Home / Fiksi Remaja / Revansha / Tidak setuju

Share

Tidak setuju

Author: Siskapuspus
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Matahari kembali muncul di peradaban. Menampakkan wujud berupa cahaya terang yang cukup menyilaukan. Burung berkicau tiada henti, sesekali mengepakan sayapnya untuk pindah dari dahan pohon ke sisi yang lainnya.

Di sanalah Evan. Di depan motor Vespa berwarna biru yang penuh dengan sejarah itu. Cowok itu baru saja mengelap debu-debu yang menempel di beberapa bagian motornya. 

Setelah selesai mengelap debu dengan kanebo. Evan kembali masuk ke dalam. Dia berjalan ke dapur, menghampiri Sri, ibunya.

"Ibu, udah siap?" tanya Evan seraya mencuci kanebo di wastafel.

"Belum. Ibu mau ganti baju dulu, kamu tolong masukin kue ke dalam box ini, ya." Evan mengangguk.

Sri adalah seorang singgle parents. Pekerjaannya hanya berjualan kue di belakang stasiun. Kue buatannya selalu habis terjual. Selain harganya yang murah, kue buatan Sri juga rasanya sangat enak. Cocok dengan para mahasiswa atau karyawan yang akan berangkat kuliah dan kerja menggunakan kereta.

Evan mulai memasukkan beberapa kue ke dalam box, seperti yang diperintahkan Sri tadi.

Mimik wajahnya berubah murung. Evan merasa sedih ketika mengingat nasibnya. Dua tahun yang lalu ayahnya meninggal karena kecelakaan di sebuah proyek. Sejak saat itu Evan merasa bersalah karena belum bisa menjadi pengganti ayahnya, sebagai pencari nafkah. Kalau saja ayahnya masih ada, mungkin Evan tidak akan menyetujui taruhannya dengan Elang.

Evan sempat ingin berhenti sekolah dan ingin mencari pekerjaan. Namun, Sri melarangnya dengan keras. Sri selalu bilang kalau Evan harus belajar dan sekolah dengan rajin agar bisa membanggakan ayahnya yang sudah tenang di kehidupan yang lain.

"Evan, kita berangkat sekarang, Nak. Nanti kamu kesiangan!" teriakan melengking khas Sri membuat Evan tersadar dari lamunannya.

"Iya, Bu," sahutnya.

Evan buru-buru memasukkan kotak makan ke dalam tas miliknya, lalu segera beranjak keluar dengan tangan kanannya yang menenteng box berisi kue-kue. Sampai di depan pintu, manik matanya menemukan sosok gadis kecil yang sedang memakai sepatu di teras rumah.

"Abang," panggil Rena.

"Hmm?"

"Jangan lupa beliin ayam bakar Pak Sutrisno, ya!"

"Kalau nggak ada, mau diganti sama ayamnya Pak Joko nggak?"

Rena terdiam dengan wajah datarnya. Dia mencoba untuk mengingat nama Pak Joko. Alisnya bertaut, bibirnya mengerucut saat dia ingat dengan nama itu.

"Pak Joko, 'kan, jualan ayam potong. Bukan ayam bakar!" desis Rena kesal.

"Sama-sama ayam, Dek."

"Sekalian aja beli ayamnya di Bu Minah!"

Kini giliran Evan yang kebingungan. Pasalnya di sekitar rumahnya tidak ada yang namanya Bu Minah, apalagi penjual ayam. "Bu Minah siapa?" tanya Evan ragu.

"Istrinya Pak Sutrisno," sahut Rena datar.

Mata Evan membulat sempurna. Dia baru sadar kalau Rena mengerjainya. Rena hanya terkekeh kecil melihat wajah kakaknya yang tampak begitu kesal.

Gadis kecil itu masuk ke dalam rumah. "Ibu, aku berangkat, ya. Assalamualaikum," ucapnya sambil mencium punggung tangan Sri yang masih berdiri di ambang pintu.

"Hati-hati, Nak."

Rena mengangguk dan mulai bejalan meninggalkan rumah sambil menghentakkan kakinya ke tanah.

"Sama Abang, kok, nggak pamitan?" kata Evan dengan nada meninggi, karena Rena sudah berjalan cukup jauh darinya.

Rena berdecih seraya menjulurkan lidahnya. "Wlee."

