Briella masuk ke dalam vila dan kembali ke kamarnya. Dia teringat Zayden yang ada di rumah dan memutuskan untuk menelepon Gita.Beberapa hari ini banyak hal yang harus diurus Briella, jadi dia selalu merepotkan Gita. Selama beberapa tahun ini, di sisinya selalu ada Gita yang membantunya menyelesaikan masalah. Pertemanan mereka sudah berada di tahap saling bergantung satu sama lain."Gita, apa Zayden ada di rumahmu?""Ya, baru aku jemput." Gita sedang bersantai di sofa sambil memakai masker dan menikmati keripik yang diletakkan di atas dadanya dan kaki di silangkan. Jarinya menekan-nekan masker yang menggelembung di wajahnya, lalu berkata dengan malas, "Briella, kamu ke mana saja? Kalau Zayden nggak telepon minta jemput, aku nggak akan tahu kalau Mama nya Zayden yang nggak pergi kerja itu nggak menginginkan Zayden lagi!"Briella menjatuhkan tubuhnya dengan lelah di tempat tidur empuk berukuran besar. Dia mengusap alisnya yang berkerut, lalu menjawab tidak berdaya, "Ada sesuatu yang terj
Briella berpikir keras tentang bagaimana cara menghilangkan rasa takut dan keraguan di dalam dirinya. Karena tidak yakin, dia memilih untuk membiarkannya dulu untuk saat ini.Saat Briella tengah tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba sebuah ketukan terdengar di depan pintu kamarnya. Briella mendongak dan melihat kalau Davira sudah melangkah masuk. Dia membawa semangkuk sup ayam dan menunjukkan senyum berseri di wajahnya. Sikapnya saat ini jauh berbeda dari tatapan dingin dan perkataan ketus yang wanita itu tunjukkan sebelumnya."Kenapa datang ke sini?" Briella menatap Davira dengan tatapan waspada.Davira memusuhinya. Dia membawa semangkuk sup ayam di tengah malam menandakan kalau dia punya niat buruk.Davira menaruh sup ayam di atas meja, lalu tersenyum pada Briella. Dia menunjuk ke arah mangkuk, lalu mengatakan, "Ini sup ayam yang dibuat khusus untukmu. Kamu lagi hamil, jadi harus makan makanan yang bergizi."Briella melihat semangkuk sup ayam di atas meja. Dalam hati, dia berpikir ka
Davira menjernihkan pikirannya, mencoba mencerna informasi yang dikatakan oleh Briella. Ternyata Valerio memberikan vila Galapagos kepada Briella sebagai hadiah. Davira tahu kalau Valerio memang murah hati, tetapi dia masih tidak menyangka kalau pria itu akan memberikan Galapagos kepada Briella.Hal ini sudah cukup untuk mengetahui Briella seperti apa posisi Briella di hati Valerio.Dalam hati, Davira merasa makin cemburu. Jelas-jelas dialah wanita Valerio, kenapa malah direbut sama Briella?Briella menumpahkan sup yang dibawakan Davira, lalu mengeluarkan tisu untuk menyeka ujung jarinya. Tatapannya memancarkan cahaya dingin. Dia melirik sekilas ke arah Davira yang masih terdiam, lalu menyunggingkan senyum dingin."Kenapa? Lagi mikirin cara buat melakukan sesuatu kepadaku lagi?""Melakukan sesuatu kepadamu?" Davira memperlihatkan ekspresi arogan di wajahnya. Dia adalah orang yang selalu pintar menilai situasi dan tahu kalau saat ini Valerio tidak berpihak kepadanya. Saat ini, Briella b
Briella selalu punya cara untuk memadamkan amarah Valerio, membuat Valerio tidak bisa melakukan sesuatu kepada wanita itu.Mana mungkin Valerio tega membiarkan Briella melihatnya pergi ke kamar dengan wanita lain? Sementara wanita ini, bagaimana mungkin dia bisa membiarkan Valerio berbagi kamar dengan wanita lain?Apa Briella tidak merasa cemburu sedikit pun?Valerio tidak rela. Briella makin tidak peduli, yang malah membuat Valerio ingin menguak kebenaran dalam diri wanita itu. Seperti merobek pakaian yang menutupi pinggul Briella, Valerio ingin merobek penampilan palsu Briella hingga berkeping-keping, lalu mengoyaknya dan mengeluarkan hatinya. Valerio ingin melihat apa yang tersembunyi di dalam hati yang membuat takjub semua orang ini, sampai bisa membuat seorang Valerio tidak tenang, sampai membuat seorang Valerio memiliki emosi yang seharusnya hanya dimiliki oleh pria normal."Kamu keluar. Mulai hari ini, kamu nggak boleh masuk kamar ini tanpa izin dariku."Valerio menatap Davira,
