Home / Fiksi Remaja / Revansha / Minggu yang indah

Share

Minggu yang indah

Author: Siskapuspus
last update Last Updated: 2021-09-21 19:59:09

Lucu ya, kita menunggu kereta di peron yang sama. Padahal kereta tujuan kita berbeda. Sampai aku sadar, kalau tujuanku bukan lagi rumah untuk berpulang, melainkan kamu.

–Revan Al-Shabab-

***

"J-Jalan. Y-Yuk."

"Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya.

Sinting nih orang!

Datang tiba-tiba dan sekarang mengajaknya jalan. Namun, kesempatan tidak akan datang dua kali.

Eca menghela napasnya berat. "Eca mandi dulu ya, tunggu di dalam aja."

Evan mengangguk, seulas senyum tipis tercetak di wajah mulusnya. Meski tidak pernah perawatan di salon, wajah Evan memang mulus tanpa jerawat. Ini mungkin efek dari hidupnya yang terbilang sehat. Cowok itu mengangguk.

"Gue tunggu di sini aja," ucapnya saat mereka baru menginjakkan kaki di teras rumah Eca.

Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Dia tidak langsung ke kamar, melainkan berjalan ke dapur. "Bi, itu teman Eca tolong dibuatkan minum, ya."

Bi Imah hanya mengangguk. "Iya, Non."

Eca bergegas menuju kamarnya. Tidak ingin membuat Evan menunggu lama.

Tak lama kemudian Eca sudah rapih dengan overall jeans yang dipadukan dengan kaus berwarna merah muda. Tampilan ini semakin membuat wajahnya terlihat cantik. Eca mengikat rambutnya persis seperti buntut kuda. Merapihkan poni depannya, lalu memakai jepitan berbentuk kucing.

Pagi ini otak dan hatinya tidak begitu sinkron. Dia terus mengumpat atas kedatangan Evan yang tiba-tiba. Namun, hatinya bersorak gembira karena Evan mengajaknya jalan. Mungkinkah ini bertanda kalau perasaan Eca selama setahun terakhir akan terbalaskan?

Di teras Evan masih duduk dan tenggelam dalam pikirannya. Tidak pernah terbesit dalam pikiran kalau dia akan berpacaran dengan Eca, gadis yang dulu pernah dia tolong saat telat di hari pertama Masa Orientasi Siswa. Evan menghela napasnya. Sudah hampir 30 menit dia menunggu, tapi Eca belum juga menampakkan dirinya.

"Den, ini minumnya," seru Bi Imah seraya meletakkan secangkir teh hangat di atas meja.

Evan menoleh. "Makasih, Bu. Maaf, merepotkan," ucapnya ramah.

"Panggil Bibi aja."

Evan terdiam menatap Bi Imah, "Saya kira Ibu ...."

"Saya asisten rumah tangga di sini."

Evan mengangguk. Sebelumnya Evan memang mengira kalau Bi Imah adalah ibunya Eca.

"Ibunya non Eca sudah meninggal ketika melahirkan," ucap Bi Imah, wanita ini memang orang yang terbuka. Namun, saat melihat Evan entah kenapa dia menjadi yakin untuk menceritakan sedikit tentang keluarga Eca.

Evan tersentak mendengar soal ini. Dia tidak menyangka saja, gadis sebaik Eca harus hidup tanpa kasih sayang dari seorang ibu. Apalagi dengan mengingat kalau gadis itu selalu bersikap ceria dan menunjukkan senyum kebahagiaan ke semua orang.

"Lagi ngomongin apa sih, serius banget?" suara itu menggema dari balik pintu, selanjutnya disusul dengan kemunculan Eca.

Bi Imah segera pamit ke dapur. Sementara Evan masih membuka matanya. Kelopak matanya tidak mengedip sama sekali, dadanya berdebar sangat cepat sampai Eca kembali menyadarkannya.

"Evan!"

Evan baru mengerjap. "H-Hah?" sahut Evan gugup.

"Katanya mau jalan?" Evan mengangguk.

"Lo mau kemana?"

"Terserah Evan. Eca ikut aja," sahutnya sambil senyum.

Ya, jawaban semua perempuan pasti seperti itu 'ter-se-rah', tapi pada kenyataannya dia akan menolak ketika tidak suka.

"Ya udah, yuk." Evan jalan lebih dulu di depan Eca, gadis itu mengekor di belakang.

Evan sudah memakai helm miliknya. Namun, Eca masih berdiri mematung di depan Evan. "Kok, diem?" tanya Evan bingung.

Eca menatap Evan, seulas senyum kembali terukir. Dia senang. Benar-benar senang tepatnya.

"Yuk, berangkat!"

"Evan, ini masih pagi banget tau."

Evan melirik arloji di tangannya. "Udah jam sepuluh Sha. Yuk, nanti kemalaman pulangnya."

Akhirnya Eca mengangguk dan mendekati Evan. Saat mau menaiki motor, Evan mencekal pergelangan tangannya. Eca menoleh, menatap Evan tanpa arti.

Evan tak berbicara. Namun, tangannya segera memakaikan helm pada Eca. "Pakai helm, kalau nggak mau ditangkap polisi."

"Hmm," Eca mengangguk. Kupu-kupu berterbangan dalam perutnya. Napasnya terasa tidak beraturan karena degup jantungnya yang semakin cepat.

Keduanya sudah duduk diam di atas motor. Evan menancap gas, melajukan Vespa miliknya dengan kecepatan sedang. Dia ingin menikmati tiap detik ini. Tidak! Apa yang barusan menyelinap dalam pikirannya? Evan menggelengkan kepalanya. Dia harus fokus pada tujuannya, mendapatkan hati Eca dan memenangkan taruhan dengan Elang.

Sementara di jok belakang gadis itu tersenyum lebar. Poninya yang diterpa angin membuat matanya sedikit tertutup, tetapi kecantikannya tidak luntur meski embusan angin terus menerus menyapu lembut wajahnya.

Sudah hampir sepuluh menit, dan Evan memarkirkan motornya di depan sebuah parkiran 24 jam, dekat dengan stasiun Gondangdia. Eca hanya diam dan terus mengikuti Evan. Mereka berjalan beberapa meter untuk sampai di stasiun.

Evan menatap Eca sambil tersenyum. Sementara Eca menautkan kedua alisnya. "Kok, ke sini?"

"Kita akan naik kereta."

"Naik kereta?" tanya Eca dengan nada sedikit meninggi.

Sebelumnya Eca tidak pernah naik kereta. Dari kecil hingga saat ini. Meski dia tinggal tak jauh dari stasiun, tetapi tetap saja dia belum pernah mencoba naik kereta.

"Tunggu di sini, gue beli tiket dulu."

Eca terdiam. Kepalanya terasa pening jika membayangkan keadaan di dalam kereta, seperti yang ayahnya pernah bilang.

"Evan," ucap Eca seraya menarik lengan Evan. Tentu saja membuat Evan menghentikan langkahnya. Cowok itu menoleh.

"Kenapa?"

Eca menggeleng sambil terus menatap manik mata Evan. "Kita mau kemana? Naik motor aja, nggak bisa emang?"

"Nggak," sahut Evan santai. "Lo tenang aja, nggak akan kenapa-kenapa, kok."

Eca menghela napas berat. Kemudian mengangguk untuk menyetujui ucapan Evan.

"Eca ikut beli tiket, boleh?" Evan mengangguk.

Keduanya berjalan berdampingan sambil mengantri panjang di depan loket pembelian tiket.

"Mbak, tujuan Jakarta Kota dua," ucap Evan pada petugas perempuan yang sedang berjaga di dalam sana. "Pulang pergi," sambung Evan.

Evan baru saja membeli tiket harian berjamin (THB) di loket manual. Tiket ini biasanya digunakan sekali pakai, dan uang bisa dipulangkan jika mengembalikan ke loket di stasiun awal.

Sementara Eca hanya celingukan tidak mengerti. Stasiun adalah tempat asing yang belum pernah dia datangi.

"Yuk." Eca mengangguk.

"Ini tiket lo, nanti tap melalui gate. Pintu akan terbuka kalo lampunya menyala berwarna hijau."

Eca manggut-manggut sambil terus mendengarkan arahan dari Evan. "Kenapa nggak bareng sama Evan aja?"

"Gue di belakang lo, tenang aja."

Eca menghela napasnya berat. Kali ini jantungnya berdebar lebih cepat bukan karena sedang berada di dekat Evan. Melainkan rasa takut yang menyerang dirinya karena harus naik kereta.

Eca sudah berhasil masuk dan sekarang giliran Evan. Cowok itu menghampiri Eca. Keduanya langsung melangkah menuju peron untuk menunggu kereta yang akan mereka naiki.

Kedua remaja itu berdiri di peron, menunggu kereta tujuannya. Evan mendongak, menatap pengumuman di layar monitor atas sana. Ternyata kereta tujuannya masih sepuluh menit lagi.

Evan menarik tangan Eca, sampai sang empunya tersentak dan menatap Evan. "Duduk dulu, masih lama keretanya," kata Evan seraya membawa Eca ke bangku tunggu yang ada di belakang mereka.

Gadis itu menurut dan duduk. Selang beberapa menit, kereta jurusan Jakarta kota tiba. Evan mengajak Eca dan menariknya ke gerbong khusus wanita.

"Lo naik gerbong ini, supaya lebih aman."

Eca menggeleng. "Nggak mau, Eca takut sendirian!" ucapnya lirih. Tangannya terus berpegangan pada Evan.

Evan menghela napasnya. "Sha, jangan takut. Gue nggak kemana-mana, kok."

"Evan," ucap Eca dengan mimik wajah yang didramatisir. Berharap agar dirinya tidak disuruh masuk sendirian.

Evan menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya frustasi. Gue nggak nyangka kalau ngajak lo jalan akan serumit ini!

Eca akan mengenang hari minggu yang indah ini. Pertama kalinya naik kereta dan sama orang yang Eca suka. Ayah, tolongin Eca! Jantung Eca degupnya kencang banget.

Related chapters

  • Revansha   Perkara kereta dan kota tua

    Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.

    Last Updated : 2021-09-23
  • Revansha   Dimulai dari sebuah kebohongan

    Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.

    Last Updated : 2021-09-24
  • Revansha   Sarapan dan harapan

    Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga

    Last Updated : 2021-09-25
  • Revansha   Itu siapa?

    Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k

    Last Updated : 2021-09-26
  • Revansha   Latihan

    Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo

    Last Updated : 2021-10-06
  • Revansha   Capek, nggak?

    Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-

    Last Updated : 2021-10-19
  • Revansha   Anak baru

    Kedekatan Evan dan Eca, semakin hari semakin terlihat. Apalagi mereka sudah tidak segan mengumumkan statusnya kepada teman terdekatnya. Sekedar pulang bareng atau menghabiskan waktu istirahat bersama, sudah sering mereka lakukan. Beberapa gadis yang melihat hal itu, tentu merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi cowok tampan yang tersisa di sekolah ini. Hanya tersisa Elang, siplayboy.Evan dan Eca bahkan kerap kali terlihat berjalan bersama menuju kantin, seperti saat ini. Dua remaja itu baru saja memasuki kantin. Mata Eca langsung tertuju pada mejasa biasa, tempat Evan dan teman-temannya mengisi perutnya. Di sana Emil terlihat menyapa meski hanya dengan dagu yang digerakkan maju.Pandangan Eca beralih ke arah bangu yang berada di depan Emil. Seorang gadis duduk di sana, tempat yang seharusnya milik Eca dan Evan."Evan," panggil Eca seraya mencolek lengan Evan.Evan hanya melirik Eca sekilas dengan senyum hangatnya yang selal

    Last Updated : 2021-11-01
  • Revansha   Siaran langsung

    Evan memarkirkan motornya di pekarangan sebuah kafe yang cukup luas. Di atas kepalanya beberapa bohlam lampu terlihat tergantung begitu indah, begitu juga batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat Evan berdiri sekarang ada lampu warna-warni yang dibuat melingkari pohon itu, menambah keindahan malam.Setelah melepas helm, cowok itu bergegas masuk ke dalam kafe. Malam ini Evan dan kedua sahabatnya harus mengisi acara reunian di kafe ini. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan guna mencari sahabatnya. namun, suara dari seorang gadis yang sedang berdiri di atas panggung kecil berhasil mengalihkan atensi Evan.Suaranya yang lembut dan tenang, seperti angin sejuk yang tadi Evan rasakan di jalan. Senyum Evan mengembang saat bola matanya bertatapan lurus dengan manik hitam pekat milik gadis itu. Seakan terhipnotis, Evan enggan mengalihkan tatapannya. Hingga akhirnya lagu yang dibawakan gadis itu selesai.“Gimana suara gue?” tanya gadis yang entah seja

    Last Updated : 2021-11-02

Latest chapter

  • Revansha   Lampu merah bikin marah

    Evan masih terus mencoba untuk menghubungi Eca, tetapi tetap tidak ada jawaban dari gadis itu. Sekali lagi evan menekan dial telepon, dan masih sama hasilnya. Mungkin Eca udah tidur, pikir Evan. Mengingat saat ini sudah cukup larut. “Evan,” suara cewek dari arah belakang sontak membuat Evan terkejut. Cowok itu buru-buru menoleh. Saat mengetahui siapa gadis di depannya, Evan segera memasukkan ponselnya ke saku celana. “Eh, ada apa, Man?” “Sorry ganggu.” Evan tidak menjawab, hanya menunggu gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja Evan jadi teringat percakapannya dengan Emil tempo hari lalu. Dia tidak boleh sampai memberi harapan, atau bersikap terlalu ramah sama semua perempuan. “Gue boleh nebeng?” Evan melirik sekitar. Dimana kedua temannya? Menyadari reaksi Evan, Amanda kembali bersuara. “Nggak apa-apa kalau nggak boleh.” Evan tersenyum kikuk. Menolak tidak bisa, menerima sulit. “Sama Emil aja, Man.” “Sor

  • Revansha   Siaran langsung

    Evan memarkirkan motornya di pekarangan sebuah kafe yang cukup luas. Di atas kepalanya beberapa bohlam lampu terlihat tergantung begitu indah, begitu juga batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat Evan berdiri sekarang ada lampu warna-warni yang dibuat melingkari pohon itu, menambah keindahan malam.Setelah melepas helm, cowok itu bergegas masuk ke dalam kafe. Malam ini Evan dan kedua sahabatnya harus mengisi acara reunian di kafe ini. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan guna mencari sahabatnya. namun, suara dari seorang gadis yang sedang berdiri di atas panggung kecil berhasil mengalihkan atensi Evan.Suaranya yang lembut dan tenang, seperti angin sejuk yang tadi Evan rasakan di jalan. Senyum Evan mengembang saat bola matanya bertatapan lurus dengan manik hitam pekat milik gadis itu. Seakan terhipnotis, Evan enggan mengalihkan tatapannya. Hingga akhirnya lagu yang dibawakan gadis itu selesai.“Gimana suara gue?” tanya gadis yang entah seja

  • Revansha   Anak baru

    Kedekatan Evan dan Eca, semakin hari semakin terlihat. Apalagi mereka sudah tidak segan mengumumkan statusnya kepada teman terdekatnya. Sekedar pulang bareng atau menghabiskan waktu istirahat bersama, sudah sering mereka lakukan. Beberapa gadis yang melihat hal itu, tentu merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi cowok tampan yang tersisa di sekolah ini. Hanya tersisa Elang, siplayboy.Evan dan Eca bahkan kerap kali terlihat berjalan bersama menuju kantin, seperti saat ini. Dua remaja itu baru saja memasuki kantin. Mata Eca langsung tertuju pada mejasa biasa, tempat Evan dan teman-temannya mengisi perutnya. Di sana Emil terlihat menyapa meski hanya dengan dagu yang digerakkan maju.Pandangan Eca beralih ke arah bangu yang berada di depan Emil. Seorang gadis duduk di sana, tempat yang seharusnya milik Eca dan Evan."Evan," panggil Eca seraya mencolek lengan Evan.Evan hanya melirik Eca sekilas dengan senyum hangatnya yang selal

  • Revansha   Capek, nggak?

    Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-

  • Revansha   Latihan

    Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo

  • Revansha   Itu siapa?

    Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k

  • Revansha   Sarapan dan harapan

    Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga

  • Revansha   Dimulai dari sebuah kebohongan

    Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.

  • Revansha   Perkara kereta dan kota tua

    Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.

DMCA.com Protection Status