Melihat Valerio yang menyembunyikan Briella di belakangnya, petugas polisi itu terlihat kewalahan."Pak Valerio, tolong bekerja sama dengan kami dan biarkan kami membawa Nona ini pergi."Dari belakang punggung Valerio, Briella melihat petugas polisi yang datang. Tatapan dinginnya menunjukkan kegugupan.Sebelumnya, dia memiliki pengalaman buruk dengan dibawa pergi ke penjara. Bahkan, sampai sekarang dia masih merasa trauma dengan tempat semacam itu.Tarikan tangannya pada ujung jas yang dikenakan Valerio menunjukkan ketakutannya. Pria itu meliriknya sekilas, tahu apa yang ada di dalam hati Briella.Valerio menoleh, lalu menatap wajah petugas polisi di depannya dengan raut datar."Keluargaku meninggal, aku juga terkait dengan masalah ini. Kalian nggak boleh membawanya dengan menaiki mobil polisi. Aku yang akan mengantarnya ke sana.""Tapi ....""Nggak ada tapi." Valerio menunjukkan sikap keras dan otoriter. "Bukankah kalian juga menangkapnya tanpa punya bukti yang meyakinkan? Minta atasa
Setelah meledaknya berita kematian Rieta dan dibawanya Valerio ke kantor polisi, departemen humas Perusahaan Regulus mengklarifikasi insiden tersebut dengan menyatakan bahwa kematian Rieta memang benar adanya. Dibawanya Valerio oleh polisi hanyalah sebuah kewajiban untuk bekerja sama dalam investigasi sebagai warga negara yang taat hukum.Ini adalah prosedur yang normal, jadi tidak perlu dikhawatirkan atau menimbulkan kepanikan.Para pemegang saham Perusahaan Regulus yang dilanda kepanikan pun akhirnya bisa bernapas lega setelah melihat klarifikasi ini.Di ruang interogasi, Briella duduk di kursi tersangka. Tangan dan kakinya diborgol dan tubuhnya terasa dingin."Pelayan di restoran mengatakan kalau kamulah orang yang ditemui Bu Rieta sebelum meninggal. Kalian juga sempat bertengkar. Ceritakan secara spesifik apa yang terjadi saat itu."Briella terdiam dan kembali mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Dia berusaha sebaik mungkin untuk memberikan penjelasan yang benar dan lengkap kepad
Briella berjalan keluar dari ruang interogasi, memutar pergelangan tangannya yang agak sakit. Ketika mendongak, dia melihat sosok pria tengah berdiri tidak jauh dari tempatnya berada.Cuaca hari ini cukup dingin. Karena kejadian yang tiba-tiba, Valerio hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Sosoknya yang ramping memancarkan aura dingin dan asing, membuat orang lain tidak berani mendekat.Melihat pria itu berdiri di sana, entah kenapa Briella merasa kalau pria itu tengah menunggunya. Seketika, matanya langsung memerah.Kalau pria itu tidak mengikutinya sampai di sini, Briella tidak bisa membayangkan seberapa besar keberanian yang dia butuhkan agar bisa menekan kepanikan dan ketakutan di dalam hatinya.Valerio melangkah mendekat dan berdiri di depan Briella. Melihat wajah mungil Briella yang terlihat pucat, matanya yang indah diselimuti oleh kepanikan yang kuat.Dia bertanya dengan alis berkerut, "Kenapa? Apa di dalam sana mereka memukulimu?""Nggak. Mereka melakukan int
Mobil melaju ke dalam lingkungan perumahan dan berhenti di depan sebuah vila yang menjulang tinggi. Sopir turun dari mobil dan membuka pintu vila, lalu masuk dan menyalakan lampu. Dia memeriksa bagian dalam vila sebelum keluar."Pak Valerio, di dalam tidak ada apa pun."Valerio mengangguk, membuat sopir membuka pintu mobil. Pria itu melirik arah Briella di sampingnya, yang ternyata sudah tidur.Valerio mengangkat tangannya, bergerak dengan lembut untuk memangku Briella di pangkuannya, memperlakukan Briella layaknya anak kecil. Lalu, dia menggendongnya keluar dari mobil.Sopir memakaikan jas ke tubuh Valerio, melihat Valerio menggendong Briella masuk ke dalam vila sebelum pergi.Valerio membawa Briella ke kamar yang berada di lantai dua, lalu membaringkannya di ranjang.Tidur Briella masih belum lelap, jadi dia langsung terbangun setelah dibaringkan di ranjang. Begitu membuka mata, dia melihat lingkungan yang tidak dikenal. Detik berikutnya, dia mendengar suara percikan air dari kamar m
