"Biarkan aku menemuinya sebentar, aku sangat merindukannya. Aku mohon, Papa."Wajah dingin Valerio sedikit mengendur. Dia mengangkat tangannya dan menepis tangan Zayden. "Bersihkan air matamu."Zayden yang mendengar itu pun menyeka air mata dari telapak tangannya dan berkata sambil terisak, "Apa boleh? Biarkan aku bertemu dengannya.""Apa gunanya bertemu dengannya?" Valerio berkata dengan suara yang dalam, "Kalau kamu bertemu dengannya dan membuat emosimu jadi lebih baik dalam belajar dan menjalani hidup, aku akan kasih izin. Tapi, mana mungkin aku percaya padamu? Bertemu dengannya sekali saja sudah membuatmu seemosional ini."Zayden berjanji dengan penuh keyakinan, "Aku janji. Selama bisa bertemu dengannya, aku akan menjalani hidupku dengan baik dan nggak akan mengganggunya lagi."Valerio akhirnya berkompromi, mengambil pulpen dan kertas dari mejanya dan menuliskan serangkaian alamat di atasnya."Ini alamat tempat tinggal ibumu sekarang. Aku akan mengizinkanmu untuk menemuinya, tapi k
Zayden melirik alamat yang ditulis di catatan itu, lalu memberikan alamat lengkap Briella kepada penjaga pintu gerbang.Penjaga itu menelepon apartemen Briella, tetapi panggilan tidak dijawab.Dia pun menyerah dan berjalan keluar menghampiri Zayden. "Pemiliknya lagi nggak di rumah. Karena kamu pengunjung, kamu pasti punya nomornya. Telepon dulu saja. Kalau sudah dapat izin, kami baru bisa membiarkanmu masuk."Zayden sedikit kecewa. "Aku nggak punya nomor teleponnya.""Nggak punya nomor teleponnya?" Penjaga itu pun tidak berdaya. "Kalau begitu, kami nggak bisa kasih izin kamu masuk."Zayden melihat lampu-lampu di lingkungan sekitar, tatapannya perlahan-lahan meredup. Dia berdiri diam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket yang dia kenakan.Dia hanya berdiri di sana, menatap lalu lintas yang terlihat di depannya. Setelah sekitar sepuluh menit, dia melihat sebuah mobil SUV putih melintas. Melalui kaca jendela, dia melihat wajah yang selalu dia pikirkan siang dan malam.Itu Mam
"Aku nggak berbohong."Zayden menatap lurus ke arah Briella. Briella benar-benar tidak mengingatnya sama sekali."Kenapa aku nggak percaya? Kalau kamu nggak jawab jujur, aku akan telepon polisi."Zayden terpaksa mengatakan yang sebenarnya. "Mama sudah nggak menginginkanku lagi. Aku tinggal sama Papa dan adik perempuanku. Aku bertengkar sama Papa dan pergi dari rumah. Aku nggak mau pulang.""Ternyata begitu."Pakaian anak ini cukup rapi, tetapi wajahnya terlihat muram. Ternyata dia anak yang suka memberontak."Kalau begitu aku akan menghubungi Papa mu. Perseteruan ayah dan anak nggak akan bertahan lama, jadi kamu harus kembali. Kalau nggak, Papa mu akan khawatir.""Aku nggak akan pergi." Zayden berkata dengan keras kepala, "Aku datang untuk menemui Mama.""Eh ...." Briella bertanya dengan penasaran, "Apa Mama mu ada di sekitar sini?""Ya.""Pantas saja." Briella mulai berspekulasi, "Jadi, kamu menghentikan mobilku, masuk ke lingkungan ini untuk memintaku membantumu mencari Mama?"Zayden
"Tunggu." Mendengar itu, Briella makin merasa ada yang tidak beres. "Apa kamu punya banyak uang sampai ingin membeli waktuku? Selain itu, bukannya kamu mau cari Mama mu? Kenapa malah mau sering mengunjungiku."Briella makin curiga dengan motif anak ini. Mana ada anak kecil yang bicara seperti ini? Menakutkan sekali.Zayden tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Aku harus pulang. Ingat, Kamis depan tunggu aku di rumah."Briella bingung. Kenapa nada bicara anak ini sangat keras?"Kamu menganggapku apa sampai memintaku menunggu di rumah? Kalau mampu, kasih uangnya padaku sekarang juga."Zayden mengerjap, mengutak-atik sakunya dan melepas jam tangan yang dia kenakan. "Aku nggak bawa dompet. Ambil jam ini saja dulu."Briella melirik jam tangan itu, ternyata Patek Philippe yang harganya satu miliar.Tampaknya anak ini bukan anak dari keluarga biasa, mungkin tuan muda dari keluarga kaya.Briella tidak ingin membuat masalah, lebih tepatnya dia tidak boleh sampai membuat masalah.Briella tidak men
Valerio meremehkan, "Biarkan saja kalau memang dia mau menikah. Masih banyak wanita lain, nggak cuma dia saja."Zayden tercengang, tidak tahu harus berkata apa."Sebanyak apa pun wanita yang kamu cari, aku nggak akan menerima mereka sebagai Mama ku. Aku cuma punya satu Mama dan itu hanya Briella."Valerio mendengus dingin, "Keras kepala."Zayden mendengus, "Aku nggak mau bicara denganmu lagi.""Berhenti."Valerio memanggil Zayden dengan suara dingin, seperti panggilan yang berasal dari neraka. Tubuh Zayden menegang, lalu berdiri diam di tempatnya.Dia berbalik, menegakkan punggungnya dan berkata dengan lemah, "Aku mau istirahat di kamar. Papa juga istirahatlah.""Besok, begitu bangun, kamu dihukum menyalin seratus kali pelajaran keluarga.""Aku mengerti. Apa ada lagi, Papa?""Tidurlah."Zayden mengerucutkan bibirnya dan melangkahkan kakinya menuju kamarnya.Dia berbaring di tempat tidurnya, meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. Matanya berbinar penuh kepuasan saat mengingat ke
Klinton mengamati pakaian Briella malam ini. "Malam ini kamu cantik sekali. Kamu pasti jadi wanita yang paling menarik saat pesta nanti. Aku makin takut kalau banyak orang yang tertarik kepadamu. Tapi nggak masalah kalau kamu mau pergi. Aku akan melindungimu.""Kalau begitu terima kasih." Briella melempar senyum manisnya pada Klinton.Mereka berdua tiba di pesta. Klinton memarkir mobilnya, sementara Briella berdiri menunggunya di jalur karpet merah."Renata, kamu terlihat sangat cocok dengan pakaian ini. Kenapa gaun palsu bisa masuk ke pesta berkelas seperti ini? Rasanya sangat nggak berkelas."Briella memutar matanya lebar-lebar saat mendengar suara itu.Menoleh ke belakang, ternyata Ditha lah yang mengatakan itu. Davira pun ada di sampingnya.Briella membalas ejekan itu, "Bukan gaun palsu, tapi kamu lah yang nggak paham gaun bagus."Ditha tersenyum misterius, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Davira. Setelah itu, keduanya pun tertawa terbahak-bahak.Davira memainkan rambutnya denga
Davira dan Ditha saling berpandangan, keduanya saling memerintahkan untuk menelepon butik."Kamu saja yang telepon, 'kan kamu yang taruhan sama Renata." Davira membelai rambutnya dan langsung mengambil sikap tenang.Ditha terlihat sedikit enggan. Karena sudah mengatakannya, jadi dia tidak boleh takut. Bagaimana kalau Renata hanya bertaruh kalau dia tidak berani menelepon butik?Lagipula, kalaupun gaun itu berasal dari butik itu, Renata belum tentu mampu membelinya. Mungkin saja gaun itu hasil sewaan atau curian!"Kalau begitu akan telepon. Renata, dengarkan baik-baik. Kalau gaun yang kamu pakai ini bukan dari butik yang kamu bilang, kamu kalah taruhan."Ditha mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor butik tersebut dan menyalakan speakerphone.Briella berdiri di satu sisi sambil mendengarkan bunyi panggilan, lalu seseorang mengangkat telepon."Halo, dengan Molilly Boutique, ada yang bisa kami bantu?"Mata Ditha terus menatap wajah Briella, terus mengawasi ekspresinya karena ingin me
"Aku menyiapkan gaun ini untuk Nona Renata. Hanya Nona Renata yang bisa memakai gaun ini dengan cantik. Kalian berdua malah seperti wanita bodoh yang mempermalukan diri di pesta seperti ini."Davira dan Ditha sangat marah, tetapi mereka tidak berani berdebat dengan Nathan.Pria itu memberikan kesan menakutkan seperti preman. Mana mungkin mereka berani macam-macam dengannya.Briella melirik ke arah Nathan dan tiba-tiba merasakan hatinya dipenuhi rasa percaya diri, tidak takut sedikit pun.Pandangannya menatap Davira dan Ditha bergantian. "Lebih baik mengaku kalah. Ditha, aku yang menang, kamu harus melakukan apa yang aku minta."Ditha masih enggan. "Kamu ... apa yang kamu mau?""Aku mau kamu ambil pulpen dan tulis di keningmu, Renata adalah dewiku. Kamu bisa mencuci tulisan itu setelah pesta selesai.""Apa!" Ditha melotot terkejut. "Nggak bisa! Aku nggak akan menyetujui permintaan konyol seperti itu darimu.""Bagaimana kalau mengukirnya di wajahmu dengan pisau?" Nathan menjilat bibirnya