Share

Bab 03. Menjaga Jarak

Meski rumah tangganya berubah dingin. Yasmin masih tetap menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik, tetapi tidak soal urusan nafkah batin, karena saat ini dia tidak bisa melayani suaminya.

Dengan penampilan yang tertutup, Yasmin berdiri menyambut kepulangan suaminya di depan teras. Tak lama, mobil milik Ashraf terbuka dan sang pemilik mulai menunjukkan batang hidungnya.

"Mas, aku udah masakin makanan kesukaan kamu. Makan dulu, ya," ujar Yasmin. Meraih tangan suaminya dan menicum punggung tangannya dengan takzim.

Hampa. Tidak ada pelukan dan kecupan hangat seperti biasa. Ashraf malah diam dan tak mau membuka suara.

Perlahan, senyuman di bibir Yasmin memudar. Menyadari jika Ashraf enggan.

"Kenapa, Mas? Kamu seperti enggan bertemu denganku. Apakah kamu jijik padaku?" 

Pertanyaan Yasmin sukses membuat Ashraf jadi menghadap ke arahnya.

"Kenapa kamu bilang begitu?" tanya Ashraf, cepat.

"Karena Mas ... berubah," balas Yasmin. Membalas tatapan suaminya dengan sendu, ada perasaan rindu menggebu ketika Ashraf menjaga jarak dengannya.

Semalam saja Yasmin tidak bisa tidur, memikirkan urusan rumah tangganya.

"Aku hanya menjaga syahwatku agar nggak naik saat di dekatmu, salah?" Ashraf balik bertanya.

"Biarkan aku saja yang menjauh, Mas. Ini salahku, aku nggak mau kamu tersiksa dengan menanggung kesalahanku. Kita pisah ranjang saja bila perlu," Yasmin melenggang pergi, meninggalkan Ashraf yang tidak mengejarnya sama sekali.

Pria itu hanya memperhatikan dalam diam, bingung harus melakukan apa. Di satu sisi ia kecewa, di sisi lain Ashraf begitu mencintainya.

Yasmin adalah sosok sempurna, tak hanya cantik rupanya tapi juga mampu menjalankan kewajibannya. Dia tak salah memilih dan ingin mempertahankannya.

Tak mau banyak pikiran, dia juga masih ada banyak pekerjaan. 

"Cih, ke mana berkas tadi?" kesal Ashraf. Mencari-cari berkas yang tadinya akan ia selesaikan di rumah.

Pikirannya terlalu semrawut, sehingga tidak bisa konsentrasi saat bekerja tadi. Ia meraih ponsel, menghubungi Sania agar mengantarkan berkas di ruangannya ke sini.

"Tolong bawakan berkas saya yang tertinggal di meja kerja, Sa," katanya kepada Sania di seberang sana.

"Baik, Pak. Akan saya antarkan ke sana."

Sudah pusing memikirkan Yasmin, Ashraf juga malah kepikiran Sania yang sepanjang hari sukses mencuri perhatiannya.

Seorang wanita dewasa, yang menggunakan blouse dan rok span. Siapa saja pasti salah fokus melihatnya, termasuk Ashraf. Sudah lancang, berpikir ke hal-hal tak seharusnya.

"Astagfirullahaladzim, ampuni hamba," gumam Ashraf.

Yasmin turun dari kamar, setelah puas menumpahkan tangisan saat mendengar bel rumah terdengar. Dia segera membuka pintu.

"Permisi, saya ingin bertemu dengan Pak Ash—lho ... Yasmin?" Sania memotong ucapan, ketika melihat sosok Yasmin yang membuka pintu rumah atasannya.

Melihat Sania datang, Yasmin juga kaget kedatangan sahabat kuliahnya ke sini. "Sania, ada apa ke sini?" tanya Yasmin, memeluk tubuh Sania yang memang mempesona untuk dipandangi oleh pria.

"Mau nganterin berkas kerjaan ke atasan. Jadi ... kamu istrinya Pak Ashraf, Yas?"

Perempuan berjilbab maroon itu mengangguk. "Iya, San. Aku juga baru tahu kalau kamu kerja dengan Mas Ashraf."

Sania benar-benar tercengang. Ketika Yasmin, sahabatnya ternyata adalah istri sang atasan.

Sungguh beruntung jika di posisi Yasmin, mendapatkan seorang Ashraf yang merupakan seorang pengusaha tampan dan sukses. Jika disandingkan dengan Yasmin, mereka berdua memang cocok. Sama-sama cantik dan tampan, juga agamis.

"Siapa yang datang, Yas?" Suara Ashraf menghentikan obrolan dua wanita tersebut. Pria itu muncul di belakang tubuh istrinya.

"Kenalin, Mas. Dia Sania. Sahabatku saat kuliah, katanya kalian bekerjaa di tempat sama," ujar Yasmin pada suaminya.

Ashraf hanya manggut-manggut saja. Ternyata Yasmin dan Sania adalah seorang sahabat. Dari penampilan saja sudah kebalikan, tapi mungkin mereka memang benar-benar tak melihat itu.

"Aku baru tahu kalian sahabatan. Dia manager di restoran," balas Ashraf. "Terima kasih sudah mengantarkan, ingin ngobrol dulu?"

Sania menolak dengan sopan, karena hari sudah malah dia harus segera pulang. "Nggak, Pak. Mungkin lain kali saya mampir ke sini menemui Yasmin. Kalau begitu saya permisi, Pak. Yas, aku pulang dulu."

"Iya, hati-hati, San."

***

Yasmin membentangkan sajadah dan melakukan qiyamul lail ketika dirinya terbangun di tengah malam. Dia menengadahkan tangan, memanjatkan untaian doa yang ia curahkan pada sang Illahi.

"Ya Rabb ... maafkan hamba, belum bisa menjadi istri yang baik untuk suami hamba. Semoga dia senantiasa menjaga dan mempertahankan pernikahan ini."

Ia menoleh ke arah Ashraf yang masih tidur dan memberikan punggungnya saja. Yasmin duduk, di samping Ashraf dan mengelus surai suaminya.

"Saat kamu melamarku di hadapan keluargaku, aku mulai mencintaimu, Mas," ungkap Yasmin.

***

Yasmin diam di tepian ranjang, ketika sedari tadi ria terus mual-mual dan memuntahkan cairan. Badannya jadi lemas, nafsu makannya jadi berkurang karena tak bisa menerima asupan.

Meski janin itu bukan darah dagingnya, Ashraf tidak tega melihat Yasmin tersiksa dengan kehamilannya.

"Obat pereda mualnya diminum, paksakan, karena bayi itu butuh asupan," ujar Ashraf, memasang dasinya sendiri.

Diberi perhatian sederhana, Yasmin senang karena Ashraf tak mendiamkannya. Hanya menghindar agar tak kelepasan saat menyentuhnya.

"Mas."

"Hmmm."

"Boleh aku memelukmu?" Yasmin bertanya dengan ragu, takut Ashraf marah jika dia tiba-tiba memeluknya.

Helaan napas terdengar, Ashraf mendekati istrinya, membiarkan tubuhnya dipeluk.

"Aku rindu memelukmu, Mas. Sudah 2 hari aku nggak merasakannya," ujar Yasmin.

"Kamu harus terbiasa, demi kebaikan kita juga. Aku bingung harus menjawab apa jika keluarga tahu," kata Ashraf, mengutarakan keresahannya.

Kedua belah pihak keluarga memang belum tahu soal ini, mereka sengaja menyembunyikan dan belum siap memberitahu. Mungkin butuh waktu, sembari Ashraf memikirkan solusi.

"Terserah kamu ingin memberitahunya atau nggak, lambat laun pasti akan diketahui. Baiknya jujur saja, aku nggak mau banyak membohongi orang-orang."

"Aku belum siap, melihatmu dibenci orang-orang, kamu sendiri tahu jika keluargaku orang awam. Semoga saja mereka memaklumi."

"Aku siap menerima konsekuensinya, Mas. Selama kamu didekatku. Insyaallah aku bisa menghadapinya, Mas."

Perasaan bersalah semakin membesar, saat Yasmin diberikan suami sebaik Ashraf, dirinya malah menjadi sumber permasalahan.

Ashraf menyapa para pegawai saat sampai, dia meminta Sania datang ke ruangannya karena ingin menanyakan beberapa hal.

"Kamu dan Yasmin sudah bersahabat sejak lama. Apa kamu tahu jika dia ... sudah tak perawan?" tanya Ashraf.

Tak bermaksud mengumbar aib istrinya. Dia hanya ingin mencari titik terang, soal orang yang sudah berani berbuat macam-macam pada istrinya.

Sania terkesiap. "Apa? Kenapa anda bicara seperti itu? Nggak mungkinlah Yasmin tak perawan, dia itu perempuan terjaga."

Bagi yang melihat pasti tidak akan percaya, di balik penampilan yang tertutup itu ada sebuah hal yang tidak bisa diceritakan.

"Kamu jawab saja pertanyaan saya. Apakah kamu tahu sesuatu soal Yasmin. Dia punya teman pria atau pacar selama kuliah?" tanya Ashraf.

"Saya nggak tahu, selama di kuliah Yasmin itu lebih banyak bergaul dengan sesama wanita. Termasuk saya. Mungkin bapak salah paham." Sania masih tak percaya.

"Salah paham bagaimana? Saat ini dia sedang mengandung, aku nggak mungkin salah paham," sergah Ashraf.

Lagi, Sania membekap mulutnya, shock. "Jadi ... dia mengandung bukan anak anda?"

"Bukan, itulah sebabnya aku nggak bisa menyentuhnya. Karena haram bagiku menggauli wanita yang sedang mengandung, sama saja kami berzina jika melakukan," papar Ashraf.

Sekarang Sania mengerti, kenapa atasannya tampak gampang akhir-akhir ini. "Jika bukan anak anda, lalu anak siapa?"

Ashraf angkat bahu. "Itu yang sedang aku pertanyakan. Siapa ayah biologis dari benih yang Yasmin kandung."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status