Evan terus melangkah menyusuri koridor, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Sebuah nama terpampang jelas di daun pintu ruangan itu.
Indah Suryani S.Pd.
Tanpa ragu Evan mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam ruangan ini.
"Masuk!"
Evan menghela napas berat. Sedikit takut, karena pasalnya dia belum pernah membuat kesalahan apa pun sampai harus dipanggil dengan wali kelasnya.
"Ibu manggil saya?"
Wanita berpakaian formal khas PNS itu mengangguk. "Duduk."
Evan terdiam. Dia bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Karena dia tidak tahu untuk apa dipanggil ke ruangan ini.
Wanita yang masih duduk diam di sebuah kursi itu kini sibuk mencari beberapa tumpukan kertas di atas mejanya.
"Maaf Bu, kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Evan dengan ragu.
Bu indah menatapnya sambil tersenyum. Satu tangannya berhasil meraih sebuah kertas dari laci mejanya.
"Evan, sebelumnya Ibu minta maaf, karena harus membicarakan hal ini kepada kamu, tapi ibu rasa kamu juga perlu tahu soal ini.
Evan semakin bingung dan ketakutan. Keringat sudah membasahi telapak tangannya. Apa gue bakalan di skors? Atau di DO? Batinnya bertanya-tanya.
Bu Indah menghela napas berat. "Kamu belum membayar uang gedung untuk setahun ke depan. Dan di kelas sebelumnya juga kamu masih memiliki tunggakan SPP selama 3 bulan terakhir," tutur Bu indah sambil tersenyum ramah.
Evan menggigit bibir bawahnya. Perasaannya sekarang menjadi sangat sedih. Bagaimana dia akan membayar uang gedung dan SPP, sementara untuk memenuhi kebutuhan hariannya saja masih sering kali kekurangan. Evan menghela napas gusar. Pandangannya ke bawah, menatap ujung sepatunya. Jari-jari tangannya saling beradu, seolah dia sedang menumpukan semua beban pikiran pada jari tangannya.
"Kasih ke orang tua kamu!" pintanya seraya menyodorkan kertas putih, bentuknya lebih mirip seperti amplop.
Evan mendongak, lalu mengangguk. "Baik, Bu." Dia mengambil amplop yang diberikan oleh Bu Indah kepadanya.
"Kalau gitu saya permisi dulu."
Perkataan Evan hanya dibalas dengan anggukan oleh Bu Indah. Selepas dari ruangan itu, Evan langsung melipat kertas pemberian Bu Indah dan menyimpannya di dalam saku celananya.
Sekali lagi Evan menghela napas, kali ini dibarengi dengan tangan kanannya yang mengusap wajahnya gusar. Kakinya mulai melangkah. Bel masuk sebentar lagi akan berbunyi. Tidak ingin terlambat, Evan segera beranjak menuju kelasnya. Dia melewati kelas IPA 2, tanpa sadar sepasang mata bernetra cokelat itu terus menatapnya dari kejauhan.
Untung saja belum ada guru di kelasnya. Jadi Evan bisa leluasa masuk ke kelas tanpa harus diceramahi seperti yang sering dilakukan teman sekelasnya.
Evan hampir saja lupa kalau tas miliknya masih berada di kantin. Dia mengacak rambutnya frustasi sambil ikut duduk di samping Emil.
"Kusut amat tuh muka!" cibir Emil.
Evan hanya melirik Emil sekilas. Lalu membenamkan kepalanya di atas tangan yang bertumpu pada meja.
"Nih, tas lo!" desis Emil seraya menepuk kepala Evan menggunakan tas milik cowok itu.
Tak lama kelas berlangsung dengan semestinya. Namun, semangat Evan kali ini sedikit berkurang. Apalagi pelajaran pertama adalah Fisika. Membuat kepalanya terasa tambah pening.
Bel istirahat kembali berbunyi. Emil sudah pergi ke kantin untuk membeli minuman. Sementara Evan masih tetap di bangkunya. Seketika pikirannya kembali merekam ucapan Elang tentang taruhan malam kemarin.
"Van, kantin nggak?" teriak Elang dari depan pintu. Panjang umur untuk Elang. Baru saja Evan memikirkannya, tetapi sekarang cowok itu sudah ada di depan kelasnya.
Evan menggeleng.
"Ya udah gue ke kantin dul...." Elang mulai melangkah, tapi suara Evan kembali menghentikan pergerakan kakinya.
"Eh, Lang sini dulu!"
Terpaksa cowok itu kembali masuk ke dalam kelas Evan. Elang mengambil posisi duduk di bangku depan Evan.
"Kenapa lo?"
"Eum ... soal tawaran lo semalam...."
Elang mengernyitkan keningnya. Menunggu Evan kembali melanjutkan perkataannya.
"Gue setuju." lanjutnya singkat.
"Taruhan?"
Evan mengangguk mantap. Sebetulnya dia sangat merasa bersalah karena mau menerima taruhan Elang. Cowok di depan Evan mengangguk sambil tersenyum lebar.
Keraguan Evan bukan hanya terletak pada motor yang dijanjikan, melainkan pada konsekuensi hati di kemudian hari. Karena bisa saja Eca akan sangat marah padanya kalau cewek itu tahu dirinya dijadikan taruhan.
"Deal?" tanyanya seraya mengulurkan tangan. Evan membalas uluran tangan itu, masih dengan sejuta keraguan dan kecemasan dalam dirinya. Jabatan tangan itu bertanda bahwa mereka sudah setuju pada hal yang sebenarnya tidak boleh mereka lakukan.
"Jangan sampai Emil tahu, ya." Elang kembali bersuara, tapi hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Evan.
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Ketiga sejoli itu, Evan, Emil dan Elang sedang dalam perjalanan menuju parkiran. Raut wajah Evan sangat terlihat murung. Maklum saja dia pasti sedang kebingungan bagaimana cara untuk mendekati Eca. Langkahnya terhenti.
Emil yang menyadari Evan tertinggal beberapa langkah ikut berhenti. "Van, kenapa lo?"
Evan menatap Emil yang sudah berada beberapa meter di depannya. "Hmm," Evan hanya bergumam sambil mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu diakhiri dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan.
Saat itu juga Eca lewat di depannya menuju mobil yang sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Dengan ragu Evan memanggil gadis itu.
"Aresha!" teriaknya.
Tahap pertama, mengantar perempuan pulang sampai ke rumahnya.
Kalimat itu yang bisa Evan ingat dari pencariannya di internet, sewaktu istirahat.
Gadis pemilik nama Aresha Veranka Putri itu menoleh. Melihat wajahnya, Evan tertegun seketika. Meski sikapnya yang friendly dan terbuka kepada semua orang, tetapi Evan belum pernah berpacaran. Karena Evan tidak ada niat sedikit pun untuk menghabiskan waktu remajanya dengan berpacaran.
Ini aneh, selama di sekolah ini Evan belum pernah merasa setegang ini. Keringat dingin sudah menjalar di sekujur tubuhnya. Hanya di depan Eca dia bisa sekaku saat ini. Doraemon, tolong berikan Evan kekuatan.
Eca tersenyum, menunggu Evan kembali mengeluarkan suara. Rasanya cinta diam-diam yang selama ini Eca pendam akan terbalaskan. Mungkin.
Sementara Emil dan Elang saling melirik keduanya bergantian. Bingung sekaligus penasaran.
"Ada apa, Evan?" tanya Eca seraya tersenyum ramah.
Evan berjalan melewati Emil dan Elang menuju Eca. Langkahnya berhenti sebentar diantara kedua temannya. "Doain, ya," ucapannya membuat Emil tambah kebingungan.
"Good luck!" seru Elang seraya menepuk bahu Evan pelan.
"Kenapa tuh anak?" tanya Emil dengan menggerakkan dagunya ke arah Evan.
Elang mengedikkan kedua bahunya. "Nggak tahu," alibinya. Padahal tentu saja Elang tahu, karena ini adalah rencara antara mereka berdua.
Evan terus melangkah, menghampiri gadis berponi itu.
"Hai, Sha," sapa Evan ramah.
Eca menatap Evan. Netranya yang hitam pekat membuat Eca merasa tenang saat menatapnya. Bahkan kini tatapannya lebih jauh lagi menerobos manik milik Evan.
Evan menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya. "Gue, anterin lo pulang, boleh?"
"Tapi Eca...." Eca melirik mobil yang sudah terparkir di depan gerbang.
"Gue bakalan izin sama supir lo."
"Evan udah tau?"
Evan mengangguk sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Merasa malu, karena kemarin sudah menuduh supir Eca dengan yang tidak-tidak. Sementara Eca hanya terkekeh kecil melihat Evan.
"Maaf ya, gue udah nuduh supir lo yang nggak-nggak."
"Iya gak apa-apa, kok." Eca manggut-manggut.
Keduanya melangkah bersama. Namun, degup jantung Eca berpacu lebih cepat ketimbang langkahnya saat ini. Berada di samping seseorang yang disukainya sejak setahun yang lalu, ternyata tidak bagus untuk kesehatan jantungnya.
"Permisi, Pak," ucap Evan pada Tono yang sedang asik mendengarkan lagu keroncong di dalam mobil.
"Wah, kamu yang kemarin ngatain saya, 'kan?" tanya Tono dengan wajah garang. Mimik wajahnya terlihat begitu murka. Kalau saja dia tidak ingat dosa, sudah dipenggal kepala Evan saat ini juga.
"Iya pak, saya mau minta maaf. Karena ada sedikit kesalahpahaman."
Tono menghela napasnya panjang. Sebetulnya dia agak sakit hati dengan ucapan Evan yang kemarin terdengar tidak sopan.
Namun, dia juga paham betul kalau Evan pasti menyangka dirinya adalah buaya rawa yang suka mencari anak gadis sekolahan sebagai mangsa. Tono kembali melirik Evan dan Eca bergantian. "Iya, ndak apa-apa," ucap Tono.
"Pak, Eca mau pulang bareng sama Evan. Pak Tono pulang duluan aja," ucap Eca sambil menunjukkan deretan giginya yang terlihat putih bersih.
"Jangan gitu, Non. Nanti bapak kena marah sama Ayah non Eca."
"Nggak akan Pak, saya bakalan jagain Eca."
Kali kedua perut Eca terasa dipenuhi kupu-kupu yang sedang berterbangan. Eca melirik Evan melalui ekor matanya. Menahan senyum bahagia di wajahnya. Tangannya meremas ujung kemeja putih yang dia kenakan. Ah, rasanya Eca ingin kayang saat ini juga, saking senangnya.
Tono menghela napasnya. Kemudian dia mengangguk singkat.
"Makasih, Pak." Evan kembali menunjukkan senyum paling manis sepanjang hidupnya.
Kini Evan dan Eca kembali masuk menuju parkiran. Untung saja Evan membawa helm dua, sebetulnya setiap hari juga dia akan membawa helm dua ke sekolah, karena sebelumnya dia harus berangkat bersama ibunya.
Eca memakai helm berwarna merah menyala dan duduk di jok belakang motor Evan.
***
Hitungan di atas sana terus mundur, sejauh ini angka yang bisa Evan lihat adalah lima. Vespa yang sedang dikendarainya perlahan mulai melaju pelan. Sedetik kemudian motornya berhenti. Lampu berganti warna menjadi merah.
Trukk!
Eca tersentak, helm yang dipakainya bertubrukan dengan helm milik cowok di depannya. Gadis itu menegakkan tubuhnya. Tangannya masih gemetar di atas pahanya. Namun, kedua sudut bibirnya terangkat sejak tadi.
Cowok itu melirik kaca spionnya, menatap Eca yang sedang tersenyum tipis mampu membuat dadanya berdebar sangat cepat. Pasokan oksigen siang hari ini terasa berkurang. Evan sampai harus membuang napasnya melalui mulut, mengatur detak jantungnya agar tak memompa darah dengan cepat.
Tiga,
Dua,
Satu,
Tunggu sampai lampu berubah menjadi hijau.
Eca mendongak, membaca tulisan di atas sana, lalu dalam hitungan detik lampu sudah berubah menjadi hijau. Entah Evan tidak melihatnya, atau bahkan tidak menyadari bahwa beberapa kendaraan di sebelah motornya sudah menancap gas dan melaju dengan sangat cepat.
"Evan, udah lampu hijau," ucap Eca sambil mendekatkan mulutnya di telinga Evan. Membuat dagu gadis itu bersentuhan langsung dengan pundak Evan.
Evan mengerjap beberapa kali, pandangannya dia edarkan ke sekitar sambil sesekali melirik lampu lalu lintas. Tak lama Vespa miliknya kembali melaju dengan kecepatan sedang.
"Mikirin apa, sih, sampe gak fokus?" Suara Eca kembali terdengar, meski pelan dan tersamarkan oleh embusan angin siang ini.
Evan tertegun. Namun, dia tetap mencoba fokus memperhatikan jalan. Kepalanya bergerak pelan. "Ng-nggak, Sha."
Eca manggut-manggut dan kembali memperhatikan jalan. Ternyata naik motor lebih mengasyikan ketimbang naik mobil, yang hanya bisa merasakan pendingin dari sebuah alat buatan manusia. Tidak seperti saat naik motor, bisa menghirup udara banyak-banyak dan embusan angin juga sangat alami.
Mungkin gak sih Evan suka sama Eca? gumamnya dalam hati.
Netranya melirik spion, tergambar jelas raut wajah Evan di sana. Pandangannya? Tidak mungkin! Evan sedang melirik spion juga dan netra mata keduanya sempat bertemu di spion jika saja Evan tak menghindari tatapan itu.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Eca. Karena rumah gadis itu lebih dekat dengan sekolah dibandingkan dengan rumah Evan.
Vespa biru itu memasuki kompleks perumahan alam indah, tepat di mana rumah Eca berada.
Sesampainya di depan gerbang besi yang sudah dicat hitam, Vespa itu berhenti. Eca dengan hati-hati turun dari motor Evan.
"Bisa nggak?" tanya Evan memastikan.
Cowok itu masih terus memperhatikan Eca melalui spion. Padahal sudah terlihat jelas kalau dia sangat kesulitan untuk turun. Tangan kirinya memegang beberapa buku yang dia pinjam di perpus tadi. Tangan kanannya sibuk menahan helm. Karena ukurannya yang kebesaran, terkadang helm itu menghalangi penglihatan Eca.
Eca sudah berhasil turun dari motor, tetapi kini kesulitan kembali melandanya. Dia sibuk berkutat membuka tali helm di kepalanya. Eca menatap Evan sebentar.
"Evan,bisa tolong pegangin buku Eca, sebentar?" tanya Eca seraya menyerahkan beberapa buku yang ada di tangannya.
Evan menoleh seraya mengulurkan tangannya. Bukan mengambil buku dari tangan Eca, melainkan membantu membuka helm di kepala Eca.
"Gue bantuin, maaf ya," kata Evan dengan ragu.
Eca terdiam, matanya mengerjap beberapa kali. Waktu terasa berhenti beberapa detik. Jantungnya seperti tak lagi memompa darah ke seluruh tubuh. Apa Eca akan mati?
Eca, jangan baper. Dulu juga Eca pernah dibukain helm sama tukang ojek 'kan? Jadi, gak boleh baper sama Evan!
Ah, tapi Eca gak bisa bohong. Eca suka sama Evan! umpat Eca dalam hati.
"Sha!" seru Evan.
"Hah?" Eca menoleh. Kalau saja Evan tidak memanggil namanya, mungkin dia akan berdiri di depan gerbang sampai besok pagi.
"Gue pulang, ya?"
"Hmm ... oh, iya. Oke, hati-hati."
Sialan! Kenapa lidah ikutan grogi gini sih, pikir Eca.
Evan mengangguk. Tak lama tikungan itu menelan Evan dan motornya. Sampai tak lagi ada di hadapan Eca.
Gadis berponi depan itu menghela napasnya panjang. Mengontrol kembali degup jantung dan aliran darahnya. Kemudian, dia masuk ke dalam rumah.
Langkahnya terhenti di dapur. Gadis itu meletakkan buku dan tas di atas meja pantry. Lalu mendudukkan bokongnya di sebuah kursi.
"Non, baru pulang?" tanya Bi Imah seraya menyambut Eca. Wanita berkepala empat itu adalah asisten rumah tangga Eca. Entah sudah berapa lama Bi Imah bekerja di rumah Eca, tetapi setahu Eca, wanita itu sudah ada sejak dirinya masih kecil.
"Iya," sahutnya singkat.
Eca beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah kulkas. Lalu mengeluarkan air dingin dan menuangkannya ke sebuah gelas.
Tak lama dering telepon rumah berbunyi. Bi Imah langsung berlari ke ruang tengah untuk menjawab teleponnya.
"Halo, Tuan."
" ... "
"Oh, udah. Baru aja pulang."
" ... "
Bi Imah kembali ke dapur. Sementara Eca masih menyandarkan tubuhnya di kursi, sambil membiarkan air dingin itu membasahi kerongkongannya yang sejak tadi terasa sangat kering.
"Non, Tuan mau bicara di telepon."
Eca meletakkan gelasnya. Dia langsung berlari menuju ruang tengah. Baru tiga hari ditinggal sang ayah, tatapi rindu sudah menyelinap hadir dalam hatinya.
"Ayah apa kabar? Ayah, Eca kangen. Ayah kapan pulang?"
"Kebiasaan kalo nanya tuh satu-satu!"
Eca hanya cengengesan. Di detik berikutnya mimik wajah gadis itu terlihat lebih serius dari sebelumnya. Sama seriusnya dengan lawan bicaranya di seberang sana.
"Pulang sekolah kemana aja? Kenapa gak pulang sama Pak Tono?"
"Eca pulang sama teman, Yah."
"Temannya cewek atau cowok? Pasti cowok kan? Eca, lain kali gak boleh pulang sama orang asing. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Kan Ayah khawatir."
Eca tercengang. Tiga hari sudah Gerald pergi dinas dan baru hari ini mendapat telepon dari sang ayah. Namun, di luar dugaan. Eca malah diceramahi oleh Gerald. Gadis itu membulatkan matanya. Mendengarkan sang ayah dengan ocehannya di seberang sana.
Pasti pak Tono ngaduin Eca ke Ayah, pikir Eca.
"Iya, Ayah. Yaudah Eca mau mandi dulu, ya. Byee." Eca meletakkan teleponnya kembali. Tangannya mengepal. Napasnya memburu.
"Pak Tono!" teriak Eca dengan suara melengking, yang bisa membuat piring pecah tanpa sebab.
Pria berkumis tebal itu berlari kocar-kacir dari arah bagasi. "Iya, Non. Ada apa?"
Gadis itu bangkit dari duduknya. Menatap pria di depannya dengan tatapan murka. "Bapak ngaduin Eca ke ayah, ya?"
"M-maaf Non."
Eca menghela napasnya. Kemudian dia pergi ke kamarnya. Meninggalkan Tono yang masih mematung di tempat.
Eca langsung mengempaskan tubuhnya ke atas kasur miliknya. Tubuhnya telentang. Matanya menatap langit-langit kamar. Senyuman tipis itu tercetak jelas di wajahnya kala mengingat bahwa dirinya diantar pulang lagi oleh Evan.
Gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama.--Emil--***Hari sudah gelap. Si raja malam sudah bertengger di atas sana. Ditemani dengan ribuan pengawalnya yang selalu memperlihatkan cahaya indahnya masing-masing. Evan duduk di depan jendela, masih denganearphoneyang sejak tadi menyumpal indera pendengarannya. Tidak seperti biasanya, kali iniearphoneitu mengeluarkan bunyi, berkat kabel yang tersambung pada ponselnya.Matanya terus menatap langit. Pikirannya lebih berisik daripada lagu yang sedang ia dengarkan. Pandangannya kosong, menatap jauh ke arah langit.Tak berselang lama, Evan bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan sebelah tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.Evan keluar kam
Lucu ya, kita menunggu kereta di peron yang sama. Padahal kereta tujuan kita berbeda. Sampai aku sadar, kalau tujuanku bukan lagi rumah untuk berpulang, melainkan kamu.–Revan Al-Shabab-***"J-Jalan. Y-Yuk.""Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya.Sinting nih orang!Datang tiba-tiba dan sekarang mengajaknya jalan. Namun, kesempatan tidak akan datang dua kali.Eca menghela napasnya berat. "Eca mandi dulu ya, tunggu di dalam aja."Evan mengangguk, seulas senyum tipis tercetak di wajah mulusnya. Meski tidak pernah perawatan di salon, wajah Evan memang mulus tanpa jerawat. Ini mungkin efek dari hidupnya yang terbilang sehat. Cowok itu mengangguk."Gue tunggu di sini aja," ucapnya saat mereka baru menginjakkan kaki di teras rumah Eca.Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Dia tidak langsung ke kamar, melainkan berjalan ke dapur. "B
Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.
Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.
Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga
Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k
Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo
Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-
Evan masih terus mencoba untuk menghubungi Eca, tetapi tetap tidak ada jawaban dari gadis itu. Sekali lagi evan menekan dial telepon, dan masih sama hasilnya. Mungkin Eca udah tidur, pikir Evan. Mengingat saat ini sudah cukup larut. “Evan,” suara cewek dari arah belakang sontak membuat Evan terkejut. Cowok itu buru-buru menoleh. Saat mengetahui siapa gadis di depannya, Evan segera memasukkan ponselnya ke saku celana. “Eh, ada apa, Man?” “Sorry ganggu.” Evan tidak menjawab, hanya menunggu gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja Evan jadi teringat percakapannya dengan Emil tempo hari lalu. Dia tidak boleh sampai memberi harapan, atau bersikap terlalu ramah sama semua perempuan. “Gue boleh nebeng?” Evan melirik sekitar. Dimana kedua temannya? Menyadari reaksi Evan, Amanda kembali bersuara. “Nggak apa-apa kalau nggak boleh.” Evan tersenyum kikuk. Menolak tidak bisa, menerima sulit. “Sama Emil aja, Man.” “Sor
Evan memarkirkan motornya di pekarangan sebuah kafe yang cukup luas. Di atas kepalanya beberapa bohlam lampu terlihat tergantung begitu indah, begitu juga batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat Evan berdiri sekarang ada lampu warna-warni yang dibuat melingkari pohon itu, menambah keindahan malam.Setelah melepas helm, cowok itu bergegas masuk ke dalam kafe. Malam ini Evan dan kedua sahabatnya harus mengisi acara reunian di kafe ini. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan guna mencari sahabatnya. namun, suara dari seorang gadis yang sedang berdiri di atas panggung kecil berhasil mengalihkan atensi Evan.Suaranya yang lembut dan tenang, seperti angin sejuk yang tadi Evan rasakan di jalan. Senyum Evan mengembang saat bola matanya bertatapan lurus dengan manik hitam pekat milik gadis itu. Seakan terhipnotis, Evan enggan mengalihkan tatapannya. Hingga akhirnya lagu yang dibawakan gadis itu selesai.“Gimana suara gue?” tanya gadis yang entah seja
Kedekatan Evan dan Eca, semakin hari semakin terlihat. Apalagi mereka sudah tidak segan mengumumkan statusnya kepada teman terdekatnya. Sekedar pulang bareng atau menghabiskan waktu istirahat bersama, sudah sering mereka lakukan. Beberapa gadis yang melihat hal itu, tentu merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi cowok tampan yang tersisa di sekolah ini. Hanya tersisa Elang, siplayboy.Evan dan Eca bahkan kerap kali terlihat berjalan bersama menuju kantin, seperti saat ini. Dua remaja itu baru saja memasuki kantin. Mata Eca langsung tertuju pada mejasa biasa, tempat Evan dan teman-temannya mengisi perutnya. Di sana Emil terlihat menyapa meski hanya dengan dagu yang digerakkan maju.Pandangan Eca beralih ke arah bangu yang berada di depan Emil. Seorang gadis duduk di sana, tempat yang seharusnya milik Eca dan Evan."Evan," panggil Eca seraya mencolek lengan Evan.Evan hanya melirik Eca sekilas dengan senyum hangatnya yang selal
Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-
Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo
Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k
Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga
Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.
Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.