Briella berbalik dan masuk ke dalam vila Keluarga Atmaja. Klinton melihat Briella masuk sendirian tanpa Davira yang mengikutinya, sekilas tahu kalau adiknya sedang kesal.Senyum tak berdaya tersungging di wajahnya. Dia menatap Briella sejenak dan Briella pun tahu apa maksud dari tatapan pria itu.Briella bisa merasakan kalau pria ini makin toleran terhadapnya, bahkan lebih dari apa yang dia lakukan kepada adiknya sendiri.Resti dan Herman pun menyadari akan hal ini. Resti merasakan kekhawatiran yang samar di dalam hatinya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ini bukan hanya sekadar tentang Renata yang terlalu mirip dengan Briella.Dia melirik ke arah suaminya. Pria itu menggenggam tangannya di bawah meja dan membujuknya dengan lembut dan sabar. Hal itu pun mampu membuat Resti merasa lebih baik."Renata, kami menyiapkan semua ini untukmu. Aku nggak tahu apa ini sesuai dengan seleramu. Cobalah."Resti tersenyum dan menawarkan makanan kepada Renata. Tatapannya diam-diam mengamati wajah R
Semua yang hadir mendengar suara penelepon, yang ternyata seorang gadis kecil. Suaranya terdengar manja, kekanak-kanakan dan menggemaskan. Semua orang tahu kalau itu adalah putri kecil kesayangan Valerio.Setelah Valerio meninggalkan ruangan, beberapa orang mulai membicarakannya dan mengatakan kalau Valerio adalah seorang ayah yang sangat bertanggung jawab. Dia bahkan datang ke pertemuan khusus untuk melakukan hal semacam ini sendiri.Briella menundukkan kepalanya dan terus memperhatikan materi rapat. Namun, dia tidak bisa memahami isi di dalamnya. Mereka sudah sepakat mau jadi orang asing, tetapi malah dipertemukan dalam proyek yang begitu penting. Sebagai perancang proyek ini, Briella tidak bisa menghindar untuk berhubungan dengan pria itu.Pikiran seperti ini hanya melintas dalam sekejap dan Briella bisa kembali fokus pada pekerjaannya. Dia mencatat beberapa persyaratan yang baru saja disebutkan Valerio dan meminta mereka yang bergosip untuk berhenti. Dia menarik topik pembicaraan p
Briella menarik-narik rok di tubuhnya agar lebih ke bawah. "Terima kasih, Pak Valerio atas pengingatnya. Tapi Pak Valerio adalah pria yang sudah menikah, nggak baik kalau ada yang tahu Pak Valerio berduaan denganku di sini. Lebih baik segera pergi dari sini."Valerio mengamati kartu tanda pengenal yang dikalungkan di leher Briella, menatap nama yang tertera di sana sambil menyipitkan matanya.Briella mengikuti arah pandangannya dan menatap kartu akses tersebut, menyadari kalau tanda itu tergantung di bagian tubuhnya yang sangat sensitif. Jadi, dia langsung menutupinya dengan tangan.Dia sangat malu sampai-sampai pipinya terasa panas.Valerio mengaitkan bibirnya membentuk senyuman nakal."Sudah selama ini, tapi kamu masih bertingkah layaknya gadis baru dewasa. Sepertinya pacarmu terlalu payah."Briella mengerutkan kening dan wajahnya makin memerah."Pak Valerio, dibandingkan dengan kegenitan Pak Valerio, memang benar kalau pacarku nggak ada apa-apanya. Tapi bukankah terlalu sembrono kal
Keduanya pun beradu dan entah sudah berapa lama waktu berlalu. Meja, lantai dan semua tempat di ruang rapat seperti medan perang yang sangat berantakan.Jelas sekali kalau keduanya sudah lama tidak melakukan hal seperti ini.Briella memungut pakaian di lantai dan mengibaskan debu yang menempel di sana. Dia pun memakainya dan merapikan penampilannya. Valerio pun sama. Saat ini, wajahnya bercampur dengan rasa puas.Briella mengeluarkan sebuah jam tangan mahal dari dalam jaketnya. Itu milik Valerio dan dia menyerahkannya kepada Valerio. Valerio mengambilnya dan memakainya dengan indah di pergelangan tangannya. Mata Briella mengikuti gerakan pria itu dan tatapannya terhenti pada bekas luka di lengan pria itu.Bekas luka itu mirip dengan bekas luka di dadanya, yang merupakan bekas luka akibat tembakan peluru."Kenapa lenganmu bisa terluka?"Briella bertanya dengan rasa ingin tahu.Valerio mengenakan kembali jam tangannya dan tatapannya tertuju pada dada Briella. Matanya berubah muram saat m
