Beranda / Romansa / Rumah Lavender / Kelopak 6 | Malam yang Dingin Di Pinggir Ladang Lavender

Share

Kelopak 6 | Malam yang Dingin Di Pinggir Ladang Lavender

"Jadi, kamu udah gak marah lagi, kan?" tanya Kak Vigo. Matanya tak lepas menatapku yang tengah menyantap mie instan kuah buatannya.

"Kan aku udah bilang, aku gak marah, Kak," balasku. Lelah juga ditanya begini berulang kali. Bahkan tadi sebelum aku turun, Kak Vigo beberapa kali mengirimiku pesan dengan bertanyaan yang nyaris serupa: aku marah atau tidak; apa kemarahanku sudah hilang. Awalnya aku masih membalasnya, lama kelamaan aku abaikan saja.

Jujur saja, awalnya aku memang marah, walau aku bingung apa alasan sebenarnya aku marah. Tapi itu sudah lama hilang sejak di mobil tadi, sejak di lampu merah tadi, sejak Kak Vigo menatapku selembut tadi. Ya, aku memang agak lemah di hadapan Kak Vigo. Mau marah pun sulit bertahan lama-lama.

Dan sekarang, terus-terus ditanyai soal kemarahku begini, aku jadi tergoda untuk kembali marah saja. Biar sekalian saja.

"Oke, oke," Kak Vigo menyudahi. "Tapi sebenarnya kamu marah kenapa, sih?"

"Kak..."

"Hehehe," Kak Vigo terkekeh lalu mengacak rambutku. Membuat ritme jantungku berantakan. Hingga perutku mendadak kenyang.

"Tunggu di sini sebentar," imbau Kak Vigo sebelum beranjak dari duduknya. "Kakak mau ambil jaket dulu." Lalu ia pergi mendaki undakan untuk ke lantai dua.

Aku fokus menghabiskan mieku selepas kepergian Kak Vigo. Hingga suara langkah mendekat.

Cepat sekali Kak Vigo kembali, pikirku. Aku pun segera menolah untuk bertanya kenapa dia sangat cepat kembali. Namun yang kutemu bukanlah Kak Vigo, melainkan Papa!

Papa tak menuju dapur, ia hanya melewatinya. Tampaknya tak menyadari keberadaanku.

Papa mau ke mana malam-malam begini? Karena penasaran, aku langsung berdiri dan berencana untuk membuntutinya. Sejenak, kuintip sudah sejauh apa beliau pergi dari sisi pintu dapur.

Alangkah terkejutnya aku ketika mendapati Papa berhenti di depan pintu kamar Miss Zia yang memang tak jauh dari dapur. Tak lama, terdengar ketukan pintu, lalu Miss Zia keluar dengan mengenakan pakaian yang menurutku terlalu terbuka. Apalagi di malam hari di pedesaan macam ini.

Mataku terus mengikuti Papa dan Miss Zia yang telah beranjak pergi menuju pintu belakang. Lalu terdengar suara kunci yang diputar, diikuti debam pelan.

Aku keluar dari dapur dan berjingkat-jingkat menuju tempat Papa dan Miss Zia hilang dari pandang. Pelan-pelan aku membuka pintu lalu menutupnya dengan hati-hati. Lalu aku kembali bersembunyi di balik rak bunga yang hanya meninggalkan pot-pot kosong di dekat pintu.

Sementara itu Papa dan Miss Zia kian menjauh menuju landang lavender. Dalam temaram cahaya bulan, kulihat tangan keduanya bertautan. Meski aku sudah merasa ada yang aneh di antara Papa dan Miss Zia, aku masih tak percaya bahwa mereka benar-benar menyeleweng di bawah hidung Mama. Sungguh keterlaluan!

Dadaku bergemuruh, amarahku riuh menuju ubun-ubun. Gatal rasanya tanganku ingin memisahkan jalinan tangan itu dan menjambak rambut miss Zia serta mengingatkan Papa bila beliau sudah mengkhianati Mama. Namun karena aku penasaran sudah sejauh apa hubungan mereka, aku menunggu waktu yang tepat kapan harus bertindak. Jika aku bergerak terlalu cepat, Papa dan Miss Zia bisa saja berdalih mereka hanya jalan-jalan malam biasa dan gandengan tangan itu hanyalah upaya Papa untuk membantu Miss Zia agar tak terjatuh karena suasana yang gelap.

Maka aku terus mengikuti mereka seraya bersembunyi di balik pohon atau apapun hingga jauh mendekati hutan tempatku dan Kak Vigo pernah kunjungi.

Aku tengah mengintai di balik pohon di tepi ujung ladang lavender, sementara beberapa meter di depan sana Papa tengah memojokkan Miss Zia ke salah satu batang pohon besar di dalam hutan. Dengan bantuan cahaya bulan, aku dapat melihat jelas bagaimana tangan Papa menangkup sisi leher dan sudut rahang Miss Zia. Lalu wajah Papa perlahan turun menuju wajah Miss Zia yang posisinya lebih rendah. Kemudian... gelap.

Aku sudah hampir berteriak karena sebuah tangan menekap mataku, namun tangan lainnya sudah lebih dulu membukap mulutku.

"Stttt..." desis pemilik tangan itu dekat telingaku. Aku dapat membaui aroma tembakau daro udara yang orang itu hembuskan. "Ini saya Non, Pak Kusno. Saya gak mau ngapa-ngapain Non Zlaffa kok. Tapi Non jangan berisik, ya, takutnya nanti Tuan denger."

Aku hanya mengangguk.

"Non sekarang muter, hadap belakang."

Aku mengikuti instruksi itu. Meski belum tahu kenapa Pak Kusno menyergapku begini, aku cukup yakin bila pria tua itu memang tak punya maksud buruk.

"Kalo saya buka matanya, jangan noleh ya, Non."

"Iya," bisikku, karena Pak Kusno sudah melepaskan bekapannya pada mulutku.

Pandanganku masih buram ketika tangan besar Pak Kusno lepas dari wajahku. Butuh selusin kerjapan sebelum aku pandanganku kembali normal.

"Ayo, Non, lewat sini," ajak Pak Kurno.

"Tapi, Pak," seegahku. "Papa—" Aku mencoba menoleh ke belakang, namun Pak Kusno segera menghentikanku.

"Jangan lihat, Non. Non Zlaffa pura-pura gak tahu aja."

"Tapi gimana mungkin aku pura-pura gak tahu, Pak? Mama..."

"Kalo sampe Nyonya Ruby tahu, urusan bisa runyam, Non. Non Zlaffa tahu sendiri Mama Non kayak gimana. Mereka bisa cerai."

Aku mengusap wajahku frustrasi. Kuakui bila Pak Kusno benar. Mama bukanlah tipe wanita yang akan bersabar apalagi memaaafkan perselingkuhan. Mama tak akan berpikir dua kali untuk menggugat cerai Papa. Dan aku tak mau sampai hal itu terjadi. Aku tak mau orang tuaku berpisah.

"Ayo, Non," ajak Pak Kusno lagi. "Pergi dari sini. Saya lihat pintu belakang kebuka. Takutnya ada yang lihat Tuan di sini."

Dengan tak rela aku mengikuti Pak Kusno. Dan kulihat siluet Kak Vigo berdiri di ambang pintu belakang, dengan kepala yang berputas ke sana kemari. Dia pasti mencariku.

"Sampai di sini aja, Pak," ujarku saat tiba di dekat pondoknya yang di bangun di pinggir ladang lavender.

"Ya udah, Non. Hati-hati, awas jatuh."

Aku hanya mengangguk singkat untuk menimpali. Pikiranku masih berkecamuk. Bahkan kian kacau dalam setiap langkah yang kuambil menuju rumah.

Kembali kupikirkan kejadian yang kulihat tadi. Dan keputusanku masih juga belum bulat. Aku ingin memberi tahu Mama tentang perselingkuhan Papa dengan Miss Zia. Karena jika aku tetap bungkam, alangkah tak adilnya untuk Mama. Namun, seperti yang dikatakan oleh Pak Kusno, bila Mama tahu, keluargaku pasti akan hancur seketika. Apalagi hubungan Mama dan Papa memang sedang tak terlalu baik belakangan ini. Dan sungguh, anak mana yang ini orang tuanya berpisah? Tak ada.

"Zlaffa!"

Aku tersentak dari lamunanku. Tak menyadari bila aku sudah sangat dekat dengan pintu belakang rumah, di mana sejak tadi Kak Vigo mencari-cari diriku.

"Kamu dari mana, sih?" tanya Kak Vigo setelah menghampiriku. Kentara sekali dari suara dan air mukanya bila ia khawatir.

"Dari pondoknya Pak Kusno," ujarku, berdusta.

"Ngapain?" Kenyitan di dahi Kak Vigo kian dalam setelah mendengar jawabanku itu.

"Mm... tadi Pak Kusno ke rumah, minta air panas buat ngompres kakinya yang pegel-pegel," karangku. Aku baru tahu bila aku seberbakat ini dalam berbohong. "Jadi abis itu aku anterin dia balik ke pondoknya, takut dia jatoh, mana bawa air panas lagi. Kan bahaya."

"Emang di pondoknya gak ada air panas?"

"Dia kehabisan gas, jadi gak bisa manasin air."

"Baiknya Adeknya Kakak," ujar Kak Vigo, mengusap rambutku yang diterpa angin malam.

"Hehe," aku memaksakan diri untuk tertawa.

"Ya udah. Jadi mau jalan-jalan, kan?" tanya Kak Vigo. "Ini udah Kakak bawain jaket kamu." Ia mengangkat sebuat kardigan rajut biru milikku.

Aku sebetulnya tak tega untuk membatalkan janji dengan Kak Vigo. Apalagi senyum yang ia lemparkan sungguh penuh dengan harap. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah betul-betul tak ada mood untuk pergi jalan-jalan. Pikiranku kini penuh dengan skandal Papa dan Miss Zia.

"Besok aja ya, Kak. Udah malem banget. Aku juga udah ngantuk," aku beralasan. "Mana besok hari pertama masuk sekolah pula."

"Yaaa..." desah Kak Vigo kecewa. "Tapi ya udahlah, kalo kamu ngantuk. Kita jalan-jalannnya kapan-kapan aja."

"Maaf ya, Kak."

"Gak apa-apa." Kaka Vigo mengacak rambutku dengan sayang. Yang mana kuperhatikan suka sekali ia melakukannya belakangan ini. "Ya udah, yuk masuk!" ajaknya, seraya menghela tanganku dalam genggamannya. "Dingin. Nanti kamu masuk angin lagi."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status