Share

Bab 06. Berdiskusi Dengan Yasmin

Suara denting notifikasi membuat Yasmin mengalihkan atensi. Wanita muda itu diam di hadapan cermin, memolesi wajahnya dengan make up tipis agar wajahnya tetap segar.

Jari lentiknya memegang ponsel, melihat siapa yang mengirimkannya pesan. Di sana tertera nama Sania. Sania Sahabatku. Begitulah nama kontaknya.

[Yasmin, sibuk nggak nih?] tulisan Sania di aplikasi chat tersebut.

[Ibu rumah tangga sibuk apa, nggak kok. Aku free nih di rumah aja. Kenapa? Cuma aku nggak lagi di rumah. Lagi di Apartemen.] balas Yasmin pada sahabat baiknya.

Tak lama kemudian, Sania membalas. 

[Hari ini aku ke Apartemen kamu, ya, Min. Kangen. Sekalian ada hal penting yang mau aku omongin.]

[Aku lagi di Apartemen Mas Ashraf, San. Aku kirim alamatnya, ya.]

Setelah mengatakan itu, tiba-tiba sosmed Sania centang satu. Yasmin meletakkan gawainya. Dia memegang dadanya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat dan juga perasaannya mendadak tak enak.

Yasmin berusaha untuk berpikir positif. Entah apa yang dia pikirkan, sehingga dirinya jadi gelisah seperti ini. Dia terus membaca dzikir, agar tenang.

Melihat Yasmin yang sudah cantik dan rapih, Ashraf langsung menghampiri sang istri yang masih berdiri. Pria itu dengan cepat mencium pipinya.

"Masyaallah, cantik banget, Sayang," puji Ashraf, membantu mengaitkan tali gamis istrinya di belakang.

Yasmin tersenyum manis, dengan perlakuan sederhana Ashraf, tapi membuat dirinya bahagia. "Masa sih? Nggak percaya aku."

Ashraf terkekeh pelan, menumpukkan dagunya di pundak sang istri. Menimati hangatnya pelukan di tengah dinginnya cuaca pagi.

"Ah, andai kamu bisa aku sentuh. Aku makan kamu sekarang juga. Cantik banget habisnya," kekeh Ashraf.

Hari ini Ashraf tidak berangkat ke restoran. Karena ada hal yang ingin ia bicarakan kepada Yasmin soal Sania. Dia tidak berani bersuara dan terus terang soal ini, takut merusak suasana hatinya.

"Aku mau bukain pintu dulu, Mas. Kayaknya itu Sania deh yang datang. Kamu pakai baju dulu gih, bajunya udah aku siapin di atas ranjang."

"Makasih, Sayang."

Usai mengobrol dan bermesraan dengan suaminya. Yasmin membuka pintu, ketika suara bel rumah berbunyi. Senyumnya begitu merekah, saat tahu jika yang datang adalah sahabat baiknya.

Sania. Perempuan itu berhambur memeluknya. Anehnya, pelukan Sania yang terasa nyaman justru membuat hati Yasmin berdenyut sakit. Ditambah lagi, saat Sania mengatakan ada hal penting yang disampaikan.

Soal apa?

Kenapa Yasmin merasa tidak tenang. Dia berpikir positif, menepis hal yang tidak-tidak. Agar tidak memicu perasaan tidak enak nantinya.

"Kamu nggak kerja juga, San?" tanya Yasmin.

Sania menggelengkan kepala. Dia diberi izin oleh Ashraf, untuk cuti hari ini karena akan berkunjung ke sini.

"Nggak, Min. Aku dikasih cuti sama Pak Ashraf. Beliau juga yang memintaku datang," jelas Sania.

Perkataannya menimbulkan berbagai macam praduga, membuat Yasmin bertanya-tanya. Kenapa Ashraf mengundang Sania ke sini?

Mungkin karena ingin membahas pekerjaan, pikirnya. "Oh, Mas Ashraf juga nggak kerja hari ini."

"Suamimu ada? Di mana dia?"

Sejujurnya Yasmin merasa janggal, instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan Ashraf padanya. Meski pria itu tidak bicara, dari gelagatnya saja Yasmin tahu.

Ashraf berubah kaku, pria itu seperti sungkan berhadapan dengannya sejak malam. Ada apa?

"Mas Ashraf lagi bersiap di kamar, masuk dulu aja. Aku rindu banget sama kamu, kerjaan kamu lancar? Mas Ashraf galakin kamu nggak?" tanya Yasmin.

"Nggak dong, justru Pak Ashraf baik banget," jawab Sania, begitu semangat.

Yasmin berusaha untuk tetap tersenyum, meskipun pikirannya tak menentu. Dia membawa Sania ke dalam ruangan tamu, sembari bercengkrama dan bercanda tawa seperti biasanya.

Keduanya tampak akrab, sampai Ashraf tidak tega mengatakan. Dia duduk, kehadirannya tak ayal menghentikkan obrolan dua wanita di hadapannya.

Sania dan Ashraf saling lirik sejenak, sebelum mengalihkan pandangan. Gerakkan mata mereka, tertangkap oleh Yasmin yang dibuat bingung.

"Sayang ... aku ingin membicarakan sesuatu kepada kamu," kata Ashraf.

Memindahkan tubuhnya ke samping Yasmin, sembari menggenggam tangannya begitu erat. Harapnya, semoga Yasmin kuat nantinya.

"Bicara apa, Mas? Terus Sania juga mau ngomong apa? Kayaknya ada hal penting yang ingin dibicarakan, ya?" tanya Yasmin, bergantian menatap suami dan sahabatnya.

Sania diam, bungkam seribu bahasa. Membiarkan Ashraf mengutarakan pembicaraanya. "Mas Ashraf saja yang bicara."

Ashraf mengangguk, sambil menghela napas berat.

"Sebelumnya maaf jika keputusan Mas menyakiti kamu, Sayang. Mas dan Sania ... akan menikah."

Deg!

Seketika dunia Yasmin seolah berhenti berputar. Astmosfer yang tadinya ceria, malah begitu menyesakkan. Mendengar perkataan lontaran kata lembut Ashraf yang begitu menyakitkan, membuat dadanya dihantam palu godam.

Sigap saja Ashraf langsung memeluk tubuh Yasmin yang langsung mematung. Dia bergeming, tak bereaksi apa-apa. Namun, batinnya terasa sakit tercabik-cabik. Ia kesulitan bernapas saking sesaknya ketika Ashraf dan Sania akan menikah.

"Kalian bercanda? Nggak lucu kalau bercandanya kayak gini," pungkas Yasmin.

Sania yang diam, angkat bicara, membenarkan ucapan Ashraf. "Yang dikatakan Pak Ashraf benar, Min. Kami akan menikah, beliau yang meminangku kemarin."

"Meminang?" Yasmin berdecih, sembari tersenyum getir.

Betapa hancurnya ia sekarang, saat mengetahui jika sang suami memilih menikah lagi dan meminang Sania tanpa sepengetahuannya.

Yasmin langsung menitikkan air mata, tangisannya pecah di hadapan dua orang yang sudah menyakiti batinnya. Sulit dipercaya, dengan apa yang ia dengar dari pengakuan Ashraf dan Sania.

"Kenapa, Mas? Kenapa dari sekian banyaknya wanita malah Sania yang kamu pilih!" Yasmin mengeluarkan amarahnya dengan meluap-luap. Menatap nyalang pada Sania yang bungkam. "Apa kalian saling mencintai? Katakan! Kenapa bisa kamu memutuskan menikah lagi tanpa memberitahuku dulu, Mas!" sambungnya.

Ia yang selalu bersikap lembut, sudah tidak terkendali. Tidak bisa dipungkiri, bahwa keinginan Ashraf menikah lagi tanpa memberitahu atau bahkan membicarakan ini kepadanya.

Membuat Yasmin benci, Ashraf malah menyembunyikan hal sebesar ini. Suami dan sahabatnya malah mengkhianatinya.

"Wanita yang aku cintai hanya kamu, Yasmin," ungkap Ashraf dengan lirih, tangannya ditepis kasar oleh Yasmin yang menghindar.

"Apa arti cinta yang kamu ucapkan, jika kamu menduakan, Mas? Aku kecewa kepadamu! Kenapa nggak meminta persetujuanku dulu!" Yasmin langsung bangkit, berlari meninggalkan dua sejoli yang sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sania menatap Ashraf yang gamang. "Sebaiknya Mas bicarakan saja dengan Yasmin. Jika dia setuju, Mas bisa hubungi aku. Aku pulang dulu."

Kala Sania sudah pergi meninggalkan kediamannya, Ashraf menyusul Yasmin ke dalam kamarnya. Di atas ranjang, Yasmin sudah menangis sesenggukan dengan posisi membelakanginya.

Tubuhnya bergetar, jiwanya terguncang. Dia pikir, Ashraf tidak mempermasalahkan semua ini. Namun, dia salah. Ashraf malah ingin berpoligami.

"Jangan mendekat! Jaga jarak denganku, Mas Ashraf!" ketus Yasmin, mengetahui jika suaminya menghampiri.

"Aku bisa jelaskan. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan."

"Apa yang mau kamu jelaskan? Aku nggak butuh penjelasan kamu. Apa yang aku dengar tadi sudah jelas. Kenapa kamu memilih menikah lagi, padahal kamu tahu, aku takkan sanggup menjalaninya!"

"Yasmin, tenang, Sayang ... bukankah itu alasan syar'i, ketika kamu nggak bisa melayaniku, aku berhak menikah lagi," papar Ashraf.

Tadinya Yasmin pikir, Ashraf bisa bersabar sampai dirinya melahirkan. Tapi nyatanya, pria itu malah tergoda dengan sahabatnya sendiri.

"Bukankah kamu tahu sejak awal menkkah. Bahkan saat kita ta'aruf kita udah sepakat, kalau aku nggak siap dipoligami, Mas. Aku hanyalah wanita biasa, tak sehebat istri Nabi. Aku tak sanggup, Mas!" isak Yasmin.

"Kamu wanita yang mengerti agama, aku pikir kamu siap jika aku menikah lagi. Aku tak mau berdosa dengan terus membayangkannya."

Ya Allah, ya Rabb ... semakin hancurlah Yasmin saat ini, saat Ashraf mengungkapkan keresahannya.

"Apa karena aku bukan wanita suci, sehingga itulah kamu ingin poligami? Bukannya sedari awal kamu nggak mempermasalahkan dan mau menerima aibku, Mas!" 

Perdebatan keduanya kian memanas, seiring berlangsungnya dua orang yang sedang mengeluarkan pendapatnya masing-masing.

"Bukan masalah itu. Kamu tahu, Mas manusia biasa. Mas pria normal, Sayang. Butuh disalurkan. Sementara kamu nggak bisa Mas sentuh sampai melahirkan. Aku nggak kuat jika harus menahan hasrat selama itu ... maaf." Ashraf tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya. Ia tahu, jika keputusan dia menyakiti hati istrinya.

"Jika kamu mau menikah dengan Sania dan ingin merasakan kesucian wanita, maka ... ceraikan aku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status