Zayden melirik alamat yang ditulis di catatan itu, lalu memberikan alamat lengkap Briella kepada penjaga pintu gerbang.Penjaga itu menelepon apartemen Briella, tetapi panggilan tidak dijawab.Dia pun menyerah dan berjalan keluar menghampiri Zayden. "Pemiliknya lagi nggak di rumah. Karena kamu pengunjung, kamu pasti punya nomornya. Telepon dulu saja. Kalau sudah dapat izin, kami baru bisa membiarkanmu masuk."Zayden sedikit kecewa. "Aku nggak punya nomor teleponnya.""Nggak punya nomor teleponnya?" Penjaga itu pun tidak berdaya. "Kalau begitu, kami nggak bisa kasih izin kamu masuk."Zayden melihat lampu-lampu di lingkungan sekitar, tatapannya perlahan-lahan meredup. Dia berdiri diam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket yang dia kenakan.Dia hanya berdiri di sana, menatap lalu lintas yang terlihat di depannya. Setelah sekitar sepuluh menit, dia melihat sebuah mobil SUV putih melintas. Melalui kaca jendela, dia melihat wajah yang selalu dia pikirkan siang dan malam.Itu Mam
"Aku nggak berbohong."Zayden menatap lurus ke arah Briella. Briella benar-benar tidak mengingatnya sama sekali."Kenapa aku nggak percaya? Kalau kamu nggak jawab jujur, aku akan telepon polisi."Zayden terpaksa mengatakan yang sebenarnya. "Mama sudah nggak menginginkanku lagi. Aku tinggal sama Papa dan adik perempuanku. Aku bertengkar sama Papa dan pergi dari rumah. Aku nggak mau pulang.""Ternyata begitu."Pakaian anak ini cukup rapi, tetapi wajahnya terlihat muram. Ternyata dia anak yang suka memberontak."Kalau begitu aku akan menghubungi Papa mu. Perseteruan ayah dan anak nggak akan bertahan lama, jadi kamu harus kembali. Kalau nggak, Papa mu akan khawatir.""Aku nggak akan pergi." Zayden berkata dengan keras kepala, "Aku datang untuk menemui Mama.""Eh ...." Briella bertanya dengan penasaran, "Apa Mama mu ada di sekitar sini?""Ya.""Pantas saja." Briella mulai berspekulasi, "Jadi, kamu menghentikan mobilku, masuk ke lingkungan ini untuk memintaku membantumu mencari Mama?"Zayden
"Tunggu." Mendengar itu, Briella makin merasa ada yang tidak beres. "Apa kamu punya banyak uang sampai ingin membeli waktuku? Selain itu, bukannya kamu mau cari Mama mu? Kenapa malah mau sering mengunjungiku."Briella makin curiga dengan motif anak ini. Mana ada anak kecil yang bicara seperti ini? Menakutkan sekali.Zayden tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Aku harus pulang. Ingat, Kamis depan tunggu aku di rumah."Briella bingung. Kenapa nada bicara anak ini sangat keras?"Kamu menganggapku apa sampai memintaku menunggu di rumah? Kalau mampu, kasih uangnya padaku sekarang juga."Zayden mengerjap, mengutak-atik sakunya dan melepas jam tangan yang dia kenakan. "Aku nggak bawa dompet. Ambil jam ini saja dulu."Briella melirik jam tangan itu, ternyata Patek Philippe yang harganya satu miliar.Tampaknya anak ini bukan anak dari keluarga biasa, mungkin tuan muda dari keluarga kaya.Briella tidak ingin membuat masalah, lebih tepatnya dia tidak boleh sampai membuat masalah.Briella tidak men
Valerio meremehkan, "Biarkan saja kalau memang dia mau menikah. Masih banyak wanita lain, nggak cuma dia saja."Zayden tercengang, tidak tahu harus berkata apa."Sebanyak apa pun wanita yang kamu cari, aku nggak akan menerima mereka sebagai Mama ku. Aku cuma punya satu Mama dan itu hanya Briella."Valerio mendengus dingin, "Keras kepala."Zayden mendengus, "Aku nggak mau bicara denganmu lagi.""Berhenti."Valerio memanggil Zayden dengan suara dingin, seperti panggilan yang berasal dari neraka. Tubuh Zayden menegang, lalu berdiri diam di tempatnya.Dia berbalik, menegakkan punggungnya dan berkata dengan lemah, "Aku mau istirahat di kamar. Papa juga istirahatlah.""Besok, begitu bangun, kamu dihukum menyalin seratus kali pelajaran keluarga.""Aku mengerti. Apa ada lagi, Papa?""Tidurlah."Zayden mengerucutkan bibirnya dan melangkahkan kakinya menuju kamarnya.Dia berbaring di tempat tidurnya, meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. Matanya berbinar penuh kepuasan saat mengingat ke
Klinton mengamati pakaian Briella malam ini. "Malam ini kamu cantik sekali. Kamu pasti jadi wanita yang paling menarik saat pesta nanti. Aku makin takut kalau banyak orang yang tertarik kepadamu. Tapi nggak masalah kalau kamu mau pergi. Aku akan melindungimu.""Kalau begitu terima kasih." Briella melempar senyum manisnya pada Klinton.Mereka berdua tiba di pesta. Klinton memarkir mobilnya, sementara Briella berdiri menunggunya di jalur karpet merah."Renata, kamu terlihat sangat cocok dengan pakaian ini. Kenapa gaun palsu bisa masuk ke pesta berkelas seperti ini? Rasanya sangat nggak berkelas."Briella memutar matanya lebar-lebar saat mendengar suara itu.Menoleh ke belakang, ternyata Ditha lah yang mengatakan itu. Davira pun ada di sampingnya.Briella membalas ejekan itu, "Bukan gaun palsu, tapi kamu lah yang nggak paham gaun bagus."Ditha tersenyum misterius, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Davira. Setelah itu, keduanya pun tertawa terbahak-bahak.Davira memainkan rambutnya denga
Davira dan Ditha saling berpandangan, keduanya saling memerintahkan untuk menelepon butik."Kamu saja yang telepon, 'kan kamu yang taruhan sama Renata." Davira membelai rambutnya dan langsung mengambil sikap tenang.Ditha terlihat sedikit enggan. Karena sudah mengatakannya, jadi dia tidak boleh takut. Bagaimana kalau Renata hanya bertaruh kalau dia tidak berani menelepon butik?Lagipula, kalaupun gaun itu berasal dari butik itu, Renata belum tentu mampu membelinya. Mungkin saja gaun itu hasil sewaan atau curian!"Kalau begitu akan telepon. Renata, dengarkan baik-baik. Kalau gaun yang kamu pakai ini bukan dari butik yang kamu bilang, kamu kalah taruhan."Ditha mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor butik tersebut dan menyalakan speakerphone.Briella berdiri di satu sisi sambil mendengarkan bunyi panggilan, lalu seseorang mengangkat telepon."Halo, dengan Molilly Boutique, ada yang bisa kami bantu?"Mata Ditha terus menatap wajah Briella, terus mengawasi ekspresinya karena ingin me
"Aku menyiapkan gaun ini untuk Nona Renata. Hanya Nona Renata yang bisa memakai gaun ini dengan cantik. Kalian berdua malah seperti wanita bodoh yang mempermalukan diri di pesta seperti ini."Davira dan Ditha sangat marah, tetapi mereka tidak berani berdebat dengan Nathan.Pria itu memberikan kesan menakutkan seperti preman. Mana mungkin mereka berani macam-macam dengannya.Briella melirik ke arah Nathan dan tiba-tiba merasakan hatinya dipenuhi rasa percaya diri, tidak takut sedikit pun.Pandangannya menatap Davira dan Ditha bergantian. "Lebih baik mengaku kalah. Ditha, aku yang menang, kamu harus melakukan apa yang aku minta."Ditha masih enggan. "Kamu ... apa yang kamu mau?""Aku mau kamu ambil pulpen dan tulis di keningmu, Renata adalah dewiku. Kamu bisa mencuci tulisan itu setelah pesta selesai.""Apa!" Ditha melotot terkejut. "Nggak bisa! Aku nggak akan menyetujui permintaan konyol seperti itu darimu.""Bagaimana kalau mengukirnya di wajahmu dengan pisau?" Nathan menjilat bibirnya
Mereka yang tidak tahu pasti akan mengira kalau Valerio dan Briella adalah pasangan.Klinton mengira dia salah lihat, jadi melihat keduanya lebih lekat lagi. Setelah itu, dia akhirnya menyadari kalau berlian pada gaun dan dasi itu juga sama persis."Dari mana kamu dapat gaun itu?" Klinton bertanya kepada Briella"Itu miliknya." Briella juga memperhatikan apa yang dikenakan Valerio. Dia mengingat banyak detail sebelum menyimpulkan kalau gaun ini adalah milik Valerio.Dialah yang terlambat menyadari kalau gaun ini ternyata dirancang untuknya.Briella tidak habis pikir dan terus menatap Valerio dari jauh, sosok kehadiran yang paling tidak terlewatkan di ruangan itu. Auranya terlalu kuat, benar-benar mengalahkan semua orang yang hadir.Tiba-tiba, lampu padam secara tiba-tiba dan ruang perjamuan berada dalam kegelapan. Para tamu tidak bisa melihat apa pun, situasi pun menjadi kacau.Terdengar jeritan yang memekakkan telinga dan suara pecahan kaca.Klinton langsung menggenggam tangan Briella
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu