh kegembiraan.
"Udah, ah!" seruku salah tingkah. "Aku berangkat dulu. Bye, Kak. Jangan bolos kampus."
Aku pun melompat turun. Melambaikan tanganku dengan riang pada Kak Vigo yang belum kunjung pergi. Aku baru berbalik memunggunya saat senyumnya tak lagi tampak oleh netraku. Dan terdengar derum mesin mobil Kak Vigo menjauh pergi.
Aku mengedarkan pandanganku, menelisik di manakah kelasku berada. Seharusnya aku tak sulit menemukannya, mengingat bangunan sekolah ini hanya berupa jajaran ruang yang berbaris mengelilingi halaman sekolah, tidak rumit. Jumlah kelasnya pun tak banyak.
"Zlaffa!"
Aku menoleh mendengar namaku diserukan. Dan ketemui anak laki-laki yang kemarin nyaris menabrakku: Arka. Laki-laki itu tersenyum ramah di antara langkah-langkah panjangnya untuk menghampiriku.
"Hai, Raka," sapaku, diiringi seulas senyum tipis.
"Baru berangkat?" tanya Raka.
"Iya," jawabku.
"Dianter atau bawa kendaraan sendiri?"
"Dianter Kakak."
"Terus pulangnya nanti?"
Aku mengangkat bahu. "Dijemput Papa mungkin."
"Bareng aku aja kalo nanti gak ada yang jemput," tawar Raka.
"Boleh," anggukku.
Senyum Raka melebar. Padahal seharusnya aku yang lebih senang dapat tumpangan, tapi tampaknya dia yang lebih gembira. Aneh.
"Ya udah, yuk ke kelas!"
"Yuk!"
***
"Halo semuanya," sapaku malu-malu. Jujur saja, aku bukanlah tipe murid penuh percaya diri yang saat diberi kesempatan untuk berdiri di depan kelas, akan menikmati setiap perhatian yang tercurah padanya. Jadi, perkenalan diri yang tengah kulakukan ini membuatku gugup luar biasanya."Haiiiiiiii!" seru teman sekelasku yang baru dengan hebosnya. Beberapa murid laki-laki bahkan saling bersiul-siul, membuat wali kelas yang sudah uzur buru-buru mengangkat tangannya, memberi tanda agar murid-murid kembali tertib supaya aku bisa melanjutkan perkenalan diriku.Setelah kelas tenang kembali, aku pun lanjut berkata, "Perkenalkan nama saya Zlaffa Rudianta. Kalian bisa memanggil saya Fafa." Aku menambahkan nama panggilanku di rumah karena teringat saat Arka kesulitan mengingat dan menyebut namaku. Sehingga aku berpikir untuk memberitahu nama panggilan yang akan membuat mereka lebih mudah untuk mengingat dan menyebut namaku. "Saya adalah murid pindahan dari salah satu SMA swasta di Jakarta. Saya pinda
Kukira rumah ini peninggalan Belanda pada era kolonialisme dulu. Rupanya, gayanya, kuno sekali. Besar dan indah sebetulnya, tapi karena kekunoannya itu jadi terlihat agak seram.Itulah yang kupikirkan ketika melihat rumah di depanku ini. Rumah lama nenek dan kakekku. Jangan tanya kenapa aku, kedua orang tuaku, kakakku, beserta kedua adik kembarku ada di sini. Sebab pertanyaan itu agak sensitif bagi telinga orang tuaku."Sini Kakak bawain kopernya," ujar kakakku pertamaku, Kak Vigo.Dengan senang hati aku merelakan koperku untuk di tarik oleh Kak Vigo, sementara aku mengekor di belakangnya bersama ibu dan si kembar—Yugo dan Yugi. Terpisah jauh dengan papa yang memimpin di depan.Kulirik mama yang berwajah masam, diapit kedua adikku yang nampak muram. Ketiga orang itu adalah golongan yang paling tak bersemangat pindah ke sini. Alasan mama karena tempat ini jauh dari kejaksaan wilayah tempa
Canggung sekali usai aku dan Kak Vigomakan berdua semalam. Ucapankulah yang berperan besar. Soal Kak Vigo yang baru mau menatapku setelah sekian lama.Bodoh sekali, ya, aku berkata begitu? Aku juga tak habis pikir dengan diriku sendiri.Kecanggungan yang dimulai semalam pun terus bertahan hingga pagi ini. Saat Kak Vigo duduk di sisiku ketika sarapan."Papa sama Fafa pergi naik apa ke sekolah?" Kak Vigo buka suara seraya mengolesi rotinya dengan selai coklat. Aneh. Seingatku Kak Vigo tak suka selai coklat."Pinjam motor Pak Kusno sebentar," jawab Papa yang baru saja tiba dan menempati kursinya."Mama mana?" tanyaku."Lagi mandiin Yugo sama Yugi," sahut Papa.Aku terkejut saat Kak Vigo tiba-tiba meletakan setangkup roti yang baru ia beri selai di piringku. Aku pun segera menoleh, dan menemukan kakak laki-lakiku itu sudah sibuk mengolesi r
