Netranya terus menatap spion taksi, yang sedang dia naiki. Bukan tanpa alasan, melainkan melihat cowok yang masih berdiri di tempatnya semula. Bagaimana bisa pandangannya beralih ke arah lain, sementara cowok yang berdiri itu adalah cinta pertamanya. Namun, hanya Eca yang memiliki perasaan pada cowok itu. Ya, cinta tak terbalaskan, tepatnya.
Cowok itu sudah tidak terlihat lagi, karena tikungan tajam yang baru saja dilewati Eca.
Eca kembali memperhatikan jalan, melalui jendela mobil. Sekarang dirinya sedang berada di dalam taksi. Sejujurnya dia masih belum mengerti apa arti dari pesan yang dikirimkan oleh ayahnya. Pesawat? Pesawat apa maksudnya? Eca sama sekali tidak paham.
Tidak butuh waktu lama, Eca tiba di kediamannya. Setelah membayar, Eca menyusuri halaman rumahnya sampai di teras rumah langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada dua buah koper berukuran sedang yang tergeletak di teras.
Eca memicingkan matanya. Dia kenal koper itu. Koper milik Gerald, yang biasa digunakan pria itu untuk pergi ke luar kota.
"Assalamualaikum, Ayah!" teriakan melengking yang keluar dari mulut Eca membuat seluruh penghuni rumah berhamburan menghampirinya, termasuk Bi Imah.
"Waalaikumsalam, Non Eca, kok, teriak-teriak?" tanya Bi Imah yang baru saja keluar dari dapur.
"Ayah mana?" tanya Eca. Manik matanya tiada henti berputar, menyisir setiap sudut rumahnya dari depan pintu. Namun, sosok yang dicari belum juga menampakkan wajahnya.
"Di ruang kerja, Non."
Eca langsung mengayunkan langkahnya menuju ruangan di sudut kiri. Baru saja ingin masuk, tetapi seorang pria sudah lebih dulu membuka pintu. Sehingga Eca harus mundur selangkah untuk membuka jalan agar pria itu bisa keluar.
"Jelasin sama Eca!"
Gerald menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya. Tangannya merangkul bahu putri kesayangannya. Napasnya begitu berat, dadanya sesak, pikirannya kacau. Sulit sekali mengatakan semuanya pada Eca. Namun, dia tidak boleh egois. Eca harus tahu kebenarannya.
"Ayah!" rengek Eca seraya melepas rangkulan sang ayah.
"Ayah mau pergi ke Palu."
Mata Eca membulat sempurna. "Ayah bercanda, 'kan?"
Gerald mendekatkan wajahnya, "Apa Ayah terlihat sedang bercanda?"
Eca terdiam. Sedetik kemudian dia menggeleng cepat. "Tapi buat apa?"
"Ayah ditugaskan untuk mengawasi proyek pembangunan gedung di sana. Hanya dua bulan, kok."
Gerald adalah salah satu arsitek terkenal di beberapa perusahaan. Design rancangannya selalu dilirik banyak klien. Termasuk rancangannya kali ini, yang di desain khusus oleh dirinya sendiri, sebuah gedung serbaguna.
Terkadang dia juga sering ditugaskan untuk mengawasi langsung proses pembangunan dari rancangannya sendiri. Alasannya untuk meminimalisir kesalahan tata letak atau tidak keselarasan antara desain dan bangunan aslinya.
"Hanya, Ayah bilang!" Eca berdecih seraya membuang tatapannya ke arah lain. "Dua bulan itu lama, Ayah!"
"Kalau nggak dinanti-nanti, pasti terasa sebentar, sayang."
Bagaimana tidak kesal, pasalnya Gerald baru saja pulang dari Semarang seminggu yang lalu dan sekarang pria itu harus pergi lagi.
"Lagian kenapa harus Ayah? Ayah itu arsitek, tugas ayah kan hanya merancang gedung. Kalau mengawasi, itu tugas mandor 'kan?"
"Eca," ucap sang ayah lembut.
"Jangan mempersulit Ayah, ya. Kamu udah besar, harusnya kamu ngerti, apa yang Ayah lakukan ini demi masa depan kamu."
Eca menghela napasnya gusar. Perasaannya benar-benar bimbang sekarang. Eca tidak ingin egois, tetapi dia juga tidak ingin ayahnya pergi.
"Tapi Eca sendirian di rumah." Sekarang matanya mulai panas. Kabut hitam sudah menghalangi penglihatannya.
"Ada Bi Imah sama Pak Tono, 'kan?"
Eca mengusap pipinya yang mulai basah. Gadis itu bukan menangisi kepergian ayahnya. Namun, meratapi nasibnya yang tidak punya siapa-siapa lagi selain Gerald.
Eca mendongak, menahan air matanya agar tidak kembali terjatuh. "Ayah boleh pergi," ucapnya dibarengi dengan helaan napas yang begitu berat.
Gerald tersenyum seraya menangkup wajah putrinya, lalu mengecup puncak kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang. "Makasih, putri kecil Ayah yang paling cantik."
Eca mengangguk. Dia berusaha untuk tersenyum, meski hatinya tidak baik-baik saja.
"Kita berangkat sekarang ya!"
"Hmm."
Gerald merangkul Eca menuju mobil. Gadis itu sesekali melirik Gerald. Hatinya terlalu berat untuk mengizinkan ayahnya pergi ke Palu, tetapi lagi-lagi Eca harus mengesampingkan egonya.
Eca mengeratkan pelukannya. "Eca sayang, Ayah!"
***
Sore hari ini bandara cukup ramai dengan beberapa orang yang berlalu lalang ke sana kemari. Ada yang sekedar menjemput sanak saudara dan bahkan yang sedang menanti seseorang pun terlihat di sini.
Eca sedang pergi ke toilet. Kini hanya ada Gerald dan Tono yang tengah menunggu Eca.
"Pak Tono, saya boleh minta tolong?"
Tono menoleh, dia mengangguk sebagi tanda persetujuan. "Boleh, Tuan. Silakan."
"Tolong jagain Eca! Awasi dia, jangan sampai lengah," ucap Gerald. Ada nada cemas dalam bicaranya.
"Baik, Tuan. Saya akan menjaga, Non Eca, seperti anak saya sendiri."
"Laporkan setiap apa pun yang dilakukan Eca. Saat saya tidak ada, Bapak bertindak sebagai bodyguard untuk Eca."
Tono tersenyum, lalu mengangguk. "Siap, Tuan."
Kedua pria itu kembali diam dengan isi kepalanya masing-masing.
"Ayah, kapan take off?" suara Eca membuat keduanya terdiam kikuk.
Gerald tidak ingin pembicaraannya dengan Tono didengar Eca. Kalau tidak, maka gadis itu pasti akan marah kepadanya. Eca tidak pernah mau terlihat lemah. Dia gadis keras kepala yang selalu berusaha melakukan apa pun sendirian. Namun, satu hal yang paling dia tidak sukai adalah ditinggalkan ayahnya.
"Sebentar lagi."
Eca mengangguk.
Tidak lama kemudian, pengumuman dari pengeras suara terdengar mendominasi dalam bangunan ini. Terakhir, Eca memeluk sang Ayah. Gadis itu akan kembali menanggung hari-hari penuh kerinduan sendirian.
Beberapa kali gerald mengecup puncak kepala putri kecilnya. "Jaga diri baik-baik, ya!" pesan Gerald.
Eca mengangguk cepat. "Iya. Ayah juga hati-hati di sana. Jangan sampai telat makan. Jaga kesehatan!"
"Siap, putri kecil," ledek Gerald.
Pria itu melepas pelukannya. Panggilan boarding di bandara menandakan bahwa penumpang harus segera menuju gerbang keberangkatan untuk segera naik pesawat.
Gerald beranjak dari hadapan Eca. Gadis itu hanya bisa menatap punggung sang ayah sampai akhirnya hilang tertutup beberapa orang.
Eca menghela napasnya berat. Dia harus bisa mandiri. Eca membalikkan badan dan mulai melangkahkan kaki lagi.
Seandainya ibunya masih hidup, mungkin dia tidak akan kesepian seperti sekarang. Itulah hal yang selalu eca harapkan. Memiliki orang tua yang utuh, sama seperti teman-temannya yang lain.
Ibunya meninggal ketika melahirkan Eca. Itu lah hal yang tidak pernah bisa diterima oleh Eca. Seandainya wanita itu tidak mementingkan dirinya, mungkin saja dia masih hidup dan bisa bersama dengan Gerald sampai saat ini.
Mengingat kenyataan hidupnya, beberapa bulir air mata berhasil lolos, membuat jejak lurus di pipinya.
Sekarang Eca sudah duduk manis di dalam mobil, bersama Tono yang sudah siap melajukan mobil milik majikannya. Eca menatap keluar melalui kaca mobil.
Matahari sudah hampir tenggelam seluruhnya. Hanya terlihat sisa-sisa cahaya jingga pada sela-sela gedung pencakar langit di Ibu kota.
"Eca mau punya ibu," ucapnya pelan. Bahkan hanya Eca sendiri yang bisa mendengar ucapannya.
***
Benda bulat yang sudah tergantung di langit sejak tadi itu mulai memancarkan sinarnya, sebut saja dia Sang Raja malam. Benda itu bertengger dengan tenang di atas sana, meskipun tanpa bintang-bintang yang selalu menemaninya untuk bersinar. Langit Ibu kota memang jarang sekali menampakkan gemerlapnya cahaya bintang. Sebuah motor Vespa melaju dengan kecepatan sedang. Lampu pinggir jalan yang sedikit redup membuat malam ini begitu tamatan.
Dari arah yang berlawanan, seorang gadis berjalan sendirian dengan kresek yang bertuliskan nama salah satu minimarket di daerah itu. Pandangannya menunduk, tubuhnya cukup ideal jika dipandang dari jarak yang cukup jauh. Rambutnya yang dibiarkan terurai hampir sepinggang. Wajahnya tidak terlihat begitu jelas, karena jaraknya cukup jauh.
Dengan hati-hati Evan memperlambat laju motornya. Namun, bayangan gadis itu semakin tampak jelas. Evan mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu dia menarik rem tangan sekali hentakan. Membuat tubuhnya hampir terjungkal ke depan.
"Aaaa!" teriak gadis itu seraya memejamkan matanya rapat-rapat.
Sepersekian detik, waktu seperti berhenti. Gadis itu merasa tidak ada reaksi apa-apa. Dia membuka matanya perlahan.
Gadis itu tercengang saat melihat sebuah roda motor Vespa yang sudah berada di ujung sepatunya.
Evan menghela napasnya gusar. "Untung aja gak ketabrak!" desisnya sedikit merasa bersalah.
Evan mematikan motornya, lalu turun dan menghampiri gadis di depannya sambil mengoceh, "Mbak, kalo jalan jangan melawan arah gini dong. Bukan cuma membahayakan diri sendiri, tapi juga orang la ...."
"Evan?" sambar gadis itu seraya tersenyum tipis ke arah lawan bicaranya.
"Aresha, ngapain?"
"Abis dari minimarket," sahutnya seraya menunjukkan kresek di tangan kanannya. Senyumnya merekah begitu saja.
Evan menghela napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya. "Selarut ini?"
Eca melirik benda putih yang melingkar di pergelangan tangannya. "Baru jam delapan."
"Bahaya tau, Sha. Keluar malam gini."
Eca melirik Evan. Tatapan cowok itu begitu serius. Apa sekarang Evan sedang mempedulikannya? Eca mengerjap beberapa kali. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Bukankah gadis lain juga akan merasakan hal yang sama jika ditatap oleh orang yang disukai? Jadi, hal ini wajar terjadi pada Eca.
"Untung aja tadi gue pelan bawa motornya." Evan kembali bersuara. "Jangan diulangi lagi!" tegasnya.
"Hmm." Eca mengangguk cepat. Secepat denyut nadinya saat ini.
Evan kembali ke motornya dan mulai menyalakan mesin motornya. "Gue duluan, ya. Hati-hati, disini banyak om-om buaya darat," ucap Evan sambil tersenyum menahan tawanya.
Senyuman itu justru malah menjadi pemandangan indah yang tidak bisa dilewatkan sedikit saja untuk tidak menatapnya.
Evan mulai melajukan motornya. Membelah jalan Ibu kota. Udara malam ini tidak seperti biasanya, karena angin yang berembus terasa sangat dingin, sampai menusuk pori-pori kulit pemuda itu.
Sementara Eca kembali melangkahkan kakinya. Minimarket yang baru saja dia datangi memang cukup jauh dari rumahnya. Awalnya Eca hanya ingin pergi ke minimarket di depan kompleks rumahnya. Namun, tiba-tiba saja minimarket itu tutup, biasanya tidak seperti itu.
Sebenarnya Eca ingin memesan taksi online, tetapi dia lupa membawa ponselnya. Taksi biasa sangat sedikit yang lewat di area kompleksnya. Karena udah setengah jalan, maka Eca memutuskan melanjutkan langkahnya menuju minimarket yang cukup jauh.
"Aresha!" suara khas milik seseorang itu memenuhi rongga telinga Eca. Perasaannya sedikit was-was, tetapi dia memberanikan diri untuk menoleh, karena dia hafal betul siapa pemilik suara itu.
"Sha."
Eca menatap orang yang baru saja memanggil namanya. "Ada yang ketinggalan?"
Cowok itu menggeleng. "Nggak ada."
Eca mengerutkan keningnya sambil berujar, "Terus?"
"Gue anterin lo pulang, ya?"
Eca mematung sejenak. Darahnya berdesir sangat cepat. Bukan hanya kupu-kupu yang berterbangan dalam perutnya, tetapi bunga juga bermekaran di dalam sana. Menyukai seseorang secara diam-diam selama satu tahun, sepertinya bisa membuat hal-hal sederhana menjadi begitu istimewa.
"Sha," panggil Evan seraya mengibaskan tangannya di depan wajah Eca.
Eca menoleh seraya mengangguk pelan. Gadis itu menjatuhkan bokongnya tepat di jok belakang motor Evan. Perasaannya tidak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata.
Evan mulai melajukan motornya. Dua anak muda itu menikmati dinginnya malam di atas motor.
Sepanjang perjalanan tak ada yang bersuara. Sampai mereka tiba di depan sebuah rumah berwarna dark grey.
"Makasih, Evan," ucap Eca setelah turun dari motor Evan.
Evan hanya mengangguk. "Sama-sama. Gue duluan, ya." Evan langsung melajukan motornya. Dia lupa kalau sudah berjanji akan pulang tepat waktu.
"Hati-hati, Evan!" teriak Eca seraya mengukir senyum bahagia di wajahnya.
Pagi ini Evan memilih untuk mengisi perut di kantin. Sejak tadi malam dia lupa memberi makan cacing-cacing di perutnya. Di sampingnya sudah duduk Emil, teman sejak di sekolah dasar. Keduanya sibuk dengan makanan masing-masing.Evan hanya menyantap nasi goreng dengan es teh manis. Berbeda dengan Emil, yang lebih senang dengan mie instan dan kopi susu favoritnya. Meski berbeda, tetapi mereka selalu rukun satu sama lain.Seorang gadis baru saja menyodorkan kotak makan bergambar Teddy bear berwarna cokelat, di depan Evan. Membuat manik mata Evan tertuju padanya.Cowok itu hampir saja tersedak jika tidak buru-buru meminum es teh di depannya.Evan menelan nasi goreng yang masih di dalam mulutnya sambil berujar, "Apa nih?" Matanya melirik kotak makan itu."Sarapan buat Evan, tapi karena Evan lagi sarapan. Jadi, ini buat makan siang aja."Emil meletakkan sendok dan garpu di mangkuknya, dia melirik Evan dan Eca bergantian. Sebetulnya Emil
Remaja itu sedang duduk di sebuah kafe, sambil sesekali menyesap kopi susu yang sudah hampir tandas di depannya. Sudah hampir setengah jam dia menunggu kedatangan temannya."Sorry, telat," ucap seseorang seraya menarik kursi untuk duduk. Napasnya terdengar sangat memburu, seperti baru saja melakukan lari maraton jarak jauh.Emil melirik arloji di pergelangan tangannya. "Masih 30 menit lagi, kok. Lo pesan minum dulu aja!"Evan mengangguk. "Elang mana?"Emil mengedikkan bahunya. Beberapa menit yang lalu Elang bilang akan pergi ke toilet. Namun, sampai saat ini belum juga kembali. Netra Emil menangkap sosok pemuda berkemeja biru tua dan jeans hitam, tak lupa snakers bertengger di kakinya. Dia sedang berdiri di depan kafe bersama seorang gadis, mereka terlihat begitu akrab."Noh, lihat teman lo kelakuannya!" desis Emil sambil menggerakkan dagunya ke arah dua remaja yang sedang
Matahari kembali muncul di peradaban. Menampakkan wujud berupa cahaya terang yang cukup menyilaukan. Burung berkicau tiada henti, sesekali mengepakan sayapnya untuk pindah dari dahan pohon ke sisi yang lainnya.Di sanalah Evan. Di depan motor Vespa berwarna biru yang penuh dengan sejarah itu. Cowok itu baru saja mengelap debu-debu yang menempel di beberapa bagian motornya.Setelah selesai mengelap debu dengan kanebo. Evan kembali masuk ke dalam. Dia berjalan ke dapur, menghampiri Sri, ibunya."Ibu, udah siap?" tanya Evan seraya mencuci kanebo di wastafel."Belum. Ibu mau ganti baju dulu, kamu tolong masukin kue ke dalam box ini, ya." Evan mengangguk.Sri adalah seorang singgle parents. Pekerjaannya hanya berjualan kue di belakang stasiun. Kue buatannya selalu habis terjual. Selain harganya yang murah, kue buatan Sri juga rasanya sangat enak. Cocok dengan para mahasiswa atau
Evan terus melangkah menyusuri koridor, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Sebuah nama terpampang jelas di daun pintu ruangan itu.Indah Suryani S.Pd.Tanpa ragu Evan mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam ruangan ini."Masuk!"Evan menghela napas berat. Sedikit takut, karena pasalnya dia belum pernah membuat kesalahan apa pun sampai harus dipanggil dengan wali kelasnya."Ibu manggil saya?"Wanita berpakaian formal khas PNS itu mengangguk. "Duduk."Evan terdiam. Dia bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Karena dia tidak tahu untuk apa dipanggil ke ruangan ini.Wanita yang masih duduk diam di sebuah kursi itu kini sibuk mencari beberapa tumpukan kertas di atas mejanya."Maaf Bu, kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Evan dengan ragu.
Gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama.--Emil--***Hari sudah gelap. Si raja malam sudah bertengger di atas sana. Ditemani dengan ribuan pengawalnya yang selalu memperlihatkan cahaya indahnya masing-masing. Evan duduk di depan jendela, masih denganearphoneyang sejak tadi menyumpal indera pendengarannya. Tidak seperti biasanya, kali iniearphoneitu mengeluarkan bunyi, berkat kabel yang tersambung pada ponselnya.Matanya terus menatap langit. Pikirannya lebih berisik daripada lagu yang sedang ia dengarkan. Pandangannya kosong, menatap jauh ke arah langit.Tak berselang lama, Evan bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan sebelah tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.Evan keluar kam
Lucu ya, kita menunggu kereta di peron yang sama. Padahal kereta tujuan kita berbeda. Sampai aku sadar, kalau tujuanku bukan lagi rumah untuk berpulang, melainkan kamu.–Revan Al-Shabab-***"J-Jalan. Y-Yuk.""Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya.Sinting nih orang!Datang tiba-tiba dan sekarang mengajaknya jalan. Namun, kesempatan tidak akan datang dua kali.Eca menghela napasnya berat. "Eca mandi dulu ya, tunggu di dalam aja."Evan mengangguk, seulas senyum tipis tercetak di wajah mulusnya. Meski tidak pernah perawatan di salon, wajah Evan memang mulus tanpa jerawat. Ini mungkin efek dari hidupnya yang terbilang sehat. Cowok itu mengangguk."Gue tunggu di sini aja," ucapnya saat mereka baru menginjakkan kaki di teras rumah Eca.Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Dia tidak langsung ke kamar, melainkan berjalan ke dapur. "B
Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.
Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.
Evan masih terus mencoba untuk menghubungi Eca, tetapi tetap tidak ada jawaban dari gadis itu. Sekali lagi evan menekan dial telepon, dan masih sama hasilnya. Mungkin Eca udah tidur, pikir Evan. Mengingat saat ini sudah cukup larut. “Evan,” suara cewek dari arah belakang sontak membuat Evan terkejut. Cowok itu buru-buru menoleh. Saat mengetahui siapa gadis di depannya, Evan segera memasukkan ponselnya ke saku celana. “Eh, ada apa, Man?” “Sorry ganggu.” Evan tidak menjawab, hanya menunggu gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja Evan jadi teringat percakapannya dengan Emil tempo hari lalu. Dia tidak boleh sampai memberi harapan, atau bersikap terlalu ramah sama semua perempuan. “Gue boleh nebeng?” Evan melirik sekitar. Dimana kedua temannya? Menyadari reaksi Evan, Amanda kembali bersuara. “Nggak apa-apa kalau nggak boleh.” Evan tersenyum kikuk. Menolak tidak bisa, menerima sulit. “Sama Emil aja, Man.” “Sor
Evan memarkirkan motornya di pekarangan sebuah kafe yang cukup luas. Di atas kepalanya beberapa bohlam lampu terlihat tergantung begitu indah, begitu juga batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat Evan berdiri sekarang ada lampu warna-warni yang dibuat melingkari pohon itu, menambah keindahan malam.Setelah melepas helm, cowok itu bergegas masuk ke dalam kafe. Malam ini Evan dan kedua sahabatnya harus mengisi acara reunian di kafe ini. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan guna mencari sahabatnya. namun, suara dari seorang gadis yang sedang berdiri di atas panggung kecil berhasil mengalihkan atensi Evan.Suaranya yang lembut dan tenang, seperti angin sejuk yang tadi Evan rasakan di jalan. Senyum Evan mengembang saat bola matanya bertatapan lurus dengan manik hitam pekat milik gadis itu. Seakan terhipnotis, Evan enggan mengalihkan tatapannya. Hingga akhirnya lagu yang dibawakan gadis itu selesai.“Gimana suara gue?” tanya gadis yang entah seja
Kedekatan Evan dan Eca, semakin hari semakin terlihat. Apalagi mereka sudah tidak segan mengumumkan statusnya kepada teman terdekatnya. Sekedar pulang bareng atau menghabiskan waktu istirahat bersama, sudah sering mereka lakukan. Beberapa gadis yang melihat hal itu, tentu merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi cowok tampan yang tersisa di sekolah ini. Hanya tersisa Elang, siplayboy.Evan dan Eca bahkan kerap kali terlihat berjalan bersama menuju kantin, seperti saat ini. Dua remaja itu baru saja memasuki kantin. Mata Eca langsung tertuju pada mejasa biasa, tempat Evan dan teman-temannya mengisi perutnya. Di sana Emil terlihat menyapa meski hanya dengan dagu yang digerakkan maju.Pandangan Eca beralih ke arah bangu yang berada di depan Emil. Seorang gadis duduk di sana, tempat yang seharusnya milik Eca dan Evan."Evan," panggil Eca seraya mencolek lengan Evan.Evan hanya melirik Eca sekilas dengan senyum hangatnya yang selal
Diberikan waktu jeda, tentu saja Eca memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat. Cewek itu masih mengatur napasnya, wajahnya sudah penuh keringat akibat berjemur dua jam lamanya di tengah lapangan. Meski matahari tidak begitu terik, tetapi tetap saja panasnya terasa menyengat. Kini Eca sedang bersandar pada dinding di koridor. Tangannya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel miliknya, gadis itu mengetikkan pesan pada seseorang. Eca memperhatikan sekitar. Beberapa menit yang lalu Emil dan Elangmelewati lapangan, tetapi sampai saat ini Eca belum melihat Evan. Gadis itu menghela napasnya. Sedikit kecewa, karena sebelumnya Evan sudah berjanji akan pulang bersama dengna Eca. Namun, sekarang cowokitu malah tidak tahu ada di mana. "Gue gabung, ya," seru Karin. Kakak kelasnya itu ikut duduk di sebelah Eca. "Eh, Kak, silakan," sahut Eca ramah. "Nggak ke kantin?" Eca tersenyum, lalu menggeleng. "Males, ah." Karin tampak manggut-
Sesuai janjinya, siang ini Eca baru saja kembalu dari ruang paskibra untuk menghadiri perkumpulan para anggota. Gadis itu terus melangkah bersama Andre dan beberapa anggota lainnya menuju lapangan."Hari ini kita mulai latihan, kemungkinan selama dua bulan ke depan kita semua akan lebih sering menghabiskan waktu di sekolah."Seorang gadis cemberut, mencebikkan bibirnya malas. "Gak bisa ke mall dong."Gadis di sampingnya mengangguk. "Membosankan," sahutnya tak kalah malasnya.Kini mereka semua sudah tiba di halaman utama. Masing-masing langsung membuka tas dan meletakkannya di sisi lapangan."Kumpul dulu dong semuanya!" seru Andre memberi aba-aba seraya menepuk tangan.Semua anggota pun menurut, sebagian bersemangat, meski tidak sedikit yang merasa malas."Kita bagi pasukan sesuai urutan tinggi badan.""Lho, kok, gitu Ndre? Kasihan gue dong," sungut gadis bernama Karin, yang notabenenya adalah kakak kelas Eca."Resiko lo
Bel istirahat baru saja berbunyi. Kelas Eca sudah riuh dengan siswa yang berseru heboh ingin pergi ke kantin. Eca mengeluarkan kotak makan yang diberikan Evan tadi pagi dari kolong meja. Matanya menyisir seisi kelas. Dia mencari sosok Elang.“Elang,” panggillnya saat cowok itu hendak melangkah keluar.Elang menoleh, mencari sumber suara yang sudah memanggil namanya.“Di sini,” kata Eca seraya melambaikan tangannya. Gadis berponi itu langsung bangkit dari tempat duduknya.“Oh elo. Ada apa, Ca?”Eca berdehem. “Elang mau ke kelas Evan, kan?”Elang mengangguk. “Iya, sekalian ke kantin.”“Eca boleh ikut?” Elang hanya mengangguk bertanda setuju.Keduanya berjalan bersisian. Tinggal beberapa langkah lagi memasuki kelas Evan, suara milik seseorang menghentikan langkah Eca.“Eca!”Baik Eca maupun Elang berhenti melangkah. Keduanya menoleh k
Pagi ini mentari kembali bersinar cukup terang, cuacanya juga cerah sama seperti raut wajah Eca yang sejak tadi tak henti menampilkan senyuman.Eca baru saja selesai dengan seragamnya. Bagi seorang pelajar perhitungan hari itu sangat tidak adil. Bayangkan saja, dari hari Senin menuju Minggu itu berjarak enam hari, sementara dari hari Minggu ke hari Senin hanya berselang 24 jam saja. Bukankah itu tidak adil?Eca mulai sibuk melilit dasi pada kerah kemeja putihnya. Hari ini upacara, jangan sampai dia harus berdiri di depan tiang bendera hanya karena tidak memakai dasi dan topi. Dua benda sakral yang harus dimiliki semua siswa. Setelah dirasa sudah selesai. Eca segera turun ke bawah."Non, sarapan dulu," ucap Bi Imah.Eca mengangguk seraya melangkah menuju dapur. Matanya dia edarkan ke meja makan. Entah moodnya sedang tidak baik atau memang Eca tidak berselera hari ini."Hmm, aku sarapan di sekolah aja." Eca meraih segelas susu, lalu meneguknya hingga
Eca yakin, kalau nggak ada cinta tanpa balasan. Eca hanya perlu menunggu sampai kereta Eca datang dan berhenti pada tempat perhentian terakhir.–Aresha–****Selesai makan dua remaja itu kembali berjalan memasuki halaman gedung yang menjadi objek wisata itu. Bangunan yang di dalamnya terdapat banyak sejarah.Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi siang. Karena sekarang sudah hampir jam 15:00 sore. Semilir angin menemani kedua remaja itu sore ini."Evan, bisa naik sepeda?" tanya Eca sambil menunjukkan beberapa sepeda yang khusus disewakan untuk pengunjung."Bisa.""Eca mau naik sepeda aja. Eca gak suka masuk ke museum, seram."Evan tercengang. Bisa-bisanya dia bilang museum seram. Padahal Evan lebih suka menjelajahi isi museum, karena menurutnya itu sangat menyenangkan, apalagi museum seni rupa. Dia memang sangat suka pelajaran seni rupa.Evan mengangguk.
Satu hal yang tidak pernah bisa didefinisikan adalah cinta. Ketika rasaku dan rasamu yang tidak sama, apa bisa cinta tetap ada?–Revan–***Di dalam sini sangat padat dan pengap. Eca hampir tidak bisa bernapas. Untuk bergerak saja rasanya sulit sekali. Begitu juga tempat duduk, semuanya sudah terisi. Kini dia hanya bisa berdiri di samping Evan, sementara Evan berdiri dekat dengan pintu kereta. Tangannya tidak sampai untuk berpegangan ke atas.Sesekali Evan meliriknya. Perasaannya tiba-tiba mendadak menyesal karena telah mengajak Eca naik kereta. Sesekali kereta bergoyang, membuat Eca tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Untung saja Evan ada di sampingnya, hal ini sangat membantu Eca, agar dirinya tidak tersungkur.Sekali lagi kereta itu bergoyang, membuat tubuh Eca harus terdorong oleh beberapa orang di belakangnya. Evan melihat itu. Cowok itu langsung menarik Eca, menukar posisinya.