Share

Bab 05. Meminang Sahabat Istrinya

Kedua insan itu saling mengikis jarak, menyatukan kedua bibir mereka untuk melepaskan rindu karena dua hari saling mendiamkan. Keduanya melepaskan, ketika napas keduanya sudah terengah-engah.

"Aku mencintaimu, Mas ..." ungkap Yasmin, memeluk tubuh suaminya.

"Yeah, aku juga mencintai kamu. Berjanjilah untuk tetap bersamaku dan jangan pernah meninggalkanku!" tegas Ashraf, membelai lembut surai panjang Yasmin yang dibiarkan tergerai.

Yasmin mulai menerbitkan senyum, dia mengangguk pelan. "Aku berjanji, akan terus bersamamu dan nggak bakalan meninggalkan kamu, Mas."

***

Pagi hari kembali menyapa. Ashraf sudah merasa lebih baik karena ia sudah mulai berinteraksi lagi dengan Yasmin, hanya sekedar itu, tentu saja soal kebutuhan biologis Ashraf hanya bisa menahannya.

Lelaki bertubuh jangkung itu menyapa para pekerja, seperti yang ia lakukan biasanya. Saat berpaspasan dengan Sania, Ashraf mulai tidak tenang rasanya.

Terlebih saat penampilan Sania yang memang terbuka, memperlihatkan lekukan tubuhnya, mampu mengguncang benteng pertahanan Ashraf sebagai seorang pria normal.

"Selamat pagi, Pak Ashraf. Wajah anda sudah terlihat ceria seperti biasanya," sapa Sania, menyampirkan rambut pirangnya ke daun telinga sambil tertawa kecil kepada atasannya.

Bibir merah seperti cerry itu membuat Ashraf melafalkan istigfar berkali-kali, berusaha abai walau sebenarnya dia terangsang.

"Iya, alhamdulillah. Saya dan Yasmin sudah berbaikan. Saya sangat lega," balas Ashraf, spontan menceritakan hubungannya dengan sang istri pada wanita yang bukan siapa-siapanya.

Meski ada kesal di dadanya, Sania berusaha untuk meredam dan tersenyum ramah. "Saya ada sedikit bahasan soal berkas, Pak. Mungkin nanti saya akan ke ruangan anda, untuk memberikan datanya."

Ashraf mengangguk, berdehem pelan dan membenarkan jasnya. "Tinggal ke ruangan saya saja, San. Permisi."

Sang atasan melenggang pergi, menuju ruangan kerjanya. Melihat wajah tampan serta penampilan Ashraf yang sangat menawan, Sania menggigit bibir bawahnya. Mulai memikirkan, bagaimana rasanya jika pria itu menjadi miliknya.

"Aku sudah terlanjur mengagumimu Pak Ashraf, maafkan aku Yasmin ... sepertinya aku nekat mendekati suamimu," gumam Sania.

Di kala dia tahu, jika Yasmin hamil di luar nikah dan tak mampu memberikan nafkah batinnya. Di situ Sania mulai berpikir, untuk menggunakan kesempatan ini supaya Ashraf tergoda olehnya.

Dilihat dari reaksi Ashraf, seperti benar, jika pria itu terangsang. Setinggi apapun iman seseorang, pasti ada titik lemahnya jika dihadapkan oleh hawa nafsu.

Bahkan Sania sengaja, memakai pakaian yang sedikit terbuka demi melancarkan aksinya.

"Pak Ashraf, kamu akan menjadi milikku."

Ashraf tengah disibukkan dengan mengurus beberapa berkasa dan data-data di laptopnya. Menunu akhir bulan, dia selalu memilih lembur karena harus menghitung laporan keuangan dan pemasukan restoran.

Pria itu tampak fokus, dengan pekerjaan yang selalu padat. Apalagi jika bisnisnya bercabang di mana-mana. Kesibukan pekerjaan, mampu mengalihkan pikiran Ashraf saat ini.

Suara pintu ruangan diketuk membuat Ashraf diam sejenak, mempersilahkan Sania masuk ke dalam ruangannya. 

"Pak Ashraf, saya membawakan jus untuk and—eh ...." Sania memekik pelan, saat jus yang ia letakkan malah tumpah dan mengenai blouse putih yang ia pakai.

Ashraf kaget, segera memindahkan berkas laporan. Sedangkan Sania diam-diam menyeringai nakal, saat ia dengan sengaja memb*ka kanc*ng dan membasahi bajunya.

Sehingga blouse putih nan transparan itu memperlihatkan hal yang tak seharusnya Ashraf lihat. 

"Astagfirullahaladzim!" Lantas Ashraf berbalik badan, merutuki kebodohannya sudah melihat hal berharga Sania yang terpampang jelas di depan mata.

Sania pura-pura panik, memasang wajah melas dan mengelap bajunya menggunakan tissue.

"Pak, maafkan saya. Saya sudah teledor dan mengotori ruangan kerja anda," kata Sania, seringai di bibirnya makin kentara ketika Ashraf tak menatapnya.

'Bagus, dia pasti tersiksa.'

"Nggak papa, kamu bisa bersihkam bajumu ke kamar mandi, San. Soal meja. Biar saya sendiri yang bereskan!" titah Ashraf, memejamkan mata dengan segumpal perasaan bersalah.

"Biar saya saja yang bereskan, ini karena kecerobohan saya, Pak." Sania terus mendesak, agar lebih lama di dalam ruangan ini dan berduaan dengan atasannya.

"Maaf, tak seharusnya saya melihatnya. Saya nggak sengaja, maaf jika kamu sakit hati," cicit Ashraf, berbalik badan dan menangkupkan kedua tangan di dada.

Ternyata dugaan Ashraf salah. Jika pria itu mengira Sania sedih dan sakit hati, jawabannya tidak sama sekali. Dia justru senang, karena rencana untuk menggoda Ashraf tertuntaskan.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Mau mengganti pakaian. Kalau anda butuh sesuatu, hubungi saya."

'Termasuk butuh istri kedua.'

***

Sania menatap dirinya di depan pantulan cermin, merasa bangga dengan paras dan penampilannya yang mampu membuat pria seperti Ashraf tergoda.

Dia hanya tinggal menunggu, sejauh apa Ashraf tahan dengan godaan yang begitu memanjakkan.

"Permisi, Sania. Pak Ashraf memanggil anda ke ruangannya," ujar salah satu pekerja wanita, menyusul Sania ke dalam kamar mandi.

Wanita berambut pirang itu bersorak riang, walau belum tahu apa maksud Ashraf memanggilnya. Dia yakin, ini adalah hari keberuntungannya. Sebelum ke ruang Ashraf, Sania tak lupa memoleskan make up di wajahnya.

Ia berjalan sambil meliuk-liukkan badan, menuju ruangan atasan yang sudah menjadi tempat tujuannya.

"Ada apa Pak Ashraf menyuruh saya kemari, Pak?" tanya Sania berbasa-basi, mengubah mimik wajahnya seramah mungkin.

Ashraf mengusap wajahnya dengan gusar, sembari mengacak rambutnya frustasi. "Duduk, San. Saya ingin bicara!"

Sania duduk di kursi, berhadapan dengan Ashraf dan hanya terhalang oleh meja.

"Kamu masih lajang?" tanya Ashraf, nada bicaranya terdengar berat dan serius.

Menyadari ada hal baik datang, Sania hanya bisa menahan senyuman yang mengembang di bibirnya. Sania mengangguk, karena dia memang masih lajang.

"Benar, Pak. Saya masih lajang dan belum menikah," jawab Sania. Berpikir bahwa ada kesempatan baginya untuk menjadi istri kedua atasannya.

Ashraf memijat pangkal hidungnya. "Sejujurnya, saya minta maaf sudah lancang memikirkan kamu dan nggak sengaja melihat hal yang seharusnya nggak saya lihat. Saya nggak mau berdosa, dengan memikirkan wanita lain. Bagaimana jika saya ... menikahi kamu, kamu mau menjadi istri kedua saya?" tanya Ashraf, berat sekali mengatakan hal ini.

Dia tidak mau bayang-bayang Sania terus bersarang di benaknya dan menjadi zina pikiran nantinya. Ia sudah mempertimbangkan, setelah ia pikir, dirinya berniat meminang Sania untuk menjadi istri keduanya.

"Apa? Anda serius Pak Ashraf? Tapi kenapa? Saya juga nggak mempermasalahkan itu kok," tutur Sania.

"Masalahnya, otak saya dipenuhi bayang-bayangmu, Sania. Maaf. Bukan saya berpikir kotor, saya merasa terganggu saja. Itulah saya ingin menjadikan kamu istri kedua," papar Ashraf.

Sania sih setuju-setuju, bahkan sangat ingin. "Tapi ... bagaimana dengan Yasmin, Pak? Saya nggak mau dia membenci saya ketika tahu jika anda meminang saya."

"Poligami itu nggak dilarang dalam agama kita, San. Kupikir aku berhak meminangmu, karena pria bisa menikahi lebih dari 1 wanita. Poligami tetap sah, meski tanpa meminta izin istri terlebih dahulu. Bagaimana? Apakah kamu mau?"

Tanpa berpikir panjang, Sania pun mengangguk. "Saya terserah anda saja, Pak. Tapi baiknya kita bicarakan dulu hal ini pada Yasmin. Mau bagaimanapun juga, dia adalah sahabat saya."

Ashraf pun lantas mengiyakan. "Semoga Yasmin mengizinkan, karena kamu adalah sahabatnya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status