Begitulah hari-hari Evan. Dia selalu meledek Rena, sebagai hiburan tersendiri baginya. Namun, rasa sayangnya pada Rena sangat amat besar. Baginya Rena dan Sri adalah dua bidadari yang harus selalu dia jaga sampai kapan pun. Seperti janjinya pada Surya, ayahnya.

"Dasar bocah!" cibir Evan.

***

Setelah mengantar ibunya ke stasiun, Evan segera melajukan motornya menuju sekolah. Sudah pukul 06:30 dia takut akan terlambat. Evan mempercepat laju motornya.

Sekarang cowok itu sudah berhasil memarkirkan motor miliknya. Untung saja dia tidak terlambat. Kalau sampai telat satu menit saja bisa dipastikan dia tidak akan diperbolehkan masuk oleh Pak Jamal, satpam paling galak di SMAN Serang.

Evan mulai menyusuri koridor. Kakinya terus melangkah, meski sebenarnya dia baru saja melewati kelasnya. Namun, bukan itu tujuannya. Melainkan kantin, tepatnya stand milik Bi Entin.

Evan melewati beberapa siswi, terkadang mereka seringkali menyapa atau sekedar saling tersenyum ramah. Seperti saat ini contohnya.

"Selamat pagi, Revan," seorang siswi menyapanya dengan tampak sok manis andalannya.

"Pagi." Evan hanya membalasnya dengan tersenyum.

Ya, Evan mungkin tidak setenar cowok-cowok di dunia novel remaja. Namun, senyum pada parasnya yang tampan mampu membuat para siswi terhipnotis. Untung saja, senyuman Evan tidak membuat diabetes.

Di meja paling pojok, tepat di depan stand Bi Entin, sudah ada Emil dan Elang yang masih menikmati sarapannya dengan khidmat.

"Pagi, sahabat tampanku," ucap Evan seraya ikut bergabung di depan Emil dan Elang.

"Sok iye banget, dih," Elang berdecih sambil menatap Evan nanar.

"Udah sarapan lo?" Evan mengangguk cepat.

"Gimana tawaran gue semalam, hm?" tanya Elang dengan alis terangkat.

Evan melirik. Lidahnya mendadak kelu, dia tidak mungkin membicarakan hal ini di depan Emil. Bisa-bisa cowok itu akan menceramahi dirinya.

Emil melirik keduanya bergantian. Sebenarnya Emil sangat curiga dengan dua sahabatnya sejak tadi malam. Mereka berdua seolah sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, Emil adalah sosok yang tenang. Dia ingin mengetahui apa yang terjadi langsung dari mulut temannya.

"Gue nggak setuju. Lagi pula gue nggak suka sama dia!" desis Evan geram.

Evan juga sedikit kesal dengan pembahasan Elang yang satu ini. Namun, kalau tidak dijawab anak itu pasti akan terus bertanya untuk memastikan lagi.

"Lo yakin?"

Percayalah Emil sekarang sudah sangat penasaran dengan arah pembicaraan kedua temannya. "Pada ngomongin apa sih?" tanya Emil. Nadanya sedikit naik satu oktaf membuat Evan dan Elang terlonjak kaget seketika.

Evan dan Elang saling melirik. Namun, Evan lebih dulu menendang kaki milik Elang, membuat sang empunya mengaduh kesakitan.

Elang menatap Evan tajam. Ada rasa kesal dalam dadanya. Bukan hanya soal kakinya yang ditendang. Melainkan sepatunya menjadi kotor akibat ulah kaki Evan.

"Jawab!" sentak Emil. Sekali lagi Evan dan Elang tersentak sampai menegakkan tubuhnya.

"Si Elang, ngajak gue taru...."

Brak!

Seseorang menggebrak meja mereka. Membuat ketiganya tersentak. Elang yang sedang minum pun hampir tersedak jika saja dia tidak segera meneguk minuman di dalam mulutnya.

"Kenapa, San? Kayak abis dikejar-kejar setan aja?" tanya Evan.

Dia adalah Sandi, bendahara di kelas Evan. Sikapnya yang sembrono, membuat cowok itu sering tidak berpikir lagi dalam bertindak.

"Lo dipanggil, Bu Indah."

"Bu Indah, wali kelas kita?"

Cowok itu mengangguk. "Lo pikir Bu Indah tukang pempek depan rumah gue gitu, hah?"

Evan mengangguk sambil memperlihatkan deretan giginya yang sangat rapih. "Kali aja gue mau dikasih pempek gratis, kan?" desis Evan seraya bangkit dari duduknya dan beranjak menuju ruang guru.

Sepeninggal Evan. Emil kembali menatap Elang murka. "Jelasin!"

Elang terdiam beberapa saat sambil kembali meneguk minumannya.

"G-gue ngajak Evan taruhan." Satu kalimat berhasil dia ucapkan dalam satu kali tarikan napas.

Emil menautkan alisnya, rona wajah masih terlihat begitu garang. "Taruhan apa?"

"T-Taruhan, kalau Evan bisa dapetin Eca, bakalan gue kasih motor."

Dug!

Botol yang masih berisi air mineral sukses mendarat di puncak kepala Elang. Membuat cowok itu mendadak pusing.

"Nggak waras lo! Bisa-bisanya jadiin cewek bahan taruhan."

"Gue cuma mau tau aja si Evan bisa atau nggak dapetin Eca. Karena yang gue tau itu anak nggak pernah pacaran, sama kayak si Eca yang selalu nolak cowok-cowok yang coba deketin dia," ungkap Elang panjang lebar.

"Tetap aja lo salah!" cibir Emil.

"Sampai lo berdua berani ngelakuin itu. Kena akibatnya!"

Emil langsung berdiri dan pergi meninggalkan kantin. Terkadang Emil memang senang sekali mengomel. Namun, itu semua tak terlepas demi kebaikan kedua temannya. Sikap Emil yang sangat dewasa, membuatnya harus selalu menjadi penengah antara Evan dan Elang. Menjadi sosok kakak laki-laki bagi keduanya.

"Mil, tunggu!" pekik Elang sambil bangkit dari duduknya.

Related chapters

  • Revansha   Tahap pertama

    Evan terus melangkah menyusuri koridor, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Sebuah nama terpampang jelas di daun pintu ruangan itu.Indah Suryani S.Pd.Tanpa ragu Evan mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam ruangan ini."Masuk!"Evan menghela napas berat. Sedikit takut, karena pasalnya dia belum pernah membuat kesalahan apa pun sampai harus dipanggil dengan wali kelasnya."Ibu manggil saya?"Wanita berpakaian formal khas PNS itu mengangguk. "Duduk."Evan terdiam. Dia bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Karena dia tidak tahu untuk apa dipanggil ke ruangan ini.Wanita yang masih duduk diam di sebuah kursi itu kini sibuk mencari beberapa tumpukan kertas di atas mejanya."Maaf Bu, kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Evan dengan ragu.

  • Revansha   Tiba-tiba datang

    Gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama.--Emil--***Hari sudah gelap. Si raja malam sudah bertengger di atas sana. Ditemani dengan ribuan pengawalnya yang selalu memperlihatkan cahaya indahnya masing-masing. Evan duduk di depan jendela, masih denganearphoneyang sejak tadi menyumpal indera pendengarannya. Tidak seperti biasanya, kali iniearphoneitu mengeluarkan bunyi, berkat kabel yang tersambung pada ponselnya.Matanya terus menatap langit. Pikirannya lebih berisik daripada lagu yang sedang ia dengarkan. Pandangannya kosong, menatap jauh ke arah langit.Tak berselang lama, Evan bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan sebelah tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.Evan keluar kam

  • Revansha   Minggu yang indah

    Lucu ya, kita menunggu kereta di peron yang sama. Padahal kereta tujuan kita berbeda. Sampai aku sadar, kalau tujuanku bukan lagi rumah untuk berpulang, melainkan kamu.–Revan Al-Shabab-***"J-Jalan. Y-Yuk.""Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya.Sinting nih orang!Datang tiba-tiba dan sekarang mengajaknya jalan. Namun, kesempatan tidak akan datang dua kali.Eca menghela napasnya berat. "Eca mandi dulu ya, tunggu di dalam aja."Evan mengangguk, seulas senyum tipis tercetak di wajah mulusnya. Meski tidak pernah perawatan di salon, wajah Evan memang mulus tanpa jerawat. Ini mungkin efek dari hidupnya yang terbilang sehat. Cowok itu mengangguk."Gue tunggu di sini aja," ucapnya saat mereka baru menginjakkan kaki di teras rumah Eca.Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Dia tidak langsung ke kamar, melainkan berjalan ke dapur. "B

  • Revansha   Perkara kereta dan kota tua

    Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.

  • Revansha   Dimulai dari sebuah kebohongan

    Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.

  • Revansha   Sarapan dan harapan

    Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga

  • Revansha   Itu siapa?

    Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k

  • Revansha   Latihan

    Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo

Latest chapter

  • Revansha   Lampu merah bikin marah

    Evan masih terus mencoba untuk menghubungi Eca, tetapi tetap tidak ada jawaban dari gadis itu. Sekali lagi evan menekan dial telepon, dan masih sama hasilnya. Mungkin Eca udah tidur, pikir Evan. Mengingat saat ini sudah cukup larut. “Evan,” suara cewek dari arah belakang sontak membuat Evan terkejut. Cowok itu buru-buru menoleh. Saat mengetahui siapa gadis di depannya, Evan segera memasukkan ponselnya ke saku celana. “Eh, ada apa, Man?” “Sorry ganggu.” Evan tidak menjawab, hanya menunggu gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja Evan jadi teringat percakapannya dengan Emil tempo hari lalu. Dia tidak boleh sampai memberi harapan, atau bersikap terlalu ramah sama semua perempuan. “Gue boleh nebeng?” Evan melirik sekitar. Dimana kedua temannya? Menyadari reaksi Evan, Amanda kembali bersuara. “Nggak apa-apa kalau nggak boleh.” Evan tersenyum kikuk. Menolak tidak bisa, menerima sulit. “Sama Emil aja, Man.” “Sor

  • Revansha   Siaran langsung

    Evan memarkirkan motornya di pekarangan sebuah kafe yang cukup luas. Di atas kepalanya beberapa bohlam lampu terlihat tergantung begitu indah, begitu juga batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat Evan berdiri sekarang ada lampu warna-warni yang dibuat melingkari pohon itu, menambah keindahan malam.Setelah melepas helm, cowok itu bergegas masuk ke dalam kafe. Malam ini Evan dan kedua sahabatnya harus mengisi acara reunian di kafe ini. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan guna mencari sahabatnya. namun, suara dari seorang gadis yang sedang berdiri di atas panggung kecil berhasil mengalihkan atensi Evan.Suaranya yang lembut dan tenang, seperti angin sejuk yang tadi Evan rasakan di jalan. Senyum Evan mengembang saat bola matanya bertatapan lurus dengan manik hitam pekat milik gadis itu. Seakan terhipnotis, Evan enggan mengalihkan tatapannya. Hingga akhirnya lagu yang dibawakan gadis itu selesai.“Gimana suara gue?” tanya gadis yang entah seja

  • Revansha   Anak baru

    Kedekatan Evan dan Eca, semakin hari semakin terlihat. Apalagi mereka sudah tidak segan mengumumkan statusnya kepada teman terdekatnya. Sekedar pulang bareng atau menghabiskan waktu istirahat bersama, sudah sering mereka lakukan. Beberapa gadis yang melihat hal itu, tentu merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi cowok tampan yang tersisa di sekolah ini. Hanya tersisa Elang, siplayboy.Evan dan Eca bahkan kerap kali terlihat berjalan bersama menuju kantin, seperti saat ini. Dua remaja itu baru saja memasuki kantin. Mata Eca langsung tertuju pada mejasa biasa, tempat Evan dan teman-temannya mengisi perutnya. Di sana Emil terlihat menyapa meski hanya dengan dagu yang digerakkan maju.Pandangan Eca beralih ke arah bangu yang berada di depan Emil. Seorang gadis duduk di sana, tempat yang seharusnya milik Eca dan Evan."Evan," panggil Eca seraya mencolek lengan Evan.Evan hanya melirik Eca sekilas dengan senyum hangatnya yang selal

  • Revansha   Capek, nggak?

    Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-

  • Revansha   Latihan

    Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo

  • Revansha   Itu siapa?

    Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k

  • Revansha   Sarapan dan harapan

    Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga

  • Revansha   Dimulai dari sebuah kebohongan

    Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.

  • Revansha   Perkara kereta dan kota tua

    Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.

DMCA.com Protection Status