"Silakan pergi dari kamarku." Ujung jari Briella menunjuk ke arah pintu kamar. Sikap keras kepala yang terlihat jelas di wajahnya begitu putus asa dan dingin, seperti bongkahan es di dalam lemari pendingin. Apa pun yang terjadi, dia akan tetap menjaga harga dirinya, tidak akan menerima perlakukan buruk dan penghinaan orang lain kepadanya.Pandangan Valerio mengikuti arah jari Briella dan alisnya berkerut makin dalam.Wanita ini menganggapnya sedang berakting?Bagian mana dari dirinya yang terlihat seperti berpura-pura? Jelas sekali kalau wanita ini hanya ingin melarikan diri dari situasi ini. Dalam hal kemampuan akting, kalau Briella menganggap dirinya jadi nomor dua, tidak ada siapa pun yang berani mengklaim posisi pertama!"Kamu wanita berhati kejam!"Valerio menggertakkan gigi, menatap sosok Briella yang berdiri tak jauh darinya. Sepertinya kata itu dia lontarkan dengan penuh kemarahan.Jika bukan karena ada orang lain di tempat ini, Valerio akan membuat Briella tahu apa yang akan t
"Briella bukan wanita gila dan sangat menghargai makanan. Dia nggak pernah membuang sisa makanan tanpa sebab. Kalaupun ada jamuan makan di luar, dia biasanya akan membungkus sisanya dan dibawa pulang. Dia itu wanita pelit dan nggak akan buang-buang makanan seperti yang kamu bilang. Aku nggak percaya."Kata-kata Valerio diucapkan berdasarkan penilaiannya terhadap Briella selama ini. Mungkin sedikit menyindir Briella, tetapi masih saja tetap membelanya. Ini merupakan sanggahan mutlak untuk tuduhan yang dilontarkan Davira."Jadi kamu nggak percaya kalau Briella membuang sup yang aku kasih?"Mata Davira tiba-tiba basah dan air mata langsung terjatuh saat dia mengedipkan matanya.Barusan Briella memang membuang sup yang Davira buat sendiri. Meskipun dia memasukkan obat penggugur kandungan ke dalam sup itu, tetapi tidak bisa dipungkiri kalau Briella tidak sesederhana dan sesuci yang dikatakan Valerio."Kalau begitu, kita tanya saja sama Briella sebagai pembuktian, apa dia membuang sup yang a
Valerio menatap punggung Davira. Bibir tipisnya sedikit mengerucut dan dalam hati dia merasa sedikit kasihan kepada Davira. Manusia bukanlah batang pohon yang tidak punya perasaan. Bagaimanapun, Davira pernah menyelamatkannya. Perlakuannya kepada Davira hari ini memang sedikit berlebihan.Hanya saja, hanya Briella yang ada di dalam hatinya. Bagaimana dia bisa menerima wanita lain? Yang bisa dia berikan kepada Davira hanyalah kompensasi materi yang lebih banyak ....Pria itu melirik pintu kamar Briella yang tertutup. Dia merasa tidak berdaya sekaligus marah, ingin menerobos masuk dan berdebat dengan wanita itu. Namun, dia tahu dengan jelas Briella wanita seperti apa. Dia tidak akan mendengarkan penjelasan apa pun yang dikatakan Valerio. Lebih baik menenangkan diri masing-masing dan membicarakannya lagi setelah mereka tenang.Briella keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan diri. Dia teringat Zayden yang berada di rumah Gita, jadi mengeluarkan ponselnya untuk melakukan panggi
Setelah mengakhiri panggilan video dengan Zayden, Briella juga mulai mengantuk. Dia meletakkan ponselnya dan memejamkan matanya.Keesokan paginya.Briella terbangun karena mendapat telepon dari Nathan. Nathan mengajaknya sarapan, sekaligus membicarakan masalah pekerjaan.Awalnya Briella tidak ingin menemuinya. Mereka sudah sepakat untuk mempertimbangkan masalah anak dalam waktu satu minggu ini. Tapi, perkelahian kemarin serta keraguan di dalam hatinya membuat Briella memutuskan untuk tidak membiarkan Nathan terlibat dalam masalahnya lagi.Namun, Briella tidak bisa menolak bujukan Nathan yang mengaitkan bantuan yang telah dia berikan kepada ibu Briella. Jadi, Briella tidak punya pilihan lain selain menerima ajakan Nathan.Dia mandi dan memilih gaun berwarna merah muda, lalu mengoleskan bedak ke wajahnya. Dibandingkan kemarin, penampilan Briella hari ini terlihat lebih segar.Briella berjalan menuruni tangga. Di ruang makan, terlihat Valerio dan Davira duduk berseberangan, tengah menikma
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu