Home / Romansa / Rumah Lavender / Kelopak 7 | Hari Pertama Sekolah

Share

Kelopak 7 | Hari Pertama Sekolah

Melihat Miss Zia di meja makan, duduk di hadapan Papa, mengobrol pada Mama, sungguh membuatku jijik. Ingin sekali aku menyiram wajahnya itu dengan susu hangat dalam genggamanku ini. Bisa-bisanya wanita jalang itu tersenyum seperti itu pada wanita yang sudah ia khianati. Apa dia tak punya hati? Atau tak punya malu?

"Yugo, makannya pelan-pelan, Sayang," tegur Miss Zia saat Yugo memasukan sepotong besar roti ke dalam mulutnya.

"Iya, Jagoan," timpal Papa, mengusap kepala Yugo yang duduk di sisinya. "Dengerin kata Miss Zia."

Apa-apaan itu?! Mereka sedang cosplay jadi pasangan suami-istri?

Aku melirik Mama yang tampaknya suasana hatinya masih seburuk kemarin. Wajahnya yang dipoles riasan sederhana itu tampak muram. 

"Yugi, makanannya jangan dimainin gitu," tegur Mama pada Yugi yang duduk di sininya. Apa yang dilakukan Yugi memang bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Yugo. Sepasang anak kembar yang duduk berdampingan itu memang berpenampilan identik, namun selera makan mereka sunggu berbeda. Yugo suka sekali roti, Yugi lebih suka nasi.

"Gak usah dimarahin gitu, Ma."

"Siapa yang marahin sih, Pa?" sahut Mama dengan rahang yang terkatup rapat. "Mama cuma kasih tahu Yugi supaya gak mainin makanannya."

"Tapi Ugi gak suka loti, Ma!" protes Yugi. "Ugi mau nasi goleng!"

"Kemarin kamu udah makan nasi goreng, Yugi. Gak boleh makan nasi goreng tiap hari," ucap Mama.

"Iya Ugi, sekalangkan gililan salapan loti. Gantian!"

"Tapi Ugi gak suka LOTI!" jerit Yugi di akhir kalimatnya. "Miss Jia! Ugi mau lori! Mau loti!"

Mama mengusap wajahnya frustrasi. Aku makin kasihan melihatnya.

Barangkali sudah diasuh oleh pengasuh sejak kecil, Yugo dan Yugi menjadi kurang dekat dengan Mama. Mereka malah lebih melekat dengan Miss Zia yang menjijikan itu. Aku bisa mengerti kenapa hal semacam itu bisa terjadi. Mama terlalu sibuk dengan pekerjaannya, hingga sulit meluangkan untuk bonding dengan si Kembar. Tapi aku juga tak bisa mengalahkan Mama, apalagi dengan keadaan bisnis Papa sekarang. Jika Mama tak bekerja, hidup keluarga kami pasti akan sangat sulit.

Mama menghela napas panjang sebelum berpaling pada Yugi dan berkata, "Yugi, dengerin Mama! Inget perjanjian kita waktu itu? Yugo sama Yugi harus mau gantian menu sarapan favorit setiap hari, kan? Kan udah dibilang sama Tante Dokter gak boleh makan nasi goreng setiap  hari."

"Iya... tapi Ugi pengen nasi goleng," rengek Yugi. "Sekali ini aja ya, Maaaa?"

"Gak boleh Yugi. Kan Yugi juga udah sepakat sama peraturannya," tegas Mama.

"ENGGAK! UGI MAU NASI GOLENG! NASI GOLENG!"

Prang!

Prang!

Yugi yang mulai tantrum melempar benda-benda di atas meja hingga pecah berserakan di lantai. Sarapan pagi yang memang sudah tak menyenangkan itu kini berubah jadi bencana.

"Yugi!" bentak Mama.

"UGI MAU NASI GOLEEEEEEENG!"

Prang!

"Zia bawa Yugo sama Yugi keluar!" ujar Papa mengatasi riuh suara pecahnya alat-alat makan.

Tanpa diminta dua kali, Miss Zia langsung menggendong Yugi yang masih memberontak dan mengandeng Yugo menjauh dari meja makan itu, hingga hilang dari pandang.

"Lihat!" seru Papa. "Karena peraturan kamu yang kelewat ketat dan konyol itu, Yugi jadi hilang kendali kayak gitu!"

Mama berdiri, tak terima disudutkan oleh Papa. "Terus kamu mau biarin Yugi makan nasi goreng tiap hari?! Kamu lupa baru sebulan yang lalu di harus di rawat karena lambungnya bermasalah?!"

"Tapi kamu gak perlu seketat itu sama anak umur empat tahun!" Papa ikut berdiri, nadanya naik lebih tinggi.

