Home / Fiksi Remaja / Revansha / Siaran langsung

Share

Siaran langsung

Author: Siskapuspus
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Evan memarkirkan motornya di pekarangan sebuah kafe yang cukup luas. Di atas kepalanya beberapa bohlam lampu terlihat tergantung begitu indah, begitu juga batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat Evan berdiri sekarang ada lampu warna-warni yang dibuat melingkari pohon itu, menambah keindahan malam.

Setelah melepas helm, cowok itu bergegas masuk ke dalam kafe. Malam ini Evan dan kedua sahabatnya harus mengisi acara reunian di kafe ini. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan guna mencari sahabatnya. namun, suara dari seorang gadis yang sedang berdiri di atas panggung kecil berhasil mengalihkan atensi Evan.

Suaranya yang lembut dan tenang, seperti angin sejuk yang tadi Evan rasakan di jalan. Senyum Evan mengembang saat bola matanya bertatapan lurus dengan manik hitam pekat milik gadis itu. Seakan terhipnotis, Evan enggan mengalihkan tatapannya. Hingga akhirnya lagu yang dibawakan gadis itu selesai.

“Gimana suara gue?” tanya gadis yang entah seja

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Revansha   Lampu merah bikin marah

    Evan masih terus mencoba untuk menghubungi Eca, tetapi tetap tidak ada jawaban dari gadis itu. Sekali lagi evan menekan dial telepon, dan masih sama hasilnya. Mungkin Eca udah tidur, pikir Evan. Mengingat saat ini sudah cukup larut. “Evan,” suara cewek dari arah belakang sontak membuat Evan terkejut. Cowok itu buru-buru menoleh. Saat mengetahui siapa gadis di depannya, Evan segera memasukkan ponselnya ke saku celana. “Eh, ada apa, Man?” “Sorry ganggu.” Evan tidak menjawab, hanya menunggu gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja Evan jadi teringat percakapannya dengan Emil tempo hari lalu. Dia tidak boleh sampai memberi harapan, atau bersikap terlalu ramah sama semua perempuan. “Gue boleh nebeng?” Evan melirik sekitar. Dimana kedua temannya? Menyadari reaksi Evan, Amanda kembali bersuara. “Nggak apa-apa kalau nggak boleh.” Evan tersenyum kikuk. Menolak tidak bisa, menerima sulit. “Sama Emil aja, Man.” “Sor

  • Revansha   Gadis incaran om-om

    Matahari belum menampakkan wujudnya di permukaan langit, tetapi gadis itu sudah bangun sejak tadi. Rutinitas yang selama dua minggu ini tidak dilakukan, sekarang kembali terjadi. Bangun pagi, mandi, menyiapkan perlengkapan untuk sekolah. Bahkan beberapa menit yang lalu dia sempat heboh sendiri hanya karena kaus kaki tanpa pasangan, karena sikapnya yang sedikit ceroboh. Gadis itu tengah menata rambut yang sudah hampir sepinggang. Dua hari yang lalu dia pergi ke salon untuk memperindah tampilan rambutnya, ujungnya dibuat bergelombang dengan poni depan yang hampir menutupi seluruh keningnya. Tampilan itu sangat cocok untuk Eca. Eca memang selalu menggunakan poni. Bukan untuk menutupi lapangan sepak bola di kepalanya, melainkan karena dia adalah pecinta Dora the Explorer, kartun favoritnya sejak kecil. Di sudut kamar sebelah kanan, adalah saksi bahwa dia pernah memenangkan audisi "anak yang paling mirip dengan Dora". Y

  • Revansha   Ayah boleh pergi

    Netranya terus menatap spion taksi, yang sedang dia naiki. Bukan tanpa alasan, melainkan melihat cowok yang masih berdiri di tempatnya semula. Bagaimana bisa pandangannya beralih ke arah lain, sementara cowok yang berdiri itu adalah cinta pertamanya. Namun, hanya Eca yang memiliki perasaan pada cowok itu. Ya, cinta tak terbalaskan, tepatnya.Cowok itu sudah tidak terlihat lagi, karena tikungan tajam yang baru saja dilewati Eca.Eca kembali memperhatikan jalan, melalui jendela mobil. Sekarang dirinya sedang berada di dalam taksi. Sejujurnya dia masih belum mengerti apa arti dari pesan yang dikirimkan oleh ayahnya. Pesawat? Pesawat apa maksudnya? Eca sama sekali tidak paham.Tidak butuh waktu lama, Eca tiba di kediamannya. Setelah membayar, Eca menyusuri halaman rumahnya sampai di teras rumah langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada dua buah koper berukuran sedang yang tergeletak di teras.Eca me

  • Revansha   Om kadal berlidah katak

    Pagi ini Evan memilih untuk mengisi perut di kantin. Sejak tadi malam dia lupa memberi makan cacing-cacing di perutnya. Di sampingnya sudah duduk Emil, teman sejak di sekolah dasar. Keduanya sibuk dengan makanan masing-masing.Evan hanya menyantap nasi goreng dengan es teh manis. Berbeda dengan Emil, yang lebih senang dengan mie instan dan kopi susu favoritnya. Meski berbeda, tetapi mereka selalu rukun satu sama lain.Seorang gadis baru saja menyodorkan kotak makan bergambar Teddy bear berwarna cokelat, di depan Evan. Membuat manik mata Evan tertuju padanya.Cowok itu hampir saja tersedak jika tidak buru-buru meminum es teh di depannya.Evan menelan nasi goreng yang masih di dalam mulutnya sambil berujar, "Apa nih?" Matanya melirik kotak makan itu."Sarapan buat Evan, tapi karena Evan lagi sarapan. Jadi, ini buat makan siang aja."Emil meletakkan sendok dan garpu di mangkuknya, dia melirik Evan dan Eca bergantian. Sebetulnya Emil

  • Revansha   Taruhan

    Remaja itu sedang duduk di sebuah kafe, sambil sesekali menyesap kopi susu yang sudah hampir tandas di depannya. Sudah hampir setengah jam dia menunggu kedatangan temannya."Sorry, telat," ucap seseorang seraya menarik kursi untuk duduk. Napasnya terdengar sangat memburu, seperti baru saja melakukan lari maraton jarak jauh.Emil melirik arloji di pergelangan tangannya. "Masih 30 menit lagi, kok. Lo pesan minum dulu aja!"Evan mengangguk. "Elang mana?"Emil mengedikkan bahunya. Beberapa menit yang lalu Elang bilang akan pergi ke toilet. Namun, sampai saat ini belum juga kembali. Netra Emil menangkap sosok pemuda berkemeja biru tua dan jeans hitam, tak lupa snakers bertengger di kakinya. Dia sedang berdiri di depan kafe bersama seorang gadis, mereka terlihat begitu akrab."Noh, lihat teman lo kelakuannya!" desis Emil sambil menggerakkan dagunya ke arah dua remaja yang sedang

  • Revansha   Tidak setuju

    Matahari kembali muncul di peradaban. Menampakkan wujud berupa cahaya terang yang cukup menyilaukan. Burung berkicau tiada henti, sesekali mengepakan sayapnya untuk pindah dari dahan pohon ke sisi yang lainnya.Di sanalah Evan. Di depan motor Vespa berwarna biru yang penuh dengan sejarah itu. Cowok itu baru saja mengelap debu-debu yang menempel di beberapa bagian motornya.Setelah selesai mengelap debu dengan kanebo. Evan kembali masuk ke dalam. Dia berjalan ke dapur, menghampiri Sri, ibunya."Ibu, udah siap?" tanya Evan seraya mencuci kanebo di wastafel."Belum. Ibu mau ganti baju dulu, kamu tolong masukin kue ke dalam box ini, ya." Evan mengangguk.Sri adalah seorang singgle parents. Pekerjaannya hanya berjualan kue di belakang stasiun. Kue buatannya selalu habis terjual. Selain harganya yang murah, kue buatan Sri juga rasanya sangat enak. Cocok dengan para mahasiswa atau

  • Revansha   Tahap pertama

    Evan terus melangkah menyusuri koridor, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Sebuah nama terpampang jelas di daun pintu ruangan itu.Indah Suryani S.Pd.Tanpa ragu Evan mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam ruangan ini."Masuk!"Evan menghela napas berat. Sedikit takut, karena pasalnya dia belum pernah membuat kesalahan apa pun sampai harus dipanggil dengan wali kelasnya."Ibu manggil saya?"Wanita berpakaian formal khas PNS itu mengangguk. "Duduk."Evan terdiam. Dia bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Karena dia tidak tahu untuk apa dipanggil ke ruangan ini.Wanita yang masih duduk diam di sebuah kursi itu kini sibuk mencari beberapa tumpukan kertas di atas mejanya."Maaf Bu, kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Evan dengan ragu.

  • Revansha   Tiba-tiba datang

    Gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama.--Emil--***Hari sudah gelap. Si raja malam sudah bertengger di atas sana. Ditemani dengan ribuan pengawalnya yang selalu memperlihatkan cahaya indahnya masing-masing. Evan duduk di depan jendela, masih denganearphoneyang sejak tadi menyumpal indera pendengarannya. Tidak seperti biasanya, kali iniearphoneitu mengeluarkan bunyi, berkat kabel yang tersambung pada ponselnya.Matanya terus menatap langit. Pikirannya lebih berisik daripada lagu yang sedang ia dengarkan. Pandangannya kosong, menatap jauh ke arah langit.Tak berselang lama, Evan bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan sebelah tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.Evan keluar kam

Latest chapter

  • Revansha   Lampu merah bikin marah

    Evan masih terus mencoba untuk menghubungi Eca, tetapi tetap tidak ada jawaban dari gadis itu. Sekali lagi evan menekan dial telepon, dan masih sama hasilnya. Mungkin Eca udah tidur, pikir Evan. Mengingat saat ini sudah cukup larut. “Evan,” suara cewek dari arah belakang sontak membuat Evan terkejut. Cowok itu buru-buru menoleh. Saat mengetahui siapa gadis di depannya, Evan segera memasukkan ponselnya ke saku celana. “Eh, ada apa, Man?” “Sorry ganggu.” Evan tidak menjawab, hanya menunggu gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja Evan jadi teringat percakapannya dengan Emil tempo hari lalu. Dia tidak boleh sampai memberi harapan, atau bersikap terlalu ramah sama semua perempuan. “Gue boleh nebeng?” Evan melirik sekitar. Dimana kedua temannya? Menyadari reaksi Evan, Amanda kembali bersuara. “Nggak apa-apa kalau nggak boleh.” Evan tersenyum kikuk. Menolak tidak bisa, menerima sulit. “Sama Emil aja, Man.” “Sor

  • Revansha   Siaran langsung

    Evan memarkirkan motornya di pekarangan sebuah kafe yang cukup luas. Di atas kepalanya beberapa bohlam lampu terlihat tergantung begitu indah, begitu juga batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat Evan berdiri sekarang ada lampu warna-warni yang dibuat melingkari pohon itu, menambah keindahan malam.Setelah melepas helm, cowok itu bergegas masuk ke dalam kafe. Malam ini Evan dan kedua sahabatnya harus mengisi acara reunian di kafe ini. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan guna mencari sahabatnya. namun, suara dari seorang gadis yang sedang berdiri di atas panggung kecil berhasil mengalihkan atensi Evan.Suaranya yang lembut dan tenang, seperti angin sejuk yang tadi Evan rasakan di jalan. Senyum Evan mengembang saat bola matanya bertatapan lurus dengan manik hitam pekat milik gadis itu. Seakan terhipnotis, Evan enggan mengalihkan tatapannya. Hingga akhirnya lagu yang dibawakan gadis itu selesai.“Gimana suara gue?” tanya gadis yang entah seja

  • Revansha   Anak baru

    Kedekatan Evan dan Eca, semakin hari semakin terlihat. Apalagi mereka sudah tidak segan mengumumkan statusnya kepada teman terdekatnya. Sekedar pulang bareng atau menghabiskan waktu istirahat bersama, sudah sering mereka lakukan. Beberapa gadis yang melihat hal itu, tentu merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi cowok tampan yang tersisa di sekolah ini. Hanya tersisa Elang, siplayboy.Evan dan Eca bahkan kerap kali terlihat berjalan bersama menuju kantin, seperti saat ini. Dua remaja itu baru saja memasuki kantin. Mata Eca langsung tertuju pada mejasa biasa, tempat Evan dan teman-temannya mengisi perutnya. Di sana Emil terlihat menyapa meski hanya dengan dagu yang digerakkan maju.Pandangan Eca beralih ke arah bangu yang berada di depan Emil. Seorang gadis duduk di sana, tempat yang seharusnya milik Eca dan Evan."Evan," panggil Eca seraya mencolek lengan Evan.Evan hanya melirik Eca sekilas dengan senyum hangatnya yang selal

  • Revansha   Capek, nggak?

    Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-

  • Revansha   Latihan

    Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo

  • Revansha   Itu siapa?

    Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k

  • Revansha   Sarapan dan harapan

    Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga

  • Revansha   Dimulai dari sebuah kebohongan

    Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.

  • Revansha   Perkara kereta dan kota tua

    Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.

DMCA.com Protection Status