Accueil / Young Adult / Revansha / Om kadal berlidah katak

Share

Om kadal berlidah katak

Auteur: Siskapuspus
last update Dernière mise à jour: 2021-08-31 14:45:16

Pagi ini Evan memilih untuk mengisi perut di kantin. Sejak tadi malam dia lupa memberi makan cacing-cacing di perutnya. Di sampingnya sudah duduk Emil, teman sejak di sekolah dasar. Keduanya sibuk dengan makanan masing-masing. 

Evan hanya menyantap nasi goreng dengan es teh manis. Berbeda dengan Emil, yang lebih senang dengan mie instan dan kopi susu favoritnya. Meski berbeda, tetapi mereka selalu rukun satu sama lain.

Seorang gadis baru saja menyodorkan kotak makan bergambar Teddy bear berwarna cokelat, di depan Evan. Membuat manik mata Evan tertuju padanya. 

Cowok itu hampir saja tersedak jika tidak buru-buru meminum es teh di depannya.

Evan menelan nasi goreng yang masih di dalam mulutnya sambil berujar, "Apa nih?" Matanya melirik kotak makan itu.

"Sarapan buat Evan, tapi karena Evan lagi sarapan. Jadi, ini buat makan siang aja."

Emil meletakkan sendok dan garpu di mangkuknya, dia melirik Evan dan Eca bergantian. Sebetulnya Emil sudah mengetahui kalau gadis itu menyukai Evan. Namun, dia harus tetap menjaga mulutnya. Itu semua karena Eca yang menyuruhnya.

Emil berdehem. "Kalau gak mau, buat gue aja!" sindir Emil. Tangannya sudah hampir menyentuh kotak makan itu, kalau saja Eca tidak menggeser posisinya.

"Ini spesial buat Evan!" tegas Eca.

Emil menarik tangannya kembali untuk meraih alat makan dan melanjutkan aktifitasnya untuk memberi makan cacing-cacing di dalam perutnya.

"Buat lo aja, gue udah sarapan," seru Evan seraya mengembalikan kotak itu.

"Anggap aja sebagai ucapan terima kasih." Eca tersenyum tipis.

Emil menajamkan indera pendengarannya. "Kayaknya ada yang lagi bucin, nih!"

Evan menoleh. Tatapannya datar. Yang ditatap tak berkutik. Lebih baik dia melanjutkan makannya daripada Evan semakin murka padanya.

"Btw, ucapan terima kasih apa, Ca?" Emil memainkan alisnya. Bermaksud menggoda gadis yang sudah duduk di depannya.

"Terima kasih ... karena Evan udah nganter Eca pulang." Mata Eca membulat, tangannya membekap mulutnya sebelum kembali berkata, "Eh, Eca duluan. Mau ngerjain tugas."

Gadis itu bangkit dan langsung melesat pergi dari hadapan kedua cowok itu. Dengan langkah cepat dan perasaan malu, Eca sampai tidak fokus pada keadaan sekitar.

Bruk!

Eca menubruk seseorang sampai hampir terjatuh ke belakang, untung saja kakinya mampu menumpu tubuhnya. Matanya menatap pemilik tubuh yang baru saja ditabraknya.

"Sha!" pekik Evan yang melihat kejadian itu.

Emil ikut menoleh, tetapi cowok itu hanya tersenyum menahan tawanya.

Eca semakin malu sekarang. Gadis itu menggaruk tengkuknya kikuk. "Eh, maaf, Elang." Gadis berponi itu kembali melangkah.

Elang hanya menggeleng pelan. Cowok itu sudah mengenal Eca. Karena mereka sempat satu sekolah saat SMP.

"Lucu banget," kata Evan sambil terkekeh kecil. Ucapannya itu ternyata bisa membuat sahabat di depannya menatap Evan tajam.

"Eca?"

Evan mengangguk mantap. "Iy...,"

Namun, di detik berikutnya dia menggeleng cepat. "Ng-nggak. I-ini tempat makannya lucu," timpal Evan. 

Emil hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Heran.

Elang melangkah mendekati Evan dan Emil. "Ehem ... gue denger, ada yang abis nganterin cewek pulang, nih." Elang berdehem seraya ikut duduk di antara Emil dan Evan.

Sementara Elang dan Emil hanya saling melirik. Emil mengarahkan dagunya ke arah Evan. Seolah memberitahu bahwa sahabatnya sedang pubertas.

Evan yang menyadari kelakuan dua sahabatnya hanya menaikkan sebelah alisnya. Lalu kembali menandaskan nasi gorengnya.

"Evan mulai bucin, guys!" ujar Elang.

***

Tatapannya masih terus fokus pada kotak makan bergambar Teddy bear. Padahal sejak tadi sudah bel istirahat. Namun, Evan memilih untuk tetap di kelas.

"Liatin aja terus itu kotak makan!" cibir Emil yang baru saja kembali dengan dua botol air mineral di tangannya.

Emil meletakkan satu botol di depan Evan, tapi hanya dibalas dengan tatapan singkat. 

"Bingung gue," kata Evan memulai pembicaraan.

"Bingung kenapa?" tanya Emil seraya mulai memainkan ponsel miliknya.

"Aresha."

Emil menghentikan pergerakan jarinya. Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja putih. Emil tahu kalau obrolan Evan kali ini pasti serius. Jadi, dia tidak ingin mengabaikan sahabatnya itu.

Emil memang selalu menjadi tempat keluh kesah bagi Evan. Dengan sikapnya yang pengertian dan bijak, dia mampu memberikan saran ketika Evan sedang membutuhkannya.

"Eca?" tanya Emil dengan alis yang terangkat sebelah.

"Gak ngerti aja sama itu anak. Cuma gara-gara dianterin pulang, masa sampe ngasih gue makanan gini."

"Ya, 'kan sebagai ucapan terima kasih."

"Aneh tau, Mil. Lo gak tau sih, berapa kali gue ketemu dia dalam sehari."

"Emang berapa kali sih? Yaelah udah, sih, gak usah dipikirin. Mending lo makan aja, tuh. Hargai pemberian orang!"

Evan mengangguk seraya mulai membuka kotak makan pemberian Eca. Diam-diam Emil melirik isi dalam kotak makan itu, ternyata isinya roti tawar dengan selai nanas, Evan sangat suka buah berwarna kuning itu.

"Enak, nih. Bagi gue!" cetus Emil. Tanpa menunggu persetujuan dari Evan, dia berhasil mengambil satu potong roti dan melahapnya.

Dua sahabat itu terdiam dalam pikirannya masing-masing. Evan hanya memikirkan bagaimana Eca bisa tau rasa favoritnya. Berbeda dengan Emil, yang melihat Evan melamun, dia bisa tahu kalau sahabatnya pasti sedang memikirkan gadis pemberi kotak makan itu.

Sejujurnya Emil sudah tidak tahan untuk terus merahasiakan perasaan Eca pada Evan. Namun, dia juga tidak bisa ambil tindakan begitu saja, tanpa persetujuan dari Eca.

"Kalau gue boleh menyarankan. Bersikap ke cewek itu sewajarnya aja," kata Emil.

Evan menoleh dengan mengerutkan keningnya. "Emang selama ini sikap gue gimana?"

"Lo itu terlalu ramah ke semua orang. Sampe cewek-cewek ngiranya lo memperlakukan dia spesial. Padahal aslinya lo bersikap kayak gitu ke semua orang."

"Jadi maksud lo, Eca baper gitu sama gue?"

Emil mengangkat kedua bahunya. "Gue gak bisa pastiin, sih. Tapi coba, deh, gak usah terlalu ramah sama banyak cewek."

Evan menghela napasnya panjang. Dia memang seperti itu, ramah kepada semua orang. Bukan hanya kepada para gadis, tetapi pada teman dan lingkungan sekitarnya juga. Semua itu tidak terlepas dari bimbingan ibunya, yang selalu mengajarkan Evan untuk bersikap ramah kepada semua orang, terutama kaum hawa.

"Woi, gue cariin. Malah pada asik ngobrol di sini. Gak ngajak-ngajak lagi!" pekik Elang yang baru saja memasuki kelas. Elang dan Evan memang beda kelas. Dia berada di kelas IPA 2 bareng dengan Eca. Sementara Emil dan Evan berada di kelas IPA 1.

Dengan wajah tanpa dosa andalannya, Elang meneguk air mineral milik Evan sampai sisa setengahnya.

"Lo dari mana, Lang?" tanya Emil.

Elang sudah sibuk dengan ponselnya. Entah hal apa yang berhasil membuat Elang sampai senyum-senyum sendiri di depan ponselnya.

"Lang."

"Hmm?"

"Lo dari mana?"

Elang kalau sudah bermain ponsel, seluruh alat inderanya tidak berfungsi. Termasuk telinganya yang mendadak tuli. Emil geram sendiri melihatnya.

"Biasalah, abis minta nomor adek-adek kelas."

"Anjir, si Aira cakep banget. Nih, lihat!" seru Elang heboh sambil menunjukkan ponselnya ke depan Emil.

Emil memijat pelipisnya yang mendadak pening, karena kelakuan Elang."Babi dibedakin juga lo bilang cakep!"

"Nggak babi juga kali. Maenannya najis lo mah."

"Sama kayak lo najis!"

"Babi sama anjing, sucian mana?"

"Sucian ubin masjid!"

Evan hanya mendengarkan percekcokan kedua temannya. Tidak ada niat sedikit pun untuk melerai, karena percuma saja. Mereka berdua tidak akan ada yang mau mengalah. Kalau sudah begini, Evan akan melakukan hal yang seharusnya dia lakukan.

Cowok itu mengeluarkan earphone yang sudah tersambung di ponselnya. Sebetulnya Evan tidak mendengarkan apa-apa. Dia hanya senang sekali suasana hening. Dan memakai earphone adalah salah satu kebiasaannya untuk menghindari perbincangan yang menurutnya tidak terlalu penting.

Sesekali Evan melirik Elang dan Emil bergantian. Elang itu playboy dan keras kepala, dia hanya memanfaatkan tampang wajahnya yang lumayan tampan sebagai ajang pendekatan kepada adik kelasnya.

"Gak usah pura-pura dengerin lagu!" Elang menarik earphone yang dipakai Evan dengan sekali hentakan. Membuat sang empu melotot tidak terima.

"Apaan, sih!"

"Ada tawaran nyanyi lagi, nih. Acara reuni. Mau diambil jangan?" tanya Emil sambil melirik kedua temannya.

"Ambil aja. Lumayan buat cuci mata," sahut Elang sambil menaik turunkan alisnya.

"Palelu cuci mata!" cibir Emil.

Evan terdiam, tidak mengeluarkan kata apa pun. Emil menyikut lengan Evan. "Gimana?"

"Terserah lo aja."

"Yes! Gue bisa tepe-tepe, nihh," sorak Elang tanpa tahu malu.

Tiga sejoli itu memang senang sekali bermain musik. Awalnya Elang mengajak Emil dan Evan untuk menggantikan sebuah grup band, yang memiliki sedikit masalah sampai tidak bisa datang di salah satu kafe daerah Menteng, Jakarta. Namun, karena banyak pengunjung yang merasa puas dengan hiburan melalui lantunan suara milik Emil, mereka jadi sering mendapat panggilan di beberapa kafe untuk mengisi suara.

"Jangan malu-maluin! Acaranya nanti jam delapan malam."

Evan dan Elang mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Udah gue kirim alamatnya, ya!"

"Sip."

***

Evan mulai melangkahkan kakinya menuju motor Vespa berwarna biru yang terparkir rapih bersama dengan deretan motor lainnya. Parkiran itu seketika menjadi ramai. Beberapa siswa bersorak dan berteriak karena motornya tidak bisa keluar, akibat dihalangi oleh motor lain.

"Mio putih siapa, sih, ini woi? Gece lah gue mau ke salon, nih!" teriak seorang siswi dengan rok yang sangat mini dan polesan make up yang tidak wajar dipakai oleh seorang pelajar.

"Anjing, motor gue lecet. Siapa, nih, yang ngeluarin motornya gak bener?" satu lagi teriakan dari remaja dengan kemeja yang dikeluarkan.

"Eh, awas kena spion gue!"

"Woi, kaki gue jangan diinjak. Geseran dikit napa motor lo!"

Namun, pikiran Evan lebih berisik daripada suasana parkiran di depannya. Evan menghela napasnya berat. Dia masih berdiri beberapa meter dari parkiran. Percuma pergi ke sana, karena motornya belum bisa dikeluarkan.

Tatapannya berhenti saat netranya menatap gadis yang sedang berdiri di depan gerbang. Senyumannya yang tak pernah lepas dari wajah cantiknya, membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan terhipnotis, siapa lagi kalau bukan Aresha Veranka Putri.

Evan memicingkan matanya. Saat melihat seorang pria di dalam mobil berwarna hitam pekat. Kaca mobil itu terbuka, pria itu seperti sedang berbicara dengan Eca, yang sedari tadi berdiri di depan gerbang.

Tunggu dulu, Evan pernah melihat pria itu, kemarin. Entah apa yang membuat kakinya ingin melangkah ke arah gerbang.

"Sha, jangan!" sentak Evan seraya menutup kembali pintu mobil yang baru saja Eca buka sebagian, sampai terdengar suara hentakan yang begitu keras.

Eca mendongak. Menatap cowok yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya dengan kedua alis yang bertaut.

"Evan, ngapain?"

"Lo dipaksa pergi bareng sama om-om itu, iya?" tanya Evan datar seraya melirik Tono yang masih duduk tenang di balik kemudi.

Eca semakin kebingungan dengan sikap Evan. Namun, sudah pasti hatinya bersorak kegirangan bisa ngobrol bareng Evan lagi.

Eca hanya menggeleng pelan sambil mengerjapkan matanya. 

Evan berjalan menghampiri Tono. "Om, saya beri peringatan, ya. Jangan ganggu anak sekolahan. Kalau mau cari perempuan, yang seumuran dong. Dasar om kadal berlidah katak!"

Tono tercengang. Dia kebingungan. Siapa yang disebut kadal berlidah katak barusan? Apa dirinya?

Tono menelan salivanya susah payah. "Maaf, tapi ...."

"Ayo, Sha. Kita pergi. Lain kali jangan mau diajak sama om-om kayak gitu!" oceh Evan seraya menarik Eca masuk kembali ke area sekolah.

Eca sesekali meringis, karena harus mengikuti langkah Evan yang begitu cepat. "Evan lepas!" ucap eca seraya menepis tangan Evan.

Evan mengusap wajahnya gusar.

"Ada apa, sih, ribut-ribut?" tanya Emil yang sudah berdiri di antara Evan dan Eca.

"Kebetulan ada lo." Evan menepuk bahu Emil, membuat sang empunya meringis kesakitan. "Anterin Aresha pulang, gih! Dia tadi mau diculik. Kalau aja gue gak lihat."

Emil terbelalak. "Lah, seriusan? Siapa yang berani nyulik lo, Ca?"

Eca berdehem. Lalu mengedipkan matanya ke arah Emil. Membuat cowok itu mengangguk paham. 

"Ya udah, gue anterin Eca pulang. Lo jangan lupa nanti jam delapan, ya!"

Emil beranjak pergi bersama Eca menuju parkiran yang sudah cukup senggang.

Tak lama Eca duduk di jok belakang motor Emil dengan perasaan campur aduk. Dia ingin tertawa mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Gadis itu mengeluarkan ponselnya, lalu mengirim pesan pada seseorang.

Eca : Pak, tungguin Eca di perempatan aja. Eca ada urusan bentar.

Eca kembali mengulas senyumnya. Bisa-bisanya Evan ngira kalau Pak Tono adalah om-om yang suka menculik anak gadis.

Emil melirik Eca yang sedang senyum-senyum sendiri dari spion motornya.

"Seneng banget kayaknya."

Eca terperangah. Dia menatap Emil dari spion. "Doain aja semoga Evan cepat-cepat nembak Eca."

"Mati tau rasa lo!"

Eca hanya mencebikkan bibirnya malas. "Capek ngomong sama lo!"

Related chapter

  • Revansha   Taruhan

    Remaja itu sedang duduk di sebuah kafe, sambil sesekali menyesap kopi susu yang sudah hampir tandas di depannya. Sudah hampir setengah jam dia menunggu kedatangan temannya."Sorry, telat," ucap seseorang seraya menarik kursi untuk duduk. Napasnya terdengar sangat memburu, seperti baru saja melakukan lari maraton jarak jauh.Emil melirik arloji di pergelangan tangannya. "Masih 30 menit lagi, kok. Lo pesan minum dulu aja!"Evan mengangguk. "Elang mana?"Emil mengedikkan bahunya. Beberapa menit yang lalu Elang bilang akan pergi ke toilet. Namun, sampai saat ini belum juga kembali. Netra Emil menangkap sosok pemuda berkemeja biru tua dan jeans hitam, tak lupa snakers bertengger di kakinya. Dia sedang berdiri di depan kafe bersama seorang gadis, mereka terlihat begitu akrab."Noh, lihat teman lo kelakuannya!" desis Emil sambil menggerakkan dagunya ke arah dua remaja yang sedang

    Dernière mise à jour : 2021-08-31
  • Revansha   Tidak setuju

    Matahari kembali muncul di peradaban. Menampakkan wujud berupa cahaya terang yang cukup menyilaukan. Burung berkicau tiada henti, sesekali mengepakan sayapnya untuk pindah dari dahan pohon ke sisi yang lainnya.Di sanalah Evan. Di depan motor Vespa berwarna biru yang penuh dengan sejarah itu. Cowok itu baru saja mengelap debu-debu yang menempel di beberapa bagian motornya.Setelah selesai mengelap debu dengan kanebo. Evan kembali masuk ke dalam. Dia berjalan ke dapur, menghampiri Sri, ibunya."Ibu, udah siap?" tanya Evan seraya mencuci kanebo di wastafel."Belum. Ibu mau ganti baju dulu, kamu tolong masukin kue ke dalam box ini, ya." Evan mengangguk.Sri adalah seorang singgle parents. Pekerjaannya hanya berjualan kue di belakang stasiun. Kue buatannya selalu habis terjual. Selain harganya yang murah, kue buatan Sri juga rasanya sangat enak. Cocok dengan para mahasiswa atau

    Dernière mise à jour : 2021-09-02
  • Revansha   Tahap pertama

    Evan terus melangkah menyusuri koridor, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Sebuah nama terpampang jelas di daun pintu ruangan itu.Indah Suryani S.Pd.Tanpa ragu Evan mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam ruangan ini."Masuk!"Evan menghela napas berat. Sedikit takut, karena pasalnya dia belum pernah membuat kesalahan apa pun sampai harus dipanggil dengan wali kelasnya."Ibu manggil saya?"Wanita berpakaian formal khas PNS itu mengangguk. "Duduk."Evan terdiam. Dia bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Karena dia tidak tahu untuk apa dipanggil ke ruangan ini.Wanita yang masih duduk diam di sebuah kursi itu kini sibuk mencari beberapa tumpukan kertas di atas mejanya."Maaf Bu, kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Evan dengan ragu.

    Dernière mise à jour : 2021-09-04
  • Revansha   Tiba-tiba datang

    Gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama.--Emil--***Hari sudah gelap. Si raja malam sudah bertengger di atas sana. Ditemani dengan ribuan pengawalnya yang selalu memperlihatkan cahaya indahnya masing-masing. Evan duduk di depan jendela, masih denganearphoneyang sejak tadi menyumpal indera pendengarannya. Tidak seperti biasanya, kali iniearphoneitu mengeluarkan bunyi, berkat kabel yang tersambung pada ponselnya.Matanya terus menatap langit. Pikirannya lebih berisik daripada lagu yang sedang ia dengarkan. Pandangannya kosong, menatap jauh ke arah langit.Tak berselang lama, Evan bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan sebelah tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.Evan keluar kam

    Dernière mise à jour : 2021-09-17
  • Revansha   Minggu yang indah

    Lucu ya, kita menunggu kereta di peron yang sama. Padahal kereta tujuan kita berbeda. Sampai aku sadar, kalau tujuanku bukan lagi rumah untuk berpulang, melainkan kamu.–Revan Al-Shabab-***"J-Jalan. Y-Yuk.""Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya.Sinting nih orang!Datang tiba-tiba dan sekarang mengajaknya jalan. Namun, kesempatan tidak akan datang dua kali.Eca menghela napasnya berat. "Eca mandi dulu ya, tunggu di dalam aja."Evan mengangguk, seulas senyum tipis tercetak di wajah mulusnya. Meski tidak pernah perawatan di salon, wajah Evan memang mulus tanpa jerawat. Ini mungkin efek dari hidupnya yang terbilang sehat. Cowok itu mengangguk."Gue tunggu di sini aja," ucapnya saat mereka baru menginjakkan kaki di teras rumah Eca.Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Dia tidak langsung ke kamar, melainkan berjalan ke dapur. "B

    Dernière mise à jour : 2021-09-21
  • Revansha   Perkara kereta dan kota tua

    Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.

    Dernière mise à jour : 2021-09-23
  • Revansha   Dimulai dari sebuah kebohongan

    Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.

    Dernière mise à jour : 2021-09-24
  • Revansha   Sarapan dan harapan

    Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga

    Dernière mise à jour : 2021-09-25

Latest chapter

  • Revansha   Lampu merah bikin marah

    Evan masih terus mencoba untuk menghubungi Eca, tetapi tetap tidak ada jawaban dari gadis itu. Sekali lagi evan menekan dial telepon, dan masih sama hasilnya. Mungkin Eca udah tidur, pikir Evan. Mengingat saat ini sudah cukup larut. “Evan,” suara cewek dari arah belakang sontak membuat Evan terkejut. Cowok itu buru-buru menoleh. Saat mengetahui siapa gadis di depannya, Evan segera memasukkan ponselnya ke saku celana. “Eh, ada apa, Man?” “Sorry ganggu.” Evan tidak menjawab, hanya menunggu gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja Evan jadi teringat percakapannya dengan Emil tempo hari lalu. Dia tidak boleh sampai memberi harapan, atau bersikap terlalu ramah sama semua perempuan. “Gue boleh nebeng?” Evan melirik sekitar. Dimana kedua temannya? Menyadari reaksi Evan, Amanda kembali bersuara. “Nggak apa-apa kalau nggak boleh.” Evan tersenyum kikuk. Menolak tidak bisa, menerima sulit. “Sama Emil aja, Man.” “Sor

  • Revansha   Siaran langsung

    Evan memarkirkan motornya di pekarangan sebuah kafe yang cukup luas. Di atas kepalanya beberapa bohlam lampu terlihat tergantung begitu indah, begitu juga batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat Evan berdiri sekarang ada lampu warna-warni yang dibuat melingkari pohon itu, menambah keindahan malam.Setelah melepas helm, cowok itu bergegas masuk ke dalam kafe. Malam ini Evan dan kedua sahabatnya harus mengisi acara reunian di kafe ini. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan guna mencari sahabatnya. namun, suara dari seorang gadis yang sedang berdiri di atas panggung kecil berhasil mengalihkan atensi Evan.Suaranya yang lembut dan tenang, seperti angin sejuk yang tadi Evan rasakan di jalan. Senyum Evan mengembang saat bola matanya bertatapan lurus dengan manik hitam pekat milik gadis itu. Seakan terhipnotis, Evan enggan mengalihkan tatapannya. Hingga akhirnya lagu yang dibawakan gadis itu selesai.“Gimana suara gue?” tanya gadis yang entah seja

  • Revansha   Anak baru

    Kedekatan Evan dan Eca, semakin hari semakin terlihat. Apalagi mereka sudah tidak segan mengumumkan statusnya kepada teman terdekatnya. Sekedar pulang bareng atau menghabiskan waktu istirahat bersama, sudah sering mereka lakukan. Beberapa gadis yang melihat hal itu, tentu merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi cowok tampan yang tersisa di sekolah ini. Hanya tersisa Elang, siplayboy.Evan dan Eca bahkan kerap kali terlihat berjalan bersama menuju kantin, seperti saat ini. Dua remaja itu baru saja memasuki kantin. Mata Eca langsung tertuju pada mejasa biasa, tempat Evan dan teman-temannya mengisi perutnya. Di sana Emil terlihat menyapa meski hanya dengan dagu yang digerakkan maju.Pandangan Eca beralih ke arah bangu yang berada di depan Emil. Seorang gadis duduk di sana, tempat yang seharusnya milik Eca dan Evan."Evan," panggil Eca seraya mencolek lengan Evan.Evan hanya melirik Eca sekilas dengan senyum hangatnya yang selal

  • Revansha   Capek, nggak?

    Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-

  • Revansha   Latihan

    Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo

  • Revansha   Itu siapa?

    Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k

  • Revansha   Sarapan dan harapan

    Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga

  • Revansha   Dimulai dari sebuah kebohongan

    Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.

  • Revansha   Perkara kereta dan kota tua

    Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.

DMCA.com Protection Status