"Kalo aku gak tegas, dia akan terus ngerengek minta nasi goreng tiap hari!" teriak Mama. "Dan aku gak mau Yugi sakit lagi!"

"Kamu ngomong gitu seolah aku mau Yugi sakit!"

"MAMA! PAPA!" seru Kak Vigo, lebih kencang dari teriakan-teriakan Mama dan Papa. Membuat keduanya seketika senyap. Saling melotot satu sama lain. "Aku tahu hubungan Mama sama Papa lagi gak baik, tapi tolonglah jangan berantem setiap kali lagi makan, terutama di depan adek-adek. Fafa udah lebih dari sekali gak jadi makan karena kalian berdua." Kak Vigo melirik roti di piringku yang belum tersentuh. "Dan—ini bahkan hari pertama Fafa masuk sekolah!" seru Kak Vigo frustrasi. Tangannya terangkat, mengusap wajahnya gusar. "Kalo gak bisa ngasih Fafa semangat, seenggaknya jangan bikin dia kepikiran sama pertengkaran-pertengkaran kalian."

Baik Mama maupun Papa telah berhenti saling membelalak, tampak malu. Kini keduanya saling membelakangi. Lalu Mama lebih dulu menatapku dan berucap, "Maaf ya, Fa, Mama kelepasan. Habisin sarapannya, terus berangkat sekolah." Mama mengusap kepalaku sekilas, lantas berlalu meninggalkan dapur yang kacau balau.

"Cepet makan sarapanya, Fa. Papa tunggu di depan," ujar Papa, sebelum ikut berlalu.

"Biar aku yang anterin Fafa," sergah Kak Vigo.

"Ck! Kamu kan harus nganterin Mama, Vigo!"

"Mama bahkan belum siap-siap. Aku bisa anterin Fafa dulu."

"Terserah kamulah," putus Papa, pasrah.

Selepas kepergian Papa, Kak Vigo berpaling padaku. Di bekalnya roti lapis coklatku ke dalam tisu, lalu memberikannya padaku. "Makan sambil jalan aja. Pasti gak di tempat berantakan kayk gini," katanya, memandang pecahan alat makan yang berserakan.

"Tapi siapa yang bakal beresin ini semua?"

"Alah gampang. Banyak orang di rumah. Bisa Miss Zia, Papa, atau Kakak nanti. Yang pasti bukan kamu. Karena kamu mau sekolah."

"Tapi kan, Kak—"

"Ayok!" ajak Kak Vigo dengan tak sabar. Dihelanya tanganku untuk beringsut pergi.

***

"Di sekolah jangan nakal," tutur Kak Vigo ketika aku menyalimi tangannya.

"Aku buka anak kecil tahu," sahutku.

"Bukan anak kecil, tapi kok gemesin?" Bersama ledekan itu, Kak Vigo mencubit hidungku gemas.

"Apaan, sih, Kak Vigo," protesku, "sakit tahu!"

Masih dengan senyum tersungging di bibirnya, Kak Vigo melepaskan cubitannya. "Salahnya Adeknya Kakak ini gemesin banget, sih."

Aku merasakan wajahku panas karena pujian Kak Vigo itu. Perutku pun terasa menggeliat penuh kegembiraan.

"Udah, ah!" seruku salah tingkah. "Aku berangkat dulu. Bye, Kak. Jangan bolos kampus."

Aku pun melompat turun. Melambaikan tanganku dengan riang pada Kak Vigo yang belum kunjung pergi. Aku baru berbalik memunggunya saat senyumnya tak lagi tampak oleh netraku. Dan terdengar derum mesin mobil Kak Vigo menjauh pergi.

Aku mengedarkan pandanganku, menelisik di manakah kelasku berada. Seharusnya aku tak sulit menemukannya, mengingat bangunan sekolah ini hanya berupa jajaran ruang yang berbaris mengelilingi halaman sekolah, tidak rumit. Jumlah kelasnya pun tak banyak.

"Zlaffa!"

Aku menoleh mendengar namaku diserukan. Dan ketemui anak laki-laki yang kemarin nyaris menabrakku: Arka. Laki-laki itu tersenyum ramah di antara langkah-langkah panjangnya untuk menghampiriku.

"Hai, Raka," sapaku, diiringi seulas senyum tipis.

"Baru berangkat?" tanya Raka.

"Iya," jawabku.

"Dianter atau bawa kendaraan sendiri?"

"Dianter Kakak."

"Terus pulangnya nanti?"

Aku mengangkat bahu. "Dijemput Papa mungkin."

"Bareng aku aja kalo nanti gak ada yang jemput," tawar Raka.

"Boleh," anggukku.

Senyum Raka melebar. Padahal seharusnya aku yang lebih senang dapat tumpangan, tapi tampaknya dia yang lebih gembira. Aneh.

"Ya udah, yuk ke kelas!"

"Yuk!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status