Sepulang sekolah aku dikejutkan dengan kehadiran Miss Zia. Padahal Papa bilang wanita itu baru akan datang nanti sore. Namun saat tengah hari pun belum sampai, Miss Zia sudah tiba di sini.Dulu aku biasa saja pada Miss Zia. Ya, seperti melihat pengasuh adik-adikku sebelumnya. Akan tetapi pandanganku berubah ketika aku menyadari bila ada interaksi yang aneh antara Papa dan Miss Zia. Aku tak pernah memergoki mereka melakukan "sesuatu". Tapi aku merasakan ada "sesuatu"."Sudah sampai Miss Zia?" tanya Papa dengan sumringahnya sesaat setelah turun dari motor.Miss Zia yang sedang duduk di salah satu anak tangga bersama Yugo dan Yugi segera berdiri dan memamerkan senyum profesional. "Baru sampai, Pak," ujarnya.Lantad mata Miss Zia beralih padaku yang tengah mengurai tali pengaman helmku. Mulutnya baru saja terbuka untuk melontaskan entah-apa, namun aku sudah lebih dulu beranjak pergi mendaki tangga dan melewati
"Memangnya Kakak galauin siapa?" "Kamu." Aku membeku. Nyaris secara harfiah aku membeku mendengar jawabab kakakku itu. Badanku kaku, lidahku kelu, otakku beku. Dan kukira itu puncaknya. Namun ternyata aku salah besar. Sepuluh detik dari beku karena "kamu", sesuatu menyentuh pipiku. Cup. Iya, Kak Vigo mengecup pipiku! Katakanlah aku lebay, namun jika kau tahu bagaimana hubunganku dan kakakku sebelum pindah kemari, kau akan sama terkejutnya denganku. Aku dan kak Vigo nyaris tak saling bicara selama bertahun-tahun, dan kini dia bersikap seolah waktu bertahun-tahun minim interaksi itu tak pernah ada. Seolah kami meloncat dari masa kanak-kanak—di mana ia sering memeluk dan menciumku, ke masa sekarang— saat kami sudah di ambang dewasa. "Gemes banget, sih, adeknya Kakak kaget gitu. Kayak cewek yang baru pertama kali digombalin cowok," kekeh Kak Vigo. "Atau memang baru pertama kali?
"Tunggu di mobil bentar, ya," ujar Kak Vigo ketika aku membuka pintu mobil untuk masuk. Ia pun langsung berlari pergi, meninggalkanku sendiri tanpa alasan. Buk. Aku membanting pintu mobil menutup dengan kencang. Dongkol dengan Kak Vigo yang mengajaknya ke sini. Ya, walaupun aku juga yang salah karena menyerahkan keputusan memilih tempat makan pada kakakku itu. Tapi aku sama sekali tak menyangka Kak Vigo akan sekekanakan ini. Dan sekarang ia entah minggat ke mana. Dasar menyebalkan! Lima menit berlalu. Aku melongok ke jendela, tak tampak batang hidung Kak Vigo, bahkan dari kejauhan. Lima belas menit berlalu. Sekali lagi aku mengintip lewat jendala, sosok Kak Vigo masih nihil. Sebenarnya dia pergi ke mana, sih?! Dua puluh menit berlalu. Aku sudah memegang handle pintu untuk turun dan mencari Kak Vigo. Mendadak aku j
"Jadi, kamu udah gak marah lagi, kan?" tanya Kak Vigo. Matanya tak lepas menatapku yang tengah menyantap mie instan kuah buatannya. "Kan aku udah bilang, aku gak marah, Kak," balasku. Lelah juga ditanya begini berulang kali. Bahkan tadi sebelum aku turun, Kak Vigo beberapa kali mengirimiku pesan dengan bertanyaan yang nyaris serupa: aku marah atau tidak; apa kemarahanku sudah hilang. Awalnya aku masih membalasnya, lama kelamaan aku abaikan saja. Jujur saja, awalnya aku memang marah, walau aku bingung apa alasan sebenarnya aku marah. Tapi itu sudah lama hilang sejak di mobil tadi, sejak di lampu merah tadi, sejak Kak Vigo menatapku selembut tadi. Ya, aku memang agak lemah di hadapan Kak Vigo. Mau marah pun sulit bertahan lama-lama. Dan sekarang, terus-terus ditanyai soal kemarahku begini, aku jadi tergoda untuk kembali marah saja. Biar sekalian saja. "Oke, oke," Kak Vigo menyudahi. "Tapi sebenarnya kamu