Rieta menunduk dan menatap wajah Davira. "Briella memang harus disingkirkan, tapi apa gunanya aku mempertahankanmu! Kamu bodoh dan hanya akan menghambat rencanaku saja! Lebih baik minta Valerio buat menceraikanmu!"Davira berhenti menangis dan menatap Rieta dengan wajah ngeri. "Bu Rieta, kamu nggak mungkin setega itu membuangku. Aku sudah hidup bersamamu selama empat tahun! Jelas-jelas aku sangat setia kepadamu!"Rieta tersenyum sinis, lalu menendang Davira menjauh. "Sudah! Jangan membuat masalah di sini! Aku akan bertemu dengan Briella. Aku ingin melihat seperti apa wanita yang kembali dari kematian itu. Empat tahun nggak bertemu, ternyata dia jauh lebih pintar dari yang aku kira.""Bu Rieta mau bertemu Briella?" Davira bertanya dengan mata berkaca-kaca, bahkan terselip kesan suram dalam sorot matanya."Davira, aku nggak akan memberimu uang yang kamu minta. Pernikahanmu sama Valerio nggak bisa dipertahankan karena ketidakmampuanmu. Bagiku, sekarang kamu hanya pion yang nggak berguna.
"Kamu mau ke mana?""Minta uang sama kakak buat menutup mulut Elbert."Rieta mengambil mangkuk dan mengaduk sup di dalamnya, lalu memakannya. Dia memakan sesendok demi sesendok, sambil menatap Davira dengan tatapan sinis."Aku nggak sangka kamu sangat licik sampai mencuri anak orang lain. Waktu itu aku sudah membantumu, tapi kamu yang nggak memanfaatkan kesempatan dengan baik. Aku memasukkan sesuatu ke dalam teh Rio dan membuat kalian masuk ke kamar yang sama. Tapi, dia bahkan nggak menyentuhmu?"Senyum pahit yang terlihat menyedihkan muncul di wajah Davira.Ya. Valerio menahan rasa tidak nyaman dan menyiksa yang dia rasakan karena tidak ingin melakukannya dengan Davira. Bahkan saat Davira mendekat, Valerio menendangnya, membuat Davira tidak bisa mendekat barang sedikit pun. Hal ini membuat Davira merasa frustrasi.Rieta menghabiskan semangkuk supnya dan menarik napas panjang dan dalam. Dia menyentuh liontin mutiara seharga miliaran di telinganya, lalu beranjak."Sudah, aku nggak mau b
Elbert masih belum menerima pesan balasan dari Davira, yang membuatnya makin panik.Briella menyadari kepanikan pria yang duduk di depannya. Seketika, bibirnya menyunggingkan senyuman cantik."Davira nggak balas pesanmu?"Elbert menyimpan ponselnya, mendongak dan menatap Briella. "Nggak perlu buru-buru. Aku minta seratus miliar, jadi nggak mungkin bisa terkumpul dengan cepat."Briella duduk di kursinya sambil bersedekap, menatap pria di depannya depan santai.Wajah Elbert saat ini terlihat tidak tenang dan cemas."Kalau tebakanku nggak salah, anak laki-laki yang ada di rumahmu itu harusnya anakmu dan Davira. Sebenarnya kamu punya perasaan yang nyata kepada Davira. Kamu meminta uang dan memilih untuk melarikan diri karena kamu ingin mengorbankan dirimu untuk keutuhan pernikahan Davira. Jadi, sekarang kamu ragu apakah akan memberitahuku kebenarannya atau nggak."Ada kelegaan dalam ekspresi wajah Elbert setelah mendengar ini. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, sedikit frustrasi
"Datang saja ke ruang pribadi kedua di sebelah kiri.""Ya."Satu menit kemudian, Rieta muncul di depan Briella.Kedua wanita itu saling memandang dan menyiratkan kilat permusuhan yang kental.Briella mungkin bisa menebak alasannya. Rieta sangat ingin menemuinya, mungkin karena sudah menduga kalau Renata adalah Briella. Namun, ini hanya sampai pada titik ini saja. Tidak masalah kalau identitas Renata terkuak begitu saja.Karena Briella tidak mengatakan apa-apa, jadi Rieta lah yang berbicara terlebih dahulu dengan tatapan tajam. "Briella, lama nggak bertemu."Reaksi Rieta yang seperti ini sudah diduga oleh Briella. Jadi, dia masih bisa bersikap tenang."Karena kamu sudah tahu semuanya, aku nggak perlu terus berpura-pura lagi. Bu Rieta, jangan buat masalah yang nggak perlu.""Jangan buat masalah yang nggak perlu? Kalau aku melihatmu, rasanya aku bisa kena serangan jantung." Rieta melanjutkan, "Sejak awal, siapa yang ingin kamu bohongi sampai berpura-pura seperti itu? Karena kamu sudah kem
Pria itu melonggarkan dasinya dan menjatuhkan berkas di tangannya ke atas meja.Briella mengeluarkan cek dua puluh miliar dari dalam tasnya, lalu meletakkannya di atas meja kerja Valerio."Pak Valerio, ini uang dua puluh miliar. Aku harap Pak Valerio bisa membantuku mencari tahu keberadaan anakku."Nada bicara Briella terdengar memelas. Dia tidak akan bersikap seperti ini kepada Valerio kalau masih punya pilihan lain.Dua orang yang berniat untuk melupakan masa lalu, kini dipertemukan kembali oleh anak mereka. Briella berpikir kalau hal itu mungkin akan menjadi gangguan bagi mereka berdua.Mata Valerio melirik cek tersebut, lalu tatapannya beralih ke wajah Briella. Nada bicara Briella terdengar asing, seakan dia tidak punya hubungan apa pun dengan Valerio."Kamu menggunakan uangku sebagai imbalan permintaan tolong untuk membantumu menemukan anakmu?"Briella mengangguk tanpa ragu, "Ya."Pria itu tidak berdaya dan tersenyum tipis. "Elbert bilang apa saja?""Dia bilang kalau anakku masih
Nada bicara Valerio tenang. Dia meletakkan jarinya di depan mulut sebagai isyarat tenang. "Briella, aku tahu kamu peduli sama anak itu. Tapi, kita saja belum menemukannya. Kita bicarakan lagi masalah itu nanti."Briella mengepalkan tangannya erat-erat. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan menyerah atas hak asuh anak itu. Anak itu harus tetap berada di sisinya.Valerio mengangkat pandangannya dan menyadari kalau tangan Briella terkepal erat. Seketika, senyum tipis terlihat di sudut mulutnya."Bukannya kamu mau tunangan sama pria lain? Mana mungkin aku membiarkanmu membuat anakku punya ayah tiri. Kamu bisa punya anak lagi, tapi aku nggak akan bisa punya anak lagi."Briella memutar matanya jengah. "Kamu nggak merasa bersalah bilang seperti itu? Kamu sudah punya satu putra dan satu putri, tapi masih berebut anak denganku?"Valerio melihat kekhawatiran di mata Briella, gurat senyum tipis tersembunyi di antara kedua matanya."Apa maksudnya berebut anak denganmu? Kalau nggak membesarkan anak,
Melihat Valerio yang menyembunyikan Briella di belakangnya, petugas polisi itu terlihat kewalahan."Pak Valerio, tolong bekerja sama dengan kami dan biarkan kami membawa Nona ini pergi."Dari belakang punggung Valerio, Briella melihat petugas polisi yang datang. Tatapan dinginnya menunjukkan kegugupan.Sebelumnya, dia memiliki pengalaman buruk dengan dibawa pergi ke penjara. Bahkan, sampai sekarang dia masih merasa trauma dengan tempat semacam itu.Tarikan tangannya pada ujung jas yang dikenakan Valerio menunjukkan ketakutannya. Pria itu meliriknya sekilas, tahu apa yang ada di dalam hati Briella.Valerio menoleh, lalu menatap wajah petugas polisi di depannya dengan raut datar."Keluargaku meninggal, aku juga terkait dengan masalah ini. Kalian nggak boleh membawanya dengan menaiki mobil polisi. Aku yang akan mengantarnya ke sana.""Tapi ....""Nggak ada tapi." Valerio menunjukkan sikap keras dan otoriter. "Bukankah kalian juga menangkapnya tanpa punya bukti yang meyakinkan? Minta atasa
Setelah meledaknya berita kematian Rieta dan dibawanya Valerio ke kantor polisi, departemen humas Perusahaan Regulus mengklarifikasi insiden tersebut dengan menyatakan bahwa kematian Rieta memang benar adanya. Dibawanya Valerio oleh polisi hanyalah sebuah kewajiban untuk bekerja sama dalam investigasi sebagai warga negara yang taat hukum.Ini adalah prosedur yang normal, jadi tidak perlu dikhawatirkan atau menimbulkan kepanikan.Para pemegang saham Perusahaan Regulus yang dilanda kepanikan pun akhirnya bisa bernapas lega setelah melihat klarifikasi ini.Di ruang interogasi, Briella duduk di kursi tersangka. Tangan dan kakinya diborgol dan tubuhnya terasa dingin."Pelayan di restoran mengatakan kalau kamulah orang yang ditemui Bu Rieta sebelum meninggal. Kalian juga sempat bertengkar. Ceritakan secara spesifik apa yang terjadi saat itu."Briella terdiam dan kembali mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Dia berusaha sebaik mungkin untuk memberikan penjelasan yang benar dan lengkap kepad
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu