"Kamu mau ke mana?""Minta uang sama kakak buat menutup mulut Elbert."Rieta mengambil mangkuk dan mengaduk sup di dalamnya, lalu memakannya. Dia memakan sesendok demi sesendok, sambil menatap Davira dengan tatapan sinis."Aku nggak sangka kamu sangat licik sampai mencuri anak orang lain. Waktu itu aku sudah membantumu, tapi kamu yang nggak memanfaatkan kesempatan dengan baik. Aku memasukkan sesuatu ke dalam teh Rio dan membuat kalian masuk ke kamar yang sama. Tapi, dia bahkan nggak menyentuhmu?"Senyum pahit yang terlihat menyedihkan muncul di wajah Davira.Ya. Valerio menahan rasa tidak nyaman dan menyiksa yang dia rasakan karena tidak ingin melakukannya dengan Davira. Bahkan saat Davira mendekat, Valerio menendangnya, membuat Davira tidak bisa mendekat barang sedikit pun. Hal ini membuat Davira merasa frustrasi.Rieta menghabiskan semangkuk supnya dan menarik napas panjang dan dalam. Dia menyentuh liontin mutiara seharga miliaran di telinganya, lalu beranjak."Sudah, aku nggak mau b
Elbert masih belum menerima pesan balasan dari Davira, yang membuatnya makin panik.Briella menyadari kepanikan pria yang duduk di depannya. Seketika, bibirnya menyunggingkan senyuman cantik."Davira nggak balas pesanmu?"Elbert menyimpan ponselnya, mendongak dan menatap Briella. "Nggak perlu buru-buru. Aku minta seratus miliar, jadi nggak mungkin bisa terkumpul dengan cepat."Briella duduk di kursinya sambil bersedekap, menatap pria di depannya depan santai.Wajah Elbert saat ini terlihat tidak tenang dan cemas."Kalau tebakanku nggak salah, anak laki-laki yang ada di rumahmu itu harusnya anakmu dan Davira. Sebenarnya kamu punya perasaan yang nyata kepada Davira. Kamu meminta uang dan memilih untuk melarikan diri karena kamu ingin mengorbankan dirimu untuk keutuhan pernikahan Davira. Jadi, sekarang kamu ragu apakah akan memberitahuku kebenarannya atau nggak."Ada kelegaan dalam ekspresi wajah Elbert setelah mendengar ini. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, sedikit frustrasi
"Datang saja ke ruang pribadi kedua di sebelah kiri.""Ya."Satu menit kemudian, Rieta muncul di depan Briella.Kedua wanita itu saling memandang dan menyiratkan kilat permusuhan yang kental.Briella mungkin bisa menebak alasannya. Rieta sangat ingin menemuinya, mungkin karena sudah menduga kalau Renata adalah Briella. Namun, ini hanya sampai pada titik ini saja. Tidak masalah kalau identitas Renata terkuak begitu saja.Karena Briella tidak mengatakan apa-apa, jadi Rieta lah yang berbicara terlebih dahulu dengan tatapan tajam. "Briella, lama nggak bertemu."Reaksi Rieta yang seperti ini sudah diduga oleh Briella. Jadi, dia masih bisa bersikap tenang."Karena kamu sudah tahu semuanya, aku nggak perlu terus berpura-pura lagi. Bu Rieta, jangan buat masalah yang nggak perlu.""Jangan buat masalah yang nggak perlu? Kalau aku melihatmu, rasanya aku bisa kena serangan jantung." Rieta melanjutkan, "Sejak awal, siapa yang ingin kamu bohongi sampai berpura-pura seperti itu? Karena kamu sudah kem
Pria itu melonggarkan dasinya dan menjatuhkan berkas di tangannya ke atas meja.Briella mengeluarkan cek dua puluh miliar dari dalam tasnya, lalu meletakkannya di atas meja kerja Valerio."Pak Valerio, ini uang dua puluh miliar. Aku harap Pak Valerio bisa membantuku mencari tahu keberadaan anakku."Nada bicara Briella terdengar memelas. Dia tidak akan bersikap seperti ini kepada Valerio kalau masih punya pilihan lain.Dua orang yang berniat untuk melupakan masa lalu, kini dipertemukan kembali oleh anak mereka. Briella berpikir kalau hal itu mungkin akan menjadi gangguan bagi mereka berdua.Mata Valerio melirik cek tersebut, lalu tatapannya beralih ke wajah Briella. Nada bicara Briella terdengar asing, seakan dia tidak punya hubungan apa pun dengan Valerio."Kamu menggunakan uangku sebagai imbalan permintaan tolong untuk membantumu menemukan anakmu?"Briella mengangguk tanpa ragu, "Ya."Pria itu tidak berdaya dan tersenyum tipis. "Elbert bilang apa saja?""Dia bilang kalau anakku masih
Nada bicara Valerio tenang. Dia meletakkan jarinya di depan mulut sebagai isyarat tenang. "Briella, aku tahu kamu peduli sama anak itu. Tapi, kita saja belum menemukannya. Kita bicarakan lagi masalah itu nanti."Briella mengepalkan tangannya erat-erat. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan menyerah atas hak asuh anak itu. Anak itu harus tetap berada di sisinya.Valerio mengangkat pandangannya dan menyadari kalau tangan Briella terkepal erat. Seketika, senyum tipis terlihat di sudut mulutnya."Bukannya kamu mau tunangan sama pria lain? Mana mungkin aku membiarkanmu membuat anakku punya ayah tiri. Kamu bisa punya anak lagi, tapi aku nggak akan bisa punya anak lagi."Briella memutar matanya jengah. "Kamu nggak merasa bersalah bilang seperti itu? Kamu sudah punya satu putra dan satu putri, tapi masih berebut anak denganku?"Valerio melihat kekhawatiran di mata Briella, gurat senyum tipis tersembunyi di antara kedua matanya."Apa maksudnya berebut anak denganmu? Kalau nggak membesarkan anak,
Melihat Valerio yang menyembunyikan Briella di belakangnya, petugas polisi itu terlihat kewalahan."Pak Valerio, tolong bekerja sama dengan kami dan biarkan kami membawa Nona ini pergi."Dari belakang punggung Valerio, Briella melihat petugas polisi yang datang. Tatapan dinginnya menunjukkan kegugupan.Sebelumnya, dia memiliki pengalaman buruk dengan dibawa pergi ke penjara. Bahkan, sampai sekarang dia masih merasa trauma dengan tempat semacam itu.Tarikan tangannya pada ujung jas yang dikenakan Valerio menunjukkan ketakutannya. Pria itu meliriknya sekilas, tahu apa yang ada di dalam hati Briella.Valerio menoleh, lalu menatap wajah petugas polisi di depannya dengan raut datar."Keluargaku meninggal, aku juga terkait dengan masalah ini. Kalian nggak boleh membawanya dengan menaiki mobil polisi. Aku yang akan mengantarnya ke sana.""Tapi ....""Nggak ada tapi." Valerio menunjukkan sikap keras dan otoriter. "Bukankah kalian juga menangkapnya tanpa punya bukti yang meyakinkan? Minta atasa
Setelah meledaknya berita kematian Rieta dan dibawanya Valerio ke kantor polisi, departemen humas Perusahaan Regulus mengklarifikasi insiden tersebut dengan menyatakan bahwa kematian Rieta memang benar adanya. Dibawanya Valerio oleh polisi hanyalah sebuah kewajiban untuk bekerja sama dalam investigasi sebagai warga negara yang taat hukum.Ini adalah prosedur yang normal, jadi tidak perlu dikhawatirkan atau menimbulkan kepanikan.Para pemegang saham Perusahaan Regulus yang dilanda kepanikan pun akhirnya bisa bernapas lega setelah melihat klarifikasi ini.Di ruang interogasi, Briella duduk di kursi tersangka. Tangan dan kakinya diborgol dan tubuhnya terasa dingin."Pelayan di restoran mengatakan kalau kamulah orang yang ditemui Bu Rieta sebelum meninggal. Kalian juga sempat bertengkar. Ceritakan secara spesifik apa yang terjadi saat itu."Briella terdiam dan kembali mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Dia berusaha sebaik mungkin untuk memberikan penjelasan yang benar dan lengkap kepad
Briella berjalan keluar dari ruang interogasi, memutar pergelangan tangannya yang agak sakit. Ketika mendongak, dia melihat sosok pria tengah berdiri tidak jauh dari tempatnya berada.Cuaca hari ini cukup dingin. Karena kejadian yang tiba-tiba, Valerio hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Sosoknya yang ramping memancarkan aura dingin dan asing, membuat orang lain tidak berani mendekat.Melihat pria itu berdiri di sana, entah kenapa Briella merasa kalau pria itu tengah menunggunya. Seketika, matanya langsung memerah.Kalau pria itu tidak mengikutinya sampai di sini, Briella tidak bisa membayangkan seberapa besar keberanian yang dia butuhkan agar bisa menekan kepanikan dan ketakutan di dalam hatinya.Valerio melangkah mendekat dan berdiri di depan Briella. Melihat wajah mungil Briella yang terlihat pucat, matanya yang indah diselimuti oleh kepanikan yang kuat.Dia bertanya dengan alis berkerut, "Kenapa? Apa di dalam sana mereka memukulimu?""Nggak. Mereka melakukan int