Davira menangis. Ketika dia melihat kalau Valerio tidak lagi menghentikan tangisannya, dia merasa lega dan merasa menang.Ini adalah langkah yang tepat. Dia yakin kalau penilaiannya Valerio terhadapnya perlahan mulai berubah."Apa yang terjadi saat itu adalah salahku sepenuhnya. Kita mungkin nggak akan putus kalau aku langsung menemuimu saat kamu meminta putus."Gurat rasa bersalah dan penyesalan muncul di wajah Valerio yang muram."Nggak begitu." Davira menggeleng dan mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Valerio. Dia menautkan jari-jarinya dengan erat, lalu mengatakan, "Kalau aku harus memilih sekali lagi, aku tetap akan minta putus denganmu. Hanya saja, aku sangat menyesal karena orang yang menemanimu berjuang selama lima tahun bukanlah aku."Valerio bisa memahami maksud dari perkataan Davira.Wanita yang telah menemaninya berjuang selama lima tahun hingga Valerio bisa sampai ke titik ini adalah Briella.Namun, wanita itu tidak menganggap serius semua ini dan malah pergi untuk
Briella malah terlihat tenang. Tangannya memegang setengah buah semangka.Semangka itu lebih besar dari kepalanya. Setelah selesai memakan daging buah semangka, dia mengambil sedotan untuk meminum airnya. Dia seperti seorang wanita bangsawan yang sedang minum teh di sore hari, lengkap dengan sikapnya yang santai dan anggun.Gita memperhatikan sikap Briella yang tenang dan akhirnya menyadari dari mana Zayden punya sifat seperti itu."Kamu benar-benar cuma akan diam saja?""Memangnya aku harus gimana?""Benar juga. Apa lagi yang bisa kamu lakukan."Lala tidak pernah menyelamatkan nyawa Pak Valerio dan dia juga tidak punya orang tua kaya seperti Davira atau latar belakang pendidikan di luar negeri. Jadi apa yang membuat Pak Valerio bersedia untuk menikahinya? Mengandalkan hubungan mereka selama lima tahun atau penderitaan tidak berperikemanusiaan yang telah dialami Lala selama bekerja dengan Valerio?Orang-orang bisa tertarik dengan Lala hanya karena melihat kecantikan Lala. Namun, saat m
Mendengar suara Briella, kelopak mata wanita itu terbuka. Saat melihat wajah Briella, kelopak matanya berkaca-kacaDia berseru pelan, "La ... Lala.""Ibu, ini aku." Air mata Briella berlinang saat menggenggam tangan ibunya. "Ibu, apa ada yang sakit? Mau aku panggilkan dokter?"Wanita dengan wajah pucat itu memejamkan mata, menutup kelopak matanya dan tertidur lelap ...."Lala, aku sangat lelah.""Ibu, kalau begitu jangan bicara dulu, istirahatlah."Briella berdiri dan berjalan keluar dari ruang rawat untuk mencari dokter dan menanyakan keadaan ibunya.Dokter memberi tahu, sejauh ini ibunya yang sadarkan diri merupakan pertanda baik. Namun, perawatan di rumah sakit ini terbatas dan akan lebih baik kalau ibunya segera dipindahkan ke rumah sakit yang lebih bagus agar tidak menunda perawatan.Briella berniat menelepon Nathan untuk menanyakan masalah rumah sakit yang pernah Nathan katakan.Saat menyentuh ponselnya, tiba-tiba pundak Briella ditepuk oleh seseorang. Ketika menoleh, Briella mel
"Ibu angkatmu sudah bilang siapa orang tua kandungmu?""Sekarang belum. Saat keadaannya membaik, aku akan tanya lagi.""Orang tua kandungmu juga kejam. Sudah bertahun-tahun, tapi mereka nggak punya pikiran buat cari kamu. Menurutku, lebih baik kamu menganggap mereka sudah meninggal saja."Briella menuangkan secangkir air hangat dan duduk di sofa sambil memegang cangkir itu untuk menghangatkan tangannya.Di masa-masa sulit Briella dulu, dia juga sangat membenci orang tua kandungnya yang sudah membuang dirinya. Namun, setelah menjadi seorang ibu, Briella juga belajar untuk memahami dan memaafkan. Mungkin mereka juga punya kesulitan sendiri."Gita, setelah wawancara besok, aku akan naik kereta cepat buat pergi ke Kota Veros. Aku titip Zayden.""Pergilah. Selama ada aku, kamu nggak perlu mengkhawatirkan anakmu.""Kalau begitu istirahatlah."...Keesokan harinya, Briella bangun pagi-pagi sekali. Wawancara di perusahaan dijadwalkan jam setengah sembilan. Setelah tes tertulis dan wawancara, p
Perusahaan Regulus.Pesawat Valerio baru saja mendarat. Dia langsung bergegas ke kantor begitu mendengar ada masalah besar yang terjadi di Perusahaan Regulus.Siska dipanggil ke ruangannya. Untuk pertama kalinya dia melihat Pak Valerio terlihat panik.Orang sepertinya pasti sudah melalui banyak hal dan tidak seharusnya dia segugup ini, bukan?"Di mana Briella?""Dia ... di kereta cepat.""Siapa yang menelepon polisi?""Ah ...."Siska terkejut saat mendengar pertanyaan Pak Valerio. Dengan risiko rahasia perusahaan bocor dan dicuri, bukankah seharusnya pilihan yang paling tepat adalah menelepon polisi?Namun, maksud dari kata-kata Pak Valerio, apa seharusnya mereka tidak lapor polisi?Siska baru beberapa hari mengambil alih pekerjaan Briella. Sikap Valerio membuat dirinya merasa kariernya sudah berakhir."Saya ... saya akan memeriksanya sekarang ....""Nggak perlu." Valerio menghentikan Siska, "Ke mana Briella pergi?""Saya ... nggak tahu. Nomor Bu Briella nggak bisa dihubungi."Valerio
Davira mencoba menekan amarah yang meledak di dalam dirinya lalu berbalik dan keluar dari ruangan Valerio.Begitu sampai di meja kerja Briella, dia menatap Siska lekat-lekat.Siska terus mencoba menghubungi Briella dan merasa tidak nyaman ditatap seperti itu oleh Davira."Bu Davira, ada apa?"Davira menjawab dengan tidak senang, "Kenapa nada bicaramu begitu? Kamu ada masalah denganku?"Siska mengerutkan bibir. Sejak terakhir kali Keluarga Atmaja datang ke ruang presdir dan membuat keributan, pegawai di kantor presdir mana yang tidak kesal kepada Davira?Bukan hanya itu, rasa kesal mereka kepada Davira sangat besar.Ketika Bu Briella masih bekerja di sini, dia melakukan semua pekerjaannya dengan penuh perhatian dan penuh pertimbangan, saat bekerja juga sangat efisien. Semuanya memiliki hubungan baik dengan Bu Briella. Begitu Bu Briella pergi, tiba-tiba saja suasana kantor menjadi tidak nyaman, seolah-olah mereka telah kehilangan seorang pemimpin yang sangat penting.Semua orang merinduk
"Rio, kenapa kamu pergi ke Kota Veros?"Davira belum pergi jauh, jadi sempat mendengar percakapan Valerio dan Siska. Dia langsung menghentikan pria itu di koridor."Mencari Briella."Davira menggerutu dan mulai mengeluh, "Masalah ini bisa selesai kalau lapor polisi, tapi kamu malah merepotkan dirimu sendiri."Valerio bertanya dengan nada dingin, "Davira, aku tanya, apa kamu yang melakukan ini?"Davira terkejut, terlihat kesedihan di wajahnya yang dingin. "Kamu pun curiga kepadaku? Rio, kamu sangat mengecewakanku ....""Kita bersikap profesional dan jangan bawa-bawa perasaan. Kamu hanya perlu jawab ya atau tidak.""Kalau memang aku yang melakukannya, kenapa aku bersikeras memintamu lapor polisi?" Davira menjadi emosional, "Bukankah harusnya aku takut? Rio, aku bukan orang bodoh!"Bibir tipis Valerio terkatup dan tidak bisa menepis pembelaan Davira."Nggak peduli apa yang kamu lakukan, jangan sakiti dia.""Heh ...." Davira mencibir, "Kamu itu tunanganku, tapi kamu memintaku buat nggak me
Nathan membukakan pintu mobil dan mempersilakan Briella masuk. Sementara dia sendiri duduk di kursi kemudi dan melajukan mobilnya keluar dari stasiun.Briella memegang buket mawar di tangan dan membicarakan masalah ibunya dengan Nathan."Apa masalah ibu sudah beres?""Sudah. Rumah sakit di sini punya tim yang khusus yang bisa menangani penyakit ibumu. Jangan khawatir, perawatan di sini pasti lebih baik daripada rumah sakit di Kota Tamar.""Terima kasih, Nathan. Tolong catat semua pengeluarannya. Aku akan melunasinya nanti.""Kamu ini orang yang pintar dalam segala hal, tapi kamu sangat perhitungan.""Beberapa hal memang harus dihitung."Briella menyandarkan kepalanya, membuat angin yang melewati mobil menerpa wajahnya dan membuat rambutnya berantakan. Nathan sedikit melirik dan dia melihat kecantikan alami dalam diri Briella.Dia bahkan lupa dengan apa yang ingin dikatakannya. Alangkah baiknya kalau waktu bisa berhenti pada saat ini.Mobil melaju di jalanan Kota Veros yang sibuk, berbe