Remaja itu sedang duduk di sebuah kafe, sambil sesekali menyesap kopi susu yang sudah hampir tandas di depannya. Sudah hampir setengah jam dia menunggu kedatangan temannya.
"Sorry, telat," ucap seseorang seraya menarik kursi untuk duduk. Napasnya terdengar sangat memburu, seperti baru saja melakukan lari maraton jarak jauh.
Emil melirik arloji di pergelangan tangannya. "Masih 30 menit lagi, kok. Lo pesan minum dulu aja!"
Evan mengangguk. "Elang mana?"
Emil mengedikkan bahunya. Beberapa menit yang lalu Elang bilang akan pergi ke toilet. Namun, sampai saat ini belum juga kembali. Netra Emil menangkap sosok pemuda berkemeja biru tua dan jeans hitam, tak lupa snakers bertengger di kakinya. Dia sedang berdiri di depan kafe bersama seorang gadis, mereka terlihat begitu akrab.
"Noh, lihat teman lo kelakuannya!" desis Emil sambil menggerakkan dagunya ke arah dua remaja yang sedang mengobrol di depan kafe.
Evan melirik sekilas, lalu kembali menatap Emil dan keduanya menggeleng pelan. Punya teman buaya rawa memang sebuah problematika kehidupan yang paling rumit bagi Evan dan Emil.
"Cewek aja terus dikumpulin!" cibir Emil.
"Namanya juga buaya rawa. Ya, kerjaannya nyari mangsa!" seru Evan tak mau kalah menghujat temannya itu.
Emil terkekeh mendengar penuturan Evan. Tumben-tumbenan Evan ikut menghujat Elang. Biasanya dia akan selalu memilih bungkam, karena percuma saja bicara. Itu tidak penting menurut Evan.
Emil berdehem. Pandangannya beralih pada Evan, yang ditatap hanya mengerutkan keningnya. "Jadi, gimana, nih?"
"Gimana apanya?" tanya Evan tidak mengerti.
"Lo sama Eca?" Emil memainkan alisnya.
"Bentar dulu, emang gue sama Eca kenapa?" Evan memasang mimik wajah polosnya. Ya, sudah dipastikan bahwa Evan tidak akan mengerti maksud dari perkataan Emil.
"Gak peka banget jadi cowok, heran gue!" desis Emil.
"Hai ... guys!" seru Elang seraya ikut bergabung bersama Evan dan Emil.
"Gimana, lancar pedekate-nya?" cibir Evan, yang bermaksud untuk mengalihkan pembicaraannya dengan Emil.
Elang hanya menaik turunkan kedua alisnya. "Yoi, lo tau nggak? Gue ketemu teman SMP gue. Anjir tambah cantik aja. Apalagi bodynya ... beuh, montok bener!" oceh Elang heboh.
Emil dan Evan kesekian kalinya harus merutuki nasib, dipertemukan dengan orang seperti Elang saat Masa Orientasi Siswa setahun yang lalu.
Tak lama ketiganya terdiam dalam pikirannya masing-masing, tetapi tidak dengan Elang. Dia sudah sibuk bermain ponsel sambil senyum-senyum sendiri, seperti orang tidak waras di luaran sana.
"Emil," panggil Evan. Nadanya terdengar begitu serius. Membuat kedua tempannya langsung menoleh.
"Tadi lo nganterin dia sampe rumah, kan?"
Emil menautkan kedua alisnya. "Nganterin siapa?" tanya Emil pura-pura tidak tahu. Dia sedang meledek Evan. Agar Evan mau menyebutkan nama gadis yang sudah membuat pikirannya bertaut pada nama itu.
Elang yang diam-diam mendengarkan pun mulai penasaran. Dia memasukkan ponselnya ke saku celana dan mulai menyimak pembicaraan kedua temannya.
"Yang tadi pulang sekolah?"
"Oh, si Eca?" tanya Emil sambil manggut-manggut.
"Eca?" Elang mencodongkan tubuhnya ke depan Emil sebelum kembali bersuara. "Aresha Veranka Putri, maksud lo?"
Evan tertegun, matanya membulat sampai pada ukuran sempurna. Dirinya ingin mengumpat. Ah, sial! Elang malah sengaja menyebutkan nama gadis itu secara lengkap dan jelas.
"Emang ada apa, sih?" tanya Elang sambil mengembalikan posisinya seperti semula.
"Jadi...," Emil menjeda ucapannya.
"Aresha tadi mau diculik sama om-om," sambar Evan dengan cepat.
Emil tersenyum melirik Evan yang jadi salah tingkah sendiri.
"Om-om?"
"Itu loh yang tadi siang di depan gerbang. Yang kumisnya lebat banget kayak hutan blackforest. " tutur Evan menjelaskan.
"Yang perutnya buncit, kayak orang hamil tujuh bulan?"
Evan mengangguk setuju. Wajahnya yang begitu polos, membuat kedua temannya ingin sekali memukul wajah itu dengan penggorengan.
Elang melirik Emil. Lalu keduanya tergelak bersamaan. Menyisakan tanda tanya bagi Evan, sampai remaja itu tidak sadar kalau wajahnya terlihat seperti orang bodoh. Elang mendekatkan wajahnya sampai sejajar dengan Evan.
Tuk!
Elang menyentil dahi Evan, sampai sang empunya meringis kesakitan. "Lo tau itu siapa?"
Evan menggeleng sambil sesekali melirik Emil yang hanya tersenyum tipis. "Jangan bilang kalau itu bok ...."
"Bokep?"
Pletak!
Kini giliran Emil yang menjitak kepala Elang cukup keras. Cowok itu hanya berdecih seraya mengusap kepalanya yang seketika terasa nyeri.
"Dia bokapnya, Aresha?" tanya Evan dengan raut wajah serius.
Emil menggeleng. "Dia Pak Tono, supir si Eca."
"Wahahah." Elang terbahak begitu keras. "Puas gue lihat muka si Evan, kayak bocah idiot!"
Sementara Emil hanya terkekeh kecil melihat kedua temannya.
Tak lama terdengar suara dari speaker. Bisa dipastikan acara reuni malam ini sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Tiga pemuda itu akan segera dipanggil untuk mengisi suara di acara ini.
Emil sang vokalis, yang memiliki suara cukup indah untuk didengar. Suara Emil begitu lembut ketika sedang bernyanyi. Sementara Evan, dia menjadi gitaris, terkadang evan juga mengisi suara dua. Sementara Elang, dia sangat mahir memukul drum. Drummer kebanggaan bagi Emil, meski tingkahnya yang sangat menjengkelkan.
"Yuk, udah waktunya," kata Emil seraya bergegas menuju panggung kecil di depan ruangan.
"Bentar, penampilan gue udah oke belum?" tanya elang heboh.
"Percayalah, lo selalu memesona!" Kata Evan seraya menepuk bahu Elang.
Elang langsung merangkul bahu Evan. "Lo emang yang terbaik, Van."
***Suasana kafe saat ini sudah mulai sepi. Beberapa lampu sudah dipadamkan, bertanda bahwa tempat ini akan segera tutup.Emil sedang berbicara dengan pemilik kafe di dalam. Sementara Evan dan Elang sedang menunggu cowok itu sambil duduk di atas motornya masing-masing.
"Evan," panggil Elang.
Evan menoleh, memasang wajah datar andalannya.
"Gue mau cerita, nih. Mau dengerin nggak?"
"Apa?"
"Waktu SMP, gue pernah suka sama si Eca. Plis ... jangan ketawa dulu, ini beneran ceritanya."
"Ya, terus?"
"Si Eca itu keras kepala banget. Anjir. Nggak ada cowok yang berhasil dapetin dia."
Evan berdecih. "Termasuk lo?"
"Hmm." Elang mengangguk, membenarkan ucapan Evan.
Keduanya terdiam beberapa detik sebelum Elang kembali bersuara. "Taruhan sama gue, kalau lo sampe bisa dapetin Eca, motor ini buat lo," kata Elang seraya mengetuk-ngetukan jarinya di atas stang motor sport miliknya.
Evan tercengang. "Gila lo, Lang!" sentak Evan. Wajahnya sudah merah padam. Bagaimana bisa Elang menjadikan perempuan sebagai bahan taruhan.
"Gue gak main-main. Motor ini bakalan jadi milik lo, kalau lo berhasil dapetin...." Elang mengedipkan sebelah matanya.
"Dapetin apa?"
Evan dan Elang tersentak saat mengetahui keberadaan Emil yang hanya berjarak beberapa langkah dari mereka. Dua cowok itu seketika menjadi kikuk.
Elang menunjukkan deretan giginya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Dapetin ... itu ... anu ...."
"Udah selesai 'kan? Pulang, yuk," ucap Evan menetralkan suasana.
Emil mengangguk seraya menuju motornya. Evan memelototi Elang. Cowok yang dipelototi itu hanya menghela napas lega, karena hampir saja rencananya mengajak Evan taruhan ketahuan.
Tiga sejoli itu mulai melajukan motornya membelah jalan. Arah rumah mereka hampir searah kalau saja tidak dipisahkan oleh perempatan jalan. Saat di perempatan Elang mengambil arah ke kiri. Sementara Evan dan Emil mengambil arah lurus.
"Mampir gak?" tanya Emil dengan teriakan. Keduanya masih berada di atas motor yang berbeda.
Evan membunyikan klaksonnya sambil berujar. "Udah malam. Gue pulang, ya."
Keduanya pun terpisah di tikungan kompleks perumahan Emil.
Sekitar lima menit kemudian, Evan memasuki halaman sebuah rumah. Tidak terlalu besar, minimalis dan sangat sederhana. Cat berwarna tosca–yang sudah memudar–pada bagian temboknya memberi kesan kumal. Beberapa tanaman bunga di beberapa sudut halamannya, membuat halaman ini terlihat lebih indah. Jangan lupakan pagar bambu berwarna cokelat yang akan menyambut kedatangan Evan malam ini.
Evan memarkirkan motornya tepat di depan pintu rumah. Hal itu langsung disambut baik dengan anak perempuan berumur sekitar 8 tahun.
"Abang!" pekiknya sambil berlari menghampiri Evan.
"Kok, belum tidur?"
Gadis kecil itu menggeleng sambil mengerucutkan bibirnya. "Rena nunggu Abang."
Sharena Meyda Al-Shabab, adik kandung dari Revan Al-Shabab. Mereka dua bersaudara.
Rena melerai pelukannya. "Abang lupa, ya?"
Evan mengernyitkan keningnya. Pikirannya bekerja keras, mencari tahu apakah sebelumnya dia memiliki janji dengan Rena atau tidak. Namun, tak ada satu janji pun yang dia ingat. Evan tanpa ragu menggeleng. "Lupa apa?"
"Tuh, kan, Abang lupa. Dari kemarin katanya janji mau beliin aku ayam bakar yang di belakang stasiun itu. Ayam bakar Pak Sutrisno. Tapi sampe sekarang belum juga dibeliin." Rena mendumal. Bisa-bisanya Evan melupakan janji itu.
Evan terdiam. Dia mengingat kembali kejadian kemarin malam, saat dirinya mengantar Eca pulang. Seharusnya waktu itu dia membelikan adiknya ayam bakar, tetapi dia malah lebih memilih mengantarkan Eca pulang.
Evan mengelus puncak kepala sang adik. "Maafin Abang, ya. Besok janji Abang beliin. Kalau sekarang udah tutup."
Rena mengangguk. Meski hatinya sedikit sedih karena Evan melupakan permintaannya.
"Sekarang masuk sana. Udah malam kamu harus tidur, kalau nggak mau kesiangan besok!" Evan tersenyum hangat di depan Rena. Gadis kecil itu lagi-lagi mengangguk dan beranjak pergi ke kamarnya.
"Bisa-bisanya gue lupa!" umpat Evan merutuki dirinya yang begitu mudah lupa.
Evan melepas jaketnya dan memasuki rumah. Cowok itu langsung memasuki kamarnya untuk melepas sepatu dan berganti baju.
Cowok itu duduk di pinggir kasurnya. Dia membuka lemari kecil di samping kasur, lalu mengeluarkan sebuah tabung panjang. Celengan. Evan memasukkan beberapa lembar uang hasil dari manggungnya tadi.
"Untuk masa depan," gumamnya.
Setelah selesai memasukkan uangnya. Evan memijat tengkuknya yang sedikit terasa pegal. Cowok itu merebahkan tubuhnya di atas kasur berukuran kecil, yang hanya muat untuk satu orang saja.
Matahari kembali muncul di peradaban. Menampakkan wujud berupa cahaya terang yang cukup menyilaukan. Burung berkicau tiada henti, sesekali mengepakan sayapnya untuk pindah dari dahan pohon ke sisi yang lainnya.Di sanalah Evan. Di depan motor Vespa berwarna biru yang penuh dengan sejarah itu. Cowok itu baru saja mengelap debu-debu yang menempel di beberapa bagian motornya.Setelah selesai mengelap debu dengan kanebo. Evan kembali masuk ke dalam. Dia berjalan ke dapur, menghampiri Sri, ibunya."Ibu, udah siap?" tanya Evan seraya mencuci kanebo di wastafel."Belum. Ibu mau ganti baju dulu, kamu tolong masukin kue ke dalam box ini, ya." Evan mengangguk.Sri adalah seorang singgle parents. Pekerjaannya hanya berjualan kue di belakang stasiun. Kue buatannya selalu habis terjual. Selain harganya yang murah, kue buatan Sri juga rasanya sangat enak. Cocok dengan para mahasiswa atau
Evan terus melangkah menyusuri koridor, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Sebuah nama terpampang jelas di daun pintu ruangan itu.Indah Suryani S.Pd.Tanpa ragu Evan mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam ruangan ini."Masuk!"Evan menghela napas berat. Sedikit takut, karena pasalnya dia belum pernah membuat kesalahan apa pun sampai harus dipanggil dengan wali kelasnya."Ibu manggil saya?"Wanita berpakaian formal khas PNS itu mengangguk. "Duduk."Evan terdiam. Dia bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Karena dia tidak tahu untuk apa dipanggil ke ruangan ini.Wanita yang masih duduk diam di sebuah kursi itu kini sibuk mencari beberapa tumpukan kertas di atas mejanya."Maaf Bu, kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Evan dengan ragu.
Gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama.--Emil--***Hari sudah gelap. Si raja malam sudah bertengger di atas sana. Ditemani dengan ribuan pengawalnya yang selalu memperlihatkan cahaya indahnya masing-masing. Evan duduk di depan jendela, masih denganearphoneyang sejak tadi menyumpal indera pendengarannya. Tidak seperti biasanya, kali iniearphoneitu mengeluarkan bunyi, berkat kabel yang tersambung pada ponselnya.Matanya terus menatap langit. Pikirannya lebih berisik daripada lagu yang sedang ia dengarkan. Pandangannya kosong, menatap jauh ke arah langit.Tak berselang lama, Evan bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan sebelah tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.Evan keluar kam
Lucu ya, kita menunggu kereta di peron yang sama. Padahal kereta tujuan kita berbeda. Sampai aku sadar, kalau tujuanku bukan lagi rumah untuk berpulang, melainkan kamu.–Revan Al-Shabab-***"J-Jalan. Y-Yuk.""Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya.Sinting nih orang!Datang tiba-tiba dan sekarang mengajaknya jalan. Namun, kesempatan tidak akan datang dua kali.Eca menghela napasnya berat. "Eca mandi dulu ya, tunggu di dalam aja."Evan mengangguk, seulas senyum tipis tercetak di wajah mulusnya. Meski tidak pernah perawatan di salon, wajah Evan memang mulus tanpa jerawat. Ini mungkin efek dari hidupnya yang terbilang sehat. Cowok itu mengangguk."Gue tunggu di sini aja," ucapnya saat mereka baru menginjakkan kaki di teras rumah Eca.Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Dia tidak langsung ke kamar, melainkan berjalan ke dapur. "B
Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.
Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.
Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga
Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k
Evan masih terus mencoba untuk menghubungi Eca, tetapi tetap tidak ada jawaban dari gadis itu. Sekali lagi evan menekan dial telepon, dan masih sama hasilnya. Mungkin Eca udah tidur, pikir Evan. Mengingat saat ini sudah cukup larut. “Evan,” suara cewek dari arah belakang sontak membuat Evan terkejut. Cowok itu buru-buru menoleh. Saat mengetahui siapa gadis di depannya, Evan segera memasukkan ponselnya ke saku celana. “Eh, ada apa, Man?” “Sorry ganggu.” Evan tidak menjawab, hanya menunggu gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja Evan jadi teringat percakapannya dengan Emil tempo hari lalu. Dia tidak boleh sampai memberi harapan, atau bersikap terlalu ramah sama semua perempuan. “Gue boleh nebeng?” Evan melirik sekitar. Dimana kedua temannya? Menyadari reaksi Evan, Amanda kembali bersuara. “Nggak apa-apa kalau nggak boleh.” Evan tersenyum kikuk. Menolak tidak bisa, menerima sulit. “Sama Emil aja, Man.” “Sor
Evan memarkirkan motornya di pekarangan sebuah kafe yang cukup luas. Di atas kepalanya beberapa bohlam lampu terlihat tergantung begitu indah, begitu juga batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat Evan berdiri sekarang ada lampu warna-warni yang dibuat melingkari pohon itu, menambah keindahan malam.Setelah melepas helm, cowok itu bergegas masuk ke dalam kafe. Malam ini Evan dan kedua sahabatnya harus mengisi acara reunian di kafe ini. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan guna mencari sahabatnya. namun, suara dari seorang gadis yang sedang berdiri di atas panggung kecil berhasil mengalihkan atensi Evan.Suaranya yang lembut dan tenang, seperti angin sejuk yang tadi Evan rasakan di jalan. Senyum Evan mengembang saat bola matanya bertatapan lurus dengan manik hitam pekat milik gadis itu. Seakan terhipnotis, Evan enggan mengalihkan tatapannya. Hingga akhirnya lagu yang dibawakan gadis itu selesai.“Gimana suara gue?” tanya gadis yang entah seja
Kedekatan Evan dan Eca, semakin hari semakin terlihat. Apalagi mereka sudah tidak segan mengumumkan statusnya kepada teman terdekatnya. Sekedar pulang bareng atau menghabiskan waktu istirahat bersama, sudah sering mereka lakukan. Beberapa gadis yang melihat hal itu, tentu merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi cowok tampan yang tersisa di sekolah ini. Hanya tersisa Elang, siplayboy.Evan dan Eca bahkan kerap kali terlihat berjalan bersama menuju kantin, seperti saat ini. Dua remaja itu baru saja memasuki kantin. Mata Eca langsung tertuju pada mejasa biasa, tempat Evan dan teman-temannya mengisi perutnya. Di sana Emil terlihat menyapa meski hanya dengan dagu yang digerakkan maju.Pandangan Eca beralih ke arah bangu yang berada di depan Emil. Seorang gadis duduk di sana, tempat yang seharusnya milik Eca dan Evan."Evan," panggil Eca seraya mencolek lengan Evan.Evan hanya melirik Eca sekilas dengan senyum hangatnya yang selal
Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-
Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo
Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k
Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga
Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.
Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.