Mendengar itu, Valerio mengerutkan keningnya. Wajahnya dipenuhi dengan gurat ketidak berdayaan dan penyesalan.Klinton tidak berbohong padanya. Briella memang sudah melupakan Zayden, anak yang dulu sangat dicintainya. Wanita ini juga sudah melupakan semuanya.Seberapa besar rasa benci wanita ini kepadanya, bahkan sampai melupakan satu-satunya penghubung di antara mereka. Wanita ini bahkan bertekad untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu.Valerio mengaitkan bibirnya, membentuk senyuman penuh pemahaman.Karena Briella sudah melupakan semuanya, jadi Valerio akan mengikuti apa pun keinginannya."Sudah malam, pacarmu pasti cemas kalau kamu belum pulang. Apa dia nggak keberatan kalau aku mengantarmu pulang?"Valerio menahan emosinya. Kesan asing dan ketidak pedulian terlihat jelas di wajahnya.Briella melihat ke luar dan hujan berangsur-angsur berhenti. Dia akan berjalan keluar dari lokasi konstruksi dan mencari taksi."Nggak perlu. Aku pulang sendiri saja."Briella merapikan rambut
Tidak ada lagi yang bisa menggunakan kepentingan perusahaan untuk menahannya. Valerio menjadi sangat kuat, bahkan Rieta pun sedikit takut padanya.Rieta sudah terbiasa dengan sikap dingin Valerio saat melihat pria itu tidak menjawab pertanyaannya. Valerio yang sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Awalnya Rieta mengira kalau Valerio menikahi Davira, dia akan memiliki bantuan dalam mengendalikan pria ini. Namun, dia menyadari kalau perhitungannya salah.Namun, hal baiknya adalah, Valerio mencintai Queena. Anak itu adalah titik lemah Valerio."Queena sudah tiga tahun, tapi kamu masih hidup terpisah dengan Davira. Rio, kapan kamu akan membawa Davira dan Queena tinggal di Galapagos?"Valerio duduk di sofa, menyeruput airnya perlahan-lahan sambil melipat kakinya dan menatap Rieta dengan curiga."Daripada membawa mereka ke sana, lebih baik aku bawa Zayden ke mari. Dengan begini akan lebih mudah menjagamu. Bagaimana?"Rieta mengerutkan kening dan menjawab tidak senang, "Aku nggak mau tingga
Valerio terkejut, sedikit mematung saat mendengar apa yang dikatakan Queena."Apa maksud wangi Mama yang ada di dalam imajinasi Queena?""Oh ... itu ...." Kedua ujung jari Queena saling menyentuh, lalu menjawab sambil cemberut, "Mama kadang-kadang minum dan ada aroma aneh di tubuhnya. Queena nggak suka. Tapi Papa jangan bilang sama Mama kalau Queena bilang begini. Kalau nggak, nanti Mama akan marah-marah sama Papa dan Queena."Queena terlihat ketakutan, bahkan melihat ke arah pintu saat mengatakan ini. Dia takut kalau Mama tiba-tiba menerobos masuk dari luar dan mengamuk padanya.Valerio tiba-tiba mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil mendengarkan."Apa sering ada aroma aneh di tubuh Mama?""Sepertinya ya. Kadang Mama bau rokok. Queena bilang sama Mama kalau Queena nggak suka dengan bau tubuh Mama. Eh Mama malah marah."Queena menyelesaikan penjelasannya dengan air mata berlinang. Biasanya Davira selalu bersikap jahat padanya. Ketika dia ingin mendekat pun Davira seakan seperti terl
Davira memiliki alasan yang kuat untuk melakukan hal ini. Dia perlu minum obat atau insomnia nya akan kambuh. Obat akan terserap dalam kandungan asi, jadi kalau memberikan asi untuk Queena, Queena lah yang tidak akan bisa tidur.Jadi, selama empat tahun terakhir, Davira tidur sendirian di kamar tidur utama.Valerio membuka pintu kamar tidur utama dan mencium bau asap bahkan sebelum mendekati Davira. Dia mengerutkan kening dan melihat ke dalam kamar.Davira sedang berbaring di tempat tidur dengan piyama dan sebatang rokok yang terselip di mulutnya. Terlihat kalau asbak di tangannya penuh dengan puntung rokok.Matanya terpejam, jadi dia pasti habis minum dan dalam keadaan mabuk.Valerio mendekat dan alisnya berkerut erat saat melihat Davira dalam keadaan acak-acakan seperti itu."Davira, bangunlah. Ada yang mau aku katakan."Suara dalam dan dingin pria itu menyadarkan Davira. Dia membuka matanya dan melihat sosok tinggi dan tampan di depannya. Seketika, dia pun langsung duduk.Mengira su
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu