Share

Bab 04. Merasa Gagal

Pikiran Ashraf semakin kalut malut, ia bingung harus bagaimana sekarang. Sudah 2 hari ini dia mendiamkan Yasmin, wanita yang sudah menemaninya tak pupus di hati dan pikirannya.

Ia ingin hubungan keduanya seperti semula, karena Ashraf merasakan rindu jika jauh dari istrinya. Walaupun dia sendiri yang menjaga jarak, malah dia juga yang tersiksa.

"Aku memaafkanmu, karena aku mencintaimu, Yasmin," gumam Ashraf bermonolog sendiri.

Dia memainkan balpoint di jarinya dengan pikiran kosong. Ini benar-benar mengusiknya, saat melihat wajah sendu istirahat membuat Ashraf tidak tega.

Ingin sekali dia mencoba untuk baik-baik saja, menganggap tak terjadi apa-apa pada rumah tangganya. Malah tidak bisa, sebab, ini bukanlah perkara biasa yang dengan mudah dilupakan.

Dari arah depan, Ashraf terpaku melihat Sania yang sedang mengobrol dengan para pekerja di sana. Seolah ada magnet yang mengarahkan pada daya tarik, Ashraf terus memperhatikan wanita cantik nan mempesona dalam segi penampilannya.

Bagi siapa yang melihat, mungkin bakalan bereaksi sama dengannya. Dia hanya laki-laki biasa, ketika melihat Sania pasti pikirannya mengarah ke hal sana. Apalagi ia tidak bisa menyentuh Yasmin.

"Astagfirullah ... aku malah memikirkan wanita lain. Sadarlah Ashraf, Yasmin jauh lebih cantik, dia kekasih halalmu!" Lekas ia menepis bayang-bayang Sania.

Yang dipikirkan malah menghampiri. Dengan membawa segelas kopi, Sania tersenyum sambil berjalan dengan sedikit berlenggok-lenggok.

"Boleh saya duduk, Pak Ashraf?" tanya Sania, meminta izin pada atasannya.

Seakan tak sadar, Ashraf mengangguk mengiyakan. "Silahkan."

Sania mengulas senyum di bibir merahnya. Menggemaskan sekali, bak buah stoberry yang begitu merah dan merekah.

"Saya membawakan anda kopi, Pak. Karena sesuai pengamatan saya, anda tampak gusar sekali. Masih kepikiran soal Yasmin, ya?" tanya Sania menebak, menyesap kopi.

Gerak-geriknya tak luput dari pengelihatan Ashraf yang menelan salivanya. Gila! Ini benar-benar menyiksanya! Kenapa Sania begitu menggoda.

Padahal sebelumnya dia tidak pernah bereaksi seperti ini melihat perempuan lain, yang memenuhi pikirannya hanyalah Yasmin seorang.

"Ya begitulah, aku bingung harus bagaimana. Ingin membantu menemukan pelaku, tapi dia milikku, takut Yasmin meninggalkanku dan memilih pria itu," ungkap Ashraf. Meski Yasmin sudah melakukan kesalahan fatal, jauh dari lubuk hatinya dia tidak ingin Yasmin pergi dan meninggalkannya.

Mungkin dengan cara memaafkannya lebih baik, walau Ashraf belum sepenuhnya menerima.

Sania hanya bisa mendengarkan, ia tahu jika cinta Ashraf pada Yasmin begitu besar. Tiba-tiba, Sania malah merasa iri. Ingin dicintai oleh pria seperti atasannya ini.

"Menurut saya nggak mungkin, karena Yasmin pun sepertinya hanya mencintai anda. Bukankah anda tahu, meski bayi itu lahir. Ayah biologisnya tidak berhak atas bayinya," ujar Sania yang sedikit tahu soal agama.

"Ya, kamu benar. Yasmin yang berhak atas anaknya, karena bayi itu bernasab pada ibunya."

Ketika dirinya berteman dengan Yasmin, wanita cantik itu banyak mengajari Sania berbagai hal. Dia wanita sempurna, ya meski masih ada kekurangannya.

Apa yang dikatakan Sania ada benarnya. Tetap saja, Ashraf takut jika kekhawatirannya terjadi. Sampai kapan pun, ia tidak akan membiarkan Yasmin menjadi milik orang lain.

"Apa yang membuat anda tetap mempertahankan Yasmin, sementara anda tahu jika dia adalah istri yang haram anda sentuh," tanya Sania, sedikit kepo soal jawaban Ashraf.

Sudut bibir Ashraf terangkat, membentuk senyum tipis jika membayangkan wajah istrinya. Perempuan pertama yang bisa memikat hatinya.

"Dia adalah cinta pertamaku, perempuan yang membuatku merasakan debaran tak menentu. Yasmin gadis cantik, dengan keindahan akhlak dan juga ilmu agamanya. Sayang ... tak ada manusia yang benar-benar sempurna. Itulah sebabnya aku memaafkannya, aku pikir dia juga tersiksa saat tahu dirinya ternoda."

Darah Sania berdesir. Mendengar setiap untaian kalimat keluar dari mulut Ashraf yang begitu lembut dan tulus.

'Tuhan ... bolehkah aku mencintai suami sahabatku?' batin Sania.

***

Beberapa kali Ashraf mencoba, mengenyahkan bayang-bayang Sania di dalam pikirannya, malah tak bisa. Ia tahu, ini sebuah dosa. Sudah memikirkan wanita yang bukan mahramnya.

"Allah, apa ini? Kenapa jadi seperti ini, astagfirullah!"

Ashraf melangkah lunglai, merasa pening dan lemas akhir-akhir ini. Tidak ada Yasmin, sang istri tidak menyambutnya di sini.

Aroma makanan begitu menguar, Ashraf menoleh ke arah meja makan yang sudah ada beberapa hidangan di sana. Kakinya berpijak, menaiki lantai atas.

Saat tangannya akan memutar knop pintu, terdengar lantunan ayat-ayat suci begitu merdua. Suara yang menjadi cantik, membuat Ashraf tak berhenti menggebu.

Sepersekian detik berikutnya, Ashraf tergugu saat mendengar suara isak tangis istrinya di dalam sana.

"Ya Allah ... kenapa ujian yang hamba lewati begitu berat sekali? Hamba malu pada-MU, kepada suami hamba karena hamba adalah wanita ternoda. Harusnya, pria sebaik suamiku tidak mendapatkan wanita kotor ini," isak Yasmin, menangis tersedu-sedu sambil menutup wajahnya.

Yasmin masih betah berlama-lama di sini, menangis seorang diri. Meratapi takdirnya yang seperti ini. Mukena putih yang ia kenakan basah oleh air mata, cairan bening itu makin menganak sungai.

"Sayang ...." Yasmin meremang, saat merasakan seseorang yang mendekapnya dengan begitu erat.

"Mas sudah pulang? Maaf aku nggak menyambutmu. Aku nggak tahu kalau Mas bakalan pulang cepa—"

"Sutt, diamlah. Nggak apa. Kalau aku memberitahuku, mungkin aku nggak bakalan tahu jika bidadariku menangis tersedu di sini," ujar Ashraf, meletakkan jari telunjuknya di bibir Yasmin.

Sesungguhnya Yasmin malu, berhadapan dengan sang suami sejak kehamilan itu.

"Harusnya, saat Mas datang aku tampil cantik dan menyambutmu. Bukan malah seperti ini," cicit Yasmin, sambil menunduk lesu.

Ashraf menangkup kedua pipi istrinya, membalas tatapan matanya dengan lembut sehingga netra keduanya saling memandang. "Di mataku, kamu selalu cantik dengan penampilan apapun. Kamu lagi ileran atau apapun tetap saja cantik."

Suasana yang tadinya pilu, Ashraf malah menggoda Yasmin seperti itu.

"Itu terus yang Mas ingat! Aku takut ... jika Mas nggak memaafkan aku." Yasmin mengelus punggung tangan sang suami di pipinya.

Suami istri tersebut masih betah duduk sembari saling pandang satu sama lain.

"Mas memaafkanmu, Sayang. Hanya saja Mas masih belum menerima, aku harap kamu paham. Aku mendiamkanmu karena merasa gamang, bukan sudah nggak peduli."

"Aku paham, nggak mudah di posisi Mas saat ini. Aku merasa gagal menjaga marwah dan nggak bisa memberikannya untukmu. Wallahi, Mas. Aku juga sakit menerima kenyataan itu," lirih Yasmin, butiran bening itu terus mengalir di pelupuk matanya.

Rasanya tak sanggup, harus menjelaskan apa yang ia rasa. Dia beruntung, jika Ashraf sudi memberikan maaf untuknya.

"Berjanjilah untuk tidak meninggalkanku, Yasmin. Apapun keadaannya jangan tinggalkan aku, Sayang ...." Sorot mata Ashraf berubah serius, usapan di pipi istrinya semakin erat.

Sekarang, Yasmin adalah tanggung jawabnya. Sudah tugas Ashraf untuk menjaga dan merawatnya, wanita itu adalah pilihan dia sejak awal. Kurang atau lebihnya, Ashraf menerima.

"Harusnya aku yang mengatakan hal itu kepadamu, Mas ... aku pikir, kamu akan melepaskan aku saat tahu aibku."

"Nggak akan pernah aku melepaskanmu, Yasmin. Kita akan terus bersama, aku akan menjaga dan merawat anak itu jika sudah lahir nantinya. Hanya saja, aku harus tetap menjaga jarak denganmu. Dikhawatirkan aku kelepasan menyentuhmu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status