"Nak." Briella membelai kepala kecil Zayden. "Kenapa Zayden bilang Mama punya bayi kecil di dalam perut?""Tadi Om galak bilang kalau aku nggak boleh menendang perut Mama. Aku berpikir kalau di perut mama ada bayi kecil.""Om galak ...."Yang dimaksud Om galak pasti Valerio, bukan?"Mama, apa benar Mama punya bayi kecil? Dia laki-laki apa perempuan?""Kamu lebih suka adik perempuan apa laki-laki?""Hmm ...." Zayden memiringkan kepalanya dan berpikir. "Sebenarnya aku suka keduanya. Laki-laki atau perempuan nggak akan bisa mengubah fakta kalau aku adalah kakak mereka. Aku akan melindungi Mama dan bayi kecil. ""Sayang, kamu juga bayi kecil."Mata Briella terasa sedikit perih. Zayden selalu menjadi anak yang sangat pengertian. Namun, makin Zayden tahu banyak hal, Briella makin sedih dan mengutuk dirinya sendiri karena menjadi ibu yang tidak baik.Tidak bisa memberikan masa kecil yang riang kepada putranya adalah kelalaiannya sebagai seorang ibu."Mama sudah memberikan yang terbaik untukku
Valerio menyipitkan matanya dan memancarkan kesan sedingin es. Tatapannya menyapu Zayden dan mendarat di brankas yang dibukanya.Brankas ini menyimpan senjata dan amunisi, yang merupakan gudang senjata Valerio dan dilindungi oleh dua kode. Dia tidak terkejut saat mengetahui kalau Zayden bisa membukanya dengan mudah.Lagi pula, bocah ini bahkan bisa menerobos masuk ke perusahaannya yang dijaga oleh sistem yang ketat. Brangkas itu hal yang lebih remeh."Om juga suka main perang-perangan?" Zayden menyeringai konyol, memperlihatkan gigi putihnya yang lucu. Siapa pun yang melihatnya pasti tidak akan menyangka kalau bocah ini memiliki niat buruk.Anak kecil yang sangat lucu dan menggemaskan hanya ingin bermain-main. Hal buruk apa yang bisa anak itu lakukan?"Nak, kamu paham senjata?""Paham sedikit, tapi aku mempelajari semuanya di dalam game." Zayden melanjutkan, "Om, senjatamu sangat bagus, terutama yang ini. Aku nggak tahu nama senjata ini, tapi pasti harganya mahal.""Lumayan, lah." Vale
Zayden sangat menyedihkan, dipukuli di lantai sampai pantatnya terasa panas. Dia melihat ke arah kedua orang dewasa yang berdebat di depannya, lalu menyeka air matanya. Zayden merasa kalau Mama dan Om Valerio bukan sedang berdebat, melainkan sedang saling menggoda. Situasi ini sangat menyulitkannya yang seorang anak kecil. Dia seperti orang ketiga di antara dua orang yang sedang memadu asmara dan situasinya sangat canggung."Mama, mau peluk."Zayden yang saat ini diabaikan pun cemberut. Dia beranjak dari lantai dan langsung memeluk pinggang Briella. "Mama, pantat Zayden sakit dan panas, hiks ...."Briella merasa kesal sekaligus lucu. Dia menyeka keringat di dahi Zayden dan berniat untuk menggendong putranya agar putranya bisa lebih tenang. Namun, niatnya dihentikan oleh Valerio."Anak lima tahun sudah bukan anak kecil lagi. Kalau orang lain tahu kamu minta peluk sama Mamamu, kamu akan diremehkan."Setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Zayden, Valerio merasa kalau Zayden mema
Melihat raut wajah anaknya yang sedih, hati Briella makin terasa sesak. Dia memeluk Zayden dan menciumnya beberapa kali. "Zayden, kamu nggak perlu menyalahkan diri sendiri. Om Valerio juga salah. Mulai sekarang, jangan sembarangan menyentuh barang orang lain. Kamu mengerti?""Hmm!" Zayden yang seperti ini terlihat sangat patuh. Di satu sisi yang tidak diketahui oleh mereka, matanya yang gelap bersinar dengan cahaya licik.Ya. Ini semua hanyalah jebakan yang dia buat.Laki-laki sialan! Rasakan kehebatan anak kecil ini! Lihat saja apa kamu masih berani memukul pantatku lagi!Dalam hati, Zayden merasa puas dengan apa yang sudah dia lakukan."Mama, Om Valerio, kalau begitu aku ke kamar dulu buat ngerjain PR." Zayden memiringkan kepalanya dan melambaikan tangan pada keduanya. "Kalian jangan bertengkar, nanti aku sedih."Makin Zayden bersikap pengertian, hati Briella makin terasa tidak nyaman. Dalam hati, dia hanya bisa melimpahkan semua kesalahan ini pada Valerio, si pemicu masalah.Kalau s
"Aku sudah bicara dengan kepala sekolah Scarlas School, jadi sore ini kamu bisa langsung membawa Zayden ke sana." Valerio mengangkat pergelangan tangannya dan melihat waktu. "Aku nggak bisa menemani kalian."Briella tahu kalau pria itu sedang terburu-buru. Beberapa jam yang lalu pria ini mengatakan akan pergi bersama mereka untuk melihat sekolah. Sekarang, dia meminta Briella mengantar Zayden ke sana. Mungkin ada sesuatu yang lebih penting yang harus dilakukan Valerio ketimbang menemani mereka ke sekolah."Ya, aku mengerti."Valerio mengangguk dan berjalan ke arah lemari pakaian dan memilih setelan jas berwarna biru tua. Dia menoleh ke arah Briella, lalu mengatakan, "Aku punya bagian di dalam dewan sekolah. Jadi, saat kamu sampai di sana, kamu bisa langsung melamar sebagai ketua komite orang tua murid. Dengan begini, kamu akan lebih mudah dalam mengawasi tingkah laku Zayden di sekolah.""Ya."Valerio mengeluarkan pakaian dari dalam lemari dan melihat wajah Briella yang tidak menunjukka
Sekarang, Briella merasa kalau lebih baik dia mengurungkan niatnya yang ingin menyekolahkan Zayden di sekolah ini. Kemampuan apa yang bisa diajarkan seorang guru sombong kepada muridnya?"Maksudnya, kamu menyalahkanku, merasa kalau aku nggak seharusnya datang ke mari dan merepotkanmu?"Guru itu tersenyum dengan enggan, lalu menjawab asal, "Sore ini harusnya aku cuti, tapi kepala sekolah tiba-tiba menghubungiku. Dalam perjalanan, aku berpikir kalau istri orang kaya atau pemilik perusahaan lah yang datang. Kalau bukan, mungkin juga seorang artis."Mendengar nada tidak suka dan menyepelekan dari guru itu, emosi dalam diri Briella tidak bisa dikendalikan lagi."Sebagai seorang guru, sikapmu seharusnya mewakili citra sekolah. Bukankah sekolah ini fokus pada pengembangan kemampuan dan karakter anak-anak? Melihat sikapmu hari ini, aku ragu-ragu apakah kalian bisa mengajar anakku dengan baik.""Apa hubungannya denganmu kalau kami bisa mengajar mereka dengan baik atau nggak? Toh anak-anak orang
Kunjungan ke sekolah berakhir dengan Briella dan Zayden yang diusir dari Scarlas School oleh beberapa pria berbadan kekar.Briella menatap Zayden yang berdiri di sampingnya, mencoba menahan rasa jengkel dan terhina di dalam hatinya. Briella berusaha menguatkan diri dan menenangkan Zayden."Sayang, apa kamu lapar? Ayo kita makan. Ada restoran kecil di sekat sini yang menyediakan makanan rumahan. Kamu pasti mau kalau Mama ajak makan di restoran, 'kan?"Zayden tahu kalau Mamanya sedang menggodanya. Seketika, wajah tanpa ekspresinya terlihat lebih tenang. Dia menggandeng tangan Briella dan berjalan beriringan menuju restoran."Mama, aku saja yang traktir Mama makan." Zayden memandangi perut Briella dan tatapannya menjadi waspada. "Di dalam perut Mama ada bayi kecil, jadi Mama harus makan dengan baik."Briella membelai kepala Zayden, merasa terharu sekaligus bersalah setiap anak ini menunjukkan sikap yang begitu pengertian dan dewasa."Kalau begitu ayo kita pulang." Briella bertanya pada Za
"Nggak lagi." Briella tersenyum lembut pada Zayden. "Ayo kita pulang ke rumah kita sendiri. Dalam dua hari ini, Mama akan membantumu memilih sekolah. Mama janji akan memberikan pendidikan terbaik untukmu sesuai dengan kemampuan Mama. Mama akan memastikan kalau kamu bisa belajar dengan baik.""Mama." Zayden melingkarkan lengannya di leher Briella, lalu menyandarkan kepala kecilnya di bahu Briella. Dia berbisik pelan, "Lala, aku pasti akan melindungimu.""Cih." Briella tertawa pelan dibuatnya. "Bolehkah aku bertanya pada pahlawan kecil ini, dengan apa kamu akan membalas jasa Mamamu ini?""Hmmm ...." Zayden mengusap-usap dagunya sejenak, baru menjawab, "Dengan mencuci baju Mama, masak buat Mama, terus bantu pekerjaan rumah."Zayden kembali berpikir dan hampir melupakan satu hal yang paling penting."Oh ya, sekarang aku sudah bisa cari uang, lho. Kalau sudah gajian, aku akan menyimpan enam ratus ribu untukku sendiri, lalu sisanya akan aku kasih buat Mama."Kata-kata Zayden membuat hati Bri