Gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama.
--Emil--
***
Hari sudah gelap. Si raja malam sudah bertengger di atas sana. Ditemani dengan ribuan pengawalnya yang selalu memperlihatkan cahaya indahnya masing-masing. Evan duduk di depan jendela, masih dengan earphone yang sejak tadi menyumpal indera pendengarannya. Tidak seperti biasanya, kali ini earphone itu mengeluarkan bunyi, berkat kabel yang tersambung pada ponselnya.
Matanya terus menatap langit. Pikirannya lebih berisik daripada lagu yang sedang ia dengarkan. Pandangannya kosong, menatap jauh ke arah langit.
Tak berselang lama, Evan bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan sebelah tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.
Evan keluar kamar, pandangannya terhenti saat mengetahui kalau pintu kamar ibunya juga ikut terbuka.
"Mau kemana, Nak?" tanya Sri yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Mau ke rumah Emil sebentar, boleh?"
Sri mengangguk sambil beranjak untuk menuangkan air ke dalam gelas yang terdapat di atas meja. Wanita itu meneguk air sampai tandas. Pandangannya langsung berpusat pada Evan. "Jangan pulang malam-malam, ya!"
Evan mengangguk. Cowok itu mendekati Sri, lalu mencium punggung tangan sang ibu. "Evan pamit, ya."
Evan segera melesat pergi ke rumah Emil. Entah apa faktor yang mendorong dirinya sampai dia harus pergi malam-malam seperti ini.
Sesampainya di rumah Emil. Ternyata suasananya sudah sepi dan sedikit gelap, padahal baru jam sembilan malam. Evan mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan mencoba untuk menghubungi Emil.
"Masuk aja, gue di kamar!"
Evan terdiam. Tubuhnya masih mematung di depan gerbang. Bagaimana bisa masuk, suasana di depannya saja sudah sangat gelap.
Merasa tak mendapat respon apa pun. Emil kembali membuka suara.
"Lampu depan emang mati, besok baru dibenerin. Kamar gue terang, kok."
Evan mendongak, tepat di atas tempatnya berdiri adalah kamar Emil dan benar saja, cahaya terang terlihat dari bawah sini. Tanpa ragu Evan segera memarkirkan motornya dan masuk ke dalam.
Orang tua Emil sedang tidak ada di rumah, cowok itu sendiri yang cerita pada Evan. Kalau kedua orang tuanya sedang menghadiri pesta pernikahan sepupunya di Semarang.
"Ngapain? Tumben malam-malam kesini?" tanya Emil.
Evan berdecih. "Ya udah gue balik."
"Dih, ambekan!"
Emil beranjak mendekati showcase di pojok ruangan. Lalu mengeluarkan dua minuman kaleng dan melemparkan yang satunya pada Evan.
Kamar Emil ini bisa diibaratkan tiga kali lipat kamar Evan. Bayangkan saja. Di bagian kanan ada sofa, karpet berbulu yang cukup tebal dan beberapa PlayStation, sudut ini khusus untuk dirinya bermain game. Di bagian kiri ada kasur dan nakas kecil. Lalu di depan jendela, tepat menghadap balkon ada meja belajarnya dan satu komputer. Sementara lemari, Emil memiliki ruang khusus untuk berganti pakaian.
Pantas saja Evan dan Elang akan selalu memilih kamar Emil untuk berkumpul saat mereka sedang bersama.
"Makasih," ucap Evan saat berhasil menangkap minuman kaleng itu.
"Cepetan cerita, keburu gue ngantuk!"
Evan mengangguk, sebelum membuka mulut untuk berbicara, Evan lebih dulu meneguk minumannya.
"Gue ngobrolin ini sama lo, karena kita sama-sama cowok dan gue yakin lo bakalan paham."
"Langsung to the poin aja!"
"Gue mau nembak Eca!" kata Evan dengan cepat.
"Uhukk."
Emil hampir tersedak minumannya kalau saja cowok itu tidak buru-buru menelan cairan dalam mulutnya. Emil berdehem, sebelum kembali bersuara. "Bercandanya jangan keterlaluan, dong!"
Evan menoleh. Wajahnya terlihat datar dan serius. Sedetik kemudian dia menarik kedua sudut bibirnya, sampai giginya yang rapih itu terekspos. "Gue serius!"
Lawan bicaranya kebingungan. Dengan alis yang bertaut Emil kembali berdecih.
"Ajarin gue, kasih tips supaya gue bisa nembak cewek, yang romantis."
"Gue tau lo orangnya romantis, Mil. Makanya Susan masih nempel terus 'kan sama lo," tambah Evan.
Emil menoleh, kenapa Evan jadi membahas hubungannya dengan Susan. Bukankah sebelumnya dia sedang meminta tips. Selain bijak, Emil juga tipikal cowok yang setia dan seketika bisa berubah menjadi romantis. Tidak heran kalau diantara ketiganya, hanya Emil yang memiliki pacar dan bertahan sampai saat ini.
Emil menghela napas panjang. "Gue kasih tau." Evan mengangguk antusias.
"Cewek itu lebih suka cowok yang nggak banyak basa basi. Langsung tunjukin, dan berhenti bertanya."
Raut wajah Evan terlihat jelas sekali kalau cowok itu sedang kebingungan. Emil menepuk bahu Evan sambil kembali mengeluarkan kata-kata bijaknya.
"Misalnya, langsung beliin dia makan dan anterin ke kelasnya gitu. Buat hal sederhana, tapi kesannya bisa membuat cewek itu spesial. Dari pengalaman gue ke Susan gini, sih."
"Tapi lo jangan ngelakuin itu ke semua cewek!"
Evan menatap Emil tajam. "Maksudnya apa?"
"Lo lupa. Dulu waktu SMP, saat pelajaran olahraga si Andin keseleo, terus lo gendong dia sampe UKS. Eh dua hari kemudian lo ngelakuin hal yang sama saat si Mae pingsan di kelas. Lo tuh sebenernya gak perlu melakukan semua hal itu."
"Ya, itu kan karena gue kasihan aja."
"Kasihan nggak harus begitu. Lo inget, habis kejadian itu si Andin sama Mae berantem karena ngiranya lo suka sama mereka berdua."
Evan terdiam. Otaknya kembali mengingat kejadian lama itu. Evan meringis, saat mengingat gimana dirinya dipersalahkan karena telah membuat dua gadis itu baper.
“Apalagi si Amand—“
“Stop!” kata Evan menginterupsi. Tatapannya tajam ke arah Emil. "Lo kenapa jadi bahas masa lalu?"
Emil terkekeh melihat raut Evan yang tidak terima. "Bukan bahas masa lalu, tapi gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama."
Evan manggut-manggut pertanda mengerti. Selanjutnya kedua remaja itu tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Satu hal lagi, jangan permainkan perasaan cewek. Apalagi jadiin taruhan. Gak lucu!" desis Emil seraya melirik Evan sinis.
Evan tertegun, dia sadar kalau Emil sedang menyindirnya. Namun, sebisa mungkin dia mengelak. "Eh, udah malam gue balik, ya."
Emil mengangguk. Lalu segera bangkit dan menyusul Evan yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. Kalimat terakhir yang Emil ucapkan ternyata berakibat buruk pada sikap Evan. Buktinya, cowok itu kini tidak mengeluarkan sepatah kata apa pun. Wajahnya terlihat tidak bersemangat, berbeda seperti ketika Evan baru sampai.
"Hati-hati lo. Jangan ngebut!" Evan mengangguk. Tak lama Vespa miliknya sudah melaju menyusuri jalan.
Jalanan sudah sangat sepi, hanya ada beberapa kendaraan beroda dua, termasuk Evan salah-satunya. Hanya angin malam yang menemani perjalanannya sampai ke rumah.
***
Pria itu baru saja selesai mencuci mobil. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Hingga mengharuskan tangannya yang masih sedikit basah untuk menjawab telepon tersebut.
"Cari tahu soal teman laki-laki yang kemarin mengantar Eca pulang!"
"Baik, Pak," sahut Tono dibarengi dengan anggukan kepala.
Hari ini akhir pekan. Biasanya Tono akan beristirahat di rumahnya, tetapi beda dengan sekarang, yang setiap harinya dia harus datang ke rumah majikannya. Sebelumnya dia hanya menjadi supir untuk Gerald, dan karena Gerald hari Minggu libur, maka Tono dibebaskan untuk libur juga.
Namun, sejak Gerald pergi ke Palu, tugas Tono menjadi tambah berat. Dia harus datang setiap hari untuk mengantar kemana pun Eca akan pergi. Tidak hanya itu, Tono juga harus mengawasi dan menjaga Eca layaknya bodyguard.
Tono menutup teleponnya. Lalu bergegas masuk. Seperti biasanya, selesai mencuci mobil maka dia akan meminum kopi hitam yang sudah dibuatkan oleh Bi Imah untuknya.
"Pak Tono, kopinya," ucap Bi Imah sambil menyodorkan secangkir kopi hitam ke depan Tono.
Tono mengangguk. "Makasih, Bi."
Ting ... tong ...
Tak lama terdengar suara bel rumah, yang menandakan ada tamu di luar.
Bi Imah segera berlari menuju pintu utama. Lalu kakinya terus melangkah ke depan gerbang. Di sana sudah berdiri seorang pemuda dengan jaket hitam pekat yang melekat di tubuhnya.
"Cari siapa?"
Cowok itu menoleh, menatap wanita yang sudah hampir menua dari ujung kaki sampai kepala. "Saya cari Aresha, ada?"
"Ada, silakan masuk dulu. Saya panggilkan."
"Gak usah, Bu. Saya tunggu di sini aja," sahutnya sambil tersenyum ramah.
Bi Imah mengangguk. Wanita itu melangkahkan kakinya menuju kamar Eca. Diketuknya pintu kamar Eca beberapa kali sampai sang empu membukakan pintu.
"Bi, aku hari ini libur," desisnya kesal karena merasa tidurnya terusik.
"Di luar ada yang nyariin, Non."
Eca mengucek matanya, sesekali mulutnya menguap.
"Siapa sih, masih pagi gini udah bertamu," gerutu Eca sambil mulai menjejakkan kakinya di antara anak tangga.
Gadis itu berjalan dengan rasa malas yang menyelimuti dirinya, juga dengan mata yang masih sayup, menahan kantuk.
Pandangannya tertuju pada pemuda di balik pagar. Eca hanya bisa menatap punggung cowok itu. Karena dia menghadap arah lain. Dibukanya pagar, bersamaan dengan suara yang masih lesu itu terdengar.
"Ada perlu apa, Mas? Saya gak ada delivery makanan. Kayaknya, Mas salah orang deh," oceh Eca.
Cowok itu membalikkan badannya. Matanya membulat sempurna saat melihat penampilan cewek di depannya.
"H-Hai."
Eca tertegun, tubuhnya mematung. Namun, di detik berikutnya dia berlari menuju motor Vespa biru dan menatap wajahnya lewat pantulan kaca spion. Gadis itu mengusap sudut matanya, lalu kedua ujung bibirnya. Setelah selesai, Eca kembali menatap cowok itu.
"Ngapain?" tanya Eca dengan suara yang meninggi.
"Lo ... belum mandi, ya?" tanya Evan ragu.
"Kenapa? Masih belekan, ya?" tanya Eca serius. Padahal hatinya terus menggerutu kenapa Evan datang di saat yang tidak tepat. Lihat penampilannya sekarang. Rambut cepol yang acak-acakan, matanya masih sayu, bibirnya pucat, bahkan dia masih memakai piyama berkarakter Dora the Explorer.
Eca malu banget! Pasti Evan bakal ilfeel deh sama Eca! Gerutu Eca dalam hati sambil memejamkan matanya.
"Lucu."
"Hah?" Eca melongo.
"M-Maksud gue ... bajunya lucu," sahut Evan dengan salah tingkah sendiri.
Eca mengangguk sambil kembali berjalan masuk. "Sebenarnya ada perlu apa?"
Evan mengekor. Lidahnya mendadak kelu. Cowok itu menghela napasnya. "J-Jalan. Y-Yuk."
"Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya. Aneh, bisa-bisanya Evan datang tanpa bilang-bilang, dan sekarang mengajaknya jalan begitu saja.
Sinting nih orang! Tapi Eca suka!
Lucu ya, kita menunggu kereta di peron yang sama. Padahal kereta tujuan kita berbeda. Sampai aku sadar, kalau tujuanku bukan lagi rumah untuk berpulang, melainkan kamu.–Revan Al-Shabab-***"J-Jalan. Y-Yuk.""Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya.Sinting nih orang!Datang tiba-tiba dan sekarang mengajaknya jalan. Namun, kesempatan tidak akan datang dua kali.Eca menghela napasnya berat. "Eca mandi dulu ya, tunggu di dalam aja."Evan mengangguk, seulas senyum tipis tercetak di wajah mulusnya. Meski tidak pernah perawatan di salon, wajah Evan memang mulus tanpa jerawat. Ini mungkin efek dari hidupnya yang terbilang sehat. Cowok itu mengangguk."Gue tunggu di sini aja," ucapnya saat mereka baru menginjakkan kaki di teras rumah Eca.Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Dia tidak langsung ke kamar, melainkan berjalan ke dapur. "B
Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.
Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.
Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga
Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k
Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo
Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-
Kedekatan Evan dan Eca, semakin hari semakin terlihat. Apalagi mereka sudah tidak segan mengumumkan statusnya kepada teman terdekatnya. Sekedar pulang bareng atau menghabiskan waktu istirahat bersama, sudah sering mereka lakukan. Beberapa gadis yang melihat hal itu, tentu merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi cowok tampan yang tersisa di sekolah ini. Hanya tersisa Elang, siplayboy.Evan dan Eca bahkan kerap kali terlihat berjalan bersama menuju kantin, seperti saat ini. Dua remaja itu baru saja memasuki kantin. Mata Eca langsung tertuju pada mejasa biasa, tempat Evan dan teman-temannya mengisi perutnya. Di sana Emil terlihat menyapa meski hanya dengan dagu yang digerakkan maju.Pandangan Eca beralih ke arah bangu yang berada di depan Emil. Seorang gadis duduk di sana, tempat yang seharusnya milik Eca dan Evan."Evan," panggil Eca seraya mencolek lengan Evan.Evan hanya melirik Eca sekilas dengan senyum hangatnya yang selal
Evan masih terus mencoba untuk menghubungi Eca, tetapi tetap tidak ada jawaban dari gadis itu. Sekali lagi evan menekan dial telepon, dan masih sama hasilnya. Mungkin Eca udah tidur, pikir Evan. Mengingat saat ini sudah cukup larut. “Evan,” suara cewek dari arah belakang sontak membuat Evan terkejut. Cowok itu buru-buru menoleh. Saat mengetahui siapa gadis di depannya, Evan segera memasukkan ponselnya ke saku celana. “Eh, ada apa, Man?” “Sorry ganggu.” Evan tidak menjawab, hanya menunggu gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja Evan jadi teringat percakapannya dengan Emil tempo hari lalu. Dia tidak boleh sampai memberi harapan, atau bersikap terlalu ramah sama semua perempuan. “Gue boleh nebeng?” Evan melirik sekitar. Dimana kedua temannya? Menyadari reaksi Evan, Amanda kembali bersuara. “Nggak apa-apa kalau nggak boleh.” Evan tersenyum kikuk. Menolak tidak bisa, menerima sulit. “Sama Emil aja, Man.” “Sor
Evan memarkirkan motornya di pekarangan sebuah kafe yang cukup luas. Di atas kepalanya beberapa bohlam lampu terlihat tergantung begitu indah, begitu juga batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat Evan berdiri sekarang ada lampu warna-warni yang dibuat melingkari pohon itu, menambah keindahan malam.Setelah melepas helm, cowok itu bergegas masuk ke dalam kafe. Malam ini Evan dan kedua sahabatnya harus mengisi acara reunian di kafe ini. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan guna mencari sahabatnya. namun, suara dari seorang gadis yang sedang berdiri di atas panggung kecil berhasil mengalihkan atensi Evan.Suaranya yang lembut dan tenang, seperti angin sejuk yang tadi Evan rasakan di jalan. Senyum Evan mengembang saat bola matanya bertatapan lurus dengan manik hitam pekat milik gadis itu. Seakan terhipnotis, Evan enggan mengalihkan tatapannya. Hingga akhirnya lagu yang dibawakan gadis itu selesai.“Gimana suara gue?” tanya gadis yang entah seja
Kedekatan Evan dan Eca, semakin hari semakin terlihat. Apalagi mereka sudah tidak segan mengumumkan statusnya kepada teman terdekatnya. Sekedar pulang bareng atau menghabiskan waktu istirahat bersama, sudah sering mereka lakukan. Beberapa gadis yang melihat hal itu, tentu merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi cowok tampan yang tersisa di sekolah ini. Hanya tersisa Elang, siplayboy.Evan dan Eca bahkan kerap kali terlihat berjalan bersama menuju kantin, seperti saat ini. Dua remaja itu baru saja memasuki kantin. Mata Eca langsung tertuju pada mejasa biasa, tempat Evan dan teman-temannya mengisi perutnya. Di sana Emil terlihat menyapa meski hanya dengan dagu yang digerakkan maju.Pandangan Eca beralih ke arah bangu yang berada di depan Emil. Seorang gadis duduk di sana, tempat yang seharusnya milik Eca dan Evan."Evan," panggil Eca seraya mencolek lengan Evan.Evan hanya melirik Eca sekilas dengan senyum hangatnya yang selal
Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-
Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo
Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k
Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga
Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.
Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.