Valerio mengambil kemeja putih dan memakainya dengan asal untuk menutupi tubuhnya. Lalu, dia duduk di meja makan, menunjukkan sikap jantan.Briella terbisa mengerucutkan bibirnya, lalu meletakkan bantal di pelukannya dan berdiri. "Aku cuci tangan dulu."Pria itu mendongak dan tatapannya tanpa sadar menyapu punggung Briella. Melihat punggung ramping dan kaki jenjang Briella, tatapannya berubah dalam. Gejolak di dalam tubuhnya makin meningkat.Valerio berusaha menahan dorongan itu dengan mengambil alat makan. Dia menyantap hidangan mi di depannya dengan gerakan santai.Briella selesai mencuci tangan dan berjalan keluar. Dia menarik kursi makan, lalu duduk di seberang Valerio.Keduanya terdiam, masing-masing sibuk dengan makanan mereka. Sesekali, tatapan mereka bertemu tanpa merasa canggung.Setelah mengisi perutnya, Valerio duduk di sofa dan menyalakan TV. Berita diputar di saluran keuangan, di mana seorang komentator keuangan menganalisis dan mengomentari dampak kematian Rieta yang tida
"Jangan bergerak atau aku nggak janji bisa menahan diri."Jantung Briella berdegup kencang dan pikirannya dilanda kebingungan. Dia ingin melawan, tetapi tubuhnya lemas, tidak bisa mengerahkan kekuatan untuk memberontak.Valerio melepaskan tangan Briella dan menyangga kedua lengannya di kedua sisi tubuh Briella. Dia menatap mata Briella dengan tatapan penuh nafsu, lalu mendongak dan mengembuskan napas panjang.Tubuhnya terasa berat, tetapi dia masih mampu mengendalikan dirinya di saat seperti ini.Valerio bergerak dan turun dari sofa, memungut handuk yang jatuh ke lantai dan melilitkannya ke tubuh bagian bawahnya. Dia melirik Briella. Tatapan panasnya memudar, lalu melangkah ke lantai atas dengan wajah tampannya yang menegang.Briella mencoba untuk duduk dan bersandar di sofa dengan napas terengah-engah. Setelah itu, sayup-sayup dia mendengar suara air mengalir dari lantai atas.Dia merapikan rambutnya yang berantakan dan menghembuskan napas dalam. Dia kembali teringat apa yang terjadi
Valerio mencoba untuk bersabar dan menjelaskannya kepada Briella."Masalah anak dan masalah ini adalah dua hal yang berbeda. Aku sudah meminta Marco menyelidiki kebenaran anak kita dan hasilnya akan segera kita ketahui. Sebelum itu, kita selesaikan dulu masalah yang ada.""Penyelesaian masalah yang kamu maksud adalah memaafkan Davira dan melindunginya tanpa prinsip."Briella menatap pria itu tanpa ekspresi. Saat ini, pikirannya makin jernih dan tenang."Nggak masalah. Lindungi saja Davira. Intinya, kematian Rieta nggak memberiku pengaruh apa pun. Tapi masalah anak, aku mau kebenaran dan keadilan. Aku ingin melihat hal yang terburuk sekalipun. Kalau dalam hal ini pun kamu masih melindunginya, aku juga nggak akan tinggal diam!"Tatapan Briella tegas. Setelah mengatakan ini, dia tidak lagi ingin mengatakan sepatah kata pun pada Valerio, langsung berbalik dan berjalan ke lantai atas.Valerio menatap punggung Briella, dadanya terasa sedikit sesak.Kenapa wanita ini tidak mau mendengarnya me
Briella mengamati kamar ini, yang ternyata tidak ada sofa. Kalau tidak ingin tidur di lantai, mereka hanya bisa tidur di ranjang. Valerio dan Briella sampai di sini sudah hampir fajar. Karena itu, mereka hanya bisa tidur di ranjang yang sama.Briella berjalan ke sisi samping ranjang, menyibak selimut dan berbaring.Valerio mematikan lampu dan ruangan menjadi gelap dan hening.Briella membalikkan badan dan bergeser sejauh mungkin dengan Valerio.Valerio memperhatikan punggung Briella yang masih diliputi kemarahan, tiba-tiba menyunggingkan senyuman tipis.Dia mengeluarkan tangannya dari dalam selimut dan menyentuh pinggang Briella, bersikap seakan tidak sengaja melakukannya.Briella tersentak, makin mengeratkan selimut untuk membungkus tubuhnya. Dia bergeser menjauh, hingga separuh tubuhnya sampai di pembatas ranjang. Bergerak sedikit saja dia pasti akan jatuh.Setiap gerakannya menunjukkan protes.Entah kenapa Valerio tergoda untuk menertawakan tingkahnya yang menunjukkan protes kemarah
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu